Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156438 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Anggraini
"Data pola bakteri yang diisolasi dari sputum penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut di Indonesia yang sangat terbatas, menunjukkan terdapat kecenderungan pola bakteri di Indonesia berbeda dengan yang dilaporkan banyak negara lain. Di kebanyakan negara lain Haemophilus injluenzae dan Moraxella catarrhalis merupakan bakteri terbanyak pertama dan kedua yang diisolasi dari sputum penderita PPOK eksaserbasi, sedangkan di Indonesia kekerapan isolasi kedua bakteri tersebut sangat rendah. H influenzae bersifat fastidious dan M catarrhalis sering terabaikan peranannya sebagai patogen. Ditambah lagi sebagian laboratorium di Indonesia belum dapat mengisolasi kedua bakteri ini. Oleh karena itu diperlukan metode deteksi yang lebih efektif untuk kedua bakteri ini. Pada penelitian ini dikembangkan metode PCR multipleks untuk H injluenzae dan M catarrhalis, serta aplikasinya pada sputum penderita PPOK eksaserbasi akut PCR multipleks ini dapat digunakan untuk mendeteksi H injluenzae dan M catarrhalis dalam sputum masing-masingnya sampai 1,5 x 1ifcFU/ml atau 30 CFU/ reaksi PCR pada uji simulasi. Pemeriksaan PCR multipleks pada 30 sampel sputum penderita PPOK eksaserbasi akut memberikan hasil pita yang sesuai untuk H injluenzae sebanyak 60% dan untuk M catarrhalis 46,7%. Sedangkan dari biakan sputum hanya didapatkan satu sampel positif H injluenzae dan tidak ada sampel yang positif untuk M catarrhalis. Dengan jumlah sampel yang terbatas tersebut pemeriksaan PCR multipleks ini memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 41,38%, nilai prediksi positif 5,56% dan nilai prediksi negatif 100% untuk H injluenzae. Nilai spesifisitas dan nilai prediksi negatif untuk M catarrhalis adalah 53,33% dan 100% .. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan perlu dilakukan peningkatan· sensitivitas metode kultur untuk H injluenzae dan M catarrhalis.

Limited database of bacterial pattern recorded in acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary diseases (COPD) in Indonesia showed that the trend of bacterial pattern that was isolated from the patients with acute exacerbations of COPD is different from that which was reported in many other countries. In many other countries, Haemophilus inj1uenzae and Moraxella catarrhalis are the first and second most common bacteria that were isolated from the sputum of patients with acute exacerbations of COPD while in Indonesia the frequency of isolation of both bacteria is very low. H inj1uenzae is a fastidious bacteria while M catarrhalis' role as pathogen was frequently ignored. Moreover, many laboratories in Indonesia have no capabilities in the isolation of both bacteria. Thus, more effective detection methods are needed. This study is aimed at developing a multiplex PCR assay for H inj/uenzae and M catarrhalis, as well as the method's application on the sputum of patients with acute exacerbations of COPD. The multiplex PCR can be applied for the detection of both H influenzae and M catarrhalis in sputum up to 1.5 x 102 CFU/ml or 30 CFU per PCR reaction in simulation test. The multiplex PCR analysis on 30 sputum samples of patients with acute exacerbations of COPD yielded band that 60% match that of H inj1uenzae and 46.7% that of M catarrhalis. However, analysis of the sputum culture only produced one positive sample for H inj1uenzae and no positive samples for M catarrhalis. With such limited samples, multiplex PCR assay has 100% sensitivity, 41.38% specificity, 5.56% positive predictive value, and 100% negative predictive value for H inj/uenzae. The aassay has 53.33% specificity and 100% negative predictive value for M catarrhalis. Further study with bigger sample size should be carried out as well as the improvement in the sensitivity of the culture method for H inj1uenzae and M catarrhalis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Abner Penalemen
"Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui pengaruh electrical stimulation (ES) terhadap kekuatan otot kuadriceps penderita PPOK ekserbasi dan pasca eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Desain penelitian adalah kuasi eksperimental. Seluruh subyek mendapatkan terapi ES pada kedua sisi otot kuadriceps selama 30 menit, 4 kali per minggu. Lamanya terapi diberikan selama 4 minggu. Data yang dikumpulkan meliputi kekuatan otot kuadriceps sebelum dan sesudah perlakuan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (usia, jenis kelamin, IMT) Hasil: Kekuatan otot kuadriceps meningkat secara bermakna pad a sisi kanan ( 154,60±34, 77 menjadi 206,36±32,47, p<0,05) dan kiri (141 ,82±48,87 menjadi 201,78±57,94, p<0,05) setelah diberikan stimulasi ES selama 4 minggu. Tidak ditemukannya hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin dan Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap peningkatan kekuatan otot kuadriceps. Simpulan: Stimulasi ES selama 4 minggu dapat meningkatkan kekuatan otot kuadriceps penderita PPOK eksaserbasi dan pasca eksaserbasi akut.

Objective: To evaluate the effect of electrical stimulation (ES) on the strength of quadriceps femoris muscles in COPD patients during acute exacerbation and post acute exacerbation . Method: A quasi experimental study was conducted. ES was applied for 30 minutes on both sides of quadriceps muscles, 4 times a week and the duration of treatment was 4 weeks. The strength of quadriceps (before and after intervention) and factors that related to it were collected. Result: Muscle strength improved significantly on right side (by 154,60±34,77 to 206,36±32,47, p<0,05) and left side (by 141 ,82±48,87 to 201 ,78±57,94, p<0,05) after 4 weeks. There were no significant correlation between age, sex, Body Mass Index (BMI) and improvement of muscle strength. Conclusion: Strength of quadriceps muscle was improved after 4 weeks stimulation in COPD patients during acute exacerbation and post acute exacerbation acute.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59086
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanekung Titisari
"Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit yang banyak diderita anak-anak. Sedikitnya 70% anak usia kurang dari I5 tahun pernah mengalami I episode. Kecenderungan menderita OMA berhubungan dengan belum matangnya (Immature) sistem imun dan rnudahnya bakteri masuk ke telinga tengah, karena anatomi tuba eustachius yang masih relatif pendek dari meadataur. Beberapa faktor risiko terjadinya otitis media pada anak-anak adalah lingkungan perokok, anak yang dititipkan ke penitipan anak-anak, penggunaan dot (kempengan) dan minurn susu botol.
Beberapa penelitian melaporkan sebagian besar anak-anak sekurang-kurangnya mengalami satu episode OMA pada masa kanak-kanak. Antara 19-62 % anak mengalami paling sedikit 1 episode pada usia I tahun. Pada usia 3 tahun sekitar 50-84% anak mengalami paling sedikit 1 episode OMA Di Amerika, insiders OMA tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada waktu berumur 5 tahun, bersamaan dengan anak mulai masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami OMA didapatkan pada pertengahan tahun pertama sekolah, kemudian angka kejadian menurun pada anak usia 7 tahun. Ingvarsson dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahun 1971-1983 di Swedia mendapatkan 16.611 anak menderita OMA, dengan kejadian OMA terbanyak pada usia 7 tahun. Alho dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahua 1985-1986 di Finlandia Utara mendapatkan 2431 dan berapa subyek anak menderita OMA, dengan angka kejadian OMA terbanyak pada usia 3 tahun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinara
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas. Hill dkk., menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktivifi mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutrofil) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk., mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15 30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, ternyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18030
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Usyinarsa
"Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi akut pada PPOK merupakan kejadian yang akan memperburuk penurunan faal paru. Saat fase ini berlalu, nilai faal paru tidak akan kembali ke nilai dasar, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang tepat dan adekuat untuk mencegah terjadinya eksaserbasi.
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang akut. Saat ini telah diketahui penyebab dan mekanisme yang mendasari terjadinya eksaserbasi. Faktor etiologi utama penyebab eksaserbasi adalah infeksi virus, infeksi bakteri, polusi. Perbedaan suhu dapat memicu eksaserbasi terutama saat musim dingin.
Infeksi bakteri merupakan pencetus eksaserbasi yang sangat penting. Eksaserbasi akut infeksi bakteri mudah terpicu karena pasien PPOK biasanya sudah terdapat kolonisasi bakteri. Pada 30% pasien PPOK ditemukan kolonisasi bakteri dan kolonisasi ini biasanya berhubungan dengan berat derajat obstruksi dan berat status merokok. Kolonisasi bakteri merupakan salah satu faktor penting menentukan derajat inflamasi saluran napas. Berbagai spesies bakteri dikatakan akan mempengaruhi derajat inflamasi saluran napas Hill dkk menemukan bahwa kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa akan mempengaruhi aktiviti mieloperoksidase (merupakan prediktor aktivasi neutral) yang tinggi sehingga derajat inflamasi akan meningkat.
Mengingat pentingnya kolonisasi bakteri sebagai faktor pencetus eksaserbasi maka peta kuman PPOK eksaserbasi akut di suatu daerah tertentu perlu diketahui. Hal ini akan mendasari pemilihan antibiotik empiris yang akurat sesuai dengan pola kuman daerah tersebut. Dengan diketahui pola dan sensitiviti kuman maka upaya penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut akan lebih akurat sehingga eradikasi bakteri penyebab eksaserbasi akan lebih mudah dilakukan.
Sputum masih sering digunakan untuk mencari kuman penyebab infeksi saluran napas bawah karena relatif murah, tidak invasif dan tanpa komplikasi walaupun menurut beberapa ahli nilai diagnostiknya kurang dapat dipercaya akibat kontaminasi kuman orofaring. Bartlett dkk. mengemukakan bahwa sensitiviti pemeriksaan sputum hanya 15-30%. Penelitian Supriyantoro membandingkan hasil seluruh sputum biakan positif dengan hasil biakan sikatan bronkus pada 50 kasus infeksi akut saluran napas bawah, temyata hasil biakan sikatan bronkus pada kelompok yang sama terdapat 30,8% galur kuman yang berbeda. Hal ini menunjukkan masih tingginya kontaminasi kuman orofaring pada hasil biakan sputum. Terdapat berbagai metode invasif pengambilan sputum untuk menghindari kontaminasi orofaring misalnya pengambilan sekret melalui bronkoskop, aspirasi transtrakeal dan aspirasi transtorakal. Cara invasif tersebut mempunyai ketepatan yang tinggi namun membutuhkan tenaga yang terampil, biaya mahal dan risiko tinggi.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kualiti sputum yang dibatukkan terus dilakukan. Teknik pencucian sputum merupakan salah satu metode noninvasif untuk mengurangi kontaminasi kuman orofaring pada spesimen sputum yang dibatukkan. Mulder dkk melakukan teknik pencucian sputum dengan NaCl 0,9% dan hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur spesimen yang diambil melalui bronkoskop. Bartlett dkk. melakukan pencucian sputum yang hasilnya dibandingkan dengan hasil kultur aspirasi transtrakeal. Jabang melakukan penelitian dengan membandingkan hasil kultur sputum yang dibatukkan dengan dan tanpa pencucian sputum. Hasilnya pencucian sputum dapat mengurangi jumlah koloni dan keberagaman kuman dari sputum yang terkontaminasi dari sekret orofaring."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rosalin Yuniarti Maruf
"Latar Belakang. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi di daerah tropis yang terabaikan (neglected infectious diseases) akibat vektor hewan dan kondisi lingkungan. Prevalensi di negara beriklim tropis, khususnya Indonesia cukup tinggi namun tidak terdiagnosis dengan baik. Diagnostik pasti sulit didapat karena uji baku emas leptospirosis, MAT (microscopic agglutination test), di Indonesia masih terbatas aksesnya dan uji alternatif belum banyak diteliti efektifitasnya.
Metode. Penelitian ini menguji kinerja dua jenis alat diagnostik terbaru yaitu tes cepat berbasis IgM (Leptodipstick), dan PCR (polymerase chain reaction) terhadap gen lipl32 dan secY Leptospira dibandingkan uji baku emas MAT pada populasi Indonesia. Subjek penelitian adalah pasien dewasa rawat inap di RSCM pada tahun 2016-2018 yang memenuhi kriteria klinis leptospirosis WHO dan diujikan dengan MAT, tes cepat Leptospira, dan PCR Leptospira. Penelitian ini bersifat potong lintang, dengan variable yang diteliti meliputi data demografi, manifestasi klinis, paparan pekerjaan, paparan vektor ataupun lingkungan, serta hasil pemeriksaan MAT, tes cepat, dan PCR terhadap Leptospira.
Hasil: Terdapat total 30 subjek yang ikut dalam penelitian dengan 11 (36,7%) meninggal dunia. Berdasarkan uji baku emas MAT, 14 (46,67%) dinyatakan reaktif terhadap antibodi Leptospira. Tes cepat Leptospira mendapat nilai sensitivitas 85,71% (95%IK: 57,19-98,22%), serta spesifisitas 62,50% (95%IK: 35,43%-84,80%), dan area di bawah kurva ROC 0,741 (95%IK: 0,549-0,883). Pemeriksaan PCR terhadap gen lipl32, sensitivitas 85,71% (95%IK: 57,19-98,22%), spesifisitas 18,75% (95%IK: 4,05-45,65%), dan area di bawah kurva ROC 0,522 (95%IK: 0,333 – 0,707). Pemeriksaan PCR gen secY, sensitivitas 71,43% (95%IK: 41,90-91,61%), spesifisitas 12,50% (95%IK: 1,55-38,35%), dan area di bawah kurva ROC 0,580 (95%IK: 0,371-0,789). Secara umum, semua uji memiliki sensitivitas yang memuaskan, namun spesifisitas yang buruk dibandingkan dengan MAT. Spesifisitas yang rendah dapat dikaitkan dengan onset penyakit yang sebagian besar berada pada fase akut sehingga belum dapat terdeteksi dengan alat uji yang berbasis antibodi.
Kesimpulan. Spesifisitas tes cepat Leptospira dengan IgM maupun PCR terhadap gen lipl32 dan secY Leptospira sebagai alat penapisan cukup baik. Perlu dilakukan penelitian kinerja diagnostik lanjutan berdasarkan onset penyakit.

Background. Leptospirosis is a neglected infectious disease transmitted by animal vectors and environment. The prevalency in  tropical Asia-Pacific country, including Indonesia was high. The gold standard test for leptospirosis was microscopic agglutination test (MAT), very limited distribution in Indonesia.
Methods. This study compares the diagnostic profiles of two new diagnostic tools, an IgM-based rapid test (Leptodipstick) and polymerase chain reaction (PCR) of the genes lipl32 and secY of the Leptospira genome, to MAT as the gold standard, in the Indonesian population. Adult inpatients of RSCM in the years 2016-2018 with conformity to the WHO clinical criteria for leptospirosis and undergo MAT test, Leptospira rapid test, and Leptospira PCR were enrolled in the study. The study was cross-sectional with the examined variable were demographic data, clinical manifestation, occupational exposure, exposure towards animal vectors or environmental conditions, and results of the MAT, Leptospira rapid test, and Leptospira PCR.
Results. The study enrolled 30 participants, with 11 (36,7%) deceased in the study period. Based on MAT, 14 participants (46,67%) were considered reactive for Leptospira antibodies. The Leptospira rapid test has a sensitivity of 85.71% (95%CI: 57.19-98.22%), and specificity of 62.50% (95%CI: 35.43%-84.80%), and the area under the ROC curve of 0.741 (95%CI: 0.549-0.883). PCR for the gene lipl32 showed a sensitivity of 85.71% (95%CI: 57.19-98.22%), specificity of 18.75% (95%CI: 4.05-45.65%), and area under the ROC curve of 0.522 (95%CI: 0.333-0.707). PCR for the gene secY showed a sensitivity of 71.43% (95%CI: 41.90-91.61%), specificity of 12.50% (95%CI: 1.55-38.35%), and area under the ROC curve of 0.580 (95%CI: 0.371-0.789). Generally, all tests showed a satisfactory sensitivity, yet very low specificity compared to MAT. Area under the curve showed a low (PCR) to moderate (rapid test) diagnostic value for each test. Low specificity may be tied to the onset of the disease of the study sample that most of them are on acute phase which cannot detected by the alternative test with antibody basis.
Conclusion. The diagnostic parameters of the Leptospira IgM rapid test, and Leptospira PCR with the genes lipl32 and secY are still satisfactory to be used as early diagnostic tools in cases of leptospirosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Karunia Putri
"Momentum disahkannya UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi acuan awal pengembangan metode deteksi molekuler DNA porsin terhadap kehalalan produk. Undang-undang ini mewajibkan seluruh produk yang masuk dan beredar di Indonesia tersertifikasi halal, termasuk tidak boleh mengandung fragmen babi. Deteksi dilakukan pada jumlah sekelumit jejak DNA yang masih tersisa di dalam gelatin cangkang kapsul setelah melalui proses pembuatan yang panjang dengan pH dan suhu ekstrim. Untuk itu, optimasi metode ekstraksi sangat berperan penting agar mendapatkan jumlah DNA yang memadai.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode optimal perolehan DNA dan menentukan kondisi optimal metode deteksi molekular DNA porsin menggunakan metode Polymerase Chain Reaction yang sensitif. Metode PCR yang digunakan adalah PCR duplex dan PCR nested dengan target sekuens DNA ATP8 dan Cytb. Optimasi dilakukan pada metode ekstraksi DNA dengan mengubah jumlah replikat sampel, modifikasi komposisi proses resuspensi dan pelisisan sel, jumlah campuran saat tahap awal isolasi DNA, serta pemekatan pada tahap akhir pengisolasian DNA.
Hasil optimasi menunjukan jumlah replikat gelatin optimum adalah delapan sampel ekstraksi. Optimasi PCR dilakukan dengan membandingkan metode PCR duplex dan PCR nested pada uji sensitivitas, serta optimasi kondisi masing-masing PCR tersebut. Hasil positif mengandung DNA porsin dinyatakan dengan terbentuknya dua amplikon 212bp dan 398bp pada PCR duplex atau satu amplikon 387bp pada PCR nested. Dari enam titik konsentrasi DNA yang diujikan pada uji sensitivitas, PCR nested dapat mendeteksi konsentrasi DNA hingga 1 fg/ ??l sedangkan PCR duplex yang hanya dapat mendeteksi hingga 1 ng/ ??l. Deteksi terhadap sampel kapsul suplemen menunjukan bahwa terdeteksi DNA porsin dalam sampel dengan metode PCR nested dan PCR duplex. Metode duplex dan nested PCR dapat diterapkan sebagai metode deteksi awal secara kualitatif namun tidak kuantitatif.

Halal product assurance regulation, which was established under Law no. 33 year 2014, gave a major impact for the development of molecular detection method of porcines DNA in a product. This law obliges all products in Indonesia to have halal status, included no pigs fragment at all. Traces amount of DNA from gelatin and capsule shell which was still remaining after long manufacturing process under extreme pH and temperature, were detected and amplified. Thus, optimization of DNA extraction method is important to get the sufficient amount of DNA.
The aims of this study are to obtain an optimum DNA collection method and to determine optimum condition of sensitive molecular detection method of porcines DNA using PCR. The sequence DNA targets ATP8 and Cytb were amplified using duplex and nested PCR methods. The optimization on number of sample replication, on composition mix in resuspension and cell lysis process, on the amount of the solution used when starting the DNA isolation process, and the final concentration of DNA isolation process have done.
Result showed that the optimum numbers of replication for gelatin are eight times. Optimization of PCR was done by comparing nested PCR and duplex PCR for sensitivity test, also for both PCR conditions. Two amplicon of 212bp and 398bp in duplex PCR or one amplicon of 387bp in nested PCR were obtained only in sample that positive contains porcines DNA. Six different concentrations of template DNA that has been carried out for sensitivity test in both methods showed that nested PCR can detect as low as 1fg l DNA while duplex PCR can only detect 1ng l DNA concentration as the lowest. Porcines DNA has been detected in all capsule shell samples. Optimized duplex and nested PCR method could be applied as early qualitative detection.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Yanuar Senjaya
"Bahan utama dari cangkang kapsul obat dihasilkan dari gelatin. Kulit dan tulang sapi atau babi merupakan sumber utama yang paling banyak digunakan untuk pembuatan gelatin. Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia bersertifikat halal, hal ini termasuk tidak boleh mengandung fragmen babi. Keberadaan DNA di dalam gelatin cangkang kaspul hanya sekelumit sebagai akibat dari pembuatan gelatin yang menggunakan pH dan suhu yang ekstrem. Oleh karena itu diperlukan metode peroleh DNA yang optimum dan deteksi molekuler yang sensitif terhadap keberadaan DNA porsin di dalam cangkang kapsul.
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasi perolehan DNA lewat ekstraksi, mengoptimasi dua metode PCR, yaitu duplex PCR dan nested PCR dan membandingkan sensitivitas kedua metode tersebut serta mendeteksi kandungan porsin pada empat sampel cangkang kapsul obat herbal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polymerase Chain Reaction PCR yang merupakan metode deteksi molekular berbasis DNA. Optimasi ekstraksi dilakukan dengan mengubah jumlah replikat ekstraksi DNA yang terdiri dari jumlah sampel yang diekstraksi, modifikasi komposisi proses resuspensi dan pelisisan sel serta jumlah replikat saat tahap akhir pengisolasian DNA. Jumlah sampel yang diekstraksi memberikan hasil optimum pada 8 replikat.
Optimasi metode PCR dilakukan dengan mengoptimasi suhu annealing dan komposisi komponen PCR. Metode nested PCR mempunyai sensitivitas lebih baik dibandingkan dengan duplex PCR. Metode nested PCR masih dapat mendeteksi hingga 1 fg/ L cetakan DNA sementara duplex PCR hanya sampai 1 ng/ L. Analisis dilakukan dengan bantuan software dan pengamatan visual. Namun, dalam hal efisiensi metode duplex PCR lebih baik dibandingkan nested PCR. Ditemukan kandungan DNA porsin pada keempat sampel cangkang kaspul obat herbal menggunakan metode duplex maupun nested PCR.

Capsule shell is mainly composed by gelatin. Most gelatin is made by skin and bone of porcine or bovine. All products in Indonesia are obliged halal certified by Law Number 33 Year 2014 on Halal Product Assurance, included free porcine fragment. DNA in capsule shell gelatin remain in a trace amount as a result of manufacturing of gelatin with extreme pH and temperature. Therefore, optimum DNA acquisition method and sensitive molecular detection method are required for tracing DNA in capsule shell gelatin.
This study was aimed to optimize DNA acquisition method through extraction, optimize duplex and nested PCR and compare sensitivity for two PCR methods also detect porcine in four herbals capsule shell samples. Method for this study is Polymerase Chain Reaction PCR, molecular detection based on DNA. Optimization of extraction method was carried out by changing the number of DNA extraction replicate, consist of number of extracted samples, modification composition of resuspension and lysis process, and number of replicate in final stage of isolation DNA process. The number of extracted samples gave optimum result in 8 replicates.
Optimization of PCR method was carried out by optimizing the annealing temperature and composition component of PCR. Nested PCR method has better sensitivity than duplex PCR method. Nested PCR method could detect as low as 1 fg L DNA template while duplex PCR until 1 ng L DNA template only analysed with software based quantification and visual quantification. On the other hand, duplex PCR method showed better efficiency process than nested PCR method. Through two optimization of those two PCR methods, nested and duplex PCR, trace of porcine DNA in four herbals capsule shell samples was detected.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Ika Saskia
"Disahkannya UU NO. 33 tahun 2104 tentang jaminan Produk Halal menjadi latar belakang dilakukannya pengembangan metode deteksi molekuler terhadap DNA porsin untuk penentuan kehalalan produk. DNA yang diamplifikasi adalah sekelumit DNA yang masih terkandung dalam gelatin asal porsin setelah melalui proses pembuatan dengan melibatkan suhu dan pH ekstrem. Oleh karena itu, optimasi metode ekstraksi adalah tahapan terpenting untuk memperoleh jumlah DNA yang memadai.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode optimal untuk memperoleh DNA, menentukan metode deteksi molekular DNA porsin menggunakan metode Polymerase Chain Reaction PCR yang sensitif, serta untuk mendeteksi fragmen DNA porsin yang terdapat pada sampel sediaan obat antibiotik.
Jenis metode PCR yang digunakan adalah PCR duplex dan PCR nested yang merupakan metode deteksi molekuler berbasis DNA dengan dua target sekuens DNA, yaitu DNA cyt b dan ATP8. Optimasi perolehan DNA dilakukan dengan mengubah beberapa parameter yang terdiri dari jumlah replikat sampel yang akan diekstraksi, modifikasi komposisi proses resuspensi dan pelisisan sel, jumlah campuran saat tahap awal isolasi DNA, serta tingkat kepekatan dalam pengisolasian DNA tahap akhir. Jumlah replikat gelatin optimum untuk mendapatkan DNA yang memadai adalah sebanyak delapan sampel ekstraksi.
Pada penelitian ini dilakukan optimasi kondisi dua jenis PCR yaitu PCR duplex dan PCR nested, serta membandingkan sensitivitas antara kedua metode PCR tersebut. Hasil dikatakan positif mengandung DNA porsin jika terbentuk dua pita hasil amplifikasi 212bp dan 398bp untuk PCR duplex dan satu pita 387bp untuk PCR nested.
Hasil uji sensitivitas yang dilakukan di enam titik konsentrasi menunjukan bahwa PCR nested mampu mendeteksi hingga 1 fg/ L sedangkan PCR duplex hanya mampu mendeteksi hingga 1 ng/ L. Hal ini disebabkan oleh PCR nested melalui dua tahapan sedangkan PCR nested hanya melalui satu tahapan PCR. Deteksi yang dilakukan terhadap sampel antibiotik menunjukkan bahwa DNA porsin tidak mampu terdeteksi menggunakan PCR duplex namun mampu terdeteksi mengguunakan PCR nested, sehingga PCR nested lebih efektif untuk diterapkan sebagai metode deteksi awal secara kualitatif namun tidak kuantitatif.

The establ shment of Law No. 33 years 2104 on the guarantee of halal products became the background of the development of molecular detection methods of DNA porsin for the determination of halal products. The amplified DNA is a trace of DNA still contained in the porcine gelatin after going through a manufacturing process involving extreme temperature and pH. Therefore, the optimization of the extraction method is the most important step to obtain adequate amount of DNA.
The aim of this study was to obtain the optimal method of obtaining DNA, to determine the method of detecting molecular DNA of porcine using sensitive Polymerase Chain Reaction PCR method, and to detect porcine DNA fragments found in the sample of antibiotics.
The type of PCR method used is duplex PCR and nested PCR which is a DNA based molecular detection method with two DNA sequence targets, DNA cyt b and ATP8. Optimization of DNA acquisition was done by changing some parameters consisting of the number of replicate samples to be extracted, the modification of the resuspension and cellular composition, the amount of mixture at the initial stage of DNA isolation, and the level of concentration in final stage of DNA isolation. The optimum amount of gelatin replicates to obtain sufficient DNA is eight extraction samples.
This research conclude optimization of two PCR conditions, PCR duplex and PCR nested, and also comparing the sensitivity between the two PCR methods. The results are said to positively contain porsin DNA if two amplified bands 212bp and 398bp are formed for duplex PCR and one band 387bp for nested PCR.
Sensitivity test results performed at six points of concentration showed that nested PCR was able to detect up to 1 fg L while the duplex PCR was only capable of detecting up to 1 ng L. This is caused by PCR nested through two stages while PCR is nested only through one PCR stage. Detection of antibiotic samples showed that porcine DNA could not be detected using duplex PCR but was able to be detected using PCR nested, so that nested PCR was more effective to be applied as a qualitative, but not quantitative, method of early detection.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>