Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123838 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simatupang, Joseph Fajar
"Penelitian ini berfokus untuk mencari makna dan/atau kriteria sifat fungsional pada merek sejak diubahnya Pasal 20 Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di mana larangan sifat fungsional pada merek adalah salah satu bagian dari upaya mencegah persaingan usaha tidak sehat di pasar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan melakukan studi pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, membandingkan dengan peraturan yang berlaku di Amerika Serikat dan Uni Eropa serta didukung dengan studi kasus berdasarkan putusan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Penelitian ini didukung melalui penelusuran bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa merek yang mengandung sifat fungsional apabila memiliki kriteria: a) memiliki fitur yang bertujuan untuk memperoleh kinerja teknis dan kemudahan dalam penggunaan suatu produk; b) telah terdaftar sebelumnya dalam suatu dokumen paten; dan c) menunjukkan kualitas dan/atau daya tahan produk. Adapun tujuan merek bersifat fungsional dilarang untuk didaftar karena larangan pendaftaran merek yang mengandung sifat fungsional bertujuan untuk mencegah dominasi untuk mempersempit pesaing untuk hadir menawarkan substitusi produk yang sama dalam pasar. Disatu sisi merek bersifat fungsional terdaftar sebelum berlakunya Perpu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dapat dilakukan upaya hukum pembatalan Merek.

This research focuses on identifying the meaning and/or criteria of the functional nature of trademarks following the amendment to Article 20 of Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks through Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation, where the prohibition of functional trademarks is part of efforts to prevent unfair business competition in the market. This is a doctrinal legal research study examining the applicable laws and regulations, comparing them with those in the United States and the European Union, and supported by case studies based on rulings in the United States and the European Union. The research is supported by an investigation of primary, secondary, and tertiary legal materials. The conclusion of this research is that a trademark is considered functional if it meets the following criteria: a) it has features designed to achieve technical performance and ease of use of a product; b) it has been previously registered in a patent document; and c) it indicates the quality and/or durability of the product. The purpose of prohibiting the registration of functional trademarks is to prevent market dominance that could limit competitors from offering the same product substitutes in the market. Additionally, functional trademarks registered before the enactment of Government Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation can be subject to legal actions for cancellation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danthy Julinentie
"

Tesis ini membahas perpanjangan jangka waktu pelindungan Merek terdaftar yang tidak dilakukan pemeriksaan substantif sebagaimana permohonan pendaftaran merek. Permohonan pendaftaran merek ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; atau Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu. Permohonan pendaftaran merek juga dapat ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan ada merek-merek terdaftar di Indonesia telah diajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelindungan mereknya, dimana merek-merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; atau Merek terkenal milik pilik pihak untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu, Pemilik Merek terkenal harus mengajukan gugatan pembatalan merek terdaftar terhadap merek-merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek terkenal miliknya untuk barang dan/atau jasa sejenis; atau Merek terkenal miliknya untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu. Kriteria penentuan Merek terkenal dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebaiknya perpanjangan jangka waktu pelindungan Merek terdaftar diumumkan dalam Berita Resmi Merek yang dapat diakses oleh masyarakat umum sebagaimana halnya Pendaftaran Merek, yaitu melalui laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Perpanjangan merek terdaftar yang diumumkan dalam Berita Resmi Merek diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pemilik Merek yang mereknya telah dinyatakan terkenal melalui putusan pengadilan, sebagai dasar mengajukan gugatan pembatalan merek terhadap perpanjangan merek yang tanggal pengajuan permohonan perpanjangannya setelah tanggal diputuskan mereknya sebagai merek terkenal.


This thesis discusses the renewal of registration of a trademark that are not subject to substantive examination as requested for registration of trademarks. An application for registration of a trademark is refused if the trademark has similarities in principle or in whole with another party's well-known Mark for similar goods and / or services; or other parties' well-known brands for goods and / or services that do not meet the specific requirements. An application for registration of a mark may also be rejected if submitted by an applicant in bad faith. Based on the results of the study, it was found that there were registered trademark in Indonesia that had submitted applications for the renewal of registration of their trademarks, where those trademarks have similarities in principle or in whole with other well-known Marks owned by other parties for similar goods and / or services; or a well-known Mark of a party for similar goods and / or services that meet certain requirements, the owner of a well-known Mark must file a claim for the cancellation of registered trademarks against trademarks that have similarities in principle or in whole with his well-known Marks for similar goods and / or services ; or his well-known Marks for goods and / or services that are not similar that meet certain requirements. Criteria for determining well-known Marks is carried out with due regard to the general knowledge of the public about these trademarks in the relevant business fields. The results of the study suggest that the renewal of registration of a trademark should be announced in the Official Gazette of trademarks that can be accessed by the general public as well as Registration of Trademarks, namely through the official website of the Directorate General of Intellectual Property. The renewal of registration of a trademark which is announced in the Official Gazette of the Trademark is expected to be able to provide information to the Trademark Owner whose trademark has been declared well-known marks through a court decision, as the basis for filing a trademark cancellation claim against an extension of the trademark whose filing date for the renewal of registration of a trademark application after the date of deciding on the mark as a well-known mark.

"
2020
T54843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi
"Undang-Undang Merek Indonesia baik yang saat ini maupun yang sebelumnya menganut asas first to file dan asas merek terkenal sekaligus. Sementara itu ada kasus-kasus dimana kedua asas ini berbenturan satu sama lain. Ini terjadi ketika merek senior berbenturan dengan merek junior yang menyandang status merek terkenal. Dalam kasus-kasus ini kedua merek sama-sama tidak didasari itikad buruk. Yang satu telah terdaftar berdasar asas first to file dan yang lain terlahir dari adanya asas merek terkenal. Tidak adil untuk menghilangkan salah satu merek tersebut, keduanya memilik hak yang sama untuk tetap ada. Bagaimana semestinya pengaturan dalam suatu undang-undang merek agar benturan semacam ini dapat diatasi? Penelitian ini akan melihat lebih dalam hukum merek nasional dan penerapannya di pengadilan serta melihat lebih jauh kepada hukum merek asing dan penerapannya guna menemukan formula yang tepat yang dapat ditawarkan untuk disisipkan dalam hukum merek di masa yang akan datang agar hukum merek Indonesi akan memiliki kemampuan untuk menghadapi benturan antar asas dimaksud.

The current trademark law of Indonesia as well as the previous one follows the first to file doctrine and well-known mark doctrine at the same time. Meanwhile, there have been cases where those two doctrines are conflicting one another. This happens when a senior mark is in conflict with a junior mark which hold the title of well-known mark. In these cases, both conflicting trademarks do not contain bad faith. One was already there, registered under the first to file doctrine, while the later born under the auspices of the well-known mark doctrine. It is not fair to allow any of those mark vanished. Both has equal right to exist.
How should a regulation in a trademark law be like in order to address such conflict? This research will seek deeper into the national trademark law as well as its enforcement in the court of law of Indonesia and seek further into foreign laws and its enforcement in order to find the correct formula which can be proposed to be inserted into future Indonesian trademark law so that it will have the capability to address the abovementioned conflict of doctrines.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patar Kristiono
"Istilah Parodi banyak dikenal dalam Hak Cipta namun seiring perkembangan zaman tidak hanya Hak Cipta yang menjadi target Parodi melainkan juga Merek. Saat ini semakin banyak pelaku usaha yang menggunakan Parodi Merek dalam produknya dan sebagian besar Parodi Merek tersebut dengan sengaja menirukan Merek pihak lain. Penggunaan Parodi Merek seperti itu berpotensi merugikan pihak pemilik merek. Saat ini Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUMIG) belum mengatur secara eksplisit tentang Parodi Merek. Penulisan Tesis ini mengkaji mengenai bagaimana suatu Parodi Merek dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek berdasarkan Undang-Undang Merek Indonesia dan Undang-Undang Merek di Amerika Serikat beserta putusan-putusan pengadilannya serta perlindungan hukum terhadap pemilik merek atas tindakan Parodi Merek. Metode penerapan penulisan tesis ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Metode yuridis normative digunakan untuk melakukan pengkajian terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku terutama yang berkaitan dengan permasalahan Parodi Merek. Parodi Merek yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek berdasarkan UUMIG adalah Parodi Merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar/merek terkenal dan digunakan sebagai merek dalam barang/jasa sejenis. Berbeda dengan Indonesia, di Negara Amerika tetap dapat dikategorikan sebagai pelanggaran merek meskipun tidak digunakan pada kelas barang/ jasa yang sama. Berdasarkan UUMIG, pemilik merek yang dirugikan karena tindakan Parodi Merek dapat menempuh upaya hukum perdata, upaya hukum pidana, dan/atau upaya hukum melalui alternatif penyelesaian sengketa. Sedangkan di Negara Amerika terdapat upaya hukum tambahan bagi pemilik merek terkenal terhadap permasalahan Parodi Merek ini yaitu gugatan perusakan merek (tarnishment). Para Regulator sebaiknya menambahkan ketentuan tentang pelanggaran merek untuk barang/jasa tidak sejenis dan juga untuk merek/elemen merek yang penggunaannya bukan sebagai merek dan gugatan pelanggaran merek terkenal untuk barang/jasa tidak sejenis dalam UUMIG mendatang. Hal ini bertujuan agar UUMIG mendatang dapat mengakomodasi permasalahan Parodi Merek yang sebagian besar penggunaannya bukan sebagai merek. Perlu juga diatur konsep dilusi merek terutama tentang gugatan perusakan merek (tarnishment) sebagai tambahan upaya hukum untuk merek terkenal terhadap permasalahan Parodi Merek.

The term parodi is widely known in copyright, but over time it is not only copyright that is the target of parodi but also trademarks. Currently, more and more business actors are using Brand Parodies in their products and most of these Brand Parodies are deliberately imitating other parties' trademarks. The use of such Brand Parodi has the potential to harm the brand owner. Currently, Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications (UUMIG) does not explicitly regulate Trademark Parodi.

This thesis examines how a trademark parodi can be categorized as a trademark infringement based on the Indonesian trademark law and United States trademark law and its court decisions as well as legal protection for trademark owners for trademark parodi actions. The application method of writing this thesis is normative juridical with a statutory approach. The normative juridical method is used to conduct an assessment of the applicable legal rules, especially those relating to the issue of Trademark Parodi. Trademark Parodi which can be categorized as a trademark infringement under UUMIG is a Trademark Parodi which has similarities in principle with a registered mark/famous mark and is used as a mark in similar goods/services. In contrast to Indonesia, in America it can still be categorized as a trademark infringement even though it is not used in the same class of goods/services. Based on UUMIG, brand owners who are harmed by Trademark Parodi's actions can take civil legal action, criminal law efforts, and/or legal remedies through alternative dispute resolution. Meanwhile, in America, there are additional legal remedies for well-known brand owners against this trademark parodi problem, namely a trademark tarnishment lawsuit. Regulators should add provisions regarding trademark infringement for dissimilar goods/services and also for brands/brand elements whose use is not as a mark and lawsuits for infringement of well-known marks for dissimilar goods/services in the upcoming UUMIG. This is intended so that the upcoming UUMIG can accommodate the problem of Trademark Parodi, most of which are not used as brands. It is also necessary to regulate the concept of trademark dilution, especially regarding a trademark tarnishment lawsuit as an additional legal remedy for well-known brands against the issue of Trademark Parodi."

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Hartika Evani
"ABSTRAK
Pencemaran merek terkenal adalah konsep yang memberikan hak kepada pemilik merek terkenal untuk mencegah pihak yang tidak berwenang untuk menggunakan mereknya yang dapat melemahkan nilai daya pembeda dari merek terkenal tersebut, terlepas dari adanya unsur kebingungan konsumen.Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah apakah ketentuan mengenai persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya pada merek terkenal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dapat dipersamakan dengan ketentuan dilution terhadap merek terkenal, serta apakah Undang-Undang Merek di Indonesia harus mengatur mengenai dilution terhadap merek terkenal.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan metode perbandingan.Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketentuan mengenai persamaan pada pokoknya dan keseluruhannya pada merek terkenal seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 maupun yang terdapat dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 belum dapat sepenuhnya dipersamakan ketentuan dilution terhadap merek terkenal, dan pengaturan mengenai dilution terhadap merek terkenal diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek terkenal.Penulis menyarankan agar dilution theory dapat digunakan dalam peraturan perundang-undangan mengenai merek untuk mengisi kekosongan hukum dan menjadi ketentuan hukum baru sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek terkenal.

ABSTRACT
Dilution of well known marks is a concept giving the owner of a well known trademark standing to forbid the unauthorized party using that mark in a way that would lessen its uniqueness of the trademark that need not be accompanied by an element of likelihood of confusion.Problems area in this thesis are, is the provision about the similarity in its essential part or in its entirety of well known marks that contain in Law No. 20 Year 2016 Concerning Trademark and Geographical Indication can be equalized with dilution of well known marks, and is Indonesian Law regarding marks should have regulation about protection against dilution of the well known mark.The method which is used in this research is normative judicicial with statute approach and comparative approach.Conclusion in this research are the provision about the similarity in its essential part or in its entirety of well known marks that contain in Law No. 20 Year 2016 Concerning Trademark and Geographical Indication and The Minister of Law and Human Rights Regulation No. 67 of 2016 cannot be equalized with dilution of well known marks, and a regulation of dilution of well known trademark is needed to give legal security for the owner of well known trademark.According to this research, the writter suggest to use dilution theory as a new provision in Indonesian Law regarding marks to give legal security for the owner of well known trademark."
2017
T49732
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Gita Johana
"Dalam iklim usaha penting untuk menciptakan kepastian hukum, termasuk dalam perihal perlindungan terhadap Hak Merek. Praktik trademark squatting terjadi ketika terjadi pendaftaran merek oleh seorang individu atas merek yang bukan miliknya dengan maksud dijual kembali kepada pemilik merek yang sah tersebut. Terkait hal tersebut terdapat dua pokok permasalah yaitu mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi Hak Merek dari praktik trademark squatting dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografi dan bagaimana perbandingannya dengan pengaturan secara internasional dan di Rusia, Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat dengan metode penelitian yuridis-normatif. Walaupun istilah trademark squatting tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, namun pada dasarnya suatu merek dapat memperoleh perlindungan dari praktik trademark squatting dengan adanya konsep merek terkenal,
In business it is important to create legal certainty, including regarding the protection of trademark rights. The practice of trademark squatting occurs when an individual register and obtain the trademark rights of other parties with the intention of reselling the registered trademark rights to the actual owner of the trademark. Regarding this matter, there are two main issues in this researc, about the legal protection for trademark rights from the practice of trademark squatting in Law Number 20 of 2016 concerning Trademark and Geographical Indications and how it compares to international regulations and regulations in Russia, People’s Republic of China and United States of America. This research is concucted using judicial-normative research methods. Although the term trademark squatting is not known in Law Number 20 Year 2016, basically a trademark can get protection from the practice of trademark squatting by using the concept of well-known marks, bad faith, and non-use marks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demetrio Reinhart Priono
"Penerapan sanksi pidana denda atas pelanggaran hukum memiliki sejarah panjang, di mana setiap peradaban dan budaya memiliki bentuk hukuman sendiri untuk pelanggaran hukum. Pemidanaan, yang identik dengan pemberian hukuman, mengacu pada penderitaan yang sengaja diberikan kepada individu yang melanggar hukum, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hukum. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana denda dalam tindak pidana persaingan usaha di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pidana denda sebagai instrumen hukum dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat serta implikasi hukum dari perubahan regulasi tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 telah menyebabkan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana persaingan usaha, mengalihkan pendekatan dari penegakan pidana ke penegakan administratif. Dekriminalisasi ini bermasalah karena berpotensi mengurangi efek jera yang dapat diberikan oleh sanksi pidana, termasuk denda. Penegakan pidana yang efektif dapat memiliki efek jera yang signifikan terhadap pelanggar, seperti yang dibuktikan oleh praktik di yurisdiksi lain seperti Amerika Serikat. Potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan dalam kerangka regulasi baru ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, pendekatan penegakan hukum pidana dalam persaingan usaha telah bergeser, lebih memilih penegakan administratif daripada sanksi pidana. Dekriminalisasi ini dianggap kurang menguntungkan karena penegakan pidana yang efektif, termasuk denda, dapat memberikan efek jera yang signifikan, seperti yang dibuktikan oleh praktik di Amerika Serikat. Selain itu, potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan. Rekomendasi penelitian ini termasuk tinjauan lebih mendalam oleh pemerintah mengenai potensi re-kriminalisasi terhadap tindak pidana persaingan usaha yang serius, terutama kartel hardcore seperti penetapan harga, pembatasan produksi, dan pembagian pasar. Selain itu, perlu ada evaluasi mekanisme saat ini untuk menghitung denda dan menghapus batas maksimum denda untuk meningkatkan kepatuhan dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih kompetitif dan adil di Indonesia.

The imposition of criminal fines for legal violations has a long history, with each civilization and culture having its own forms of punishment for such violations. Penalization, synonymous with sentencing, refers to the suffering intentionally imposed on individuals who break the law, as defined by legal experts. This study examines the application of criminal fines in business competition offenses in Indonesia following the enactment of Law No. 6 of 2023, which established the Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 on Job Creation as law. The research aims to analyze the effectiveness of criminal fines as a legal instrument in enforcing fair business competition and the legal implications of the regulatory changes. The method used is normative juridical with a legislative and case study approach. The enactment of Law No. 6 of 2023 has led to the decriminalization of certain business competition offenses, shifting the approach from criminal enforcement to administrative enforcement. This decriminalization is problematic as it potentially reduces the deterrent effect that criminal sanctions, including fines, can provide. Effective criminal enforcement can have a significant deterrent effect on violators, as evidenced by practices in other jurisdictions such as the United States. The potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized under the new regulatory framework. The study concludes that since the enactment of Law No. 6 of 2023, the approach to criminal law enforcement in business competition has shifted, favoring administrative enforcement over criminal penalties. This decriminalization is considered less favorable because effective criminal enforcement, including fines, can provide a significant deterrent effect, as evidenced by practices in the United States. Moreover, the potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized. The study's recommendations include a deeper review by the government regarding the potential re-criminalization of serious business competition offenses, especially hardcore cartels such as price-fixing, production limitations, and market division. Additionally, there should be an evaluation of the current mechanisms for calculating fines and removing maximum fine limits to enhance compliance and create a more competitive and fair business environment in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Dewi Kartika
"ABSTRAK
Pasal 41 Ayat (8) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur pengalihan hak atas merek yang dapat dilakukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek. Kebijakan ini ditujukan sebagai bentuk penyesuaian terhadap Trademark Law Treaty. Akan tetapi, di dalam proses pelaksanaannya terjadi banyak kerancuan dan pertentangan, khususnya dengan Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2016. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2016, mengatur mengenai hak eksklusif atas merek, dimana hak atas merek baru muncul atau terbit ketika suatu merek terdaftar, bukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek. Terhadap hal ini, perlu dilakukan amandemen terhadap Pasal 41 ayat (8) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geogafis.

ABSTRACT
Article 41 Paragraph 8 of Law No. 20 Year 2016 Regarding Trademark and Geographical Indications regulates the transfer of trademark right at the application of trademark registration process. This rule is intended as a form of adjustment to the Trademark Law Treaty. However, in the process of implementation there has been a lot of confusion and conflict, especially with Article 1 paragraph 5 jo. Article 3 of Law No. 20 of 2016. Article 1 paragraph 5 of Law No. 20 of 2016, regulates the exclusive rights of the brand, where the rights to a new brand appear or are issued when a brand is registered, not when the process of applying for a trademark registration. Regarding this, amendments to Article 41 paragraph (8) of Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications
"
2019
T54956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardi Nurcahyo
"Undang-undang merek di berbagai negara memberikan hak bagi pemilik merek terdaftar untuk memberikan surat persetujuan (letter of consent) kepada pihak lain dalam mendaftarkan merek serupa dengan tingkatan yang berbeda-beda. Namun, penggunaan letter of consent tersebut dapat mengakibatkan kemungkinan kebingungan pada publik. Bagaimana Indonesia sebaiknya mengatur mengenai penggunaan letter of consent tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan privat pemilik merek terdaftar dan kepentingan publik guna
mencegah adanya kemungkinan kebingungan pada publik. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan memaparkan mengenai pengaturan letter of consent dalam pendaftaran merek di Indonesia, Singapura dan Malaysia, dampak dari penggunaan letter of consent tersebut, serta menganalisis dan memaparkan bagaimana sebaiknya sikap Indonesia mengatur penggunaan letter of consent dalam pendaftaran merek di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara membandingkan antar Undang-undang merek Indonesia, Singapura dan Malaysia dan menganalisisnya dengan sistem dan konsep hukum di bidang merek. Pengaturan letter of consent pada setiap negara (Indonesia, Singapura dan Malaysia) berbeda-beda. Penggunaan letter of consent ternyata memiliki dampak positif dan negatif sehingga kedepannya Undang-undang Merek Indonesia harus memberikan batasan penggunaan letter of consent guna menghindari adanya dampak negatif tersebut. Batasan tersebut yaitu letter of consent tidak dapat digunakan terhadap merek identik untuk barang atau jasa sejenis.

Trademark law in several countries provides a rights for the registered trademark owner to
provide a letter of consent to other party in registering similar trademark with different degrees. However, the use of letter of consent may cause a likelihood of confusion to the
public. How Indonesia supposed to regulate the said use by considering the private rights of registered trademark owner and public interest to prevent such a likelihood of confusion to the public. The purpose of this research is to analyze and explain relating to the use of the letter of consent in trademark registration in Indonesia, Singapore, and Malaysia, as well as to analyze and explain on how Indonesia supposed to regulate the use of letter of consent in Indonesian trademark registration. The method used in this research is a normative juridical by using comparative approach, statute approach, and analytical approach. The said
approach is carried out by comparing between trademark law of Indonesia, Singapore, and Malaysia and analyze it with system and concept of law in the trademark field. Letter of consent regulation in each country (Indonesia, Singapore, and Malaysia) is different. The use of the letter of consent have a positive and negative impacts so that the later Indonesian
Trademark Law must provide the limitation of the use of the letter of consent to avoid the
said negative impact. The limitation is that letter of consent cannot be used to the identical
trademark with the same kind of goods or services.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rajulur Rakhman
"ABSTRAK
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, Negara Indonesia akhirnya mempunyai dasar hukum tentang pelindungan merek Suara. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian yang lebih mendalam terkait aturan tentang pelindungan merek suara di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan berdasarkan kepada penelitian yuridis normatif. Dari permasalahan yang ada, kesimpulannya antara lain suara dapat dijadikan sebagai merek, tanda suara memiliki kelebihan-kelebihan khusus dan masih terdapatnya kekurangan dalam aturan yang berlaku saat ini terkait dengan pelindungan merek suara di Indonesia. Penelitian menyarankan agar segera dibuat pedoman standar teknis dari merek suara.

ABSTRACT
Following the enactment of the Regulation Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications, the Republic of Indonesia finally has a legal basis on the protection of sound mark. Therefore, more in depth research on the regulation is needed. The research method is based on normative juridical research. From the existing problems, the conclusions are sound can be used as a trademark, sound marks as a trademark have special advantages among others and there are still deficiencies in the current rules related to the protection of sound marks in the Republic of Indonesia. Research suggests that a technical standard guidance of the sound marks to be created immediately."
2018
T49744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>