Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102585 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gani Winoto
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T58793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susworo
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
616.21 SUS k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
"

Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia (ANB) adalah tumor fibrovaskular yang langka. Tingkat kekambuhan ANB diketahui memiliki angka yang tinggi. Kekambuhan tidak jarang dikaitkan dengan faktor genetik dan salah satunya adalah beta-catenin. Ekspresi beta-catenin telah diidentifikasi dapat memengaruhi pertumbuhan ANB, namun hubungannya dengan kekambuhan ANB masih perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol terhadap pasien ANB yang menjalani ekstirpasi tumor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2013 dan 2022. Data mengenai demografi, karakteristik tumor, prosedur pre-ekstirpasi, pendekatan bedah, dan perdarahan intraoperatif dikumpulkan melalui rekam medis. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi beta-catenin. Hasil: Didapatkan 33 pasien ANB (18 termasuk kelompok tidak kambuh dan 15 dalam kelompok kambuh). Seluruh pasien merupakan laki-laki berusia antara 9 hingga 28 tahun, dengan rata-rata usia 16,2 tahun. Kelompok usia ≤18 tahun memiliki risiko kekambuhan ANB 8,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia >18 tahun (p=0,046). Ekspresi beta-catenin tinggi (≥124,2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan kekambuhan dibandingkan dengan ekspresi beta-catenin rendah (<124,2) pada pasien ANB (p=0,000). Kesimpulan: Pasien ANB dengan ekspresi beta-catenin tinggi memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi.


Background: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a rare fibrovascular tumor known for its high recurrence rate. Recurrence is often linked to genetic factors such as beta-catenin. Although beta-catenin expression has been identified as influencing JNA growth, its relationship with JNA recurrence requires further investigation. Methods: This research employs an observational analytical study design with a case-control approach, focusing on JNA patients who underwent tumor extirpation at Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2013 and 2022. Data on demographics, tumor characteristics, pre-extirpation procedures, surgical approaches, and intraoperative bleeding were collected from medical records. Immunohistochemical examination was conducted to determine beta-catenin expression. Results: Among the 33 JNA patients (18 were in the non-recurrent group and 15 were in the recurrent group). All patients were male, aged between 9 and 28 years, with an average age of 16.2 years. The age group ≤18 years had an 8.91 times higher risk of JNA recurrence compared to the age group >18 years (p=0.046). High beta-catenin expression (≥124.2) was associated with a higher risk of recurrence compared to low beta-catenin expression (<124.2) in ANB patients (p=0.000). Conclusion: JNA patients with high beta-catenin expression has a higher risk of recurrence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Salim
"ABSTRAK
Angka kejadian penderita kanker baik nasional maupun dunia cukup tinggi. Di Indonesia karsinoma nasofaring merupakan jenis tumor ganas terbanyak yang menempati urutan keempat dad seluruh tumor ganas setelah karsinoma serviks, payudara, dan kuiit. Keganasan tersebut sexing terlambat didiagnosis dan mempunyai prognosis yang jelek, meskipun keganasan ini sensitif terhadap penyinaran dan kemoterapi. Namun terapi untuk kanker khususnya kemoterapi mempunyai efek samping yang tidak sedikit terutama obat cisplatin sering menyebabkan nefrotoksis. Pada pasien kanker biasanya sebelum kemoterapi secara nrtin dilakukan pemeriksaan penilaian fungsi ginjal. Penilaian fungsi ginjal dengan bersihan kreatinin (Creatinine Clearance Test= CCT) sering menjadi kendala dalam hal penampungan urin 24 jam. Untuk mengatasinya sering dipakai CCT cara hitung menurut rumus Cockroft dan Gault tetapi dipengaruhi puia banyak faktor yaitu usia, berat badan dan jenis kelamin, Walaupun dikenal uji Baku emas GFR berupa uji bersihan inulin, uji kontras radiologik iohexol atau Cr-ECTA, namun cara-cara tersebut kurang praktis untuk diterapkan secara rutin.
Saat ini telah dioerkenalkan parameter uji baru laboratorium untuk LFG yaitu penetapan kadar Cystatin C dalam darah. Cara baru ini mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan CCT karena Cystatin C diproduksi oleh sel badan secara tetap, dltras'. babas melalui glomeruli dan tidak disekresi oleh tubulus ginjal. Cystatin C direabsorbsi oleh tubulus proksimal tetapi Iangsung dimetabolisis dalam sel tubulus proksimal tersebut sehingga tidak masuk ke dalam darah. Pengukurarr Cystatin C cukup dengan kadar dalam darah, tanpa penampungan urin 24 jam.
Pemeriksaan fungsi ginjal dengan kadar Cystatin C saja tanpa dikonversikan menjadi LFG sulit untuk menentukan penurunan derajat ringan, sedang dan berat. Oleh karena itu pemeriksaan Cystatin C dikonversikan dengan menggunakan rumus Amal dan Hoek, tetapi dengan kedua rumus tersebut belum dapat terlihat penurunan fungsi ginjal yang dini karena jumlah sampel kurang memenuhi syarat.

ABSTRACT
The incidence of cancer patients nationally and globally is quite high. In Indonesia, nasopharynx carcinoma is in fourth place among commonly found malignant carcinomas,after carcinomas of the cervix, breast and skin. This malignancy is generally diagnosed late and the prognosis is not good, inspite of its sensitivity to radiation and chemotherapy. Chemotherapy has substantial side effects, especially cisplatin which often causes nephrotoxicity. Before starting therapy for cancer patients, evaluation of renal function are routinely carried out. Evaluation of renal function using Creatinine Clearance Test (CCT) often' encounter problems in 24 hour urine collection. To overcome this, CCT count with Cockroft and Gault formula is usually used, however, this test is also influenced by many factors such as age, body weight and sex. Even though there are GFR gold standard tests for GFR such as inulin clearance test, iohexol radiological contrast test or Cr-EDTA, these tests are not practical to be carried out routinely.
At present, a new laboratory test parameter for GFR is introduced by establishing Cystatin C levels in the blood. This new procedure has a number of benefits compared to CCT because Cystatin C is produced by body cells continually, freely filtrated through the glomeruli and not secreted by the proximal tubule but is directly metabolized inside the proximal tubule, thus does not enter the blood. Cystatin C level can be measured in the blood without having to conduct a 24 hour urine collection.
By carrying out renal function test using solely Cystatin C without conversion to GFR, it is difficult to identify whether the decrease was of mild, medium or severe degree. As the consequence, Cystatin C conversion is done using the Amal and Hoek formulas, however, by using these two formulas early decrease in renal function still could not be detected due to inadequate amount of samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyanti
"Latar Belakang: Salah satu masalah dalam tatalaksana karsinoma nasofaring (KNF) adalah masih tingginya angka rekurensi pascaterapi. Hingga saat ini, biomarker yang digunakan di klinik untuk mengevaluasi hasil terapi definitif pada KNF adalah melalui CT scan nasofaring. Overekspresi Rad51 berhubungan dengan peningkatan resistensi sel tumor terhadap radiasi dan kemoterapi. Oleh karena rekurensi pascaterapi berhubungan dengan resistensi sel-sel tumornya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai korelasi antara ekspresi Rad51 pada biopsi nasofaring sebelum terapi dengan penyusutan massa tumor pascaterapi yang diukur dengan metode unidimensional.
Bahan dan Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 15 kasus KNF. Ekspresi Rad51 dinilai dari biopsi nasofaring sebelum terapi. Evaluasi hasil terapi dilihat dari penyusutan massa tumor, berdasarkan CT scan nasofaring sebelum dan setelah terapi definitif. Cara yang digunakan untuk mengukur penyusutan massa tumor adalah dengan mengukur diameter terpanjang (unidimensional).
Hasil: Ekspresi dari pewarnaan Rad51 yang dinilai berdasarkan skor-H menunjukkan hubungan bermakna dan korelasi yang kuat dengan penyusutan massa tumor. Diperoleh nilai p = 0,005 dan koefisien korelasi r = - 0,64.
Kesimpulan: Ekspresi Rad51 memiliki korelasi negatif dengan penyusutan massa tumor karsinoma nasofaring.

Background: The remain challenging problem in the management of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is its higher rate of recurrency. Untill now, CT scan is the most common use biomarker to evaluate the treatment response after the definitive therapy. There’s a significance association between Rad51 overexpression and the increasing of resistancy to irradiation and chemotherapy in tumor cells and the resistancy of tumor cells correlates to its recurrency after therapy. Therefore, this study was conducted to evaluate the correlation between Rad51 expression level and the tumor’s shrinkage with unidimensional measurement. Material and
Methods: Fifteen cases of NPC were analyzed by a cross-sectional study. The expression of Rad51 were taken from the pretreatment of nasopharyngeal biopsy. The treatment response was evaluated from the nasopharyngeal CT scan, before and after definitive therapy, using the unidimensional measurement based on the change in sum longest diameter.
Result: The expression of Rad51 immunostaining assessed by the H-score were strongly correlate with the regression of the tumor mass which represent the treatment response. The p value is 0,005 and the correlation’s coefficient is -0,64.
Conclusion: There is significant correlation with negative magnitude between the expression of Rad51 with the shrinkage of tumor mass in nasopharyngeal carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah keganasan dengan distribusi etnis dan geografis yang khas. KNF memiliki karakteristik yang berbeda dari kanker kepala dan leher lainnya, seperti perilaku pertumbuhan yang cepat, kecenderungan yang tinggi untuk bermetastasis ke kelenjar getah bening (KGB) regional dan organ jauh. E-cadherin memainkan peran penting dalam pemeliharaan adhesiantar sel-sel epitel. Perubahan molekul adhesi sel E-cadherin yang dimediasi oleh sel-sel kanker berkontribusi untuk peningkatan penyebaran sel tumor dan pembentukan metastasis. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ekspresi E-cadherin pada KNF yang telah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis. Metode: Desain penelitian adalah studi kasus-kontrol. Subjek penelitian adalah blok parafindari pasien KNF yang telah menjalani biopsi. Blok dari pasien KNF yang telah bermetastasis dikategorikan sebagai kelompok kasus, sementara yang tidak bermetastasis sebagai kelompok kontrol. Sampel dari keduakelompok diperiksa dengan metode imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi E-cadherin. Hasil:Sampel 48 blok parafin, masing-masing kelompok terdiri dari 24 blok. Terdapat perbedaan yang signifikan ekspresi E-cadherin dengan p<0,001 dan Odds Ratio (OR) 87,4 (95% interval kepercayaan 10,15-2653,26). Terdapat pula hubungan yang signifikan antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan status KGB leher(p<0,001), metastasis jauh (p=0,001), dan stadium penyakit (p=0,001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara ekspresi E-cadherin pada kelompok KNF yang telah bermetastasis dibandingkan kelompok KNF yang belum bermetastasis."
ORLI 45:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
"Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor. 
Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.  
Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.  
Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan.

Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity. 
Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test. 
Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1. 
Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Suryakusuma
"ABSTRAK
Latar Belakang. Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan jenis tumor kepala dan leher yang paling sering ditemukan, dan angka kejadiannya di Indonesia sendiri terbilang cukup tinggi. Paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI merupakan defisit neurologi yang sering dijumpai pada pasien KNF dan merupakan salah satu penanda infiltrasi intrakranial. Pemeriksaan neurologi klinis terhadap saraf kranial merupakan salah satu prosedur evaluasi pasien KNF pasca terapi standar. Metode. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain pra-pasca. Subjek penelitian adalah semua pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI yang telah menjalani radioterapi lengkap di Departemen Radioterapi RSUPNCM antara 2 bulan – 6 bulan sebelumnya. Dilakukan wawancara, pengisian kuesioner serta pemeriksaan neuro-oftalmologi klinis. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0. Hasil. Diperoleh 32 subjek pasien KNF dengan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI. Terapi standar KNF di RSUPNCM memberikan perbaikan pada paresis saraf kranial sebagai berikut: perbaikan paresis saraf kranial III sebesar 86% (membaik komplit 57%, membaik parsial 29%), perbaikan paresis saraf kranial IV sebesar 100%, perbaikan lesi saraf kranial V(1,2,3) sebesar 57% (membaik komplit 36%, membaik parsial 21%), dan perbaikan paresis saraf kranial VI sebesar 43%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara perbaikan paresis saraf kranial III, IV, V, atau VI dengan faktor terkait penderita (usia dan jenis kelamin), faktor terkait penyakit (respons massa tumor KNF pasca radioterapi, durasi paresis saraf kranial, derajat keterlibatan saraf kranial dan subtipe histologi WHO), maupun dengan faktor terkait tatalaksana (teknik radioterapi dan pendekatan kemoterapi). Kesimpulan. Perbaikan paresis saraf kranial pasca radioterapi dapat dinilai secara objektif dengan pemeriksaan neurologi klinis sehingga perlu secara rutin dilakukan pemeriksaan neurologi klinis pra maupun pasca terapi sebagai salah satu standar evaluasi pasien KNF di RSUPN Cipto Mangunkusumo.

ABSTRACT
Background. Nasopharyngeal Cancer (NPC) is the most prevalent head and neck cancer, and its incidence in Indonesia is quite high. Third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies are often found in NPC patients and signify intracranial infiltration. Clinical neurological examination for cranial nerves is one method of evaluating NPC patients after they receive standard management. Methods. This is an observational study with a pre-post design. The subject of this study were all NPC patients with third, fourth, fifth, or sixth cranial nerves palsies who receive full radiotherapy regimen at the Department of Neurology, Cipto Mangunkusumo National Hospital 2-6 months prior to evaluation. Patients were then interviewed, asked to fill in questionnaires and went through clinical neuro-ophthalmological evaluation. Data was analyzed using SPSS 17.0. Results. There were 32 NPC patients included in this study. Standard management at Cipto Mangunkusumo National Hospital improve the outcome of third cranial nerve palsy in 86% of subjects (57% complete recovery, 29% partial recovery), 100% improvement of the fourth cranial nerve palsy, 86% improvement of the fifth cranial nerve palsy (36% complete recovery, 21% partial recovery), and 43% improvement of the sixth cranial nerve palsy. However, there were no statistically significant correlations between the improvement of the cranial nerves with patients related factors (age and sex), with disease related factors (NPC primary tumor response to radiotherapy, duration of cranial nerves palsy, degree of cranial nerves involvement and WHO histological subtypes), or with treatment related factors (radiotherapy techniques and chemotherapy approaches). Conclusion. The recovery of cranial nerve palsy after radiotherapy could be objectively evaluated with clinical neurological examination. Therefore, clinical neurological examination should be viewed as the standard evaluation for NPC patients pre as well as post therapy."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Gatot Dwiyono
"Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang sering di Indonesia. Molekul terkait imun yang banyak diteliti adalah Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil PD-L1 dari spesimen KNF di Indonesia.
Metode: Spesimen biopsi massa nasofaring diambil untuk pemeriksaan konsentrasi protein PD-L1 dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pada spesimen yang terbukti secara histologis KNF dilakukan pemeriksaan Imunohistokimia (IHK) untuk mengetahui ekspresi PD-L1.
Hasil: Lima puluh empat spesimen biopsi nasofaring diperoleh. Tiga puluh lima dari 54 spesimen dikonfirmasi secara histologis KNF yang tidak berdiferensiasi dengan usia rerata 51 tahun. Selebihnya, 19 spesimen lainnya secara histologis bukan KNF dengan usia rerata 37 tahun. Pada pemeriksaan ELISA, median konsentrasi PD-L1 dari spesimen KNF adalah 2100,73 ± 3689,52 pg/mg protein, dan spesimen bukan KNF adalah 1010,88 ± 1082,37 pg/mg protein. Pada pemeriksaan IHK 30 sampel KNF untuk pemeriksaan ekspresi PD-L1, semuanya mengekspresikan PD-L1 positif, dengan rincian; skor 1 sebanyak 7%, skor 2 sebanyak 30%, dan skor 3 sebanyak 63%.
Kesimpulan: Protein PD-L1 dari spesimen KNF dengan pemeriksaan ELISA signifikan meningkat dibandingkan dengan bukan KNF. Semua spesimen KNF dengan pemeriksaan IHK mengeskspresikan PD-L1 positif dengan mayoritas skor 3.

Background: Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a common malignancy in Indonesia. Immune-related molecules that have been studied are Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). This study aims to determine the profile of PD-L1 from NPC specimens in Indonesia.
Method: A nasopharyngeal biopsy specimen was taken to examine the concentration of PD-L1 protein by the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Immunohistochemistry (IHC) examinations were conducted to determine the PD-L1 expression.
Results: Fifty-four nasopharyngeal biopsy specimens were obtained. Thirty-five of 54 specimens were confirmed histologically for undifferentiated NPC with an average age of 51 years. The rest, 19 other specimens are histologically non NPC with an average age of 37 years. On ELISA examination, the median PD-L1 concentration of the NPC specimen was 2100.73 ± 3689.52 pg/mg protein, and the non-KNF specimen was 1010.88 ± 1082.37 pg/mg protein. At the IHC examination of 30 NPC samples for PD-L1 expression examination, all of them expressed PD-L1 positive, with details; score 1 is 7%, score 2 is 30%, and score 3 is 63%.
Conclusion: PD-L1 protein from NPC specimens by ELISA examination was significantly increased compared to non-NPC. All NPC specimens with IHC examination expressed PD-L1 positive with a majority score of 3.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>