Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219384 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods: This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods:
This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Farah Hilma
"Salah satu peran sistem imunitas terhadap infeksi M.leprae adalah respons makrofag melalui interaksinya dengan vitamin D dan reseptor vitamin D (RVD). Interaksi vitamin D dengan RVD pada berbagai sel imun akan menstimulasi ekspresi katelisidin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) dan kadar plasma RVD serta hubungannya dengan IB pada pasien kusta. Penelitian ini berupa observasional-analitik dengan desain potong lintang. Sebanyak 28 subjek penelitian (SP) menjalani pemeriksaan slit-skin smear kemudian diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan tanda kardinal kusta. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan. Kadar serum 25(OH)D diperiksa dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) dan kadar plasma RVD dilakukan dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median kadar serum 25(OH)D adalah 12,68 ng/ml (4,88 – 44,74). Median kadar plasma RVD adalah 1,36 ng/ml (0,26 – 8,04). Berdasarkan analisis regresi multivariat, tidak terdapat hubungan antara IB dengan kadar serum 25(OH)D dan kadar plasma RVD (R square = 0,055). Tedapat korelasi positif kuat antara kadar serum 25(OH)D dengan skor pajanan sinar matahari (r = 0,863; p < 0,001).

One of many immunity system’s roles against M. leprae infection is macrophage response through its interaction with vitamin D and vitamin D receptor (VDR). The interaction between vitamin D and VDR in various immune cells will stimulate the expression of cathelicidin. The objective is to analyze the serum level of 25-hydroxyvitamin D₃ (25(OH)D) and plasma level of VDR as well as their association with IB in leprosy patients. This observational analytic study was performed with cross-sectional design. A total of 28 subjects underwent a slit-skin smear examination and then the diagnosis of leprosy was made based on the cardinal signs. This study also assessed the patient’s sun exposure with weekly sun exposure questionnaire. Serum 25(OH)D level was assessed with chemiluminescent immunoassay (CLIA) method and RVD plasma level was measured by enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Median serum level of 25(OH)D was 12.68 ng/ml (4.88 – 44.74). Median plasma level of VDR was 1.36 ng/ml (0.26 – 8.04). Based on multivariate regression analysis, there was no significant association between BI and serum level of 25(OH)D and plasma level of VDR (R square = 0.055). There was strong positive correlation between serum level of 25(OH)D and sun exposure score (r = 0.863; p < 0.001)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Sandhi Pramesti
"Latar Belakang: Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Obesitas dapat mempengaruhi status vitamin D, salah satunya dikarenakan adanya peningkatan penyimpanan vitamin D di jaringan adiposa sehingga mengakibatkan rendahnya bioavailabilitas vitamin D. Selain itu, banyaknya jaringan lemak berkaitan dengan  inflamasi kronis tingkat rendah yang menyebabkan peningkatan penggunaan vitamin D pada sel imun sehingga menyebabkan rendahnya kadar vitamin D pada kasus obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada populasi dewasa dengan penyandang obesitas.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan obesitas di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo, Pengukuran persentase massa lemak menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. Pemeriksaan kadar vitamin D serum menggunakan kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil: Sebanyak 90 subjek penelitian memiliki rerata usia 41 tahun dengan jumlah subjek terbanyak adalah perempuan (59%). Sebagian besar subjek tergolong status gizi obesitas derajat II. Median kadar vitamin D serum adalah 13,4 ng/dL dengan sebagian besar subjek tergolong defisiensi vitamin D. Rerata persentase massa lemak subjek adalah 37,2 ± 8,2. Terdapat korelasi negatif antara kadar vitamin D serum dengan persentase lemak tubuh pada pada dewasa penyandang obesitas (r=-0,378, p=0,000).
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna berkekuatan sedang antara persentase massa lemak dengan kadar vitamin D serum pada subjek dewasa penyandang obesitas.

Background: Obesity is a global public health issue, especially in developing countries. Obesity can affect vitamin D status due to increased storage of vitamin D in adipose tissue. In addition, low bioavailability of vitamin D. Low levels of chronic inflammation is strongly associated with a large number of adipose tissue, which causes increased use of vitamin D in immune cells and causes low levels of vitamin D in obesity population. This study aims to see the correlation between the percentage of fat mass and serum vitamin D levels in the adult population with obesity.
Methods: This cross-sectional study was conducted on obese adult subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital. First, the fat mass percentage was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA 525. In addition, serum vitamin D levels were examined using serum calcidiol using the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method.
Results: A total of 90 research subjects had an average age of 41; most were female. Most of the subjects were classified as obesity class II. The average serum vitamin D level was 13.4 ng/dL, with most of the subjects classified as deficient in vitamin D. The mean proportion of subjects in fat mass was 37.2 ± 8.2. There was a negative correlation between serum vitamin D levels and the proportion of body fat in obese adults (r=-0.378, p=0.000).
Conclusion: There was a significant medium correlation between fat mass percentage with serum vitamin D in the adult with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Julia R.D. Nizam
"UKSA metode Sabroe dinyatakan positif bila diameter edema akibat penyuntikan serum lebih besar atau sama dengan 1,5 mm dibandingkan dengan diameter edema akibat penyuntikan satin, dan eritema akibat penyuntikan serum sewama dengan eritema akibat penyuntikan histamin. Dengan menggunakan kriteria tersebut, sensitivitas berkisar 65-71 %, dan spesifisitas mencapai 78-81 %.
RW Soebaryo (2002) dengan menggunakan metode tanpa kontrol positif (histamin), melaporkan angka kepositivan UKSA pada 31 pasien dari 127 pasien UK (24,4%). Penulis akan meneliti prevalensi kepositivan UKSA pada pasien UK dengan menggunakan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang dapat rnemberi hasil sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat diperoleh angka morbiditas UA di antara pasien UK secara tepat.
PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
a. Penyebab UK sebagian besar (50-80 %) tidak diketahui (UKI). Sekitar 50% pasien UKI temyata memiliki etiologi autoimun. Untuk membuktikan etiologi autoimun dapat dilakukan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang memberikan angka sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi autoantibodi dalam serum pasien.
b. Gambaran klinis pasien yang memiliki autoantibodi fungsional cenderung lebih parah dibandingkan dengan pasien tanpa autoantibodi.
PERTANYAAN PENELITIAN
a. Berapakah angka kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK di Departemen IKKK RSCM ?
b. Apakah terdapat perbedaan keparahan klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif ?
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui prevalensi kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK.
2. Menilai dan membandingkan gambaran klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-21445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Grace Nami
"Urtikaria kronik (UK) adalah urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu, dengan frekuensi minimal kejadian urtika sebanyak dua kali dalam 1 minggu. Urtikaria kronik merupakan penyakit yang umum dijumpai dengan insidens pada populasi umum sebesar 1-3%, serta melibatkan mekanisme patofisiologi yang kompleks. Urtikaria kronik lebih sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak dan wanita dua kali lebih sering terkena daripada pria. Laporan morbiditas divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta antara Januari 2001 hingga Desember 2005 menunjukkan jumlah pasien UK sebesar 26,6% dari total 4453 orang pasien baru.
Meski telah dilakukan pemeriksaan klinis maupun berbagai pemeriksaan penunjang, etiologi tidak ditemukan pada 80-90% pasien UK dan digolongkan sebagai urtikaria kronik idiopatik (UKI). Urtikaria kronik idiopatik seringkali menimbulkan masalah bagi dokter maupun pasien. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan autoantibodi pelepas histamin pada 30-50% kasus UKI, sehingga digolongkan sebagai urtikaria autoimun (UA). Autoantibodi pada UA dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan, antara lain uji kulit serum autolog (UKSA) atau disebut pula tes Greaves. Saat ini UKSA dianggap sebagai uji kiinik in vivo terbaik untuk mendeteksi aktivitas pelepasan histamin in vitro pada UA. Angka morbiditas UA di Indonesia belum pernah dilaporkan hingga saat ini. Soebaryo (2002) melaporkan angka kepositivan UKSA sebesar 24,4% pada 127 pasien UK, sedangkan Nizam (2004) memperoleh angka prevalensi kepositivan UKSA sebesar 32,1% pada 81 pasien UK.
Infeksi kuman Helicobacter pylori (Hp) merupakan infeksi bakterial kronik tersering pada manusia, mencapai 50% dari seluruh populasi dunia. Peran infeksi Hp sebagai etiologi kelainan gastrointestinal telah diterima luas. Studi lebih lanjut menemukan keterlibatan infeksi Hp pada berbagai kelainan ekstragastrointestinal, antara lain UKI.
Berbagai penelitian di Iuar negeri memperlihatkan tingginya prevalensi infeksi Hp pada pasien UKI, disertai dengan remisi klinis UKI pasca terapi eradikasi Hp. Pada penelitian-penelitian awal didapatkan angka prevalensi mencapai 80% dan remisi klinis pasta terapi eradikasi Hp terjadi pada 95-100% pasien. Pada penelitian-penelitian selanjutnya ditemukan prevalensi dan frekuensi keterkaitan yang bervariasi. Suatu studi meta-analisis mengenai infeksi Hp pada UKI menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya resolusi urtika empat kali lebih besar pada pasien yang mendapat terapi eradikasi Hp dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi. Namun demikian, remisi total hanya terjadi pada 1/3 pasien yang mendapat terapi eradikasi. Pengamatan ini mendasari timbulnya pemikiran bahwa Hp berperan penting sebagai etiologi pada sebagian kasus UKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Johanes Charles Tangel
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik pada anak memerlukan perhatian khusus, terutama dalam pemasangan catheter double lumen (CDL) untuk hemodialisis. Studi tentang faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis bertujuan mengevaluasi hubungan antara parameter laboratorium, seperti kadar platelet dan albumin serum, dengan disfungsi kateter. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai faktor risiko disfungsi kateter pada anak dengan penyakit ginjal kronik.

Metode: Studi ini memiliki desain studi potong lintang yang dilakukan dengan menggunakan sampel data rekam medik dari pasien-pasien anak yang sudah menggunakan catheter double lumen (CDL) tunnel mulai bulan September hingga Oktober 2023.

Hasil: Sebanyak 59 pasien memenuhi kriteria pada penelitian ini yang sebagian besar memiliki jenis kelamin perempuan (50,8%) dan berusia >10 tahun (69,5%). Kadar platelet yang tinggi berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Kadar APTT tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,810). Kadar albumin serum yang rendah atau hipoalbuminemia berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0,001). Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.

Kesimpulan: Kadar albumin dan platelet berhubungan signifikan terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian disfungsi kateter pada pasien anak dengan penyakit ginjal tahap akhir di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo adalah kadar albumin serum.


Background: Chronic kidney disease in children requires special attention, particularly in the placement of double-lumen catheters (DLC) for hemodialysis. A study on the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease undergoing hemodialysis aimed to evaluate the relationship between laboratory parameters, such as platelet levels and serum albumin, and catheter dysfunction. This research is expected to enhance understanding of the risk factors for catheter dysfunction in children with chronic kidney disease.

Methods: This study employed a cross-sectional study design using medical record data samples from pediatric patients who had undergone double-lumen catheter (DLC) tunnel placement from September to October 2023.

Results: A total of 59 patients met the criteria for this study, the majority of whom were female (50.8%) and aged over 10 years (69.5%). High platelet levels were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). APTT levels did not have a significant association with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.810). Low serum albumin levels or hypoalbuminemia were significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (p=0.001). The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level.

Conclusion: Albumin levels and platelet are significantly associated with catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. The most influential factor for catheter dysfunction in pediatric patients with end-stage kidney disease at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was serum albumin level."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Chandra Ananditha
"Penyakit kronik adalah masalah kesehatan yang terjadi selama lebih dari tiga bulan, yang mempengaruhi aktivitas anak, dan membutuhkan hospitalisasi yang lebih sering, dan perawatan kesehatan dirumah, Contoh dari penyakit kronik adalah penyakit jantung, kanker, penyakit respirasi kronik, gagal ginjal, dan diabetes. Kondisi keterbatasan aktivitas yang terjadi pada anak dengan penyakit kronik adalah seperti sesak saat beraktivitas atau kelemahan otot. Jika anak mengalami gangguan aktivitas maka istirahatnya juga akan terganggu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan aplikasi Self Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) dalam melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit kronik yang mengalami masalah pada aktivitas dan istirahat. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus pada lima pasien anak yang mengalami masalah pada aktivitas dan istirahatnya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah keperawatan aktivitas dan istirahat seperti hambatan mobilitas fisik, intoleransi aktivitas, dan gangguan pola tidur, sudah teratasi. Namun ada beberapa yang belum teratasi tetapi sudah menunjukkan adanya perbaikan dari tingkat aktivitas dan kemandirian klien.

Chronic illness is a health problem that occurs for more than three months, affecting the child’s activities, and require ore frequent hospitalization, and home health care. The examples of chronic illness are heart disease, cancer, chronic respiratory disease, renal failure, and diabetes. The conditions of limitation activity are activity limitations tightness on exertion or muscle weakness. If the activity of the child has impaired, the rest also be disrupted. The purpose of this studi is to describe the application of Self-Care Deficit Nursing Theory (SCDNT) to care the children with chronic illness who have problems in activity and rest. This study used case study method to five pediatric patients that have problems in activity and rest. The result of this study show that the nursing problem of activity and rest, such as physical mobility impaired, activity intolerance, and sleep pattern disruption, has been resolved. However there are some unresolved but has shown that an improvement of the activity and independence level of clients.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Rosandi
"Latar belakang: Terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis. D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak langsung dapat digunakan untuk menilai trombin di darah. Trombin dapat menimbulkan edema karena dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, dapat menstimulasi degranulasi sel mast, dan mengaktifkan komplemen C5a.
Tujuan: Mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis serta korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan penyakit dan lama sakit pasien urtikaria kronis.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan subyek penelitian sebanyak 30 pasien. Dilakukan penilaian Urticaria Activity Score dan lama sakit serta pemeriksaan kadar D-dimer.
Hasil: Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 μg/L. Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) yang terdapat peningkatan kadar D-dimer. Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000). Terdapat korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis (r = 0,05; p = 0,979).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif kuat antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis dan korelasi positif lemah antara kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis.

Background: There are some studies that show blood clotting pathways involved in the pathogenesis of chronic urticaria. D - dimer is a blood clotting pathway end products can indirectly be used to assess thrombin in the blood. Thrombin can induce edema because it can increase capillary permeability , can stimulate mast cell degranulation , and activating the complement C5a.
Objective: Knowing the average levels of D - dimer in chronic urticaria patients and the correlation between D - dimer levels with severity and disease duration.
Methods: This study is a cross sectional study , the study subjects were 30 chronic urticaria patients. Assessment urticaria activity score ,disease duration and D - dimer level on all patients.
Results: Median of the D - dimer levels in 30 patients is 100 ug / L. In this study there were 5 patients ( 16.67 % ) with elevated levels of D - dimer. There is a strong positive correlation between D- dimer levels with severity of chronic urticaria ( r = 0.8 ; p = 0.0000 ). There is a weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration ( r = 0.05 ; p = 0.979).
Conclusions: There is a strong positive correlation between D - dimer levels with disease severity and weak positive correlation between D - dimer levels with disease duration of chronic urticaria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rianita Juniati
"Latar belakang: Kanker kolorektal merupakan kanker yang berbahaya dan sering ditemukan. Tingkat prevalensi defisiensi kadar 25(OH)D pada pasien kanker kolorektal cukup tinggi. Vitamin D berperan dalam menghambat progresivitas perlembangan sel kanker (tumorigenesis). Selain itu vitamin D juga secara tidak langsung mempengaruhi status performa pasien kanker kolorektal. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data prevalensi defisiensi kadar 25-hydroksivitamin D pada pasien kanker kolorektal dan hubungannya dengan stadium kanker dan status performa pasien. Metode: Penelitian cross-sectional menggunakan data primer dan rekam medik pasien dengan kanker kolorektal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta dari Januari 2021 hingga April 2021. Data yang dianalisis meliputi karakteristik pasien, skor Karnofsky, dan kadar 25-hydroksivitamin D. Hasil: Pasien dengan defisiensi 25-hydroksivitamin D terdapat paling banyak pada stadium III (47%) dan IV (30%). Pasien dengan kadar 25-hydroksivitamin D normal terdapat paling banyak pada stadium II (50%) dan I (16,6%). Pasien dengan performa baik terdapat paling banyak pada stadium III (47,9%) dan IV (25,5%). Prevalensi defisiensi kadar 25-hydroksivitamin D yaitu 94%. Perbedaan proporsi defisiensi 25-hydroksivitamin D dengan stadium kanker kolorektal lanjut yaitu 76,6% dibanding dengan yang tidak defisiensi (33,3%; p=0,038). Tidak terdapat perbedaan proporsi antara defisiensi 25-hydroksivitamin D dengan performa buruk (6,4%) dibandingkan dengan yang normal (0%; p=1,000). Tidak terdapat perbedaan proporsi antara pasien dengan performa buruk dan kanker kolorektal lanjut (83%) dibandingkan mereka dengan performa baik (73,4%; p=1,000). Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara defisiensi kadar 25-hydroksivitamin D dengan stadium kanker kolorektal namun tidak pada hubungan antara defisiensi kadar 25-hydroksivitamin D dengan status performa pasien.

Background: Colorectal cancer is a frequent and dangerous cancer. The prevalence rate of 25(OH)D deficiency in colorectal cancer patients is quite high. Vitamin D plays a role in inhibiting the progression of cancer cell development (tumorigenesis). In addition, vitamin D also indirectly affects the performance status of colorectal cancer patients. Objective: This study aims to provide data on the prevalence of 25-hydroxyvitamin D deficiency in colorectal cancer patients and its relationship with cancer stage and performance status. Methods: A cross-sectional study using primary data and medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital and Gatot Subroto Hospital, Jakarta from January 2021 to April 2021. The data analyzed included patient characteristics, Karnofsky scores, and 25-hydroxyvitamin D levels. Results: Patients with 25-hydroxyvitamin D deficiency were mostly in stage III (47%) and IV (30). Patients with good performance were mostly in stage III (47.9%. The prevalence of 25-hydroxyvitamin D deficiency was 94%. The difference in the proportion of 25-hydroxyvitamin D deficiency with advanced-stage colorectal cancer was 76.6% compared to those who were not deficient (33.3%; p=0.038). There was no difference in the proportion of 25-hydroxyvitamin D deficiency with poor performance (6.4%) compared to normal (0%; p=1,000). Conclusion: There was a significant relationship between 25-hydroxyvitamin D deficiency and colorectal cancer stage, but not between 25-hydroxyvitamin D deficiency and the patient's performance status."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>