Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juju Juariah
"Pasien PJK pasca CABG beresiko mengalami serangan berulang. Meskipun revaskularisasi berhasil, namun CABG tetap merupakan operasi paliatif, pasien tetap beresiko mengalami kejadian kardiovaskular di masa mendatang. Graft vena safena memiliki tingkat kegagalan hingga 20% setelah satu tahun dan setinggi 50 % setelah 5 tahun. Kegagalan cangkok/graft (setelah 1 bulan) akibat hyperplasia intimal dan aterosklerosis. (Kasper.Dennis L., Hauser, Stephen L, Jameson, J.Larry, Fauci, Anthony S, Longo, Dan Loscalzo, 2015). Pencegahan sekunder dilakukan sebagai upaya untuk menjaga patensi graft dan meningkatkan kualitas hidup tertinggi. Penelitian ini penelitian korelatif dengan desain cross-sectional. Responden penelitian ini pasien compos mentis post CABG 2 minggu sampai dengan 1 tahun di Rumah Sakit PJNHK, tidak ada keluhan sesak dan tidak nyeri dada, dengan jumlah adalah 106 responden yang direkrut secara teknik sampling. Hasil studi menunjukkan terdapat hubungan antara pengetahuan terhadap perilaku pencegahan sekunder paska CABG dengan p = 0,043, terdapat hubungan antara sikap terhadap perilaku pencegahan sekunder pasca CABG dengan p = 0,19, adanya hubungan pengetahuan terhadap sikap pencegahan sekunder paska CABG dengan p= 0,019. Pasien pasca CABG perlu mendapatkan edukasi tentang pencegahan sekunder secara berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas hidup yang optimal.

Patients with CHD after CABG are at risk for recurrent attacks. Despite successful revascularization, but CABG remains a palliative surgery, the patient remains at risk for future cardiovascular events. Saphenous vein grafts have a failure rate of up to 20% after one year and as high as 50% after 5 years. Graft failure (after 1 month) due to intimal hyperplasia and atherosclerosis. (Kasper. Dennis L., Hauser, Stephen L, Jameson, J. Larry, Fauci, Anthony S, Longo, Dan Loscalzo, 2015). Secondary prevention is carried out as an effort to maintain graft patency and improve the highest quality of life. This study is a correlative study with a cross-sectional design. Respondents in this study were patients with post-CABG compos mentis 2 weeks to 1 year at the PJNHK Hospital, there were no complaints of shortness of breath and no chest pain, with a total of 106 respondents recruited by sampling technique. The results of the study show that there is a relationship between knowledge on secondary prevention behavior after CABG with p = 0.043, there is a relationship between attitudes towards secondary prevention behavior after CABG with p = 0.19, there is a relationship between knowledge and attitudes for secondary prevention after CABG with p = 0.019. Post-CABG patients need to receive education about secondary prevention on an ongoing basis to improve optimal quality of life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Rossimarina
"Latar belakang: Pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) mengalami penurunan fungsi paru akibat inflamasi perioperatif sehingga terjadi ketidakcocokan ventilasi/perfusi dan kelemahan otot pernapasan. Akibatnya saat beraktivitas, terjadi keterbatasan oksigen sehingga terjadi kelelahan otot lebih cepat dan kapasitas fungsional rendah. Latihan pernapasan diharapkan membantu memperbaiki kapasitas fungsional melalui perbaikan fungsi paru.
Tujuan: Membuktikan manfaat latihan pernapasan terhadap kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 Minutes walk test (6MWT) pada pasien pasca-BPAK yang menjalani rehabilitasi kardiovaskular fase II.
Metode: Uji klinis dengan merandomisasi subjek pada kelompok perlakuan yang mendapat adjuvan latihan pernapasan atau menjalani program rehabilitasi standard. Diukur kapasitas inspirasi dan 6MWT pada awal dan akhir rehabilitasi fase II.
Hasil: Dua puluh delapan subjek dirandomisasi menjadi 14 kelompok perlakuan dan 14 kelompok standard. Setelah menjalani program rehabilitasi, kelompok perlakuan dan standard mengalami peningkatan jarak 6MWT yang tidak berbeda bermakna (67 ± 62.9 meter VS. 53 ± 65.7 meter; p = 0.556 ) walau kelompok perlakuan mengalami peningkatan kapasitas inspirasi lebih baik daripada kelompok standard (1357 ± 691.4 mL VS 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Simpulan: Latihan pernapasan sebagai latihan adjuvan rehabilitasi kardiovaskular fase II pasca-BPAK tidak memperbaiki jarak 6MWT secara bermakna dibandingkan program rehabilitasi standard, hanya mempercepat perbaikan fungsi paru.

Background : Patients undergoing coronary artery bypass graft (CABG) surgery develop pulmonary dysfunction due to inflammation and respiratory muscle weakness, hence ventilation/perfusion mismatch occurs then leads to low functional capacity. Respiratory training has been identified to improve functional capacity by recovering pulmonary function faster.
Objectives : To study respiratory training benefit as adjuvant training in 2 phase of cardiovascular rehabilitation program after CABG for improving functional capacity measured by 6 minutes walk test/6MWT distance.
Methods : This single blind clinical trial randomized subjects into intervention group or standard group. Intervention group received respiratory training up to 60% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant to the standard program. Then MIV and 6MWT distance were evaluated.
Result : Twenty eight subjects participated, 14 subjects were in intervention group and others were in standard group. Six MWT distance improvement is not significantly different between groups (67 ± 62.9 VS. 53 ± 65.7 meters respectively; p = 0.556 ). However, intervention group experienced better MIV improvement compared to standard group (1357 ± 691.4 VS. 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Conclusion : Respiratory training as adjuvant training did not improve 6MWT distance among patients undergoing CABG surgery significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hermin Esti Dianingtyas
"CABG (coronary artery bypass graft) merupakan prosedur revaskularisasi utama bagi penderita penyakit jantung koroner yang bertujuan untuk meningkatkan aliran darah ke arteri koroner. Kualitas hidup pasien yang menjalani operasi CABG masih menjadi bahan pertanyaan dan diskusi karena dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah kualitas tidur. Kurang tidur mempengaruhi kualitas hidup pasien dan kesejahteraan pasien. Gangguan tidur adalah masalah yang sering terjadi pada pasien pasca bedah dibandingkan pada pasien medical (nonbedah).
Studi ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dengan fatigue pada pasien pasca CABG dengan menggunakan metode cross sectional yang melibatkan 80 orang responden. Hasil pemodelan yang didapat dari uji regresi logistik, didapatkan bahwa penyakit penyerta, nyeri, dan kualitas tidur yang buruk berkontribusi sebesar 53,7% untuk meningkatkan fatigue pada pasien post CABG. Studi ini memberikan arahan pada perawat untuk lebih memperhatikan pengkajian kualitas tidur pada pasien pasca coronary artery bypass graft (CABG) dengan cara menyiapkan format pengkajian kualitas tidur. 

CABG (coronary artery bypass graft) is the main revascularization procedure for patients with coronary heart disease which aims to increase blood flow to the coronary arteries. The quality of life of patients undergoing CABG surgery is still a question and discussion material because it is influenced by many factors, one of which is the quality of sleep. Sleep deprivation affects the quality of life and the well-being of patients. Sleep disturbance is a problem that often occurs in postoperative patients compared to medical (non-surgical) patients.
This study was conducted to determine the relationship between the quality of sleep and fatigue in patients after CABG using a cross sectional method involving 80 respondents. The modeling results obtained from logistic regression tests, found that comorbidities, pain, and poor sleep quality contributed 53.7% to improve fatigue in post CABG patients. This study provides direction for nurses to pay more attention to the assessment of sleep quality in post coronary artery bypass graft (CABG) patients.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T52924
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Eprina Nadeak
"Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan tindakan revaskularisasi pada pembuluh darah koroner yang tersumbat, operasi mayor, pemulihan yang lebih lama dan resiko komplikasi tinggi. Prevalensi kualitas tidur buruk cukup tinggi pada pasien paska operasi CABG. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur pada pasien paska operasi CABG. Metode penelitian ini menggunakan cross sectional, consecutive sampling dengan jumlah 100 responden. Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), International Physical Activity Questionnaire (IPAQ), dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS). Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kualitas tidur buruk (51%) cukup tinggi dibandingkan kualitas tidur baik (49%). Fraksi ejeksi (p 0,031; OR 4,718) dan usia (p 0,039; OR 3,309)) memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur paska operasi CABG pada hasil analisis bivariat. Hasil regresi logistik: fraksi ejeksi, usia, beta bloker dan diabetes melitus memiliki hubungan dengan kualitas tidur paska operasi CABG, fraksi ejeksi (p 0,017 OR 5,520) sebagai prediktor kualitas tidur. Implikasi: perawat sebaiknya melakukan pengkajian dan indentifikasi kualitas tidur dengan memperhatikan variabel tersebut, sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan kualitas tidur pasien paska operasi CABG.

Coronary Artery Bypass Graft (CABG) is a revascularization procedure for coronary artery occlusion, major surgery, longer recovery time and high risk of complication. Prevalence of poor sleep quality is quite high in patient post-CABG surgery. This study aims to identify factors associated with sleep quality in patient post-CABG surgery. This research method used cross sectional, consecutive sampling with 100 respondents. The questionnaires used ini this study were Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), International Physical Activity Questionnaire (IPAQ), dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS). The results showed that the prevalence of poor sleep quality (51%) was quite high compared to good sleep quality (49%). Ejection fraction (p 0,031 OR 4,718) and age (p 0,039; OR 3,309) and had a significant relationship with post-CABG sleep quality on the results of bivariate analysis. Results of logistic regression: ejection fraction, age, beta blockers and diabetes mellitus had a relationship with post-CABG sleep quality, ejection fraction (p 0,017; OR 5,520) was a dominant factor of sleep quality. Implication: nurses should conduct assessment and identification of sleep quality and be considered of those variables, so that nurse can determine the appropriate intervention to improve sleep quality in patient post-CABG surgery. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Rafles Partogi Hadameon
"Latar belakang: Mesin cardiopulmonary bypass (CPB) yang digunakan untuk operasi conventional coronary artery bypass graft (CCABG) meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi ginjal pascaoperasi. Teknik operasi off-pump coronary artery bypass (OPCAB) tidak menggunakan mesin CPB, sehingga diharapkan dapat menurunkan kejadian acute kidney injury (AKI) pascaoperasi. Gangguan fungsi ginjal pascaoperasi dapat berkomplikasi menjadi penyakit ginjal kronik dan bahkan meningkatkan mortalitas.
Tujuan: Membandingkan gangguan fungsi ginjal pascaoperasi OPCAB dan CCABG dengan menilai peningkatan kreatinin serum, derajat AKI, dan kebutuhan hemodialisis pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kohort retrospektif yang dilakukan dengan menganalisis data rekam medis pasien di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita tahun 2019 – 2021. Data kreatinin serum pascaoperasi diambil pada waktu 24 jam dan 48 jam pascaoperasi, kemudian hasilnya dibandingkan di antara kedua kelompok. Derajat AKI pascaoperasi dan kebutuhan hemodialisis pascaoperasi yang terjadi di antara kedua kelompok juga dibandingkan.
Hasil: . Kelompok pasien OPCAB (n = 277) dan CCABG (n = 770) memiliki data demografis yang tidak berbeda bermakna. Kelompok OPCAB memiliki nilai median kreatinin serum pascaoperasi yang lebih rendah pada waktu 24 jam (1,04 mg/dL vs 1,20 mg/dL; p <0,05) dan 48 jam pascaoperasi (1,12 mg/dL vs 1,21 mg/dL; p<0,05). Kejadian AKI pascaoperasi pada semua stadium dan kebutuhan hemodialisis pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok OPCAB.
Kesimpulan: Teknik operasi OPCAB menghasilkan kreatinin serum dan derajat AKI lebih rendah serta kebutuhan hemodialisis pascaoperasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan CCABG.

Background: Cardiopulmonary bypass (CPB) machine, that is used in conventional coronary artery bypass graft (CCABG), increases the risk of postoperative renal dysfunction. Off-pump coronary artery bypass technique does not utilize the CPB machine, therefore is expected to decrease postoperative acute kidney injury (AKI) incidents. Postoperative renal dysfunction can complicate into chronic kidney disease and even increases mortality risk.
Purpose: To compare the postoperative renal dysfunction after OPCAB and CCABG by evaluating the increase of creatinine serum, AKI, and postoperative hemodialysis.
Methods: For this retrospective cohort study, we analyzed the data from patient’s medical record in National Cardiovascular Center Harapan Kita from 2019 to 2021. The patients in OPCAB group (n=277) and CCABG group (n=770) had similar demographic characteristics. Postoperative creatinine serum was measured at 24 hours and 48 hours postoperative, then the results were compared between the two groups. Postoperative AKI and hemodialysis were also compared.
Results: The OPCAB group had lower median value of postoperative creatinine serum at 24 hours (1.04 mg/dL vs 1.20 mg/dL; p <0.05) and 48 hours postoperation. (1.12 mg/dL vs 1.21 mg/dL; p<0.05). All stages of postoperative AKI and hemodialysis were also lower significantly in the OPCAB group.
Conclusion: OPCAB technique resulted in lower postoperative creatinine serum, AKI rates, and less hemodialysis neeeds compared with CCABG technique .
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
"Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian kualitatif dan kuantitatif dengan tujuan melakukan analisis perhitungan biaya satuan tindakan bedah jantung Coronary Artery Bypass Graft (CABG) dalam satu episode rawatan dengan metode Activity Based Costing (ABC) di RSUP DR. M. Djamil Padang. Penelitian dilakukan di RSUP Dr M. Djamil Padang, Waktu penelitian November-Desember 2023. Terdapat 23 sampel pada penelitian ini. Semua sampel yang ada dibuatkan simulasi aktivitasnya berdasarkan telaah berkas klaim, wawancara, serta observasi langsung untuk mendapatkan gambaran terkait komponen biaya yang memengaruhi pelayanan pasien operasi bedah jantung CABG dalam satu episode rawatan. Berdasarkan hasil analisis biaya didapatkan bahwa biaya satuan pasien operasi bedah jantung CABG di RSUP M. Djamil Padang dalam satu episode rawatan didapatkan total unit cost sebesar Rp. 141.143.737,56. Total biaya langsung Rp. 124.767.235,56 dan biaya tidak langsung adalah sebesar Rp. 16.376.502,00. Kedisiplinan dalam menjalankan clinical pathway menjadi kunci utama bagi rumah sakit untuk melakukan efektivitas pembiayaan. Jumlah operasi memiliki potensi besar untuk ditingkatkan mengingat antrian bedah jantung terbuka di RSUP M. Djamil Padang sudah mencapai enam bulan lebih. Semakin banyak operasi yang dilakukan akan berdampak positif terhadap efektivitas biaya. Beberapa BMHP, alat-alat kesehatan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi dan pemberian obat-obatan bisa lebih diefektifkan yang berdasarkan analisis penelitian ini mampu mengefektifkan biaya sampai dengan 25-30%.

This is a descriptive study with a qualitative and quantitative design to analyze the unit cost of Coronary Artery Bypass Graft (CABG) heart surgery in one hospitalization episode using the Activity Based Costing (ABC) method at RSUP DR. M. Djamil Padang. The research was conducted at Dr. M. Djamil Hospital Padang in November-December 2023 with 23 samples. All existing samples were simulated activities based on a review of claims files, interviews, and direct observation to understand the cost components that influence the CABG heart surgery patients in one episode of hospitalization. Based on the cost analysis results, it was found that the unit cost for CABG heart surgery patients at M. Djamil General Hospital in Padang in one hospitalization period was Rp. 141,143,737.56. Total direct costs are Rp. 124,767,235.56 and indirect costs are Rp. 16,376,502.00. Discipline in implementing clinical pathways is the main key for hospitals to make financing effective. The number of operations has great potential to be increased considering that the queue for open heart surgery at M. Djamil Hospital in Padang has reached more than six months. The more operations performed will have a positive impact on cost-effectiveness. Several disposable medical materials, medical devices, laboratory examinations, radiological examinations, and administration of medicines can be made more effective, which based on the analysis of this analysis can reduce the costs by 25-30%."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ponisih
"ABSTRAK
Nama : Ponisih Program Studi : EpidemiologiJudul : Determinan Mediastinitis Pascabedah Pintas Arteri KoronerDi RSUPN Dr.Cipto MangunkusumoPembimbing : Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Tujuan: Mediastinitis pascabedah BPAK adalah komplikasi yang jarang namunmematikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui determinan dan sistem skoringmediastinitis pascabedah BPAK.Metode: Studi kohort retrospektif yang melibatkan 706 pasien operasi BPAK di RSUPNDr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2011 hingga Desember 2017. Definisimediastinitis disesuaikan dengan definisi CDC infeksi kasus spesifik, yangmelatarbelakangi resternotomi debridement. Terdapat delapan faktor risiko yangberpotensi mediastinitis dalam analisa univariate.Hasil: Dari 706 pasien BPAK, terjadi insiden mediastinitis sebanyak 35 pasien. Lima daridelapan variable tersebut bertahan dalam analisa multivariate yaitu diabetes mellitusdengan OR sebesar 4.46 IK95 = 2,01-9,89 , IMT ge; 26,5 kg/m2 dengan OR 3,34 IK95 =1,61-6,97 dan lama operasi ge; 300 menit dengan OR 3,43 IK95=1,67-7,04 , usia ge;60 tahun dengan OR 2,01 IK 95 =0,97-4,19 , dan pemedahan ulang karena perdarahandengan OR sebesar 3,10 IK 95 = 0,94-10,27 .Kesimpulan: Determinan utama yaitu diabetes mellitus, obesitas, usia, lama operasi danpembedahan ulang karena perdarahan.Kata kunci: bedah pintas arteri koroner; determinan mediastinitis.

ABSTRACT
Name PonisihStudy Program Magister EpidemiologyTitle Deteminants MediastinitisPost Coronary Artery Bypass Graft CABG SurgeryIn Cipto Mangunkusumo HospitalCounsellor Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Objective Mediastinitis post CABG is a rare but serious complication. This studiobjective is to asses determinants and scoring system of mediastinitis post CABG.Methode A retrospective cohort study of 706 patients from January 2011 until December2017 in Cipto Mangunkusumo Hospital. The definition of mediastinitis according toCenter Disease Control Surveylance and patient had a resternotomy debridement surgeryfor the infections. There are eight factors potential as a determinants from univariateanalysis age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery, surgical reintervention,delay sternal closure, valve surgery involves and ventilatory day , where necessaryfollowed in multivariate analysis.Result 35 out of 706 patients develop mediastinitis. Five variable were identifed as aindependent predictor of mediastinitis diabetes mellitus OR 4.46 95 CI 2.01 9.89 ,body mass index ge 26.5 kg m2 OR 3,34 95 CI 1.61 6.97 duration surgery ge 300minutes OR 3,43 95 CI 1.67 7.04 , age ge 60 years OR 2.01 95 CI 0.97 4.19 , andsurgical reintervention OR 3.10 95 CI 0.94 10.27 Conclusion Determinants of mediastinitis post CABG in Cipto Mangunkusumo Hospitalwere age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery and surgical reintervention.Key words coronary artery bypass graft surgery determinants mediastinitis"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neysa Calista
"Tujuan: Mendapatkan data nilai insiden postoperative cognitive disorders (POCD) pascaCABG dan menilai perbandingan penurunan fungsi kognitif pasca-CABG dengan mini mental state examination (MMSE) dan Montreal cognitive assessment versi Indonesian (MoCA-Ina). Tujuan tambahan penelitian ini untuk membandingkan lama waktu pemeriksaan MMSE dan MoCA-Ina, mengetahui korelasi antara MMSE dan MoCA-Ina, dan mengetahui hubungan antara karakteristik subjek dengan POCD pasca-CABG.
Metode: Desain pre dan post-test pada sebelum CABG, tiga hari pasca-CABG, dan satu bulan pasca-CABG. Penelitian dilakukan pada 40 subjek yang didapat secara konsekutif, berusia ≥ 40 tahun dan memenuhi kriteria penelitian. Penilaian fungsi kognitif dengan formulir MMSE dan MoCA-Ina. Data demografis dan klinis pasien dikumpulkan dan dicatat.
Hasil: Seluruh subjek mengalami penurunan rerata score MMSE dan MoCA-Ina pada sebelum CABG dibandingkan tiga hari pasca-CABG. Terdapat 10 subjek (25%) dengan MMSE, dan 16 subjek (40%) dengan MoCA-Ina yang tergolong POCD pada 3 hari pascaCABG. Seluruh subjek mengalami peningkatan nilai MMSE dan MoCA-Ina pada satu bulan pasca-CABG dibandingkan tiga hari pasca-CABG. Sebanyak 7 subjek (17,5%) dengan MMSE dan 9 subjek (22,5%) dengan MoCA-Ina tergolong POCD pada 1 bulan pascaCABG. Lama waktu pemeriksaan MMSE lebih singkat hampir dua kali lipat dibandingkan MoCA-Ina (p<0,0001). Terdapat korelasi kuat antara MMSE dengan MoCA-Ina (r=0,79 p<0,0001). Untuk hubungan antara karakteristik subjek, didapatkan korelasi kuat antara lama waktu CPB dengan POCD (r=0,869 p=0,040), korelasi sedang antara usia dengan POCD (r=0,58 p=0,047) pada 3 hari pasca-CABG, korelasi lemah antara tingkat pendidikan (r=0,36 p=0,228) dan lama operasi (r=0,36 p=0,022) terhadap POCD, dan korelasi sangat lemah antara jenis kelamin (r=0,10 p=0,52) dan status pekerjaan (r=0,07 p=0,64) terhadap POCD.
Kesimpulan: Terdapat penurunan fungsi kognitif tiga hari pasca-CABG, yang mengalami perbaikan pada satu bulan pasca-CABG. MoCA-Ina dapat mendeteksi penurunan fungsi kognitif dengan proporsi yang lebih besar dibandingkan MMSE pada subjek pasca-CABG.

Objective: To determine the incidence of postoperative cognitive disorders (POCD) postCABG and assess the comparative decline after CABG using the Mini Mental State Examination (MMSE) and Montreal Cognitive assessment Indonesia version (MoCA-Ina). Secondary purpose are comparing the length of time between MMSE and MoCA-Ina, determining the correlation between MMSE and MoCA-Ina, and also determining the relationship between the characteristics of subjects with POCD post-CABG.
Methods: A pre and post-test on before CABG, 3 days after CABG, and one month afterCABG study. The study was conducted on 40 respondents who obtained consecutively, aged ≥40 years and met the study criteria. Assessment of cognitive functional form using MMSE and MoCA-Ina. Patint demographic and clinical data were collected and recorded.
Results: All subjects experienced decrease in score of MMSE and MoCA-Ina on before CABG than three days post-CABG. There were 10 subjects (25%) using MMSE and 16 subjects (40%) using MoCA-Ina to POCD. All subjects had an increase score both MMSE and MoCA-Ina in one month post-CABG compared to three days post-CABG. There were 7 subjects (17.5%) by MMSE and 9 subjects (22.5%) by MoCA-Ina classified as POCD. The length of time were shorter using MMSE for almost doubled compared to MoCA-Ina (p<0.0001). There was a strong correlation (r=0.76, p<0.0001) between the MMSE with MoCA-Ina. For the correlations between subject characteristics, there was a strong correlation between CPB time to POCD (r=0,869 p=0,040), moderate correlation between the age to POCD (r=0,58 p=0,047) at 3 days post-CABG, a weak correlation between education status (r=0,36 p=0,228) and operation time (r=0,36 p=0,022) to POCD, and very weak correlation between gender (r=0,10 p=0,52) and employment status (r=0,07 p=0,64) to POCD.
Conclusion : There is a decline in cognitive function between three days after CABG, which improves in one month after CABG. MoCA-Ina can detect cognitive dysfunction in a greater proportion compared to MMSE in post - CABG subjects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Aditya
"Latar Belakang : Morbiditas pasca operasi bedah pintas koroner BPAK masih cukuptinggi. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan inflamasi 48 ndash; 72 jam pasca BPAK danpeningkatan pada sistem renin angiotensin dan aldosteron RAAS. Penyekat EKA diketahuidapat menghambat RAAS dan inflamasi. Namun belum ada penelitian yang membuktikanbahwa penyekat EKA dapat menurunkan inflamasi pada pasien pasca BPAK
Tujuan : Mengetahui efek captopril dalam menurunkan inflamasi yang diukur menggunakanhsCRP pada pasien yang menjalani BPAK elektif.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Dilakukan di Rumah SakitJantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK pada subyek yang menjalani BPAKelektif. Durasi penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober 2016. Subyek dibagidalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan captorpil pasca BPAK dan tanpacaptopril. Dilakukan pemeriksaan hsCRP serial sebanyak tiga kali yaitu sebelum operasi,hari ketiga pasca operasi dan sebelum pulang rawat.
Hasil Penelitian : Terdapat total 85 subyek, 49 subyek pada kelompok mendapat captoprildan 36 subyek pada kelompok tanpa captopril. Pemeriksaan hsCRP sebelum operasi dan H 3pasca BPAK menunjukkan tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Pemeriksaan hsCRPH 6 pasca BPAK menunjukkan hsCRP pada kelompok yang mendapatkan captopril lebihrendah 31,4 mg/L 10,5 ndash; 154 vs 46,7 mg/L 10,3 ndash; 318 dengan nilai signifikansi P=0,018.
Kesimpulan : Subyek yang mendapatkan captopril mempunyai tingkat inflamasi yang lebihrendah pada H 6 pasca BPAK yang dinilai dengan hsCRP dibandingkan kelompok yangtidak mendapat captopril.

Background Postoperative morbidity of coronary artery bypass surgery CABG is fairlyhigh. This is due to increased of inflammatory response 48 ndash 72 hour after surgery andincreased of renin angiotensin aldosteron system RAAS. ACE inhibitors are known toinhibit inflammation and RAAS. However, no study has proved that ACE inhibitors canreduce inflammation in post operative CABG.
Objective To determine the effect of captopril in reducing hsCRP post CABG surgery.
Methods This is a cohort prospective study that was conducted in Harapan Kita Hospital, on post operative elective CABG subjects on May until October 2016. Subject divided intotwo groups, the group with captopril and the other is without captopril. High sensitive CRPwas measured 3 times day 0 before surgery, day 3 post CABG, day 6 post CABG.
Results There are total 85 subjects, 49 subjects with captopril and 36 subjects withoutcaptopril. There was no difference in hsCRP results before surgery and day 3 post CABG. Inday 6 post CABG, hsCRP examination in captopril group is lower than the group withoutcaptopril 31,4 mg L 10,5 ndash 154 vs 46,7 mg L 10,3 ndash 318 with P 0,018.
Conclusion Subjects with captopril has lower hsCRP at day 6 post CABG than the subjectswithout captopril.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55620
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>