Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124278 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sumarga, Hari
"Notaris sebagai pejabat umum memiliki kewenangan membuat akta autentik. Kewenangan tersebut harus dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Notaris. Namun, ada kalanya terdapat seorang Notaris yang tidak mengikuti prosedur hukum dalam pelaksanaan kewenangannya membuat akta autentik. Hal ini pun mengakibatkan Notaris dinyatakan telah melakukan perbuatan pidana dan karenanya dibebani pertanggungjawaban pidana. Seperti halnya Terdakwa RUUR yang merupakan seorang Notaris di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1362/Pid.B/2019/Pn.Jkt.Utr. Untuk meneliti Putusan ini, Penulis menggunakan data sekunder serta menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka sebagai alat pengumpulan data. Karenanya, penelitian tesis ini berbentuk penelitian hukum normatif. Lebih lanjut, dalam Putusan a quo, RUUR dinyatakan telah melakukan pemalsuan akta autentik karena membuat PPJB dan AJB tanpa dihadiri oleh para pihak yang berkepentingan dan karenanya tidak membacakan PPJB dan AJB tersebut. Terlebih lagi PPJB dan AJB tersebut merupakan transaksi jual beli tanah yang fiktif. Akibat perbuatan RUUR tersebut, Hakim menyatakan RUUR telah bersalah melakukan tindak pidana karena melanggar Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP dan membebankan pertanggungjawaban pidana kepadanya. Namun, sebelum proses hukum terhadap RUUR, telah terjadi perdamaian antara RUUR dengan para pihak sehingga telah tercipta restorative justice. Dengan demikian, karena telah ada restorative justice, pertanggungjawaban pidana seharusnya tidak dibebankan kepada RUUR dan dapat dikesampingkan dengan pembebanan pertanggungjawaban jabatan baik secara administrasi maupun secara etik. Hal ini juga sebagai implementasi dari konsep hukum pidana sebagai ultimum remedium. Dengan demikian, RUUR dapat dibebankan sanksi administrasi dan juga sanksi etik.

Notary as a public official has the authority to make authentic deeds. Such authority must be exercised by following the procedures stipulated by laws and regulations and the Notary Code of Ethics. However, there are times when there is a notary who does not follow legal procedures in exercising his / her authority to make authentic deeds. This also results in the notary being declared to have committed a criminal act and therefore being liable for the crime. Like the Defendant RUUR who is a Notary in the Decision of the North Jakarta District Court Number 1362/Pid.B/2019/Pn.Jkt.Utr. In this research, writer use secondary data and using document studies or library materials as a data collection tool. Thus, the form of this research is a normative legal research. Furthermore, in this decision, RUUR made PPJB and AJB without the attendance of interested parties and therefore did not read out the PPJB and AJB. Moreover, the PPJB and AJB are fictitious land buying and selling transactions. As a result of the RUUR's actions, the Judge declared RUUR guilty of committing a criminal act for violating article 264 paragraph 1 number 1 Indonesian Criminal Code and imposing criminal responsibility on him. However, before the legal process against RUUR, there was peace between RUUR and the parties so that restorative justice was created. Thus, because there is restorative justice, criminal responsibility does not have to be borne by the RUUR and can be overridden by the imposition of accountability for positions both administratively and ethically. This is also an implementation of the concept of criminal law as ultimum remedium. Thus, RUUR can be subject to administrative sanctions as well as ethical sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinza Kuntara Nugraha
"Tesis ini membahas mengenai tanggung jawab Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) secara perdata terhadap pembatalan akta autentik karena adanya perbuatan melawan hukum (studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 570/Pdt.G/2018/PN. Jkt. Tim). Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai akibat hukum dan tanggung jawab Notaris selaku PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli dimana salah satu pihak dibuat melakukan perbuatan jual beli tanah dengan pihak lain oleh Notaris dan/atau PPAT kemudian terbit Akta Jual Beli tanah dan bangunan serta Akta Perjanjian Pengosongan tanah dan bangunan. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif, yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder dan tipologi penelitian menggunakan penelitian bersifat analisis preskriptif. Hasil penelitian mengenai tanggung jawab Notaris selaku PPAT di dalam pembuatan Akta Jual Beli dari segi hukum perdata, Notaris dan/atau PPAT terkena membayar seluruh biaya ganti rugi yang timbul secara tanggung renteng, dan dalam kedudukannya sebagai Notaris dan/atau PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi administratif, perdata dan pidana. Kemudian menunjukan, akibat hukum atas Akta Jual Beli dan Akta Perjanjian Pengosongan tanah dan bangunan yang dibuat oleh Notaris dan/atau PPAT terbukti melakukan perbuatan melawan hukum mengakibatkan akta tersebut dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.

This thesis discusses the civil responsibilities of a Notary/Land Deed Maker (LDO) for the cancellation of an authentic deed due to an unlawful act (case study of East Jakarta District Court Decision Number 570/Pdt.G/2018/PN. Jkt. Tim). The main problem in this thesis is regarding the legal consequences and responsibilities of the Notary as LDO in making the Sale and Purchase Deed where one party is made to buy and sell land with another party by the Notary and/or LDO then the Deed of Sale and Purchase of land and buildings and the Deed of Agreement are issued. Clearing of land and buildings. To answer these problems, a normative juridical research method is used, which focuses on the use of secondary data and research typology using prescriptive analytical research. The results of the study regarding the responsibilities of a Notary as a LDO in making a Sale and Purchase Deed in terms of civil law, a Notary and/or LDO is exposed to paying all costs of compensation that arise jointly and severally, and in his position as a Notary and/or LDO can be subject to administrative sanctions, civil and criminal. Then it shows the legal consequences of the Sale and Purchase Deed and the Deed of Land and Building Clearing Agreement made by a Notary and/or LDO proven to have committed an unlawful act resulting in the deed being declared invalid and null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivo Lutyana Panditha
"ABSTRAK
Notaris dapat merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
selama berada di dalam satu wilayah jabatan. Sebagai pejabat umum, Notaris dan
PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta autentik. Dalam
menjalankan jabatannya, seorang Notaris/PPAT harus mengikuti ketentuan yang
sudah ditetapkan di dalam Undang-Undang. Namun masih ada oknum
Notaris/PPAT yang bertindak diluar kewenangannya sehingga menimbulkan
akibat hukum. Tesis ini membahas mengenai tanggung jawab seorang
Notaris/PPAT atas tindak pidana yang dilakukannya pada pembuatan akta
autentik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 143
K/Pid/2015 yang menyatakan bahwa Notaris/PPAT tersebut bersalah melakukan
tindak pidana penipuan terhadap kliennya. Metode penelitian yang digunakan
dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif dengan tipologi deskriptif
analitis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Notaris/PPAT tersebut terbukti
melakukan serangkaian perbuatan diluar dari kewenangannya dan tidak
menjalankan kewajiban jabatannya dengan baik sehingga ia harus bertanggung
jawab secara pidana atas kesalahannya yang menimbulkan kerugian bagi
kliennya. Penulis berpendapat, Notaris/PPAT tersebut juga dapat dimintai
pertanggungjawaban secara perdata untuk mengganti kerugian yang telah diderita
oleh kliennya. Dengan adanya pelanggaran jabatan yang dilakukan dengan
sengaja, ia juga dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pemberhentian dengan
tidak hormat.

ABSTRACT
A Notary may double as a Land Deed Officer as long it remains in an area of
office. As a public officer, a Notary and Land Deed Officer is authorized to
draw up authentic deeds. In running his or her office, a Notary/Land Deed
Officer must comply with the provisions of the Law. However, there are
Notaries/Land Deed Officers acting beyond their authority and causing legal
consequences. This thesis discusses the responsibility of a Notary/Land Deed
Officer for the criminal act he commits in the drawing-up of authentic deeds
based on the Decree of the Supreme Court of the Republic of Indonesia
Number 143 K/Pid/2015, stating that the Notary/Land Deed Officer is guilty of
a criminal act of fraud against his clients. The method used in this research was
normative juridical method with analytical descriptive research typology. The
results of the research conclude that the Notary/Land Deed Officer was proven
to have committed a series of actions beyond his authority and he did not
perform the responsibility of his office properly, causing him to be held
accountable in criminal terms for his faults which harmed his clients.
According to the researcher, the Notary/Land Deed Officer may also be held
accountable in civil terms to pay compensation for the loss suffered by his
clients. With the offence of office he intentionally committed, he or she may
also be sanctioned administratively in the form of dishonorable discharge."
2018
T49237
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Magdalena Tritungga Dewi
"Tesis ini berisi mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh notaris dalam pembuatan akta pernyataan keputusan rapat. Pelanggaran tersebut berupa pelanggaran jabatan berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, antara lain berupa tidak menjalankan kewajiban notaris untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Selain itu juga tidak memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada alasan menolaknya. Serta tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juda oleh penghadap, saksi, dan notaris. Selain pelanggaran terhadap jabatan notaris, terdapat juga pelanggaran terhadap kode etik notaris. Pelanggaran tersebut antara lain menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah, pelanggaran dalam hal mengirimkan minuta kepada klien yang merupakan larangan dalam kode etik notaris. Pelanggaran-pelanggaran tersebut berakibat pada akta serta pihak terkait lainnya dan juga notaris yang bersangkutan tersebut. Penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian berupa metode yuridis normatif. Hasil penelitian menyarankan agar notaris dalam membuat akta otentik berupa akta pernyataan keputusan rapat agar lebih memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku serta terkait dengan pembuatan akta tersebut.

This thesis contains the offenses committed by the notary deed in making the meeting a decision statement. Violations in the form of malfeasance by Notary Act No. 30 of 2004, which include obligations not to act honestly notary, thorough, independent, impartial, and safeguard the interests of parties involved in the legal action. It also does not provide services in accordance with the provisions of the UUJN, unless there is a reason rejected. And do not read the deed before partij the presence of at least 2 (two) witnesses and signed by then often excluded by partij, witnesses and a notary. In addition to violations of the notary public office, there is also a violation of the code of conduct notary. These violations include running a notary office, especially in the making, reading, and signing the deed done at his office, except for valid reasons, in violation minuta send to the client which is a prohibition in the code of conduct notary. These violations resulted in deed as well as other concerned parties and the notary in question. This research is a qualitative research method to study the shape in the form of normative methods. The results suggest that the notary in the form of an authentic deed deed makes a statement-making meetings to be more attention to the provisions of the applicable and related to the deed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2103
T32625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khansa Putri
"Perilaku Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yang menyimpang dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Undang-undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Notaris dalam menjalankan kewenangannya berwenang membuat akta autentik dalam dua jenis yaitu akta relaas dan akta partij. Perbedaan dari kedua jenis akta Notaris berada pada keharusan penandatanganan. Notaris wajib mengeluarkan salinan akta yang sesuai dengan minuta aktanya, sehingga Notaris dapat terhindar dari suatu tuntutan pelanggaran diakibatkan dari tindakannya yang menyimpang dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai Notaris. Akan tetapi, Notaris dengan segala keterbatasannya seringkali tidak dapat mengantisipasi para pihak yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan yang menyimpang sehingga perbuatannya tersebut menjadi suatu tindak pidana. Putusan Nomor 196/Pid.B/2018/PN.Smn mengenai tindak pidana pemalsuan akta autentik atas salinan Akta Kuasa Pelimpahan yang diterbitkan Notaris tanpa minuta akta yang memenuhi syarat formil pembuatan akta. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana keabsahan salinan Akta Kuasa Pelimpahan No. 12, 13 dan 14 yang diterbitkan Notaris berdasarkan pada minuta akta yang tidak ditandatangani serta tanggung jawab Notaris atas perbuatannya tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan memperoleh data dengan jenis data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salinan akta kuasa pelimpahan adalah palsu dan Notaris yang terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan akta autentik bertanggungjawab secara pidana, administratif dan perdata.

This article discusses the behavior of a Notary in carrying out their duties that violate the laws, the regulations dan the Notary’s Code of Ethics. The Notary authorized to make an authentic deed in two types of a Notary’s deed namely relaas deed and party of deed which requires affixing a signature to the minutes of the deed. Notaries are required to issue a copy of the deed in accordance with the minutes of the deed, so that the Notary can avoid a lawsuit for violation resulting from his deviant actions in carrying out his duties and position as a Notary. However, Notaries with all their limitations are often unable to anticipate parties who deliberately want to commit deviant acts so that these actions become criminal acts of deed forgery. The decision Number 196/Pid.B/2018/PN.Smn regarding the criminal act of authentic deed forgery of a copy of the deeds of Delegation Power issued by a Notary without a deed that fulfil the formal requirements of making a deed. The problem raised in this research is how the validity of the minutes of the deed made by a Notary where a fake power of attorney and how the responsibility of the Notary for the fake deeds that he made. The research method used is juridical-normative, using data from legal. The research shows that the deed of Delegation Power is fake dan Notaries who are proven to have committed a criminal acts are accountable to criminal sanctions in the form of imprisonment, administrative and civil sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melly Amdira
"Dalam menjalankan profesinya terkait dengan tugas dan kewenangannya, Notaris haruslah berpedoman pada aturan-aturan yang berlaku serta harus pula berpedoman pada kode etik profesi yang berlaku dan wajib ditaati. Dalam kenyataan di lapangan, Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya seringkali tidak mempedomani ketentuan Undang-undang Jabatan Notaris, seperti kasus yang terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1014 K/PID/2013 dimana Notaris Ninoek Poernomo dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana memalsukan akta. Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan pidana 1 (satu) tahun penjara. Tuntutan ini didasarkan pada fakta hukum yang menyatakan bahwa terbitnya akta otentik tersebut tidak berdasarkan fakta kejadian yang sebenarnya. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menekankan pada data-data yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif yang mana semua data yang diperoleh dikelompokkan dan disusun secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif.
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa notaris telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN dan Kode Etik Notaris serta secara sadar melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 264 KUHP, sehingga notaris bertanggung jawab secara pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Akibat terhadap akta yang telah terbit adalah notaris yang dihukum pidana tidak otomatis membuat akta yang diterbitkan menjadi batal akan tetapi kekuatan pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan dan hanya dapat dibatalkan dengan keputusan hakim melalui gugatan perdata. Majelis hakim yang menjatuhkan hukuman 8 (delapan) bulan penjara terhadap notaris tersebut adalah cerminan bahwa notaris sebagai pejabat publik seharusnya bekerja secara cermat, profesional, jujur, dan tidak mementingkan kepentingan salah satu pihak sehingga notaris terhindar dari ancaman pidana.

In performing his profession related to his duty, a Notary has to be guided by and comply with the prevailing rules and professional code of ethics. In reality, a Notary, in performing his duty, is not usually guided by UUJN (Notarial Act) as what has occurred in the Ruling of the Supreme Court No. 1014 K/PID/2013 in which Ninoek Poernomo, the Notary, is charged with criminal act, that is, falsifying a deed. Public prosecutor prosecuted the defendant 1 (one) year imprisonment. The research used judicial normative method which emphasized on the data consisted of primary and secondary legal materials. The gathered data were analyzed by using qualitative data analysis by grouping and arranging it logically, systematically, and deductively.
The result of the research showed that the defendant had violated UUJN and Notary Code of Ethics and was consciously violated Article 264 of the Penal Code so that he was responsible for what he had done. Concerning the deed, it is not automatically cancelled but it becomes an underhanded deed; it can only be cancelled by judge?s verdict through civil complaint. Some factors which cause a Notary to be involved in a criminal act are notarial ethics and taking the side of one of the parties, the truth of the data filed by the parties concerned to a Notary, supervision on a Notary, and incorrect rules. The panel of judges sentenced him 8 (eight) months. This is an indication that a Notary has to do his job cautiously, professionally, and honestly: he must not take the side of one of the parties so that he will be protected against criminal punishment."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Jessica
"Perkembangan serta perubahan teknologi informasi saat ini mempengaruhi hampir seluruh sendi dan budaya kehidupan manusia. Hal tersebut menandakan adanya transisi budaya dari awalnya transaksi dilakukan secara luring berkembang menjadi daring. Pengaruh Teknologi Informasi ini juga mempengaruhi prosedur notaris dalam membuat akta autentik. Bahwa perkembangan hukum di dunia mengenal apa yang disebut dengan akta autentik elektronik, tanda tangan elektronik, bahkan cyber notary. Namun terkait dengan penjelasan Pasal 15 Ayat (3) UUJN mengenai cyber notary tidak ada penjelasan atau perintah yang lebih jelas sehingga menjadi perdebatan maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan perbandingan politik hukum yang dilakukan pemerintah Negara Jepang dan Indonesia dalam mendukung penerapan penyelenggaraan sistem notaris elektronik, pembuatan akta autentik elektronik di Negara Jepang agar memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti yang sempurna, dan pengaturan yang seharusnya terkait dengan akta autentik elektronik di Indonesia ke depannya. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis mengenai cyber notary dalam bidang kenotariatan. Mengingat kemajuan teknologi sudah sangat pesat sehingga tidak dapat lagi dihindari, dan penggunaan teknologi menjadi lebih efektif, efisien dan biaya yang murah bagi manusia dalam melakukan pekerjaannya. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach) antara hukum dua negara yaitu Undang-Undang Notaris Jepang No. 53 Tahun 1908 jo. Undang-Undang Notaris Jepang No. 74 Tahun 2011 dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 jo. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris melalui teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif dan pengumpulan datanya menggunakan data sekunder sebagai data utama yakni studi dokumen yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sedangkan data primer sebagai data pendukung yakni wawancara dengan beberapa orang notaris sebagai narasumber. Jepang telah mereformasi Undang-Undang Notarisnya sehingga sistem cyber notary telah terlaksana sejak tahun 2000 dan notaris elektronik harus terdaftar dalam list yang dikoordinir oleh Kementerian Kehakiman sehingga terdapat pelatihan atau kualifikasi khusus. Jepang juga telah mempunyai Undang-Undang Tanda Tangan Elektronik dan Bisnis Sertifikasi sejak tahun 2000, yang mana undang-undang tersebut saling berhubungan dengan Undang-Undang Notarisnya. Selain itu dalam pelaksanaan notaris elektronik dan tanda tangan elektronik terdapat Penyelenggara Usaha Sertifikasi Jepang yang telah mendapatkan akreditasi dari Menteri yang berwenang sehingga kekuatan pembuktian akta autentik elektronik tersebut menjadi kekuatan pembuktian yang sempurna. Pengaturan akta autentik elektronik yang seharusnya di Indonesia yaitu menambahkan pengertian akta elektronik sebagai akta autentik dalam Pasal 1 UUJN, menambahkan dan memperjelas secara detail kewenangan notaris terkait cyber notary dalam Pasal 15 Ayat (3) UUJN, merevisi dan memperluas kata menghadap dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf M, dan mengamandemen Pasal 5 Ayat (4) UU ITE.

Developments and changes in information technology currently affect almost all joints and culture of human life. This indicates a cultural transition from initially transactions carried out offline to developing online. The influence of Information Technology also influences notary procedures in making authentic deeds. That the development of law in the world recognizes what is called an authentic electronic deed, electronic signature, and even a cyber notary. However, in relation to the elucidation of Article 15 Paragraph (3) UUJN regarding cyber notary, there is no clearer explanation or order, so it becomes a debate, further research is needed on this matter. The issues raised in this study relate to the comparison of legal politics carried out by the governments of Japan and Indonesia in supporting the implementation of the implementation of an electronic notary system, making authentic electronic deeds in Japan so that they have the force of law as perfect evidence, and the arrangements that should be related to deed electronic authentic in Indonesia in the future. This research generally aims to examine and analyze cyber notaries in the notary field. Considering that technological progress has been so rapid that it can no longer be avoided, and the use of technology has become more effective, efficient and inexpensive for humans in carrying out their work. The research method used in this writing is normative juridical with a comparative approach and a statute approach between the laws of the two countries, namely Japanese Notary Law No. 53 of 1908 jo. Japanese Notary Law No. 74 of 2011 with Law no. 2 of 2014 jo. Law No. 30 of 2004 concerning the Position of Notary through data analysis techniques carried out qualitatively and data collection using secondary data as the main data, namely document studies consisting of primary legal materials and secondary legal materials while primary data as supporting data, namely interviews with several notaries as resource persons. Japan has reformed its Notary Law so that the cyber notary system has been implemented since 2000 and electronic notaries must be registered on a list coordinated by the Ministry of Justice so that there is special training or qualifications. Japan has also had Electronic Signature and Certification Business Laws since 2000, which are interrelated with its Notary Laws. In addition, in the implementation of electronic notaries and electronic signatures, there are Japanese Certification Business Operators who have received accreditation from the competent Minister so that the strength of proof of the authentic electronic deed becomes a perfect evidentiary force. The regulation of authentic electronic deed that should be in Indonesia is adding the definition of an electronic deed as an authentic deed in Article 1 UUJN, adding and clarifying in detail the authority of a notary related to cyber notary in Article 15 Paragraph (3) UUJN, revising and expanding the word facing in Article 16 Paragraph (1) letter M, and amending Article 5 Paragraph (4) of the ITE Law. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
"Kesalahan dan Penanggungiawaban Pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktek hukum belum terdapat kesamaan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain, kerapkali terdapat perbedaan dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Hal ini dapat saja bersumber dari adanya kecenderungan melihat penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana semata-mata sebagai bagian dari tugas hakim daiam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kecederungan demikian, juga terlihat dari minimnya ketentuan peraturan pemndang-undangan pidana mengenai hal itu. Undang-undang pidana umumnya hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana beserta ancaman pidana bagi pembuatnya. Pada sisi tain, hai ini membuka kemungkinan para akademisi memberi kontribusi teoretis mengenai hal ini.
Pada tahun 1955 Prof. Moejatno, SH mengemukakan pandangannya mengenai tindak pidana dan pertanggungiawaban pidana. Dalam lirteratur teori ini dikena! dengan ajaran dualistis, yang dalam disertasi ini disebut dengan Teori Pemisanan Undak Pidana dan Peftanggungjawaban Pidana.
Teori ini menempatkan masalah pertanggungjawaban pidana terpisah dari masalah tindak pidana, sehingga dapat dipandang sebagai koreksi atas ajaran monistis yang memandang kesalahan semata-mata sebagai unsur subyektif tindak pidana. Selain itu, teori ini telah menjadi fundamen dasar penyusunan Rancangan KUHP, sehingga sangat bemilai strategis dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan teori ini umumnya tidak diterapkan, sekalipun harus diakui terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dipandang sejalan dengan teori tersebut. Hal ini menyebabkan elaborasi Iebih iauh tentang pola penentuan kesalahan dan penanggung-jawaban pidana berdasar pada teori dualistis, sangat diperlukan guna menunjang praktek peradilan ketika KUHP baru diberlakukan.
Berdasarkan teori ini kesalahan dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam praktek. Misalnya, atas dasar apa penentuan kesalahan terdakwa, jika Penuntut Umum hanya berkewajiban membuktikan rumusan tindak pidana yang didalamnya tidak memuat unsur kesalahan. Apabila tidak mendapat pengaturan lebih Ianjut, balk dalam hukum pidana materil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), maka penentuan kesaiahan dan pertanggungjawaban pidana cenderung ke arah feit materiel. Hal ini terakhlr ini merupakan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang telah ditinggalkan sejak Water en Melk Arrest Hoge-Raad 1916. Dengan kata lain, hal ini akan membuat pertanggungjawaban pidana cenderung dilakukan secara strict liability, yang oleh sementara kalangan dipandang sebagai pertanggungjawaban tanpa -kesalahan (liabiiity without fault). Dalam disertasi ini dikemukakan konsepsi tentang 'penentuan kesalahan dan pertangungjawaban pidana berdasar teori dualistis, tgnpa terjebak pada kecendengan menerapkannya sebagai fait material atau strict Bability.
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungiawaban Pidana yang menjadi fundamen penyusunan Rancangan' KUHP belum sepenuhnya terimplementasi dalam berbagai ketenluanhya. Sejauh mengenal perumusan tindak pidana hal ini hanya mempengaruhi dikeluarkannya kesengajaan dari rumusan tindak pidana. Sementara kealpaan tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. Hal ini pun akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Tldak terbuktinya kealpaan yang menjadi bagian rumusan tindak pidana menyebabkan terdakwa dibabaskan. Sebaliknya, jika dipandang tidak terdapat kesengajaan ketika melakukan tindak pidana, maka terdakwa akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baik kesengajaan maupun kealpaan keduanya bentuk-bentuk kesalahan, sehingga kurang tepat jika tidak terdapatnya hal ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Disertasi ini mengemukakan konsepsi yang clengan itu perbedaan sebagaimana tersebut di atas dapat dihindari.

Fault and criminal liability still leaving some problems. For example, in practical law there is no similarity pattern of deciding the criminal fault and criminal liability yet. We often find that a verdict of a court is different with another court even they handled the same cases, it is usually often causes by the diherences in determined the defendant fault and criminal liability. lt could be caused by the inclination of some opinions said that the determination of the fault and criminal liability is part of the judges job in diagnose, judging and deciding a case. We can also say that the inclination caused bythe minimum regulations of the crime legislations. In generai the criminal legislations are only deciding the crime that is Stated as a crimutal act and the punishment for the doer. ln the other hand it opens the possibility for the academician to contribute their theoretical knowledge for this case.
In 1955, Prof. Moejatno, SH made an opinion about criminal act and criminal liability. ln a literature, this theory is known as the dualistic theory and it is called as the separation theory of criminal act and criminal liabihty in this dissertation. This theory placed the criminal liability problem (mens rea) separate from the criminal act problem (actus reus), so that we can see it as the correction of the monistrc theory that say that fault is part of the physiological element of criminal act. Beside that, this theory has become the basic concept of the Bill of Criminal Code for it would become strategic value in the Indonesian law development. However; result of the research this dissertation shows that this theory isn't always used, even though there are some court decisions used it. lt causes a further elaboration ofthe pattern of criminal act and criminal liability based on the dualistic theory that is very important to support the practical law when it is issued to the public.
Based on this theory, fault is not a part of criminal act. And it can causes problems in the law practice. For example, there will be a question about the basic determination of defendants fault, if the General Prosecutor only has an obligation to proof an criminal act concept that isn't consist of fault. lf there isn't any further regulation, neither in the substantive criminal law (Criminal Code) or procedure criminal law (Criminal Code Procedure), then the determination between fault and criminal liability will disposed to the feit materiel doctrine. And this is the pattern of the determination of fault and criminal liability that had been left since Water en Melk Arrest Hoge Read 1916. ln the other word, it can be said that the pattern can make the criminal liability disposed done by strict liability. The last one by some authors as a pattem the determination of criminal liability without fault. This dissertation tells a conception ofthe determination of fault and criminal liability based on dualistic theory without trapped on the leaning on using it as feit materiel doctrine or strict liability.
The separation theory of criminal act and criminal liability that is used as the basic concept Bill of Criminal Code isn't fully implemented on some stipulations. As far as we know, this theoiyis only affected to the issued of the intention out a part of criminal act concept. In the mean time, faults still become a part ofthe criminal-ect concept, and it is become a- problem in the real practice. The unproven of intention that is a part of criminal act will release (ontslaag van -alle rechtvenrolging) 'the defendant. On the other hand, if a defendant seems to be had negligence in done the cnrninal act the law will let him free (vrijspraak). Both of intention and negligence are faults, so that it wouldn?t be appropriate if the unexcitable of them make different consequences. This dissertation tells about a conception that will show us if we can avoid the differences mentioned.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Revisa Ayunda Putri Pratama
"Tulisan ini menganalisis problematika pertanggungjawaban korporasi yang dilatarbelakangi pada diaturnya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam KUHP 2023. Dalam melihat korporasi sebagai subjek hukum pidana tentunya diperlukan teori-teori tersendiri sebab korporasi bukan entitas manusia sehingga untuk mencari kesalahan korporasi diperlukan pendekatan yang berbeda dengan kesalahan manusia. Tulisan ini juga akan menganalisis evolusi pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam undang-undang sektoral yang disertai dengan analisis putusannya. Kemudian akan terdapat refleksi apakah KUHP 2023 sudah cukup menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam undang-undang sektoral tersebut. Akan tetapi ternyata KUHP 2023 masih mengalami stagnasi dalam mengatur pertanggungjawaban korporasi. Hal tersebut tecermin pada pandangan bahwa tindak pidana korporasi yang dianggap hanya bisa dilakukan oleh pengurus korporasi dalam Pasal 46 KUHP 2023. Maknanya KUHP 2023 hanya menggunakan pendekatan derivatif dalam mencari kesalahan korporasi, padahal perkembangan teori sudah melahirkan pemikiran bahwa korporasi dapat dipersalahkan atas tindakannya sendiri. Selain itu, ternyata KUHP 2023 juga belum memperinci mengenai apa yang dimaksut sebagai pengurus yang bertanggung jawab sehingga masih besar kemungkinan adanya penafsiran yang salah dalam menjadikan pengurus sebagai subjek yang bertanggung jawab. Tulisan ini juga akan mengomaparasikan pengaturan pertanggungjawaban korporasi dan pengurus korporasi yang diatur di Australia dan Belanda yang kini telah mengatur mengenai corporate fault model dan pertanggungjawaban pengurus korporasi secara terpisah.

This thesis analyzes the problems of corporate liability. Background of this thesis is  regulation of corporations as subjects of criminal law in the 2023 Indonesia Criminal Code. In viewing corporations as subjects of criminal law, specific theories are necessary because corporations are not human entities, so different approaches are needed to identify corporate fault compared to human fault. This thesis will also analyze the evolution of corporate liability regulations in sectoral laws accompanied by analysis of their rulings. Then there will be reflections on whether the 2023 Indonesia Criminal Code is sufficient as a solution to the problems that arise in those sectoral laws. However, it turns out that the 2023 Indonesia Criminal Code still experiences stagnation in regulating corporate accountability. This is reflected in the view that corporate crimes are considered to be only committed by corporate officers under Article 46 of the 2023 Indonesia Criminal Code. This means that the 2023 Indonesia Criminal Code only uses a derivative approach in seeking corporate fault, whereas the development of theories has already led to the thought that corporations can be blamed for their own actions. Furthermore, the 2023 Indonesia Criminal Code also does not yet specify what is meant by responsible officer, so there is still a high possibility of misinterpretation in making officers the responsible subjects. This thesis will also compare the regulation of corporate liability and corporate officers as regulated in Australia and the Netherlands, which now regulate the corporate fault model and corporate officers liability separately."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Sabina Marsheryne
"Sebagai pejabat umum, Notaris adalah pihak yang memiliki tanggung jawab atas akta autentik karena akta tersebut dapat menjadi alas hukum atas hak dan kewajiban seseorang ataupun status harta benda. Kekeliruan akta yang dibuat oleh seorang Notaris dapat memiliki konsekuensi serius, seperti dicabut hak seseorang atau munculnya beban kewajiban atas sesuatu kepada seseorang. Dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris pada umumnya dibantu oleh karyawan Notaris untuk mempersiapkan hal-hal lain yang dibutuhkan dalam proses pembuatan akta autentik. Apabila seorang Notaris diduga melakukan tindak pidana berupa pemalsuan akta yang menimbulkan kerugian, maka terdapat kemungkinan bahwa karyawan Notaris juga terlibat dalam prakteknya. Dalam penelitian ini dianalisis dan ditelaah mengenai pertanggungjawaban Notaris dalam hal terjadinya tindak pidana berupa pemalsuan akta yang dalam pelaksanaannya turut melibatkan karyawan Notaris, serta perlindungan hukum yang diberikan kepada karyawan Notaris yang Notarisnya melakukan tindak pidana dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung No. 1209 K/Pid/2022. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dan deskriptif-analisis sebagai tipe penelitiannya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan yang diolah secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab atas akta autentik tetaplah berada di tangan Notaris, sebab tugas karyawan Notaris hanya membantu Notaris. Bentuk pertanggungjawaban pidana Notaris apabila terbukti karyawan Notaris turut andil dalam melakukan tindak pidana adalah pidana penyertaan dalam tindak pidana pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 264 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebab Notaris dianggap lalai dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Perlindungan hukum yang diberikan kepada karyawan Notaris dalam kedudukannya sebagai saksi instrumentair diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

As a public official, a Notary is the party responsible for authentic deeds because the deed can be the legal basis for a person's rights and obligations or property status. Mistakes in the deed made by a Notary can have serious consequences, such as revoking a person's rights or the emergence of a burden of obligation for something to someone. In carrying out his duties and positions, a Notary is generally assisted by Notary employees to prepare other things needed in the process of making authentic deeds. If a Notary is suspected of committing a crime in the form of forgery of a deed that causes losses, then it is possible that Notary employees are also involved in the practice. In this study, the Notary's liability in the event of a crime in the form of forgery of a deed is analyzed and reviewed, which in its implementation also involves Notary employees, as well as the legal protection provided to Notary employees whose Notaries commit crimes by analyzing the Supreme Court Decision No. 1209 K/Pid/2022. This study uses doctrinal and descriptive-analytical methods as its research type. The type of data used is secondary data obtained through literature searches that are processed qualitatively. The results of this study indicate that the responsibility for authentic deeds remains in the hands of the Notary, because the task of the Notary's employees is only to assist the Notary. The form of criminal liability of the Notary if it is proven that the Notary's employees participated in committing a crime is the crime of involvement in the crime of forgery of documents as regulated in Article 264 paragraph (1) in conjunction with Article 55 paragraph (1) 1 of the Criminal Code because the Notary is considered negligent in carrying out his duties and position. Legal protection provided to Notary employees in their position as instrumental witnesses is regulated in Law No. 31 of 2014 concerning Amendments to Law No. 13 of 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>