Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205479 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raja Al Fath Widya Iswara
"Kasus kekerasan seksual dalam bentuk persetubuhan dapat terjadi pada perempuan usia reproduksi yang sedang mengalami keputihan. Sekitar 75-80% dari semua perempuan setidaknya sekali menderita infeksi kandidiasis vulvovaginal dan infeksi tersebut menyumbang lebih dari 25% vaginitis menular. Kondisi keputihan akibat kandidiasis disebabkan oleh perubahan mikrobioma vagina dapat menimbulkan perubahan pH dan jumlah neutrofil vagina yang memengaruhi motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina. Lama motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina baik pada kondisi fisiologis maupun patologis merupakan dasar pertimbangan bagi praktisi forensik dalam penentuan waktu terjadinya persetubuhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pH, jumlah neutrofil, dan profil mikrobioma vagina terhadap motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina tikus kandidiasis. Penelitian eksperimental ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar dengan tikus jantan sebanyak 6 ekor untuk sampel spermatozoa dan tikus betina sebanyak 32 ekor untuk perlakuan. Tikus betina dibagi dua kelompok yaitu tikus normal dan tikus kandidiasis. Pada kedua kelompok tikus betina diberikan perlakuan berupa inseminasi semen dalam vagina. Variabel yang diukur adalah pH, jumlah neutrofil, profil mikrobioma, motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina. Analisis statistik perbedaan pH, jumlah neutrofil vagina, diversitas alfa mikrobioma, motilitas dan persistensi spermatozoa antara tikus kondisi normal dan model kandidiasis dengan uji Mann-Whitney, sedangkan perbedaan diversitas beta mikrobioma dilakukan uji permutational multivariate analysis of variance (Permanova). Estimasi survival motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina menggunakan kurva kesintasan Kaplan-Meier dengan uji log-rank untuk penilaian signifikansi. Hubungan antara pH, jumlah neutrofil dan profil mikrobioma vagina dengan motilitas dan persistensi spermatozoa, dengan uji korelasi Spearman dilanjutkan uji regresi linear berganda. Hipotesis terbukti apabila pada uji perbedaan, uji log-rank,dan uji korelasi didapatkan nilai signifikansi p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pH, jumlah neutrofil, motilitas dan persistensi spermatozoa antara kelompok tikus normal dengan tikus kandidiasis, namun tidak terdapat perbedaan profil mikrobioma tikus normal dan tikus kandidiasis. Kesintasan motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina lebih lama pada tikus normal dibandingkan tikus kandidiasis. Terdapat korelasi antara pH dan jumlah neutrofil dengan motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina tikus, namun tidak terdapat korelasi profil mikrobioma dengan motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina tikus normal dan tikus kandidiasis. Semakin tinggi pH dan jumlah neutrofil dalam vagina, maka motilitas dan persistensi spermatozoa dalam vagina akan semakin menurun. Prosedur tambahan baru pada pemeriksaan kasus kekerasan seksual yang disarankan untuk dilakukan adalah pemeriksaan pH dan jumlah neutrofil vagina.

Cases of sexual violence in the form of sexual intercourse can occur in women of reproductive age who are experiencing vaginal discharge. Approximate 75-80% of all women suffer from vulvovaginal candidiasis infection at least once and the infection accounts for more than 25% of infectious vaginitis. The condition of vaginal discharge due to candidiasis is caused by changes in the vaginal microbiome which can cause changes in vaginal pH and neutrophil count which affects the motility and persistence of spermatozoa in the vagina. Duration of motility and persistence of spermatozoa in the vagina, both physiological and pathological conditions is a basic consideration for forensic practitioners in determining time since intercourse. This study aimed to analyze pH, neutrophil count, and vaginal microbiome profile on the motility and persistence of spermatozoa in the vagina of candidiasis rat as a principles for determining the time since intercourse. An experimental study was conducted using white rats (Rattus norvegicus) Wistar strain with 6 male rats for spermatozoa samples and 32 female rats for treatment. Female rat were divided into two groups, namely normal and candidiasis rat. In both groups, female rat were given treatment in the form of vaginal insemination of semen. The variables measured included pH, neutrophil count, microbiome profile, motility and persistence of spermatozoa in the vagina. Statistical analysis of differences in pH, vaginal neutrophil count, microbiome alpha diversity, motility and persistence of spermatozoa between rat in normal conditions and candidiasis models was carried out using the Mann-Whitney test, while differences in microbiome beta diversity were carried out by the permutational multivariate analysis of variance (Permanova) test. Estimation of survival motility and persistence of spermatozoa in the vagina used the Kaplan-Meier survival curve with the log-rank test for significance assessment. The correlation between pH, neutrophil count and vaginal microbiome profile with spermatozoa motility and persistence, with the Spearman correlation test followed by multiple linear regression tests. The hypothesis is proven if the difference test, log-rank test and correlation test show a significance value of p<0.05.The results showed that there were differences in pH, neutrophil count, motility and persistence of spermatozoa between groups of normal and candidiasis rat, but there were no differences in the microbiome profiles of normal and candidiasis rat. The survival of motility and persistence of spermatozoa in the vagina is longer in normal rat than in candidiasis rat. There was a correlation between pH and the neutrophil count with the motility and persistence of spermatozoa in the vagina of rat, but there was no correlation between the microbiome profile and the motility and persistence of spermatozoa in the vagina of normal and candidiasis rat. The higher the pH and neutrophil count in the vagina, the motility and persistence of spermatozoa in the vagina will decrease. A new additional procedure in examining cases of sexual violence that is recommended to be carried out is checking the pH and vaginal neutrophil count."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyebab penyakit kandidiasis vagina terbanyak adalah Candida albicans (85%). kandidiasis sering menimbulkan masalah karena terjadinya relaps/reinfeksi, disebut sebagai kandidiasis vagina rekurens. Saluran pencernaan merupakan reservoar C.albicans. Di samping itu transmisi melalui hubungan seksual, faktor imunologi, faktor hormonal juga berperan terjadinya kandidiasis vagina rekurens. Walaupun upaya pengobatan sudah dilakukan, frekuensi kandidiasis masih terus meningkat dan kandidiasis vagina rekurens juga masih merupakan masalah.
"
MPARIN 7 (1-2) 1994
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Indrasanti
"Kandidiasis orofaring yang disebabkan oleh C. albicans merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada pasien HIV/AIDS. Flukonazol telah digunakan secara luas untuk terapi kandidiasis. Beberapa penelitian saat ini telah melaporkan terjadinya resistensi spesies Candida terhadap flukonazol terutama pada pasien HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini untuk melihat besarnya resistensi spesies Candida yang diisolasi dari pasien HIV/AIDS juga ingin diketahui categorical agreement antara metode otomatik Vitek2 dengan metode manual difusi cakram dalam menguji kepekaan spesies Candida terhadap antijamur. Penelitian potong lintang ini terdiri dari 137 isolat Candida yang didapatkan dari 86 subyek HIV/AIDS dengan Kandidiasis Orofaring di RSCM. Data karakteristik subyek dicatat dan dilakukan pengambilan swab orofaring. Identifikasi spesies dilakukan menggunakan media CHROMagar dan YST Vitek2. Uji kepekaan dilakukan memakai metode otomatik Vitek2 dan manual difusi cakram, kemudian dicari interpretasi error dan categorical agreement antara kedua metode. Didapatkan 8 spesies Candida yaitu C.albicans sebesar 77 (55,3%), C.glabrata 21(15,3%), C.tropicalis 19 (13,9%), C.krusei 9 (6,7%), C.parapsilosis 5 (3,6%), C.dubliniensis 4 (2,9%), C.famata 1 (0,76%), C.magnoliae 1 (0,76%). Angka resistensi C.albicans dengan Vitek2 terhadap FCA,VOR,AMB, dan FCT berturut turut adalah 0; 1,3%; dan 2,6%; dan 0, C.glabrata 9,5%; 9,5%; 5%; dan 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%; dan 0, C.dubliniensis 0; 0; 25%; dan 0. Angka resistensi C.albicans dengan difusi cakram terhadap FCA,VOR,AMB berturut turut adalah 2,6%; 2,6%; 0, C.glabrata 52,4%; 23,8%; 23,8%, C.tropicalis 5,3%; 5,3%; 0, C.krusei 100%; 0; 11,1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Categorical agreement uji resistensi antara metode otomatik Vitek2 dengan manual difusi cakram terhadap FCA, VOR, dan AMB berturut turut untuk C.albicans yaitu 90,9%; 92,2%; dan 98,7%, C.glabrata 19,05%; 71,4%; dan 80,95%, C.tropicalis 89,5%; 89,5%; dan 89,5%, C.krusei 100%; 88,9%; dan 55,6%, C.parapsilosis 100%; 100%; dan 80%, serta C.dubliniensis 75%; 100%; dan100%. Kami menyimpulkan C.albicans masih merupakan penyebab kandidiasis tersering, dan angka resistensi isolat Candida yang didapatkan dari subyek HIV/AIDS dengan kandidiasis orofaring di RSCM cukup rendah, kecuali C.krusei dan C.glabrata. Total categorical agreement untuk seluruh spesies Candida antara Vitek2 dengan difusi cakram cukup baik, kecuali untuk C.glabrata.

Oropharyngeal candidiasis caused by C. albicans is the most common opportunistic infection in patients with HIV / AIDS. Fluconazole has been used widely for the treatment of candidiasis. Recent studies have reported the occurrence of fluconazole resistance to Candida species, especially in HIV / AIDS patients. The purpose of this study is to determine frequency of resistance of Candida species isolated from patients with HIV / AIDS to antifungal drugs. Further, to explore the categorical agreement between Vitek2 automatic with manual disc diffusion method to determine the sensitivity of Candida species. This cross-sectional study conducted between October 2012 and March 2013 yield on 137 Candida isolates from 86 oropharyngeal candidiasis HIV/AIDS patients at RSCM. Data on baseline characteristic were recorded and isolation of Candidia species was obtained by performing oropharyngeal swab. Species identification using CHROMagar media and YST Vitek2 and sensitivity test by automatic Vitek2 methods and manual disc diffusion was performed. The error interpretation and categorical agreement between the two methods was then calculated We identified total of eight Candida species, 77 (55.3%) C.albicans and non albicans included C.glabrata 21 (15.3%) ; C.tropicalis 19 (13.9%) ; 9 (6.7%) C.krusei; 5 (3.6%) C.parapsilosis; 4 (2.9%) C.dubliniensis and 1 (0.76%) for each C.famata and C.magnoliae. Vitek2 resistance rates against C.albicans with fluconazole (FCA), voriconazole (VOR), amphoterisin B (AMB), and flucytosin (FCT) were 0; 1.3%; 2.6% and 0 respectively, C.glabrata 9.5%; 9.5%; 5% and 0, respectively. C.krusei 100%; 0; 11.1%, and 0 respectively. C.dubliniensis 0; 0; 25%, and 0. Using disc diffusion the resistance of FCA, VOR, AMB was 2.6%, 2.6%, 0 for C.albicans, C.glabrata 52.4%, 23.8%, 23.8%, C. tropicalis 5.3%, 5.3%, 0, C.krusei 100%; 0; 11.1%, C.parapsilosis 0; 0; 2%. Total categorical agreement for all Candida species against FCA, VOR and AMB, Vitek2 and disc diffusion method Vitek2 was C.albicans 90,9%; 92,2%; and 98,7%, C.glabrata 19,05%, 71,4%, and 80,95%, C.tropicalis 89,5%, 89,5%, and 89,5%, C.krusei 100%, 88,9%, and 55,6%, C.parapsilosis 100%, 100%, and 80% C.dubliniensis 75%, 100%, and 100% respectively. C.albicans still found as the most common caused of oropharyngeal candidiasis and remained sensitive to antifungal treatment. Among the non albicans species, susceptibilities of C.krusei and C.glabrata to antifungal treatment was poor. Sensitivity test using Vitek2 and disc diffusion methods resulted in excellent to
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarmi Hamid
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data langka mengenai berapa banyak penderita diabetes yang terkena kandidiasis mulut, karena sampai saat ini di Indonesia belum ada angka/ data tersebut. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data kelainan mulut pada penderita diabetes. Pengambilan usap mulut dilakukan pada penderita diabetes yang datang ke Subg Met.Endokrinologi (Penyakit.Dalam) RSCM, yang kemudian dikirim kebagian Parasitologi FKUI untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosa kandidiasis mulut ditegakkan dengan pemeriksaan klinis yang didukung dengan pemeriksaan laboratorium.
Hasil Penelitian: Dari 95 penderita diabetes tanpa gigi tiruan yang diteliti didapatkan 42 pria diabetes {44,2%) dan 53 wanita diabetes (55,8%), yang berumur antara 25-80 th. 14 penderita diabetes (14,7%), berumur antara 20-40th. Sedangkan 81 penderita diabetes (85,37.) berumur diatas 40 th. Dan dari 95 usap mulut penderita diabetes setelah dilakukan pemeriksaan langsung terdapat 60% Candida positif, sedangkan pada biakan usap mulut ditemukan 62 penderita diabetes {65,2%) Candida positif. Ternyata dari 62 Candida positif pada biakan usap mulut, 33,9% positif 1, 50% positif 2, dan 16,1% positif 3. Kandidiasis mulut terdapat pada 12 penderita diabetes (12,6%), yang terdiri dari 7 pria dibetes dan 5 wanita diabetes. Dan kandidiasis mulut terdapat pada 70% dari Candida positif 3, 16,1% dari Candida positif 2, sedangkan pada positif 1 tidak terjadi kandidiasis mulut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1990
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Manik Kusmayoni
"Penelitian ditujukan untuk mengetahui prevalensi tinea kruris dan kandidosis kutis intertriginosa pada pekerja wanita di bagian Weaving dan Finishing yang bekerja di lingkungan kerja yang panas dan lembab di pabrik tekstil PT S. Metode penelitian menggunakan desain kros-seksional dengan uji statistik Chi-kuadrat dan Fisher dan analisis multivariat Logistik - regresi. Pengukuran tingkat pajanan panas dengan "Indeks Suhu Basah Bola" (ISBB).
Penelitian dilakukan pada 200 responden, bekerja pada lingkungan kerja yang berbeda, terdiri dari 100 responden terpajan panas dan 100 responden terpajan panas yang lebih rendah. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, pengamatan, pemeriksaan fisik dan laboratorium serta pengukuran lingkungan kerja.
Hasil penelitian menunjukkan tekanan panas di Weaving sebesar 32.9° C ISBB (NAB 26,5) dan kelembaban relatif 56.4%. Pemeriksaan dari semua responden menunjukkan 25,5% responden mengalami tinea kruris dan atau kandidosis kutis intertriginosa.
Dari analisis bivariat, variabel lingkungan kerja, masa kerja, status gizi dan kebersihan pribadi memiliki hubungan kemaknaan dengan kejadian tinea kruris dan atau kandidosis kutis intertriginosa (p< 0,035).
Faktor paling berpengaruh terhadap prevalensi tinea kruris dan atau kandidosis kutis intertriginosa adalah kebersihan pribadi (OR>10,348).

Prevalence Of Tinea Cruris And Candidosis Cutis Intertriginosa With Relation Of Heat And Humidity In Women Workers Of Textile Factory PT "S" In Tangerang
The study is to reveal the prevalence of tinea cruris and candidosis cutis intertriginosa among women workers at weaving and finishing departement exposured to heat stress and humidity in a textile factory (PT. S) in Tangerang. Cross sectional method was applied in the study. Chi-square and Fisher, and Logistic regression were used for statistical analysis. Heat exposure level in the working environment measured by the Wet Bulb Globe Temperature Index.
This study examined 200 workers in different working environment, 100 workers exposed to heat, and 100 workers exposed to a relatively lower heat stress. To see the impact of heat stress and humidity to the workers, observation was done, utilizing questionnaire, physical, and laboratory examination and working environment measurement.
This study reveals the heat stress in weaving reached 32.9°C WBGT and 56.4% relative humidity.
The examination showed that 25.5% of respondents have tinea cruris and candidosis cutis intertriginosa. From bivariate analysis, it is revealed that working environment, working period, nutrition status, personal hygiene showed significant relationship with the prevalence of tinea cruris and candidosis cutis intertriginosa (p < 0.035).
The dominant factor is personal hygiene (OR > 10,348).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 13648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Forman Erwin
"Kandidemia merupakan salah satu bentuk kandidosis sistemik. Prevalensinya meningkat dalam dasawarsa terakhir karena mcningkatnya populasi pasien imunokompromis akibat berbagai sebab seperti prosedur kedokteran modern. Penelitian ini mcncliti tentang spesies Candida penyebab kandidemia, pola kepekaan Candida terhadap flukonazol dan vorikonazol dengan metode difusi cakram serta sumber infeksi eksogcn di lingkungan perawatan Perinatologi RSUPN-CM. Dari 187 sampel darah diperiksa dan dibiak, 95 positif (prevalensi 50,8%) dan berhasil diisolasi sebanyak 109 spesies Candida. Spesies yang dominan adalah C. zropicalis. Pola kepekaan Candida spp terhadap ilukonazol lebih beragam dibanding vorikonazol. Belum ditemukan sumbcr inf¢ksi eksogen dilingkungan rumah sakit.

Candidemia is one of the clinical feature of systemic candidosis. Its prevalence increasing rapidly in the last decade due to increased number of immune compromised population. Thus study is aimed to determine the species of Candida that caused candidemia, its susceptibility patten against lluconazol and voriconazol using disk diffusion method and with evaluation to determine exogenous sources of infection on perinatology ward RSUPN-CM. 95 out of 187 blood samples were positive (prevalence 50,8%) with number of Candida spp. Isolated were lO9, C. Tropicalis was the predominant species. Susceptibility pattem against iluconazol is more variable comparing to voriconazol. No exogenous sources of infection found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32300
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Isabella Valentina
"ABSTRACT
Kesulitan dalam penegakan diagnosis definitif efusi pleura tuberkulosis berdasarkan metode konvensional ataupun biopsi menyebabkan berbagai usaha untuk mencari alternatif strategi diagnostik lainnya. Kriteria diagnostik yang direkomendasikan adalah apabila pasien terdapat gejala klinik tuberkulosis dan pemeriksaan cairan pleura menunjukkan eksudat berdasarkan kriteria Light, aktivitas adenosin deaminase (ADA) > 40 U/l, dan rasio limfosit/neutrofil > 0.75, maka diagnosis efusi pleura tuberkulosis boleh ditegakkan yang dibuktikan dengan respon terapi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan nilai diagnostik real time polymerase chain reaction (RT PCR) pada efusi pleura tersangka tuberkulosis yang memenuhi kriteria diagnostik. Penelitian uji diagnostik prospektif menggunakan 43 sampel cairan pleura dari tersangka tuberkulosis yang dipilih secara konsekutif. Diagnosis efusi pleura tuberkulosis ditegakkan berdasarkan respon terapi positif atau kultur positif. Kultur cairan pleura menggunakan media Lowenstein-Jensen. RT PCR dikerjakan menggunakan primer yang dapat mengenali gen IS6110 dan gen MPB64.
Dari 43 sampel tersebut, Mycobacterium tuberculosis dapat dideteksi oleh RT PCR pada 7 sampel, 4 diantaranya dengan kultur positif. Dengan demikian, sensitivitas RT PCR adalah 16.3% yang lebih tinggi daripada sensitivitas berdasarkan kultur saja yaitu 9.3%. Nilai duga positif dan nilai duga negatif RT PCR berturut-turut adalah 100% dan 0%. Spesifisitas, rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif RT PCR tidak dapat dinilai karena semua subyek penelitian memiliki respon terapi positif atau kultur positif. RT PCR memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif efusi pleura tuberkulosis lebih sensitif dan cepat dibandingkan kultur. Dengan demikian, penelitian ini mendapatkan bahwa pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis efusi pleura TB, maka RT PCR merupakan pilihan metode untuk identifikasi infeksi Mycobacterium tuberculosis secara definitif, karena sensitivitas yang rendah maka tidak dapat digunakan sendiri (tunggal).

ABSTRACT
The difficulty to confirm the definitive diagnosis of tuberculous pleural effusion (TBPE) based on conventional laboratory methods and pleural biopsy have lead to the searching of alternative diagnostic strategies. The recommended diagnostic criteria approach for TBPE diagnosis are if a patient has clinical feature of tuberculosis (TB) and the pleural fluid analysis showed exudate based on Light criteria, the adenosine deaminase (ADA) activity > 40 U/l, and lymphocyte/neutrophil ratio > 0.75, then the diagnosis of TBPE is actually established. The aim of this study is to investigate the diagnostic value of RT PCR on suspected TBPE that fullfiled the recommended diagnostic criteria. The diagnostic study with prospective design assessed 43 pleural fluid samples of suspected TBPE that were selected consecutively. The diagnosis of TBPE was confirmed based on positive response therapy or positive culture of the pleural fluid. Pleural fluid culture was performed using Lowenstein-Jensen medium. Real time polymerase chain reaction (RT PCR) was carried out using the primer that detect IS6110 and MPB64 gene.
Among 43 samples of suspected TBPE, Mycobacterium tuberculosis could be detected by RT PCR in 7 samples with 4 of them had positive culture. The sensitivity of RT PCR therefore was 16.3%, it was higher than the sensitivity based on culture only which was 9.3%. Positive predictive value and negative predictive value of RT PCR were 100% and 0%, respectively. The specificity, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of RT PCR could not be defined because all subjects had positive response therapy or positive culture. RT PCR has an advantage that it can be used to establish definitive diagnosis of TB earlier compared to culture. Therefore, when the patient fulfilled the recommended criteria of tuberculous pleural effusion, RT PCR is the method of choice for definitive identification of Mycobacterium tuberculosis infection. However, due to the low sensitivity, it can not be used alone."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzan
"Pendahuluan: Kandidiasis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur jenis Candida sp. Beberapa jenisnya adalah Candida albicans, spesies Candida sp. yang menjadi etiologi terbanyak kasus kandidiasis dan Candida krusei, spesies Candida sp. yang memiliki resistensi tertinggi terhadap flukonazol. Dewasa ini, kejadian kandidiasis semakin meningkat disebabkan tingginya insidens HIV dan semakin maraknya penggunaan antibiotika spektrum luas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola kepekaan Candida albicans dan Candida krusei terhadap antifungal flukonazol secara in vitro di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional in vitro menggunakan data sekunder hasil uji kepekaan difusi cakram kultur Candida albicans dan Candida krusei yang didapat dari spesimen klinik yang masuk ke Laboratorium Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia periode 2013-2018. Setiap spesimen dimasukkan cakram antifungal flukonazol dan dilakukan interpretasi hasil kepekaan sesuai panduan dari CLSI yang terdiri atas sensitif, peka tergantung dosis, dan resisten. Hasil: Uji kepekaan Candida albicans terhadap flukonazol menunjukkan dari 1554 isolat Candida albicans didapatkan 1545 isolat (99,421%) sensitif, 4 isolat (0,257%) peka tergantung dosis, dan 5 isolat (0,322%) resisten. Sementara itu, uji kepekaan Candida krusei terhadap flukonazol menunjukkan dari 191 isolat Candida krusei, didapatkan 96 isolat (50,262%) sensitif, 4 isolat (2,094%) peka tergantung dosis, dan 91 isolat (4,31%) resisten. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara pola kepekaan Candida albicans dan Candida krusei terhadap antijamur flukonazol secara in vitro (p <0,001). Kesimpulan: Candida krusei memiliki presentase resistensi terhadap flukonazol yang lebih tinggi dibandingkan Candida albicans.

Introduction: Candidiasis is an infectious disease caused by a fungus type Candida sp. Several types of them are Candida albicans, species of Candida sp. which became the most etiological cases of candidiasis and Candida krusei, species of Candida sp. which has the highest resistance to fluconazole. Nowadays, the incidence of candidiasis is increasing due to the high incidence of HIV and the increasingly widespread use of broad-spectrum antibiotics. The purpose of this study was to determine the pattern of sensitivity of Candida albicans and Candida krusei to antifungal fluconazole in vitro in Indonesia. Method: This study was an in vitro observational study using secondary data from the diffusion sensitivity test of Candida albicans and Candida krusei culture discs obtained from clinical specimens that entered the Laboratory of the Department of Parasitology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2013-2018. Each specimen was inserted fluconazole antifungal discs and interpreted the sensitivity results according to the guidelines of CLSI which consisted of sensitive, dose-dependent, and resistant. Result: Candida albicans sensitivity to fluconazole showed that from 1554 Candida albicans isolates of which 1545 isolates (99.421%) were sensitive, 4 isolates (0.257%) were susceptible dose dependent (SDD), and 5 isolates (0.322%) were resistant. Meanwhile, Candida krusei sensitivity to fluconazole showed that from 191 Candida krusei isolates of which 96 isolates (50.262%) were sensitive, 4 isolates (2.094%) were susceptible dose dependent (SDD), and 91 isolates (4.31%) were resistant. Statistical test results showed that there were significant differences between the sensitivity patterns of Candida albicans and Candida krusei to fluconazole antifungals in vitro (p <0.001). Conclusion: Candida krusei has a higher percentage of resistance to fluconazole than Candida albicans."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farid Ar-Rizq
"Latar belakang: Kandidiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh anggota genus jamur Candida, dikaitkan dengan morbiditas serta mortalitas tinggi. Telah terjadi peningkatan jumlah isolat spesies non-albicans (NAC), salah satunya C. krusei. Jamur ini memiliki resistensi alami terhadap flukonazol, dan merespon buruk terhadap terapi antijamur, dengan mortalitas 40–58%. Salah satu mekanisme molekuler terjadinya resistensi adalah penurunan akumulasi obat intraseluler akibat pompa efluks (protein ATP-binding cassette; ABC). Analisis bioinformatika sekuens protein ABC2 C. krusei dapat memberikan pemahaman komprehensif terkait mekanisme molekuler yang terlibat. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental observasional untuk mengkarakterisasi sekuens gen dan protein ABC2 Candida krusei. Sekuens didapatkan dari UniProtKB dan GenBank, lalu dianalisis menggunakan BLAST pada genom 18 sampel C. krusei dan spesies Candida lainnya. Analisis filogeni dilakukan menggunakan program MEGA11. Pemodelan struktur 3D didapatkan dari I-TASSER, AlphaFold, dan SWISS-MODEL. Prediksi mutasi berefek dicari menggunakan SNAP2. Hasil: Sekuens ABC2 didapatkan pada seluruh spesimen, utamanya pada kromosom 2, dengan panjang 358 bp. ABC2 memiliki homolog pada C. albicans, C. tropicalis, C. glabrata, dan C. parapsilosis dengan kemiripan konsisten. Analisis filogenetik menunjukkan kekerabatan terdekat dengan protein pada C. glabrata, meski kurang didukung secara statistik. Pemodelan 3D menghasilkan struktur yang tersusun mayoritas oleh alfa-heliks, area pengikatan ligan ADP, dan kemiripan terhadap transporter Saccharomyces cerevisiae. Prediksi varian efek oleh SNAP2 mengidentifikasi residu G16 sebagai area berpotensi berpengaruh signifikan pada fungsi protein. Kesimpulan: Sekuens protein ABC2 C. krusei menunjukkan divergensi genetik dari homolog-homolognya di spesies Candida lain, meski kurang didukung secara statistik; belum dapat ditentukan hubungan kausal antara divergensi dengan peran ABC2 dalam resistensi intrinsik flukonazol C. krusei. Profil mutasi yang diprediksi menunjukkan residu G16 sebagai asam amino dengan potensi efek tertinggi terhadap fungsi protein ABC2; hubungannya dengan resistensi flukonazol belum dapat dijelaskan, sebab residu tidak terletak pada area pengikatan ligan. Dari pemodelan 3D, ditemukan variasi struktur alfa heliks ABC2 jika dibandingkan dengan CDR4 C. albicans.

Background: Candidiasis is an infection caused by members of the genus Candida, associated with high morbidity and mortality. There has been an increase in the number of non-albicans species (NAC) isolates, among them C. krusei. Having a natural fluconazole resistance, C. krusei responds poorly to antifungal therapy, with 40–58% mortality. One molecular mechanisms of resistance is intracellular drug accumulation reduction due to efflux pumps (ATP-binding cassette protein; ABC). Bioinformatics analysis of C. krusei ABC2 protein sequences could elucidate the mechanisms involved. Methods: This was an observational-experimental study characterizing the gene and protein sequences of C. kruseiABC2. Sequences obtained from UniProtKB and GenBank were BLAST-searched in the genomes of 18 C. kruseisamples and other Candida. Phylogeny analysis was done using MEGA11. 3D models were obtained from I-TASSER, AlphaFold, and SWISS-MODEL. Prediction of effected mutation was searched using SNAP2. Results: ABC2 sequences were obtained in all specimens, especially on chromosome 2, spanning 358 bp. ABC2 has homologs in C. albicans, C. tropicalis, C. glabrata, and C. parapsilosis with consistent similarities. Phylogenetic analysis showed closest relationship to a C. glabrata protein, although statistically unsupported. 3D-modelling resulted in a structure composed mostly of alpha-helices, ADP-binding areas, and similarity to a Saccharomyces cerevisiae transporter. Prediction of effect variance by SNAP2 identified G16 residue as a potentially significant area of ​​effect on protein function.Conclusions: ABC2 protein shows genetic divergence from its homologs in other Candida, although not statistically supported; the causal relationship between the divergence and its role of ABC2 in C. krusei resistance to fluconazole is undetermined. Predicted mutation profile showed G16 as the residue with the highest potential effect on protein function; its relationship with fluconazole resistance is inconclusive, as it is not located in the ligand binding site. 3D-modelling shows variations in the alpha-helix of ABC2 when compared to C. albicans CDR4.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemal Fariz Kalista
"Latar Belakang: Saat ini insidens infeksi jamur invasif yang disebabkan oleh Candida semakin meningkat. Candida merupakan genus jamur yang paling sering menyebabkan infeksi jamur invasif. Kandidiasis invasif berdampak pada meningkatnya angka mortalitas dan meningkatnya masa rawat dan biaya perawatan. Sampai saat ini di Indonesia belum ada studi yang meneliti tentang prevalensi, karakteristik klinis pasien dan pola sebaran spesies jamur pada pasien kandidiasis invasif dewasa.
Tujuan: Mengetahui prevalensi dan karakteristik klinis pasien kandidiasis invasif dewasa di RSCM serta mengetahui pola penyebabnya.
Metodologi: Penelitian ini bersifat retrospektif, menggunakan desain potong lintang, berdasarkan data sekunder (rekam medis) pasien sepsis yang dirawat di RSCM sejak bulan Januari 2012 sampai bulan Juni 2014. Dari rekam medik, dicari pasien kandidiasis invasif (KI) berdasarkan kriteria EORTC/MSG tahun 2008. Pada pasien kandidiasis invasif, selanjutnya dilakukan pencatatan data demografis, data klinis dan penunjang, diagnosis, spesies penyebab, jenis obat antifungal dan antibiotik yang diberikan, luaran klinik serta masa rawat.
Hasil: Prevalensi pasien kandidiasis invasif di RSCM adalah 12,3%, yakni 91 pasien KI dari 738 pasien sepsis yang rekam mediknya dapat diteliti. Dari 91 pasien KI yang memenuhi kriteria diagnosis EORTC/MSG tahun 2008, didapatkan 35 pasien dengan kategori proven, 31 pasien probable dan 25 pasien possible. Manifestasi klinik KI yang paling sering ditemukan adalah kandidemia dengan penyebab utama Candida albicans. Rerata usia pasien adalah 47,9 tahun yang didominasi oleh pasien medis, dirawat di ruang rawat biasa, non-neutropenia dan menderita syok sepsis. Kebanyakan pasien menderita keganasan, yang seringkali disertai infeksi paru, sedangkan piranti medik yang paling sering digunakan adalah kateter urin. Umumnya pasien mendapat antibiotik cefalosporin generasi tiga, sementara antifungal yang paling sering digunakan adalah flukonazol. Sebagian pasien KI (44%) tidak mendapatkan pengobatan antifungal sistemik. Mortalitasnya sebesar 68,4% dan median masa rawat total adalah 27 hari.
Kesimpulan: Prevalensi kandidiasis invasif sebesar 12,3%. Mortalitas akibat kandidiasis invasif cukup tinggi dan C. albicans merupakan spesies yang paling sering ditemukan.

Background: Recently, incidence of invasive fungal infection is rising. Candida is the most common cause of invasive fungal infection. Invasive candidiasis contribute to high mortality, prolonged hospitalization and high cost. Until now in Indonesia, there is no study about the prevalence, clinical characteristic and etiologic pathogen of invasive candidiasis in adults.
Objective: To study the prevalence, clinical characteristic and etiologic pathogen in adult patients with invasive candidiasis at RSCM.
Methods: Retrospective, cross sectional, based on the medical record sepsis patients which hospitalized in January 2012 until June 2014. We traced candidiasis invasive (IC) patients which fulfill EORTC/MSG 2008 diagnostic criteria for IC. We recorded demographic data, clinical and supporting data, diagnosis, etiologic pathogen, antibiotic, antifungal, outcome and length of stay.
Results: IC prevalence at RSCM was 12,3%. We have found 91 IC patients from 738 sepsis patients which has complete medical record. The proportion is 35 proven patients, 31 probable patients and 25 possible patients. Candidemia was the most common form of IC and C. albicans was the most common etiologic pathogen. Mean age were 47,9 years, dominated with medical patient, non-neutropenic and septic shock. Most patients had malignancy with lung infection. The most common medical intervention was application of urinary catheter. Most patient was given cephalosporin 3rd generation and the most common antifungal used was fluconazole. Most patient (44%) didn?t get systemic antifungal treatment. Mortality was 68,4% and median length of stay were 27 days.
Conclusions: IC prevalence was 12,3%. Mortality because of IC is high and C. albicans is most common etiologic pathogen.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>