Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64615 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andreyna Tiarasari Mahandary
"Penelitian ini mengkaji tindak tutur mengkritik dalam film Willkommen bei den Hartmanns. Fokus penelitian ini adalah 1) bentuk kalimat yang meliputi tindak tutur mengkritik sertastrategi dalam merealisasikannya dan 2) penggunaan strategi kesantunan dalam tindak tutur mengkritik dalam film terkait. Strategi kesantunan dibahas karena memainkan peran penting dalam realisasi kritik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitiatif deskriptif yang didukung oleh metode kuantitatif. Data didapatkan melalui observasi dan pencatatan. Data kemudian dianalisis menggunakan strategi realisasi kritik yang dikembangkan oleh Nguyen (2005) dan teori strategi kesantunan oleh Brown dan Levinson (1987). Hasil temuan menunjukkan bahwa terdapat berbagai strategi realisasi tindak tutur mengkritik yang digunakan dalam film terkait meliputi strategi tindak tutur mengkritik langsung (37,7%) dan strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung (62,3%). Dari total 6 klasifikasi dalam strategi tindak tutur mengkritik langsung, strategi yang paling sering digunakan adalah evaluasi negatif (44,8%). Dari total 9 klasifikasi strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung, strategi yang paling sering digunakan adalah bertanya/mengandaikan (27,083%). Hasil temuan juga menunjukkan bahwa dalam konteks strategi kesantunan, jumlah penggunaan strategi samar-samar (42,22%) melebihi tiga strategi lainnya.

This research examines the speech acts of criticism in the film Willkommen bei den Hartmanns. The focus of this research is 1) the sentences form that include criticism speech acts and its realization strategy and 2)the use of politeness strategies during criticism speech acts in the aforementioned movie. The politeness strategy is discussed because it plays an important role in the realization of criticism. The research methods used analysis qualitative which is supported by quantitative methods. The data were obtained through observation and recording. The data were then analyzed using the criticism realization strategy developed by Nguyen (2005) and the politeness strategy theory by Brown and Levinson (1987). The findings showed that there are various strategies of criticism speech acts used in the movieincluding direct criticism (37,7%) and indirect criticism (62,3%). Out of 6 classifications in direct criticism strategy, the most used strategy was negative evaluation (44,8%). Out of 9 classificationsin indirect criticism strategy, the most used strategy was asking / supposing (27.083%). The findings also showed that in the context of politeness strategies, the use of off-record strategies (42.22%) outnumbered the other three strategies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andreyna Tiarasari Mahandry
"Penelitian ini mengkaji tindak tutur mengkritik dalam film Willkommen bei den Hartmanns. Fokus penelitian ini adalah 1) bentuk kalimat yang meliputi tindak tutur mengkritik sertastrategi dalam merealisasikannya dan 2) penggunaan strategi kesantunan dalam tindak tutur mengkritik dalam film terkait. Strategi kesantunan dibahas karena memainkan peran penting dalam realisasi kritik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitiatif deskriptif yang didukung oleh metode kuantitatif. Data didapatkan melalui observasi dan pencatatan. Data kemudian dianalisis menggunakan strategi realisasi kritik yang dikembangkan oleh Nguyen (2005) dan teori strategi kesantunan oleh Brown dan Levinson (1987). Hasil temuan menunjukkan bahwa terdapat berbagai strategi realisasi tindak tutur mengkritik yang digunakan dalam film terkait meliputistrategi tindak tutur mengkritik langsung (37,7%) dan strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung (62,3%). Dari total 6 klasifikasi dalam strategi tindak tutur mengkritik langsung, strategi yang paling sering digunakan adalah evaluasi negatif (44,8%). Dari total 9 klasifikasi strategi tindak tutur mengkritik tidak langsung, strategi yang paling sering digunakan adalah bertanya/mengandaikan (27,083%). Hasil temuan juga menunjukkan bahwa dalam konteks strategi kesantunan, jumlah penggunaan strategi samar-samar (42,22%) melebihi tiga strategi lainnya.

This research examines the speech acts of criticism in the film Willkommen bei den Hartmanns. The focus of this research is 1) the sentences form that include criticism speech acts and its realization strategy and 2)the use of politeness strategies during criticism speech acts in the aforementioned movie. The politeness strategy is discussed because it plays an important role in the realization of criticism. The research methods used analysis qualitative which is supported by quantitative methods. The data were obtained through observation and recording. The data were then analyzed using the criticism realization strategy developed by Nguyen (2005) and the politeness strategy theory by Brown and Levinson (1987). The findings showed that there are various strategies of criticism speech acts used in the movieincluding direct criticism (37,7%) and indirect criticism (62,3%). Out of 6 classifications in direct criticism strategy, the most used strategy was negative evaluation (44,8%). Out of 9 classificationsin indirect criticism strategy, the most used strategy was asking/supposing (27.083%). The findings also showed that in the context of politeness strategies, the use of off-record strategies (42.22%) outnumbered the other three strategies."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rosida Erowati
"Film merupakan ekspresi seni yang diciptakan secara massal oleh sekelompok seniman dengan berbagai keahlian. Sebagai ekspresi seni, film selalu berbicara' tentang sesuatu. Film memiliki pesan yang dibicarakan melalui penyajian naratif dan bentuknya. Film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran secara keseluruhan ingin menyampaikan pesan tentang perdamaian yang seharusnya dapat tercipta di antara agama, generasi, gender dan negara melalui upaya untuk memahami dan memposisikan diri secara fleksibel dengan melakukan perjalanan melintas batas.
Dalam teks ini, peneliti mempertanyakan kondisi multikultur dan pesan perdamaian yang ditampilkan. Bagaimana keduanya dibicarakan, siapa yang membicarakannya dan bagaimana strategi-strategi untuk menciptakan perdamaian dalam kondisi multikultur muncul di dalam naratif dan bentuk film. Analisis terhadap kondisi multikultur dan pesan perdamaian di dalam film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran dengan menggunakan teori tentang struktur film, representasi, dan identitas yang cair menunjukkan bahwa film ini membicarakan kondisi multikultur dan perdamaian dalam konteks hubungan antara pusat dan pinggiran dalam wacana kebudayaan. Pusat dalam film ini adalah Prancis-Eropa, Yahudi, maskulin dan generasi tua. Sementara pinggiran adalah Turki-Mediterania, Islam, feminin dan generasi muda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan pusat-pinggiran mengalami pergeseran dan akhir film yang berupa alur siklik membuka interpretasi tentang pembalikan kritis dalam hubungan tersebut. Di tengah perbincangan tentang hubungan Barat dan Timur yang didominasi isu terorisme atas nama agama, film ini dapat dipertimbangkan memiliki alternatif visi untuk menilai kembali hubungan Barat dan Timur, pusat dan pinggiran.

Film is an art expression that is created collectively by a group of artists with various individual skills. As an art expression, film always "speaks" something. Film has messages that are "spoken" and conveyed through narrative presentation and its own form. As a whole, the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran film wants to deliver a message about peace that is supposed to be able to be created among religions, generations, gender, and countries through some attempts to understand and position ourselves flexibly by committing a borderless journey.
In this text, the researcher questions the multicultural condition and the peace message presented. How these are spoken, who speaks about them, and how the strategies to create peace in a multicultural condition appear in the narration and film form. Analysis on the multicultural condition in the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Comm film, using the theories of film structure, representation, and identity which is liquid, shows that this film talks about the multicultural condition and peace in relation between the periphery and center context in the cultural discourse. The center in this film is France-Europe, Jewish, masculine, and old generation. On the other hand, the periphery is Turkish-Mediterranean, Moslem, feminine, and young generation.
The analysis result shows that the center-periphery relation undergoes a shifting and the end of the movie, which is cyclical, opens an interpretation about critical reversal in that relation. Among many discourses about the relation between the West and East that is dominated by terrorism issue based on religion, this film can be considered as having the alternative vision to re-value the relation between the West and East, the center and periphery."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rukita Wustari Widodo
"Agar dapat mengelaborasi dan menginterpretasi proses di belakang layar (behind the scenes) dalam pembuatan film Alangkah Lucunya (Negeri Ini), penelitian ini menerapkan pemikiran dan pendekatan fenomenologi milik Peter L. Berger untuk menganalisis proses dialektis (eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi) dalam pembentukan niat-niat (intentions) dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh para pembuat film, yang turut mempengaruhi dan mendasari penciptaan film tersebut. Sehingga, penelitian ini melibatkan peran interpretasi yang aktif dari para pembuat film, terutama tiga orang utama 'di belakang kamera' (produser, sutradara, dan penulis skenario), dan juga peneliti sendiri.

As an attempt to elaborate and interpret the behind the scenes process of the movie Alangkah Lucunya (Negeri Ini), this research applies the phenomenology of Peter L. Berger in order to analyze the dialectical process (externalization, objectivation, and internalization) on how intentions and experiences owned by the filmmakers eventually influences the creation of the movie. Therefore, this research involves active roles of interpretation from the filmmakers, especially the three main people 'behind the camera' (the producer, director, and screenwriter), and also the researcher herself."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Corrigan, Timothy
Glenview: Scott, Foresman and Company, 1989
808.066 COR s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Siskawati
"Belakangan ini muncul tren baru dalam dunia persinetronan Indonesia, yaitu sinetron yang dikemas religius dengan cerita habis sekali tayang. Tidak hanya di bulan Ramadhan, sinetron yang dikemas religius digemari pemirsa dan membawa berkah bagi stasiun televisi. Awalnya, memang tidak pernah diperhitungkan. Namun, ketika TPI meraih sukses menyajikan sinetron Rahasia Ilahi, dan Takdir llahi, sejumlah stasiun televisi pun beriomba-lomba menyajikan sinetron yang dikemas serupa tapi tak sama. Jika diamati memang benar tayangan demikian dapat memberi kesadaran religius. Sepintas terlihat sinergi yang sangat ideal antara pilihan stasiun televisi mengedepankan program religius dengan kebutuhan pemirsa akan siraman rohani, yang tujuannya adalah meneguhkan keimanan hingga membuat pelaksanaan ibadah berlangsung optimal. Namun yang juga mulai dikhawatirkan, adanya visualisasi hantu, setan, jin, arwah penasaran dan macam-macam lagi yang cukup banyak di sinetron yang dikemas religius tersebut.
Masalah mulai muncul tatkala perubahan orientasi nilai-nilai agama menjadi bisnis mengandung sejumlah konsekuensi. Bisnis bagaimanapun akan berurusan dengan pangsa pasar tertentu. Bisnis juga berurusan dengan komoditas yang dijual untuk dikonsumsi. Dalam kaitannya dengan permasalahan komersialisasi agama, agama di sini menjadi komoditas yang dijual dengan membidik target pangsa pasar tertentu melalui sinetron religius. Nilai-nilai agama dengan demikian dikomodifikasi ke dalam wilayah-wilayah bisnis.
Fokus tesis ini adalah mengungkap bagaimana proses komodifikasi nilai-nilai agama melalui sinetron Takdir Ilahi yang ditayangkan TPI dan melihat bagaimana kapitalisme mewujudkan nilai guna ke nilai tukar dalam sinetron Takdir llahi dengan teknis analisis Fairclough. Teori yang mendasari penelitian ini adalah ekonomi politik yang mengkhususkan pada praktek komodifikasi. Dan teori ekonomi politik tersebut, penulis juga mengaitkannya dengan teori media sebagai industri budaya dan industri ekonomi. Dalam level teks, penulis memfokuskan analisa pada teks-teks yang memiliki tanda hipersemiotika, karena penulis mencurigai tanda-tanda tersebutlah yang menjadi nilai tukar. Pada level produksi teks, penulis mewawancarai produser pelaksana dan penulis naskah, sutradara, ustad, dan pihak TPI yang diwakili oleh Programme Acquisition Dept. Head. Untuk konsumsi teks, penulis mewawancari dua orang wanita yang merupakan target audience dari TPI sendiri yaitu masyarakat menengah ke bawah dan seorang tokoh ulama yang memahami hadist, sebagai pembanding. Sedangkan untuk level sosial budaya, data diperoleh melalui studi literatur balk dari buku, intemet, dan media massa audio visual lainnya.
Penelitian ini menyimpulkan hasil-hasil sebagai berikut : (1) Pada level teks, terlihatnya adanya penekanan pada visualisasi wujud-wujud gaib sebagai daya tank sinetron sekaligus dengan memasukkan unsur humor, agar penonton terhibur. Tema-tema yang diangkat menjadi sinetron kemudian didramatisir agar menarik khalayak untuk menyentuh mereka secara emosional dan individual. (2) Pada level produksi teks, pengaruh ektemal media, berupa rating dan share, dan kepentingan stasiun televisi menentukan performa dari sinetron tersebut. Bukti yang menunjukkan bahwa (3) Pada level konsumsi teks, berdasarkan wawancara mendalam, adanya multi plot membingungkan informan mengenai jaian cerita episode tersebut. Penulis juga pada level ini menunjukkan dengan membanjirnya iklan yang mendukung sinetron ini sehingga mendorong pihak TPI untuk memperpanjang durasi menjadi 90 menit. (4) Pada level sosial kultural, penulis mengamati pada level situasional, bagaimana program-program pada televisi Indonesia saat ini. Sehingga terjadi perubahan selera pemirsa terhadap program-program televisi yang selama ini dipenuhi tentang kekerasan, seks, dan mistik. Pada level institusi, penulis memaparkan tentang profit TPI yang mengganti imej yang lekat dengan kata pendidikan, berubah dengan lebih mementingkan unsur hiburan layaknya televisi-televisi swasta lainnya. Sedangkan pada level sosial, penulis melihat faktor-faktor sosial apa saja yang menyebabkan masyarakat menyukai sinetron yang dikemas religi.
Pada kesimpulan, penulis melihat praktek komodifikasi nilai-nilai agama menjadi sebuah sinetron yang di kemas religius, sesungguhnya merupakan refleksi dari fenomena industri media televisi sebagai sebuah institusi bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Hasil penelitian ini memperlihatkan implikasi akademis komodifikasi program televisi yang bertema religius dengan menggunakan tanda-tanda hipersemiotika, dimana industri lebih mengutamakan keuntungan sebagai tujuan utamanya. Dari segi subjek penelitian, studi ini relatif memberikan ruang dan kesempatan kepada peneliti lainnya untuk mengeksplorasi dua entry point ekonomi politik komunikasi di luar komodifikasi, yakni spesialisasi dan strukturasi yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Dengan demikian, penemuan-penemuan berikutnya akan lebih memperkaya studi terhadap ketiga entry point tersebut, khususnya kajian ekonomi-politik media televisi.
Dalam rekomendasi penulis mengungkapkan, diantara industri dalam mengembangkan kesamaan onentasi media, haruslah berfihak kepada masyarakat dalam program-program religiusnya, tidak hanya memperhatikan tinggi rendahnya rating agar tidak menyesatkan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurbaya
"Persaingan antar media televisi telah mendorong pelaku media untuk berlomba-lomba menciptakan suatu suguhan yang menarik pemirsa untuk tetap berada di posisi yang menguntungkan. Berawal dari kesuksesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan inilah yang mengundang hadimya sejumlah pilihan sinetron Betawi dengan tema yang hampir seragam. Salah satunya cerita dan gambaran dari sinetron berlatar belakang kehidupan masyarakat Betawi yang berjudul Kecil kecil Jadi Manten, gambaran Betawi yang identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pinggiran, muncul melalui karakter tokoh yang memang bodoh, "bloon", suka kawin, sangat primitif dan tidak berbudaya serta berdialog dengan bahasa komunikasi yang dangkal. Hubungan sosial yang diungkapkan Iewat sinetron itu sudah menyimpang, kadang tidak lagi mengindahkan norma agama dan etika sosial.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui proses produksi budaya yang terjadi dalam sinetron tersebut dan mengungkap alasan yang melatarbelakanginya. Untuk mengetahui proses produksi yang berlangsung dan alasan dibalik proses pembuatannya, maka tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan pihak produksi yang terdiri dari producer, sutradara sinetron kecil kecil jadi manten serta kru-kru yang terlibat secara langsung dalam proses produksi sinetron tersebut termasuk juga di dalamnya kepala unit manager dan beberapa pemain utamanya. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap budayawan Betawi dan praktisi Betawi untuk mengetahui gambaran dari realitas sosial yang sebenarnya.
Penelitian ini menyimpulkan hasil atas wacana sinetron berlatar belakang budaya Betawi di televisi, memperlihatkan adanya penggambaran budaya Betawi yang termarjinalisasi dalam sinetron tersebut. Terdapat perbedaan persepsi tentang budaya Betawi yang ditampilkan oleh media dalam sebuah sinetron yaitu sinetron kecii kecil jadi manten dengan gambaran masyarakat Betawi yang sebenarnya. Karena tidak hanya terdapat pada masyarakat Betawi saja melainkan stereotype seperti itu juga ada pada masyarakat manapun. Tidak terkecuali masyarakat Jawa, Sumatera atau Madura. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi sinetron kecil-kecil jadi manten hanyalah melanggengkan dan mengukuhkan ideologi dominan yang sudah ada yaitu ideologi yang menampilkan realitas imajiner bukan berdasarkan realitas faktual seperti pada kenyataan berdasarkan pada kebenaran. Dapat dikatakan bahwa produksi sinetron ini tidak memiliki keunikan secara substansial tentang nilai-nilai budaya Betawi namun hanya sekedar mencoba menampilkan keunikan setting atau nuansa cerita yang secara kebetulan mengambil nuansa ke-Betawi-an. Hal ini tampak jelas pada dialek para tokohnya dan gaya arsitektur bangunan rumahnya dan kesenian-kesenian yang mewamai jalan ceritanya.
Meski sutradara berupaya keras menjaga rasionalitas alur cerita dengan menampilkan konflik-konflik yang dibuat menjadi seakan-akan wajar dan tidak berlebihan, namun secara keseluruhan tidak ada penggambaran makna dari subtansi nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya. Kondisi ini terjawab dengan melihat pada temuan di lapangan antara lain tidak ada konsep cerita yang diambil berdasarkan riset atau pengamatan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya, pemilihan para pemain yang tidak memiliki standar jelas untuk menampilkan nilai-nilai budaya Betawi. Dan penulis cerita itu sendiri sekaligus merangkap sebagai sutradara bukan orang dengan latar belakang Betawi. Hal ini yang menyebabkan penggambaran tentang budaya dan kehidupan Betawi tidak sesuai dengan realitas seperti yang kebanyakan ada dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semua ini memperlihatkan bahwa realitas media tidaklah muncul begitu saja, melainkan telah dibentuk melalui interaksi di antara para pelaku produksi yang kemudian dipengaruhi oleh struktur. Relasi-relasi yang terlibat dalam suatu proses produksi yang secara struktural pemilik modal adalah yang paling dominan, tetapi dalam penelitian ini pemilik modal tidak lagi menentukan proses pengambilan keputusan dengan kata lain tidak ada intervensi. Aktorlah yang secara leluasa menetukan performance suatu hasil karya produksi. Di sini yang menjadi dominan adalah persepsi di mana hasil persepsi tersebut akan menampakkan hasil produksi yang termarjinalisasi. Dengan demikian produksi wacana dalam sinetron Betawi kecil-kecil jadi manten yang berlatar belakang historis, sosial, dan ideologi tertentu akan rnmunculkan wacana tertentu pula dan bukan tidak mungkin akan berdampak secara kultural dan ideologis pada pengetahuan pemirsanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Riyanti
"Film dapat menjadi media untuk memproyeksikan realitas atau peristiwa dalam sejarah. Penelitian ini mengkaji salah satu aspek konflik yang terjadi di antara Israel dan Palestina, khususnya di penjara Israel dalam film 3000 Nights (2015) karya Mai Masri. Film ini menarik karena memperlihatkan perjuangan tak henti dari tokoh-tokoh perempuan berlatar Palestina menuntut keadilan dan kemerdekaan mereka, meskipun mereka berada dalam penjara Israel. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif dengan kajian film yang memperlakukan film sebagai teks. Teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kajian film milik Boggs dan Petrie, teori resitensi milik James C. Scott, teori strukturalisme genetik milik Pierre Bourdieu, dan konsep film sebagai gambaran realitas milik Graeme Turner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alur digerakkan oleh resistansi tokoh utama bernama Layal untuk menuntut keadilan, karena terdapat kekerasan, diskriminasi, represi, eksploitasi, dan ketimpangan kekuasaan yang terjadi di dalam penjara Israel. Perlawanan Layal sejalan dengan tindakan tokoh-tokoh tahanan perempuan Palestina yang kemudian bersinergi dengan tahanan laki-laki Palestina. Film 3000 Nights tampak berusaha menunjukkan kritik terhadap sistem penjara Israel yang menjadi proyeksi arena konflik Palestina dan Israel masa itu.

Film can be a medium to project reality or historical events. This study examines one aspect of the conflict between Israel and Palestine, particularly in Israeli prisons, as depicted in the film 3000 Nights (2015) by Mai Masri. This film is noteworthy because it portrays the relentless struggle of female Palestinian characters demanding justice and freedom, even while imprisoned in Israel. The method used in this study is qualitative, employing film studies that treat films as texts. The theories and concepts applied include the film studies approach by Boggs and Petrie, the theory of resistance by James C. Scott, the theory of genetic structuralism by Pierre Bourdieu, and the concept of film as a depiction of reality by Graeme Turner. The study’s results show that the plot is driven by the resistance of the main character named Layal demanding justice in response to the violence, discrimination, repression, exploitation, and power imbalances occuring in the Israeli prison. Layal’s resistance is in line with the actions of Palestinian female prisoner figures who then synergize with the Palestinian male prisoners. The film 3000 Nights seeks to criticize the prison system, presenting it as a projection of conflict between Palestine and Israel at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Liveright, 1972
791.437 AME
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gayatri Nadya Paramytha
"Skripsi ini membahas praanggapan yang muncul dalam tuturan adegan film Janji Joni dan juga maknanya. Penelitian ini bersifat deskriptif yang sumber datanya merupakan transkripsi dari tuturan dalam adegan film. Tujuan penelitian ini adalah mendeksripsikan praanggapan-praanggapan yang muncul dalam adegan film dan juga mengklasifikasikan jenis praanggapan yang muncul. Penelitian ini melihat kemunculan jenis-jenis praanggapan sesuai pemaparan Yule dan Grundy serta didukung oleh konteks situasi, partisipan, dan pengetahuan bersama. Hasilnya muncul lima jenis praanggapan dalam tuturan adegan film Janji Joni.
This study explains about presupposition appears in Janji Joni film as well as its meaning. This research uses descriptive type of research, transcription of utterance from certain scenes of this film became source of data. The purpose of this research is to describe presupposition that appears and also classify the type of presupposition based on Yule and Grundy?s theories and also enriched by context, participant, and background knowledge. The result shows that there are 5 types of presuppositions in utterance from certain scenes of Janji Joni film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S10989
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>