Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 158227 Document(s) match with the query
cover
Nur Muhammad Karim
"Latar belakang: Massa otot skeletal sebagai jaringan terbesar pada tubuh manusia memiliki peran penting dalam fungsi metabolisme dan pergerakan. Penurunan jumlah massa otot skeletal menjadi faktor prediktor buruk suatu penyakit. Nilai normal massa otot skeletal dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, postur tubuh, latar belakang kultural, dan faktor-faktor lainnya. Negara lain telah memiliki nilai acuan standar dalam menilai massa otot skeletal berdasarkan penelitian pada pasien calon donor organ hidup yang dianggap mewakili populasi sehat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai rerata massa otot skeletal berdasarkan pemeriksaan CT scan (SMI, PMI) pada populasi sehat di Indonesia.
Metode: Studi deskriptif, desain cross-sectional. Dilakukan pengukuran massa otot skeletal (SMI, PMI) dari CT scan abdomen dari sampel yang memenuhi kriteria inklusi, kemudian dilakukan analisis rerata.
Hasil: Dari Januari 2012 hingga Maret 2021, terdapat 116 subjek (63 laki-laki dan 53 perempuan) dengan rentang usia 28-42 tahun. Rerata nilai massa otot skeletal laki-laki untuk SMI adalah 41,7 +/- 6,2 dan untuk PMI adalah 6,1 +/- 1,4. Rerata nilai massa otot skeletal perempuan untuk SMI adalah 28,5 +/- 4,8 dan untuk PMI adalah 3,83 +/- 0,82.
Kesimpulan: Rerata nilai massa otot skeletal laki-laki untuk SMI adalah 41,7 +/- 6,2 dan untuk PMI adalah 6,1 +/- 1,4. Rerata nilai massa otot skeletal perempuan untuk SMI adalah 28,5 +/- 4,8 dan untuk PMI adalah 3,83 +/- 0,82. Massa otot skeletal laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai massa otot skeletal berdasarkan usia maupun indeks massa tubuh pada kelompok laki-laki dan perempuan.

Background: Skeletal muscle mass is the largest tissue in the human body. It has an important role in metabolic function and movement. A decrease in the amount of skeletal muscle mass is a bad predictor of a disease. The normal value of skeletal muscle mass is influenced by gender, race, posture, cultural background, and other factors. Other countries have their own reference value in assessing skeletal muscle mass based on research on potential live organ donors who are considered healthy population. This study aims to determine the average value of skeletal muscle mass based on CT scan examinations (SMI, PMI) in a healthy population in Indonesia.
Methods: Cross-sectional, descriptive study. Skeletal muscle mass measurements (SMI, PMI) were performed on abdominal CT scans from samples that met the inclusion criteria, then the average analysis was performed.
Results: From January 2012 to March 2021, there were 116 subjects (63 males and 53 females) with range of age 28-42 years. The mean skeletal muscle mass values in the male group for SMI 41.7 +/- 6.2 and for PMI was 6.1 +/- 1.4. The mean skeletal muscle mass values in the female group for SMI was 28.5 +/- 4.8 and for PMI was 3.83 +/- 0.82.
Conclusions: The mean skeletal muscle mass values in the male group for SMI 41.7 +/- 6.2 and for PMI was 6.1 +/- 1.4. The mean skeletal muscle mass values in the female group for SMI was 28.5 +/- 4.8 and for PMI was 3.83 +/- 0.82. Male has higher skeletal muscle mass than female. No statistical difference in skeletal muscle mass based on age nor body mass index in male and female group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Danti Filiadini
"Latar Belakang: Donasi organ merupakan isu etis, moral, dan medis yang kompleks. Donor organ berpotensi mengalami masalah psikososial pascadonasi, seperti depresi, cemas, stres, dan kekhawatiran akan kondisi kesehatannya. Donasi organ juga sering dikaitkan dengan isu perdagangan organ yang masih marak di Indonesia. Hingga saat ini, belum ada kesepakatan resmi mengenai domain konstruk pemeriksaan yang mendasari penulisan laporan kelaikan donor organ dalam bidang psikiatri. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseragaman penulisan yang berpotensi mengakibatkan terlewatnya aspek psikososial yang penting untuk diidentifikasi dan meningkatkan risiko terjadinya masalah hukum. Oleh karena itu, identifikasi domain konstruk dari laporan pemeriksaan diperlukan untuk menetapkan panduan yang selanjutnya dapat dijadikan dasar pengembangan instrumen pemeriksaan kelaikan donor organ hidup di Indonesia. 
Metode: Penelitian menggunakan desain mixed method. Pendekatan kualitatif ditujukan untuk mengidentifikasi domain konstruk pemeriksaan menggunakan metode diskusi kelompok terpumpun (DKT) dengan 2 orang pakar. Data kualitatif dianalisis menggunakan conventional content analysis dengan tipologi thematic survey. Pendekatan kuantitatif ditujukan untuk menentukan proporsi kesesuaian penulisan laporan dengan domain konstruk pemeriksaan dan kontribusi tiap domain terhadap simpulan kecakapan yang diambil oleh pakar pada 404 laporan kelaikan donor ginjal dan hati dalam bidang psikiatri di RSCM yang diambil menggunakan metode total sampling. Analisis kuantitatif menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik. 
Hasil: Analisis data kualitatif menghasilkan 9 kategori, yaitu sosiodemografi, motivasi, relasi dengan resipien, pemahaman, perasaan terhadap keputusan menjadi donor, resiliensi, isu psikiatri, penggunaan zat psikoaktif, dan isu legal. Didapatkan ketidakseragaman penulisan domain konstruk pada laporan, dengan proporsi penulisan terkecil pada domain penggunaan zat psikoaktif (5,45%) dan motivasi (82,18%). Faktor-faktor yang berperan memprediksi simpulan kecakapan calon donor adalah aspek pendidikan, motivasi, relasi dengan resipien, pemahaman, perasaan terhadap keputusan menjadi donor, resiliensi, isu psikiatri, dan isu legal dengan R2 sebesar 0,649. 
Simpulan: Terdapat 9 domain yang menyusun konstruk pemeriksaan kelaikan donor organ hidup dalam bidang psikiatri di RSCM. Domain yang paling memprediksi simpulan kecakapan adalah pemahaman dan resiliensi.

Background: Organ donation is a complex ethical, moral, and medical issue. Organ donors are at risk for post-donation psychosocial problems, such as depression, anxiety, stress, and worries about their health condition. Organ donation is also associated to illegal organ-trafficking which is still a problem in Indonesia. To date, there has been no official agreement on the domains of psychiatric assessment that underlies the construct of living donor eligibility report. This can lead to the diverseness of reports which can potentially result in undetected important psychosocial aspects and increased legal risks. This research was conducted to identify domains on the psychiatric assessment of living organ donor eligibility report, which can then be used as the basic data for developing psychiatric living donor assessment instrument in Indonesia. 
Methods: This study used a mixed-method approach. A qualitative approach aimed at identifying domains of the psychiatric assessment using focus group discussion (FGD) with 2 experts. The qualitative data were analyzed using conventional content analysis with thematic survey typology. A quantitative approach aimed at determining the conformity of the reports and the contribution of each domains towards donor’s suitability concluded by experts on 404 living donor eligibility reports taken using total sampling method. The quantitative data were analyzed using Chi-square and logistic regression test. 
Results: The qualitative approach resulted in 9 categories: sociodemography, motivation, relationship with recipient, understanding, feelings toward the decision to become donor, resilience, psychiatric issues, use of psychoactive substances, and legal issues. There was inconsistency on the domains written in the reports, with the least written domains are use of psychoactive substances (5,45%) and motivation (82,18%). Based on the multivariate analysis, the domains that played a role in predicting donor’s suitability were education, motivation, relationship with recipient, understanding, feelings toward the decision to become donor, resilience, psychiatric issues, and legal issues with an R2 of 0,649.
Conslusion: There are 9 domains that make up the construct of psychiatric assessment of living organ donor eligibility in RSCM. Domains that most predict the psychiatric eligibility conclusion are understanding and resilience of the donor candidate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Nurahmani Putri
"Latar Belakang: Obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering ditemukan pada penduduk dewasa di Indonesia, di mana 29,3% di antaranya adalah perempuan. Individu obesitas dapat mengalami penurunan massa otot yang disebabkan oleh inaktivitas dan penumpukan lemak yang menghambat proses sintesis otot. Jika tidak ditangani, obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah sarkopenia obesitas. Sarkopenia obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan obesitas dan penurunan fungsi dan massa otot, terdiagnosis dengan  IMT >25 kg/m2, skeletal muscle index (SMI) yang menurun, dan kekuatan genggam tangan atau status performa yang rendah. Sarkopenia lebih sering terdeteksi pada lansia, namun penurunan massa otot sudah dapat terjadi sejak usia dewasa. Penelitian ini melihat apabila perempuan dewasa dengan obesitas sudah memiliki tanda-tanda sarkopenia obesitas seperti penurunan massa otot, SMI, dan hubungannya terhadap kekuatan genggam tangan.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 64 karyawati obesitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Massa otot diukur menggunakan body impedance analysis dan skeletal muscle index dihitung menggunakan massa otot dibagi dengan tinggi badan (m2). Kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan dinamometer tangan. Analisis hubungan massa otot dan skeletal muscle index dengan kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil: Dari 64 subjek perempuan dewasa obesitas, 85,7% di antaranya memiliki massa otot yang rendah, dengan korelasi yang positif terhadap kekuatan genggam tangan kiri (p < 0,05, r = 0,354) dan tangan kanan (p < 0,05, r = 0,401). Namun hasil juga menunjukkan bahwa SMI subjek tidak memiliki korelasi dengan kekuatan genggam tangan mereka (p > 0,05), yang dapat disebabkan karena tinggi badan subjek yang lebih pendek dibandingkan standar tinggi sesuai usia.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa perempuan obesitas memiliki kadar massa otot yang rendah, yang jika menetap dapat menyebabkan penurunan kekuatan genggam tangan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka untuk mengidap sarkopenia obesitas.

Background: Obesity is a condition prevalent in Indonesian adults, in which 29,3% of them are women. Obesity may come with decreased muscle mass due to inactivity and inhibition of protein synthesis by fat. In women, decreased muscle mass may also be caused by reduced estradiol. Obesity may lead to complications such as diabetes mellitus type 2, heart disease, stroke, osteoarthritis, and sarcopenic obesity. Sarcopenic obesity is a condition characterized by obesity and a decrease muscle mass and function, seen through body mass index of > 25 kg/m2, reduced skeletal muscle index (SMI), and reduced handgrip strength or physical performance. Sarcopenia is more prevalent in the elderly, but previous studies have proven that decreases in muscle mass begins earlier. This study was done to see if adult obese female workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital have already experienced a decrease in muscle mass, SMI, and their correlation with handgrip strength.
Method: This cross-sectional study was done on  64 obese female adult workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Their muscle mass was measured using body impedance analysis and their skeletal muscle index was calculated by their muscle mass divided by their height (m2). Their handgrip strength was measured using a hand dynamometer. Analysis of the correlation of muscle mass and skeletal muscle with their handgrip strength was done using Pearson correlation.
Result: Of 64 obese female subjects, 85,7% of them have decreased muscle mass. Their muscle mass has positive correlation with both their left handgrip strength (p < 0,05, r = 0,354) and right handgrip strength (p < 0,05, r = 0,401). However, this study shows that SMI of subjects are not correlated with their handgrip strengths (p > 0,05). This can be caused by the subjects’ height being lower than the national age-standardized height.
Conclusion: Therefore, the results of this study supports the hypothesis that obesity is associated with lower muscle mass which could subsequently reduce handgrip strength, which increases their risk of having sarcopenic obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Rahmah Ayu Anggrenani
"Kanker kolorektal diketahui berhubungan dengan massa otot yang rendah. Massa otot yang rendah dihubungkan dengan luaran klinis yang buruk. Telah diketahui bahwa asupan protein adalah salah satu faktor yang berperan dalam mempertahankan massa otot. Namun, studi-studi yang ada mengenai efek pemberian protein tinggi pada pasien kanker kolorektal terhadap massa otot belum dapat disimpulkan karena kurangnya bukti dari penelitian berkualitas baik dan intervensi pada studi yang berbeda-beda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara asupan protein dengan indeks massa otot skelet pada pasien kanker kolorektal yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Penelitian menggunakan desain potong lintang pada subjek dewasa kanker kolorektal yang dirawat inap di RSCM. Asupan protein dinilai menggunakan multiple 24 hour recall. Indeks massa otot skelet didapatkan dari pengukuran massa otot skelet dalam kilogram menggunakan BIA multifrequency, lalu dibagi dengan tinggi badan dalam meter yang dikuadratkan. Sebanyak 52,5% subjek berjenis kelamin perempuan dan 50% subjek berada pada stadium IV. Terapi yang paling banyak telah dijalani subjek adalah kombinasi pembedahan dan kemoterapi (n=16, 40%). Tidak ditemukan korelasi antara asupan protein dan indeks massa otot skelet (r = -0,04, P=0,795).

Colorectal cancer is known to be associated with low muscle mass. Low muscle mass is associated with poor clinical outcome. It is known that protein intake is one of the factors that play a role in maintaining muscle mass. However, the existing studies on the effect of administering high protein in colorectal cancer patients on muscle mass have not been definitively concluded due to the lack of evidence from good quality studies and differences of intervention in existing studies. The purpose of this study was to determine the correlation between protein intake and skeletal muscle mass index in colorectal cancer patients who were hospitalized at the RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). The study used a cross-sectional design on adult subjects with colorectal cancer who were hospitalized at RSCM. Protein intake was assessed using multiple 24 hour recalls. Skeletal muscle mass index was obtained from the measurement of skeletal muscle mass in kilograms using BIA multifrequency, then divided by height in meters squared. A total of 52.5% of the subjects were female and 50% of the subjects were in stage IV. The most common therapy that the subject had undergone was a combination of surgery and chemotherapy (n=16, 40%). No correlation was found between protein intake and skeletal muscle mass index (r = -0.04, P=0.795)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Pelangi Wulan
"Latar belakang: Identifikasi forensik dengan parameter sinus sfenoidalis dapat berguna pada bencana massal di mana tubuh korban tidak lengkap, namun di Indonesia belum terdapat data parameter sinus sfenoidalis dan hubungannya dengan dismorfisme seksual pada populasi dewasa.
Tujuan: Menilai peran parameter sinus sfenoidalis dengan pemeriksaan MSCT untuk penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa, dengan membandingkan diameter anteroposterior, laterolateral, kraniokaudal, dan volume sinus sfenoidalis antara laki- laki dan perempuan dewasa lalu menentukan titik potong dan akurasinya dalam menentukan jenis kelamin.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain potong lintang perbandingan. Terdapat 140 subjek penelitian (70 laki-laki dan 70 perempuan) berusia 20–45 tahun yang menjalani MSCT kepala, sinus, nasofaring, dan wajah pada periode April–Juni 2023. Analisis bivariat dilakukan pada setiap parameter sinus sfenoidalis untuk menentukan hubungannya dengan jenis kelamin.
Hasil: Perbedaan rerata dari seluruh parameter bermakna secara signifikan (p=0,000) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dengan rerata laki-laki lebih besar dari perempuan. Titik potong untuk menentukan jenis kelamin laki-laki pada diameter anteroposterior adalah ≥2,94 cm (akurasi 67,9%), diameter laterolateral ≥3,595 cm (akurasi 62,9%), diameter kraniokaudal ≥2,235 cm (akurasi 73,6%), volume ≥12,265 cm3 (akurasi 69,3%). Kombinasi diameter anteroposterior dan kraniokaudal dapat memprediksi jenis kelamin laki-laki dengan probabilitas hingga 80,38%.
Kesimpulan: parameter sinus sfenoidalis dapat digunakan untuk menentukan luaran jenis kelamin.

Background: Forensic identification using sphenoidal sinus parameters can be helpful in mass disasters where the victim's body is incomplete. However, there is a lack of data regarding sphenoidal sinus parameters and their relationship with sexual dimorphism in the adult population in Indonesia.
Objective: To assess the role of sphenoidal sinus parameters in determining gender within the adult population using MSCT examination. This includes comparing the anteroposterior, laterolateral, craniocaudal diameters, and sphenoidal sinus volume between adult males and females. Additionally, it aims to establish cutoff points and accuracy in determining gender.
Method: A cross-sectional comparative design was employed in the study. The research involved 140 subjects (70 males and 70 females) aged 20–45 years who underwent head, sinus, nasopharynx, and facial MSCT scans between April and June 2023. Bivariate analysis was conducted for each sphenoidal sinus parameter to determine its association with gender.
Results: The mean differences in all parameters were significantly higher in males than in females (p=0.000). The cutoff points to determine male gender were as follows: anteroposterior diameter ≥2.94 cm (accuracy 67.9%), laterolateral diameter ≥3.595 cm (accuracy 62.9%), craniocaudal diameter ≥2.235 cm (accuracy 73.6%), and volume ≥12.265 cm3 (accuracy 69.3%). The combination of anteroposterior and craniocaudal diameters could predict male gender with a probability of up to 80.38%.
Conclusion: Sphenoidal sinus parameters can be utilized to determine gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Asih
"Tujuan Karena belum ada data mengenai gambaran Tomografi Komputer (TK) pada pasien retinoblastoma (RB) di Indonesia maka tujuan penelitian ini untuk menentukan distribusi pasien dan menggambarkan temuan TK pada pasien RB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode Melakukan pemeriksaan TK dari April 2004 sampai Agustus 2007 pada 64 pasien RB baru dengan tanda klinis leukocoria pada 19 pasien, leukocoria disertai dengan penonjolan bola mata pada 41 pasien, buftalmus pada 2 pasien dan mata merah pada 2 pasien. Pemeriksaan menggunakan single slice CT dan multislice CT potongan aksial dan potongan koronal.
Hasil TK dikelompokan menjadi 3 golongan: golongan I: tumor terbatas di bulbus okuli, golongan II: tumor meluas mengenai jaringan lunak orbita atau nervus optikus, dan golongan III: tumor meluas melewati orbita mencapai ruang intrakranial. Setiap golongan dievaluasi tentang adanya kalsifi kasi, penyangatan kontras dan lateralisasi. Hasil Dari 64 pasien retinoblastoma yang dievaluasi (30 anak perempuan dan 34 anak laki-laki) dengan rentang usia 3 bulan-9 tahun terdapat tumor bilateral pada 20 pasien, dan unilateral pada 44 pasien. Leukocoria ditemukan pada 19 pasien (6 pasien golongan I, dan 13 pasien golongan II). Proptosis ditemukan pada 41 pasien (27 pasien golongan II, dan 14 pasien golongan III). Pasien dengan bufthalmus dan mata merah ternyata dari hasil TK masuk golongan II. Kalsifi kasi dan penyangatan terlihat pada semua golongan I (6 pasien). Pada golongan II (44 pasien) ditemukan kalsifi kasi pada 41 pasien dan tidak terlihat penyangatan pada 6 pasien. Pada golongan III (14 pasien) tidak terlihat kalsifi kasi pada 2 pasien, sedangkan semua pasien lainnya memperlihatkan penyangatan.
Kesimpulan Pada studi ini kalsifi kasi terdapat pada 92% kasus. Kalsifi kasi bukan merupakan suatu petanda prognosis yang baik karena kalsifi kasi dapat terlihat pada hampir semua kasus ekstraokular dan intrakranial. Penyangatan kontras tidak berhubungan dengan perluasan tumor ke ekstraokular. Penemuan klinis leukocoria dan belum terdapat proptosis tidak menyingkirkan adanya perluasan ke ekstraokular. Kemungkinan invasi intrakranial harus difi kirkan pada pasien proptosis. Umumnya kasus RB di RSCM didiagnosis pada stadium lanjut sehingga tujuan terapi lebih untuk mempertahankan kehidupan tanpa melihat fungsi penglihatan.

Aim As data of CT fi ndings for retinoblatoma in Indonesia is not yet available, this study aimed to determine patient distribution and to describe CT fi ndings of RB patients at Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods From April 2004 to August 2007, CT scans were performed on 64 new patients of RB with clinical fi ndings: leukocoria (19 patients), leukocoria with proptosis (41 patients), buphthalmus (2 patients) and red eyes (2 patients). The CT scan was performed using single slice CT scan and multislice CT scan with axial and coronal section. The cases were categorized into 3 groups: grade I: tumor confi ned to the globe, grade II: tumor extended to orbital soft tissue or involved the optic nerve, and grade III: tumor extended beyond the orbit or intracranial space. The CT features were evaluated in each group for the presence of calcifi cation, contrast enhancement and lateralization.
Results Sixty four patients (30 females and 34 males) were evaluated. Age range: 3 months up to 9 years old; bilateral 20 patients, unilateral 44 patients. Six patients of 19 patients with clinical fi nding leukocoria were included in group I, and the remaining were included in group II. Twenty seven patients of 41 patients with proptotic eyes were included in group II, and the remaining were included in group III. Patients with clinical fi nding buphthalmus and red eyes were included in group II. All of the group I tumors (6 patients) showed calcifi cation and enhancement. In group II (44 patients), calcifi cation was detected in 41 patients, and there was no evidence of contrast enhancement in 6 patients. Group III (14 patients): no calcifi cation in 2 patients, all of the tumors showed enhancement.
Conclusion Our study showed calcifi cation in 92% of RB. Calcifi cation was not a favorable prognostic sign, because calcifi cation was detected in almost all of the extraocular and intracranial tumors. Tumor enhancement was not correlated with extra ocular tumor extension. The fi nding of leukocoria without proptosis could not exclude the presence of extraocular tumor extension. Suspicious intracranial invasion should be considered in proptotic RB patient. Most retinoblastoma cases in Indonesia are diagnosed at advanced stage, so that the objective of the therapy is life saving rather than visual salvation Key words: leukocoria, enhancement, calcifi cation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vien Arina Ridwan
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah awal yang penting dan akan memengaruhi analisis forensik selanjutnya. Pada kasus tertentu, identifikasi jenis kelamin terbatas pada tulang jenazah. Mastoid merupakan bagian tulang yang potensial, didukung dengan dimorfisme seksual tinggi, keutuhan dan simetrisitasnya. Tinggi mastoid konsisten menunjukkan nilai akurasi diskriminasi jenis kelamin yang cukup tinggi. Kombinasinya dengan parameter osteometrik lainnya meningkatkan akurasi hingga 85%. Di Indonesia, penelitian radiologis mengenai estimasi jenis kelamin berdasarkan parameter mastoid masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian awal yang dapat mendukung penelitian pada cakupan yang lebih mendalam. Tujuan: Menilai perbandingan rerata pengukuran parameter osteometrik mastoid antara jenis kelamin, serta menentukan akurasi dan model prediksi estimasi jenis kelamin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan potong lintang, menggunakan data sekunder antemortem parameter osteometrik mastoid dari CT scan multiplanar. Tinggi mastoid sejati dan konvensional, diameter oblik dan sagital, serta volume mastoid diukur pada mastoid kanan dan kiri subjek. Jumlah subjek sebanyak masing-masing 105 perempuan dan laki-laki. Analisis komparatif dan penentuan titik potong dengan kurva ROC untuk menentukan akurasi (batas kemaknaan statistik alpha 5%). Model prediksi diperoleh dengan analisis regresi logistik. Hasil: Didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh parameter mastoid antara laki-laki dan perempuan (p 0,000). Nilai AUC pada seluruh parameter mastoid berkisar antara 91,1%-96,5% dengan akurasi dalam estimasi jenis kelamin laki-laki berkisar antara 87%-93%. Estimasi jenis kelamin laki-laki menggunakaan kombinasi tinggi mastoid sejati dan konvensional, serta volume mastoid tertinggi dapat mencapai probabilitas sebesar 97%. Kesimpulan: Parameter osteometrik mastoid antara jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan dan akurasi yang tinggi untuk estimasi jenis kelamin.

Background: Gender identification is an initial and essential step for further forensic analysis. In certain cases, gender identification is often restricted to skeletal remains. Mastoid process is potential skeletal remains for gender estimation, considering its sexual dimorphism, strength, and symmetry. Mastoid height demonstrates consistent high accuracy in gender discrimination. Combinated with other mastoid parameters enhances its accuracy for up to 85%. In Indonesia, radiological research on gender estimation using these parameters is limited, requiring initial study to support deeper research scope. Objective: To compare mastoid osteometric parameter measurements between gender, to assess its accuracy and prediction model for gender estimation. Methods: This study was a cross-sectional comparative study using secondary antemortem measurements of mastoid osteometric parameters from multiplanar CT scan, which included bilateral true and conventional mastoid height, oblique and sagittal diameter, and mastoid volume measurements. Measurement datas from 105 male and female subject were analyzed. Comparative analysis and cut-off point were determined using ROC curve analysis to obtain accuracy. Statistical significance threshold used was alpha 5%. Prediction model was obtained from logistic regression analysis. Results: All mastoid osteometric parameters showed significant differences between gender (p 0,000). AUC value from all parameters ranged from 91,1% to 96,5%, with accuracy for male gender estimastion ranged from 87% to 93%. Combination of true and conventional mastoid height, and mastoid volume offered probability of male estimation for up to 97%. Conclusion: Mastoid osteometric parameters in each gender group demonstrated statistically significant differences and highly accurate for gender estimation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Fitria
"Pendahuluan: Atresia bilier adalah kelainan pada saluran empedu yang merupakan penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal terbanyak dan menjadi indikasi transplantasi hati tersering (+ 50%) pada bayi dan anak. Keterlambatan diagnosis pada pasien atresia bilier di Indonesia menyebabkan angka THDH (transplantasi hati donor hidup) primer pada atresia bilier lebih tinggi dibandingkan dengan pusat transplantasi lain di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran THDH primer pada pasien atresia bilier di RSCMdan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien anak dengan atresia bilier yang dilakukan THDH primer sejak Desember 2010 hingga Desember 2019. Luaran pasien dalam satu tahun pascaoperasi berupa morbiditas (komplikasi, lama rawat, relaparotomi) dan mortalitas dianalisis terhadap faktor prognostik praoperasi dan intraoperasi.
Hasil: Telah dilakukan 58 operasi transplantasi hati di RSCM dengan 85% (34 subjek) merupakan THDH primer pada anak dengan atresia bilier. Mayoritas adalah laki-laki dengan median usia 14 bulan. Sebagian besar subjek mengalami gizi kurang (64,5%). Rerata skor PELD adalah 17,09, rerata GRWR sebesar 3,11. Rerata perdarahan intraoperasi sebesar 670,4 mL dengan median lama operasi 690 menit, median CIT adalah 57 menit dan rerata WIT adalah 54,9 menit. Komplikasi terjadi pada 96,7% subjek, dengan infeksi (77,4%) sebagai komplikasi tertinggi. Relaparotomi dilakukan pada 54,8% subjek. Median lama rawat 41 hari dengan rentang 18-117 hari. Mortalitas dalam satu tahun pascatransplantasi sebesar 9,3%. Hubungan bermakna didapatkan antara gizi kurang terhadap komplikasi infeksi (p = 0,033), GRWR terhadap lama perawatan pascaprosedur THDH primer (p = 0,00) dan WIT terhadap kejadian relaparotomi (p = 0,007).
Simpulan: Dengan karakteristik pasien atresia bilier yang ada di Indonesia (mayoritas gizi kurang dan rerata skor PELD tinggi) didapatkan angka mortalitas satu tahun cukup kecil dan sebanding dengan pusat transplantasi di dunia. Kejadian relaparotomi dan komplikasi infeksi masih menjadi masalah utama dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi intervensi baik pembedahan maupun medikamentosa dalam memeperkecil kejadian morbiditas dan mortalitas.
Kata Kunci : Atresia bilier, THDH primer, luaran, morbiditas, mortalitas

Introduction: Biliary atresia is a disorder of the bile duct that the most common cause neonatal extrahepatic cholestasis and the most common indication for liver transplantation (+ 50%) in infants and children. Delayed in diagnosis patients with biliary atresia in Indonesia causes the primary LDLT (living donor liver transplantation) rate to be higher than other transplant centers in the world. This study aimed to assess the primary LDLT outcome patients with biliary atresia in RSCM and influencing factors.
Methods: This study was a retrospective cohort study using data on pediatric patients with biliary atresia who were undergoing primary LDLT from December 2010 to December 2019 in RSCM. Patient outcomes within one year postoperatively in the form of morbidity (complications, length of stay, relaparotomy) and mortality were analyzed for preoperative and intraoperative prognostic factors.
Results: There have been 58 liver transplantions in RSCM with 85% (34 subjects) being primary LDLT in children with biliary atresia. The majority were men with median age 14 months. Most of the subjects experienced malnutrition (64.5%). The average PELD score was 17.09, the average GRWR was 3.11. The mean intraoperative bleeding was 670.4 mL with median operating time 690 minutes, median CIT was 57 minutes and the mean WIT was 54.9 minutes. Complications occurred in 96.7% subjects with infection (77.4%) as the highest complication. Relaparotomy was performed in 54.8% subjects. The median length of stay was 41 days with a range of 18-117 days. One year post transplantation mortality was 9.3%. There were statistically significant found between malnutrition and infection complications (p = 0.033), GRWR with length of stay after primary LDLT (p = 0.00) and WIT with incidence of relaparotomy (p = 0.007).
Conclusion: With the characteristics of biliary atresia patients in Indonesia (majority was malnutrition and the average PELD score is high) the one-year mortality rate is quite small and comparable to transplantation centers in the world. The incidence of relaparotomy and infectious complications are still major problems and further research is needed to evaluate both surgical and medical interventions in minimizing the incidence of morbidity and mortality.
Key words: Biliary atresia, primary LDLT, outcome, morbidity, mortality"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sri Wulandari
"Latar Belakang: Penyakit saluran pencernaan merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi di seluruh dunia, pembedahan menjadi prosedur utama dalam penanganan tumor dan kanker saluran cerna. Tindakan pembedahan ini sering kali berisiko menimbulkan komplikasi, seperti penurunan massa otot rangka akibat peningkatan respon inflamasi. Rasio C-Reactive Protein (CRP) terhadap albumin dapat digunakan sebagai indikator penting dalam memprediksi prognosis dan komplikasi pasca operasi, termasuk inflamasi sistemik dan penurunan indeks massa otot rangka. Pengukuran rasio CRP terhadap albumin yang menilai status inflamasi dapat menggambarkan penurunan massa otot yang dinilai dengan perubahan Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) pra dan pascaoperasi pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pengukuran kadar CRP dan albumin satu sampai tujuh hari praoperasi, kemudian hasil CRP dan albumin dibagi menjadi rasio CRP terhadap albumin. Pengukuran ASMI menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) seca® mBCA 525 yang dilakukan satu sampai tiga hari praoperasi dan lima sampai tujuh hari pascaoperasi. Karakteristik subjek lainnya meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, IMT, status gizi berdasarkan GLIM, etiologi pembedahan, penyakit penyerta, kadar CRP praoperasi, kadar albumin praoperasi, serta asupan energi dan protein praoperasi.
Hasil: Terdapat 78 subjek dengan rerata usia 52 tahun dan mayoritas perempuan (57,7%). Terdapat 60,3% status malnutrisi menurut kriteria GLIM, 32% subjek mengalami delta ASMI turun, asupan energi kurang sebanyak 48,7%, asupan protein kurang sebanyak 57,7%, dan nilai median rasio CRP terhadap albumin 5,98. Tidak terdapat korelasi rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI (p = 0,424). Tidak terdapat perbedaan bermakan antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI turun dan tidak turun (p = 0,813).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI pada pasien yang menjalani pembedahan saluran cerna mayor. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rasio CRP terhadap albumin dengan delta ASMI turun dan tidak turun.

Background: Gastrointestinal diseases are prevalent health problems worldwide, with surgery being the primary procedure for treating tumors and gastrointestinal cancers. However, this surgical intervention often carries the risk of complications, such as a decline in skeletal muscle mass due to increased inflammatory responses. The C-Reactive Protein (CRP) albumin ratio can serve as a significant indicator for predicting prognosis and postoperative complications, including systemic inflammation and a decrease in skeletal muscle index. Measuring the CRP albumin ratio, which assesses inflammatory status, can reflect muscle mass reduction, evaluated through changes in Appendicular Skeletal Muscle Index (ASMI) before and after surgery in patients undergoing major gastrointestinal surgery.
Methods: This study is a prospective cohort conducted on patients undergoing major gastrointestinal surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. CRP and albumin levels were measured 1 to 7 days preoperatively, and the CRP to albumin ratio was calculated. ASMI was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) seca® mBCA 525 within 1 to 3 days before surgery and 5 to 7 days postoperatively. Other subject characteristics included age, sex, body weight, height, BMI, nutritional status based on GLIM criteria, surgical etiology, comorbidities, preoperative CRP levels, preoperative albumin levels, and preoperative energy and protein intake.
Results: A total of 78 subjects with a mean age of 52 years were included, with the majority being female (57.7%). There were 60.3% of subjects with malnutrition status according to GLIM criteria, 32% experienced a decrease in delta ASMI, 48.7% had inadequate energy intake, 57.7% had insufficient protein intake, and the median CRP-to-albumin ratio was 5.98. There was no correlation between the CRP albumin ratio and delta ASMI (p = 0.424). There was also no significant difference between the CRP albumin ratio and decreased versus non- decreased delta ASMI (p = 0.813).
Conclusion: There was no correlation between the CRP albumin ratio and delta ASMI in patients undergoing major gastrointestinal surgery. Additionally, no significant difference was found between the CRP albumin ratio and decreased versus non-decreased delta ASMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sonya Anasrul
"Latar belakang dan tujuan: Menentukan korelasi nilai Ejection Fraction (EF) ventrikel kiri pada echo 2D dan DSCT jantung pada pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) stabil di RSUPN Cipto Mangunkusumo, sehingga nilai EF ventrikel kiri DSCT jantung dapat dijadikan acuan untuk evaluasi, penatalaksanaan dan prognosis pada PJK stabil yang mempunyai indikasi dilakukan CT jantung.
Metode: Analisa retrospektif dari 30 pasien PJK stabil yang menjalani pemeriksaan echo 2D dan DSCT jantung dengan jarak waktu ≤ 3 bulan, meliputi penilaian EF ventrikel kiri. Berdasarkan nomor rekam medis yang ada, dilakukan pengambilan data EF ventrikel kiri echo 2D serta data tambahan lainnya. Nilai EF ventrikel kiri secara DSCT di evaluasi kembali pada cardiac workstation (Siemens, Leonardo), kemudian ditentukan bagaimana korelasinya dengan nilai EF ventrikel kiri secara echo 2D. Analisis statistik penelitian ini menggunakan uji Spearman.
Hasil: Terdapat perbedaan nilai EF ventrikel kiri sebanyak 4% antara echo 2D dengan DSCT jantung. Perbedaan sebanyak 4% ini tidak bermakna signifikan secara klinis namun bermakna secara statistik. Nilai R Spearman yang didapat adalah 0,17 sementara nilai p 0,364 (p > 0,005), artinya tidak terdapat korelasi antara nilai EF ventrikel kiri secara echo 2D dengan DSCT jantung pada pasien PJK stabil yang menjalani pemeriksaan echo 2D dan DSCT jantung dengan jarak ≤ 3 bulan di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Kesimpulan: Walaupun pada penelitian ini secara statistik tidak berkorelasi, namun pada keadaan hasil echo yang borderlineatau pada pasien PJK stabil yang mempunyai indikasi dilakukan CT jantung, nilai EF ventrikel kiri pada CT dapat menjadi acuan untuk penatalaksanaan selanjutnya.

Background and Objectives: to determine the correlation left ventricle Ejection Fraction (EF) between echo 2D and cardiac DSCT in Coronary Heart Disease (CHD) patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, so that the value of the left ventricular EF cardiac DSCT can be used as a reference for the evaluation, treatment and prognosis in stable CHD who have an indication of cardiac CT.
Methods: A retrospective analysis of 30 patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with interval ≤ 3 months, include assessment of left ventricular EF. Based on the existing medical record number, performed data collection left ventricular EF 2D echo and other additional data. Value of left ventricular EF in DSCT in return on cardiac evaluation workstation (Siemens, Leonardo), then determined how its correlation with left ventricular EF values in 2D echo. Statistical analysis of this study using the Spearman test.
Result: There are differences in left ventricular EF value by 4% between 2D echo with cardiac DSCT. The difference of 4% is not clinically significant, but statistically significant. Spearman R value obtained was 0.17 while the p-value 0.364 (p> 0.005), meaning that there is no correlation between the value of the left ventricular EF in 2D echo and cardiac DSCT in patients with stable CHD who underwent 2D echo and cardiac DSCT with distance ≤ 3 month in Cipto Mangunkusumo hospital.
Conclusion: Although this study was not statistically correlated, but the results echo borderline or in stable CHD patients who had cardiac CT indications, left ventricular EF values on CT can be a reference for further management.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>