Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112357 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Aulia Herdiyana
"Latar Belakang: Palsi serebral atau Cerebral palsy (CP) adalah salah satu penyebab utama disabilitas anak secara global. Gangguan muskuloskeletal, termasuk kontraktur unit otot-tendon dan kelainan bentuk tulang berkontribusi pada mobilitas yang terbatas pada pasien CP. Tatalaksana pasien dengan membutuhkan keahlian dari berbagai profesi yang bekerja secara kolaboratif dan efisien. Tujuan utama dari manajemen pasien CP adalah optimalisasi kemampuan fungsi, meminimalisasi disabilitas dan membangun kemandirian dalam keseharian dan partisipasi dalam lingkungan komunitas. Kerangka kerja International Classication of Functioning, Disability, and Health (ICF) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berguna untuk menilai dampak palsi serebral pada seorang individu. Domain-domain dijelaskan dari perspektif tubuh, individu dan masyarakat dalam dua fungsi dasar: (1) Fungsi dan Struktur Tubuh; dan (2) Aktivitas dan Partisipasi. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi luaran fungsional tindakan operasi pada ekstremitas bawah pasien dengan palsi serebral ambulatori di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan faktor yang berhubungan .
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif kohort single-arm untuk mengetahui luaran fungsional pasien anak dengan palsi serebral ambulatori yang menjalani operasi ekstremitas bawah RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2021-2023, yang dianalisis secara deskriptif perbedaan rentang gerak sendi panggul, lutut dan pergelangan kaki, skor Functional Mobility Scale (FMS), Functional Independence Measure for Children (WeeFIM), dan Cerebral Palsy Quality of Life (CPQOL); serta dilakukan analisa untuk melihat hubungan antara usia saat operasi, dan ketaatan mengikuti fisioterapi dengan luaran fungsional tersebut.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel 18 pasien. Terdapat perbaikan rentang gerakan pada sendi panggul, lutut dan pergelangan kaki yang dilakukan operasi. Skor FMS pada 5m, 50m, dan 500m terlihat perbaikan bermakna pasca operasi (p=0,014, p=0,025 dan p=0,025). Skor WeeFIM dan CPQOL juga mengalami perbaikan pasca operasi secara bermakna (p=0,008). Ketaatan menjalani program rehabilitasi medis berhubungan dengan perbaikan skor WeeFIM (p=0,037)
Kesimpulan: Anak palsi serebral ambulatori yang menjalani operasi ekstremitas bawah di RSUPN Cipto Mangunkusumo mempunyai luaran fungsional yang baik, dibuktikan dengan perbaikan rentang gerak sendi, skor FMS, skor WeeFIM, dan skor CPQOL pre dan post operasi. Ketaatan menjalani program rehab terlihat mempunyai hubungan bermakna dalam memperbaiki kemandirian anak palsi serebral yang menjalani operasi ekstremitas bawah.

Introduction: Cerebral palsy (CP) is one of the main causes of childhood disability globally. Musculoskeletal disorders, including muscle-tendon unit contractures and skeletal deformities contribute to limited mobility in CP patients. Patient management requires expertise from various professions working collaboratively and efficiently. The main goal of management of CP patients is to optimize functional abilities, minimize disability and build independence in daily life and participation in the community environment. The World Health Organization's (WHO) International Classification of Functioning, Disability, and Health (ICF) framework is useful for assessing the impact of cerebral palsy on an individual. The domains are explained from the perspective of the body, individual and society in terms of two basic functions: (1) Body Function and Structure; and (2) Activities and Participation. The aim of this study is to evaluate the functional outcomes of surgery on the lower extremities of patients with ambulatory cerebral palsy at the Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and the factors that might influence it.
Method: This study is a single-arm retrospective cohort study to determine the functional outcomes of pediatric patients with ambulatory cerebral palsy that underwent lower extremity surgery at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2021-2023, which was analyzed descriptively for differences in hip, knee and ankle joint range of motion, Functional Mobility Scale (FMS) scores, Functional Independence Measure for Children (WeeFIM) scores, and Cerebral Palsy Quality of Life (CPQOL) scores. Analysis was carried out to see the relationship between age at the time of surgery and compliance to physiotherapy program with functional outcomes.
Results: A total of 18 patients was studied. There is an improvement in the range of movement in the hip, knee and ankle joints following surgery. FMS scores at 5m, 50m and 500m showed significant improvement after surgery (p=0.014, p=0.025 and p=0.025). WeeFIM and CPQOL scores also improved significantly after surgery (p=0.008). Adherence to undergoing a rehab program is associated with improvements in WeeFIM score (p=0.037)
Conclusion: There were good functional outcomes after lower extremity surgery in ambulatory cerebral palsy pediatric patients at RSUPN Cipto Mangunkusumo as evidenced by improvements in joint range of motion, FMS scores, WeeFIM scores, and CPQOL scores pre and post-surgery. Compliance to rehabilitation program appears to have a significant correlation on improving the independence of children with cerebral palsy undergoing lower extremity surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Iqbal Zein Assyidiqie
"Pasien anak memiliki risiko untuk mengalami penurunan kondisi klinis secara tiba-tiba hingga berakhir pada kematian. Perburukan klinis dapat dideteksi beberapa jam sebelum terjadinya kondisi serius yang mengancam jiwa sehingga dibutuhan suatu startegi untuk mendeteksi kegawatdaruratan penerapan sistem peringatan dini. Sejak tahun 2014, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menerapkan system skor nursing early warning scoring system(NEWSS) yang disusun berdasarkan modifikasi dari sistem skor serupa pada orang dewasa. Namun beberapa penelitian telah mengembangkan dan memvalidasi suatu sistem skor dengan tujuan yang sama yang digunakan sepsifik untuk pasien bayi dan anak, yakni pediatric early warning score(PEWS). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan PEWS dan NEWSS dalam mengidentifikasi deteriorasi klnis pasien anak yang dirawat di rumah sakit. Penelitian ini dilakukan pada 81 anak yang datang ke instalasi gawat darurat (IGD), diukur skor PEWS dan NEWSS secara bersamaan, kemudian diamati selama 6 jam atau sampai terjadinya deteriorasi klinis. Sebanyak 51 anak mengalami deteriorasi klinis berupa rawat PICU (31 anak), intubasi (14 anak), resusitasi jantung paru (2), dan meninggal (4 anak).Kedua sistem skor, baik NEWSS dan PEWS dapat menilai dan memprediksi kejadian deteriorasi klinis pada anak (NEWSS AUC 0,77; 95% CI 0,68-0,88; p < 0,001 dan PEWS AUC 0,87; 95% CI 0,80-0,95; p < 0,001), serta memiliki spesifisitas yang sama baiknya pada nilai cutt-off5 (0,93; 95% CI 0,77-0,99 vs 0,96; 95% CI 0,82-0,99). Namun, skor PEWS memiliki sensitivitas yang lebih tinggi (0,80; 95% CI 0,66-0,90) dibandingkan dengan NEWSS (0,58; 95% CI 0,44-0,72). Oleh karena itu, sistem skor PEWS lebih baik dibandingkan NEWSS dalam mengidentifikasi deteriorasi klinis pasien anak yang di rawat di rumah sakit.

Pediatric patients have a risk of experiencing a sudden decrease in clinical condition until death. Clinical deterioration can be detected several hours before the occurrence of serious life-threatening conditions so that a strategy is needed to detect the emergence of an early warning system. Since 2014, Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta has implemented a nursing early warning scoring system (NEWSS) that was compiled based on a modification of a similar scoring system for adults. However, several studies have developed and validated a score system with the same purpose that is used specifically for infant and pediatric patients, namely pediatric early warning score (PEWS). This study aims to compare PEWS and NEWSS in identifying the clinical deterioration of pediatric patients who are hospitalized. The study was conducted on 81 children who came to the emergency department, measured PEWS and NEWSS scores simultaneously, then observed for 6 hours or until clinical deterioration occurred. A total of 51 children underwent clinical deterioration such as tranfser to pediatric intensive care (31 children), intubation (14 children), cardiac pulmonary resuscitation (2), and death (4 children). Both score systems, NEWSS and PEWS, can assess and predict the incidence of clinical deterioration in children (NEWSS AUC 0.77; 95% CI 0.68-0.88; p <0.001 and PEWS AUC 0.87; 95% CI 0, 80-0.95; p <0.001), and have the same good specificity at a cut-off value of 5 (0.93; 95% CI 0.77-0.99 vs. 0.96; 95% CI 0.82- 0.99). However, the PEWS score has a higher sensitivity (0.80; 95% CI 0.66-0.90) compared to NEWSS (0.58; 95% CI 0.44-0.72). Therefore, the PEWS score system is better than NEWSS in identifying clinical deterioration of pediatric patients treated in hospitals."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Afandi
"Sebelum tahun 1950-an hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, yaitu pasien selalu mengikuti apa yang dikatakan dokternya tanpa bertanya apapun, dengan prinsip utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan keputusan. Sehingga mulai tahun 1970-an dikembangkan hubungan kontraktual. Konsep ini muncul berkaitan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) sebagai dasar hak asasi manusia dan hak atas informasi yang dimiiiki pasien tentang penyakitnya sebagai mana yang tertuang dalam Declaration of Lisbon (1981) dan Patients's Bill of Right (American Hospital Association,1972)- pada intinya menyatakan "pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan, dan hak untuk menerima informasi dari doktemya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik".
Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan medik terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia menerima dan memahami informasi yang diperlukan.(1,2,3,4,5,6,)
Di Indonesia, penghormatan atas otonomi pasien ini telah diatur dan dirumuskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) khususnya pasal 7a, 7b dan 7c, dimana seluruh dokter di Indonesia harus menghormati hak-hak pasien. Penghormatan atas hak ini lebih lanjut juga diatur dalam peraturan perundang-undangan RI secara implisit terdapat dalam amandemen UUD 1945 pass! 28G ayat (1) yang menyebutkan "setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,...dst"."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viera Sarah Maghfiroh
"ABSTRAK
Artikel ini membahas mengenai evaluasi pencapaian tujuan dan dampak keberlanjutan kegiatan pelatihan bagi youth ambassador periode September 2015 ndash; Juni 2016 dalam Proyek Pengurangan Risiko Bencana di Perkotaan pada Program Disaster Risk Reduction oleh Plan International Indonesia dan Yayasan Tanggul Bencana Indonesia di Kelurahan Duri Utara dan Kota Bambu Utara, Jakarta Barat serta Kelurahan Klender, Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian evaluatif pada tahap outcome dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi literatur. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa beberapa kegiatan yang terkait dalam outcome 3 belum mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga proyek ini belum berdampak secara optimal di masyarakat.

ABSTRACT
This paper discusses about the evaluation of goal achievement and sustainability outcomes of training activities for youth ambassador period September 2015 ndash June 2016 in Urban Disaster Risk Reduction Project, Disaster Risk Reduction Program by Plan International Indonesia and Yayasan Tanggul Bencana Indonesia in Kelurahan Duri Utara and Kota Bambu Utara, West Jakarta, and Kelurahan Klender, East Jakarta. This research is evaluative research in outcomes phase with qualitative methods through in depth interview, observation, and literature studies. Evaluation results show that some of the activities related to outcome 3 have not reached the goal, so this project has not impacted optimally in communities."
2017
S66751
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stokes, Emma K.
Edinburgh: Elsevier, 2011
617.03 STO r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sagung Adi Sresti Mahayana
"Anak palsi serebral seringkali memiliki kebugaran kardiorespirasi yang rendah yang berdampak inaktivitas dan penurunan kualitas hidup. Untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi diperlukan terapi latihan, dimana membutuhkan peresepan latihan yang tepat dan aman. Uji jalan dua menit merupakan suatu metode yang paling fungsional untuk menilai kebugaran kardiorespirasi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai keandalan dan mengetahui minimal detectable change (MDC95) uji jalan dua menit untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi pada anak palsi serebral ambulatori. Penelitian ini merupakan uji keandalan dengan metode test-retest yang berlangsung selama Maret hingga Agustus 2021 di poliklinik Departemen Rehabilitasi Medik divisi Pediatri RSUPN dr. Ciptomangunkusumo dan komunitas. Lima belas subjek yang masuk dalam kriteria inklusi melakukan uji jalan dua menit sebanyak dua kali di hari yang sama. Nilai keandalan test-retest ditemukan sangat tinggi (ICC= 0,99, p<0,001) dengan MDC95 2,496 m. Uji jalan dua menit dapat diaplikasikan sebagai uji latih yang andal dan aman untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi pada anak dengan palsi serebral ambulatori.

Cerebral palsy children often have low cardiorespiratory endurance which results in inactivity and decreased quality of life. To improve cardiorespiratory endurance, exercise therapy is needed, which requires proper and safe exercise prescriptions. The two-minute walk test is the most functional method for assessing cardiorespiratory fitness. This study aims to assess the reliability and determine the minimum detectable change (MDC95) of two-minute walking test to measure cardiorespiratory endurance in ambulatory cerebral palsy children. This research is a reliability test using the test-retest method which take place from March to August 2021 at the outpatient clinic of Department of Medical Rehabilitation, Pediatric Division, RSUPN dr. Ciptomangunkusumo and the community. Fifteen subjects who met the inclusion criteria did a two-minute walking test twice on the same day. The test-retest reliability was found to be excellent (ICC= 0.99, p<0.001) with MDC95 of 2,496 m. The two-minute walking test can be applied as a safe and reproducible exercise test to measure cardiorespiratory endurance in ambulatory cerebral palsy children with excellent reliability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primo Parmato
"Latar belakang: Palsi serebral (PS) adalah salah satu gangguan fisis penyebab utama gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Permasalahan PS yang menjadi perhatian bagi orangtua adalah keterlambatan perkembangan motorik terutama kemampuan berjalan. Sampai saat ini belum didapatkan data prevalens dan faktor prediktor pada masa anak apa saja yang berhubungan dengan kemampuan berkalan pasien PS.
Tujuan: Untuk mengetahui prevalens kemampuan berjalan pasien PS, dan mengetahui faktor prediktor apa saja yang berhubungan dan yang paling berperan terhadap kemampuan berjalan pasien PS pada masa anak.
Metode: 102 pasien PS yang berusia 6 tahun ke atas dilakukan pengambilan data melalui wawancara orang tua dan rekam medis mengenai kemampuan berjalan pasien PS dan faktor prediktor pada masa anak yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Hasil: Sebanyak 27 pasien (26.5%) berjalan tanpa alat bantu, 13 pasien (12.7%) berjalan dengan alat bantu, dan 62 pasien (60.8%) tidak dapat berjalan walau dengan alat bantu. Faktor prediktor yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun (P<0.001; OR=6.89; IK 95%=2.42-19.71) dan tipe PS spastik unilateral (OR=7.36; IK 95%=1.86-29.18).
Simpulan: Prevalens pasien PS yang dapat berjalan tanpa alat bantu adalah 26.5%, berjalan dengan alat bantu adalah 12.7%, dan tidak dapat berjalan walau dengan alat bantu 60.8%. Faktor prediktor yang berhubungan dengan kemampuan berjalan pasien PS adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun dan spastik unilateral. Faktor prediktor yang paling berperan adalah kemampuan menahan posisi duduk tanpa topangan sebelum usia 2 tahun.

Background: Cerebral palsy (CP) is one of the main disorder of growth and development in child. The problem of CP often asked by parents is delayed of motoric development particularly about walking ability. There has been no data about prevalence and childhood predicting factor which has relationship with walking ability in CP patient.
Objectives: To determine the prevalence of walking ability in CP patient, to identify childhood predicting factor relating to walking ability in CP patient, and also to determine the most childhood predicting factor of walking ability in CP patient.
Methods: Data has been taken from 102 CP patients which has age above 6 years old, by interviewed to the parents or by medical record. The places of research are Cipto Mangunkusumo Hospital and Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC).
Results: 27 patients (26.5%) could walk without assistive device, 13 patients (12.7%) could walk with assistive device, and 62 patients (60.8%) could not walk even with assistive device. The childhood predicting factor of waking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old (P<0.001; OR=6.89; CI 95%=2.42-19.71) and the spastic unilateral CP type (OR = 7.36; CI 95% = 1.86-29.18).
Conclusions: The prevalence of walking ability in CP patient is 26.6% walk without assistive device, 12.7% walk with assistive device, and 60.8% could not walk even with assistive device. The predicting factor relating to walking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old and the spastic unilateral CP type. The most predicting factor of walking ability in CP patients is the ability to maintain sitting position before age 2 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ross, Austin
New York: John Wiley & Sons, 1984
362.12 ROS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: W.B. Saunders , 2001
610.73 COR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ella Ayu Septia Mustika
"Hipertensi menyebabkan 9,4 juta kematian/tahun di dunia. Prevalensi hipertensi di UPT Puskesmas Kecamatan Beji tahun 2016 di peringkat kedua dengan jumlah total kasus baru sebanyak 5.406 kasus. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran kasus hipertensi pada pasien rawat jalan di UPT Puskesmas Kecamatan Beji Tahun 2017 ditinjau dari faktor risiko usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi dalam keluarga, pekerjaan, status gizi, kadar kolesterol total dan kadar trigliserida. Penelitian menggunakan desain potong lintang, menggunakan data sekunder berupa rekam medis. Populasi penelitian sebesar 1.198 pasien. Kriteria inklusi yaitu pasien rawat jalan di UPT Puskesmas Beji, berusia >18 tahun dan telah didiagnosa hipertensi. Kriteria eksklusi yaitu pasien yang dengan kunjungan ulang, tidak memenuhi variabel yang diteliti. Sampel penelitian sebesar 97 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52,58 pasien kategori hipertensi stadium2. Prevalensi tertinggi pada usia 50-59 tahun yaitu 39,18 . 70,10 pasien berjenis kelamin perempuan. 78,35 pasien tidak bekerja, 53,61 memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga, 39,20 pasien obesitas, 61,86 memiliki kadar kolesterol >200 mg/dL, dan 63,92 memiliki kadar trigliserida normal. Kesimpulan pada penelitian adalah sebagian besar pasien kategori hipertensi stadium 2, perempuan, memiliki riwayat hipertensi dalam keluarga, tidak bekerja, kadar kolesterol total di atas batas normal, namun kadar trigliserida normal. Prevalensi hipertensi naik seiring peningkatan usia.

Hypertension causes 9.4 million deaths year in the world. Prevalence of hypertension in Beji District Primary Health Care 2016 is second ranked with total number of new cases as 5,406 cases. The purpose of this study is to depict hypertension cases of outpatients based on age, sex, family hypertension, occupational, nutritional status, total cholesterol and triglyceride levels. The study was cross sectional, using secondary data of oupatient rsquo s medical record. Population of study was 1,198 patients. Inclusion criteria were outpatients of Beji District Primary Health Care, 18 years old and being diagnosed with hypertension. Exclusion criteria are patients who revisit, did not meet the variables studied. Sample was 97 patients. Results showed that 52.58 patients are on hypertension stage 2. Prevalence at age 50 59 years is 39.18 . 70.10 of patients are female. 78.35 of patients were unemployee, 53.61 had a family history of hypertension, 39.20 patients obesity, 61.86 had cholesterol 200 mg dL, and 63.92 had normal triglyceride levels. The conclusion was that most patients in the category of hypertension stage 2, women, had a family history of hypertension, unemployee, total cholesterol levels above normal, but normal triglyceride levels. The prevalence of hypertension increases with age.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S67224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>