Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 218538 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chaterine Maria Adhya Kusuma
"Skripsi ini mengeksplorasi dinamika narasi pengalaman sakit (illness narrative) pada orang dengan talasemia mayor dewasa muda di Indonesia. Penelitian ini berfokus pada bagaimana orang dengan talasemia mayor membangun cerita tentang perjalanan dan pengalaman mereka hidup dengan penyakit kronis. Pendekatan yang digunakan adalah konsep illness narrative dari Arthur Kleinman dan klasifikasi tipe narasi sakit oleh Arthur Frank (restitution, chaos, dan quest). Penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam dan penelitian lapangan terhadap tiga informan utama yang mengidap sakit talasemia mayor serta satu pendamping pasien. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa narasi pengalaman sakit orang dengan talasemia mayor melibatkan dinamika yang kompleks, mencakup harapan pemulihan (restitution), kekacauan yang muncul akibat tantangan fisik dan sosial (chaos), hingga penerimaan kondisi yang diwujudkan dalam upaya membangun kekuatan hidup (quest). Dinamika narasi ini tidak hanya mencerminkan proses internal individu, tetapi juga dipengaruhi oleh interaksi dengan keluarga, tenaga kesehatan, komunitas sesama penderita talasemia, dan masyarakat luas. Dalam konteks ini, narasi para informan menggambarkan bagaimana pengalaman fisik, emosional, dan sosial mereka saling berkelindan. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada kajian antropologi kesehatan dengan menyoroti pentingnya memahami pengalaman subjektif orang dengan penyakit kronis, sekaligus memberikan wawasan praktis tentang kebutuhan dukungan medis dan sosial yang lebih baik bagi pasien talasemia mayor di Indonesia.

This thesis explores the dynamics of illness narratives among young adults with thalassemia major in Indonesia. The study focuses on how individuals with thalassemia major construct stories about their journeys and experiences living with this chronic illness. The approach employed combines the illness narrative framework of Arthur Kleinman and the narrative typology of Arthur Frank, which classifies narratives into restitution, chaos, and quest. This research was conducted through in-depth interviews and fieldwork with three primary informants who have thalassemia major and one caregiver. The findings reveal that the illness narratives of individuals with thalassemia major involve complex dynamics, encompassing hopes for recovery (restitution), chaos arising from physical and social challenges, and the acceptance of their condition, which manifests in efforts to build resilience (quest). These narrative dynamics not only reflect internal individual processes but are also shaped by interactions with family, healthcare providers, peer communities of individuals with thalassemia, and society at large. In this context, the narratives illustrate how physical, emotional, and social experiences are intertwined. This study contributes to the field of medical anthropology by emphasizing the importance of understanding the subjective experiences of individuals with chronic illnesses while offering practical insights into the need for better medical and social support for patients with thalassemia major in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Billy Teviano
"Penelitian ini mengkaji tentang illness narrative berupa pengalaman mahasiswa penderita gangguan kejiwaan yang mengalami stigma di lingkungan sosial kampus Universitas Indonesia, menggunakan metode kualitatif etnografi yang meliputi pengamatan, wawancara mendalam, serta studi literatur. Penelitian ini menemukan bahwa para narasumber yang notabene adalah mahasiswa pengidap gangguan kejiwaan mengalami stigma berupa label, stereotyping, serta diskriminasi terjadi pada saat mereka beraktifitas di lingkungan sosial masing-masing; di tingkatan program studi, lingkup satu angkatan, serta lingkup Unit Kegiatan Mahasiswa. konstruksi illness narrative yang dipaparkan oleh masing-masing informan memberikan petunjuk akan kejadian dalam hidup yang menurut mereka penting, yaitu beban emosional yang disebabkan karena stigma yang terjadi pada lingkup sosial terdekat di kampus yang menyebabkan kondisi psikis mereka secara signifikan menurun dan berpengaruh terhadap aspek sosial dan akademis para informan.

This study examines the illness narrative in the form of experiences of students with mental disorders who experience stigma in the social environment of the University of Indonesia campus, using qualitative ethnographic methods which include observations, in-depth interviews, and literature studies. This study found that the informants who incidentally were students with mental disorders experienced stigma in the form of labels, stereotyping, and discrimination occurred when they were active in their respective social environments; at the study program, with fellow students of same year, and the scope of Extracurricular Student Units. The construction of illness narrative presented by each informant provides clues to events in life that they think are important, namely the emotional burden caused by the stigma that occurs in the closest social sphere on campus which causes their psychological condition to significantly decrease and affect social and psychological aspects of the academic informants."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.F. Mubin
"Stigma adalah label negatif yang diberikan masyarakat kepada seseorang atau kelompok tertentu. Keluarga dengan gangguan jiwa sering kali mengalami stigma oleh masyarakat dalam lingkungan tempat tinggalnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman stigma pada keluarga dengan klien gangguan jiwa di kota Semarang. Penelitian ini dilakukan dengan disain fenomenologi deskriptif dengan metode wawancara mendalam. Partisipan adalah anggota keluarga yang tinggal bersama penderita gangguan jiwa yang didapat dengan cara purposive sampling. Data yang dikumpulkan berupa hasil rekaman wawancara dan catatan lapangan yang dianalisis dengan menerapkan tehnik Collaizi.
Penelitian ini mengidentifikasi 9 tema, yaitu: 1) respon kehilangan; 2) mekanisme Koping yang digunakan; 3) respon terhadap hubungan sosial; 4) konsekuensi negatif; 5) konsekuensi positif; 6) makna positif; 7) makna negatif; 8) harapan kepada masyarakat; dan 9) harapan kepada petugas kesehatan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengalaman stigma pada keluarga sangat beragam, mulai dari respon keluarga, dampak stigma, makna stigma dan harapan keluarga terhadap stigma. Hasil penelitian diharapkan tenaga kesehatan profesional mampu meminimalisasi dampak dari stigma masyarakat dan stigma dari diri sendiri.

Stigma is a negative labeling from the people to a person or a certain group. A family with mentally illness person often experience stigma from the people who live nearby their neighborhood. The goal of this study was to have the picture of the stigma experience on the family with mentally illness client in Semarang. The method of this study is descriptive phenomenology design using in-depth interview method in data making. Participants are the family member who live together with mentally illness client and selected based on the purposive sampling method. The data that had been collected were recorded interviews and field notes. The data was analyzed by Collaizi technique.
The findings of this study were 9 themes, which are: 1) grieving response, 2) the coping mechanism that had been used, 3) social relationship response, 4) negative consequences, 5) positive consequences, 6) positive implication, 7) negative implication, 8) people expectation, and 9) health professional's expectation. The result were showed the variation on the stigma experience such as family member response, the impact and implication of stigma, and the family expectation toward the stigma. From this study, the health professionals are expected to minimize the stigma among the people and personal stigma among the client.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Diah Ciptaning Tyas
"ABSTRAK
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis, dan Indonesia menempati urutan ke-4 jumlah pasien DM di dunia. Perawatan diri dan persepsi sakit membantu mengontrol gula darah, sehingga mencegah munculnya gejala lebih lanjut ataupun komplikasi DM yang membuat pasien menurun kualitas hidupnya.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan perawatan diri dan persepsi sakit dengan kualitas hidup pasien DM tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan. Metodologi penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain analitik menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian terdiri dari 122 responden dengan teknik pengabilan sampel purposive.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata usia 58,43 tahun, sebagian besar berjenis kelamin perempuan, berpendidikan tinggi, terapi yang dilakukan Obat Hipoglikemik Oral (OHO), dengan rata-rata lama sakit 7,64 tahun dan mengalami komplikasi akibat penyakit DM. Analisis hubungan menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara perawatan diri dan persepsi sakit dengan kualitas hidup (p < 0,05). Analisis lebih lanjut menunjukkan responden dengan persepsi sakit positif memiliki peluang 93 kali untuk memiliki kualitas hidup baik dibanding persepsi sakit negatif (95% CI: 16,89-541,38) dan responden yang taat melakukan perawatan diri memiliki peluang 24 kali untuk memiliki kualitas hidup baik dibanding responden yang kurang taat (95% CI: 5,06-118,79).
Berdasarkan penelitian ini disarankan perlunya peningkatan
kemampuan perawatan diri pasien dan persepsi sakit melalui pengoptimalan program
pendidikan kesehatan yang terprogram dan kelompok diabetes.

ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a chronic illness, Indonesia placed the fourth rank of DM population the world. Self care and illness perceptions are helping control blood glucose, therefore to prevent the occurence of symptoms or it?s complication that reduce quality of life.
This study aimed to identify correlation between self care and illness perception with quality of life of type 2 diabetic patients in nursing care context. Research methodology was quantitative research with analytic design using cross sectional approach. The sample consisted of 122 respondents who were taken by purposive
sampling technique.
The result showed mean of age respondent was 58.43 years old, the majority was female, have high education level, use Oral Hypoglycemic Medication, the mean duration of DM 7.64 years and have complication of DM. Correlation analysis revealed that there was a significant correlation between self care and illness perception with quality of life (p < 0.05). Further analysis showed that respondents who had positive illness perception were 93 times had better quality of life than negative perception (95% CI; 16.89-541.38). In addition, respondents who adherence in self care had 24 times had better quality of life than respondents who less adherence (95% CI: 5.06-118.79).
Based on this result suggested to increase self care patient?s ability and illness perception through taking optimal health education programme and diabetic discussion group."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Beers, Clifford Whittingham
New York: Doubleday, 1948
920.8 BEE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwiek Natalya
"Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang bertujuan untuk menggali pengalaman mekanisme dan strategi koping pada orang dengan HIV/AIDS ( ODHA ) dalam mengahadapi stres akibat penyakitnya di Yogyakarta. Populasi penelitian ini adalah ODHA yang tercatat dalam Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Yogyakarta. Jumlah sampel keseluruhan dalam penelitian ini adalah 22 partisipan, yang terbagi dalam wawancara mendalam 9 orang dan focus group discussion 13 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan mengalami stres saat pertama kali mengetahui diagnosis penyakitnya. Sebagian besar dari mereka tidak mempercayai status penyakitnya saat itu. Sumber stres terbesar pada ODHA adalah kematian, efek samping obat, diskriminasi, ditinggal oleh orang yang disayang dan diketahuinya status HIV/AIDS oleh orang-orang terdekat atau yang disayangi. Mekanisme koping yang digunakan adalah reaksi yang berorientasi pada ego, sebagian besar partisipan melakukan denial, projeksi, dispacement, isolasi dan menyembunyikan status. Reaksi yang berorientasi pada verbal yang banyak dilakukan adalah meremas dan diam, sedangkan reaksi yang berorientasi pada masalah partisipan lebih banyak mencari tahu tentang HIV/AIDS dengan membaca buku atau menanyakan pada orang yang lebih tabu tentang HIVIAIDS.
Kesimpulan penelitian ini adalah pengalaman mekanisme dan strategi koping pada ODHA berbeda-beda, ada yang adaptif dan maladaptif. Hal ini dapat terjadi karena faktor penghambat dan pendukung koping dari masing-masing partisipan berbeda. Untuk itu diperlukan upaya mengarahkan mekanisme koping dan strategi koping yang tidak merugikan din sendiri maupun orang lain. Penggunaan konsep model Betty Neuman dalam asuhan keperawatan komunitas terhadap ODHA dapat membantu pembentukan strategi koping yang adaptif.

This research is a qualitative research with phenomenology approach that has intention to dig experience of the coping strategy to Man with HIV/AIDS (MWHA) in facing stress as a consequence of the illness in Yogyakarta. This research population is the MWHA who is registered in the Commission of AIDS Tackling in Yogyakarta. The number of the whole samples in this research is 22 participants, which is divided into deep interview 9 people and focus group discussion 13 people. The data analysis used is constant comparative method.
The result of the research showed that the participants get stress at the first time they knew the illness diagnosis. Most of them did not believe their illness statues at the time. The biggest stress sources towards the MWHA are discrimination, death, medicine side effect, left by close friend, and people know about the statues of HIV/AIDS. Coping mechanism used, is reaction oriented to egoistic, most of the participants make a denial, projection, displacement, isolation, impulsive and hiding their statues. Coping strategy used by MWHA comprise strategy focused on problems and strategy focused on emotion. Strategy focused on problems includes carefulness for instance looking for information from media, instrumental action for example looking for self medicinal treatment a negotiation. While strategy focused on emotion includes self resignation such as praying, reinterpretation as a colleague of MWHA and social support for example family.
The conclusion of the research is the experience of the coping strategy to each MWHA is different; one of the possibility reasons is stigmatization and discrimination to HIV/AIDS. Therefore, efforts are needed to direct the coping mechanism and coping strategy that do not give any harm to us and others. The use of concept of Betty Neuman's model in upbringing of community care to MWHA is need to be considered to be more examined, especially in forming a good coping strategy to MWHA.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
T17473
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelin Saulinggi
"Latar belakang: Provinsi Maluku dilanda konflik berkekerasan sejak awal tahun 1999. Hal ini mendorong ribuan orang untuk mengungsi mencari tempat yang Iebih aman. Tinggal di tempat pengungsian sering menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. Menurut kepustakaan timbulnya gangguan mental pada pengungsi berhubungan dengan faktor risiko dan pengalaman traumatik yang pemah dialami, serta masalah psikososial yang dihadapi selama di pengungsian. Penelitian dilakukan untuk melihat prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang dengan sampel sebanyak 214 pengungsi berusia 18 - 65 tahun yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon selama bulan Februari - Maret 2006. Data sosiodemografik dan data pengalaman traumatik dan pengungsian diperoleh melalui kuesioner. Data mengenai gangguan mental diperoleh dengan menggunakan instrumen MINI-ICD-10. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS-13.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 30,4% responden mengalami gangguan mental, dengan prevalensi terbanyak ialah gangguan yang berhubungan dengan penggunaan alkohol, diikuti gangguan depresi, gangguan cemas menyeluruh, gangguan distimia, episode manik, episode manik yang berkomorbid dengan ketergantungan alkohol, gangguan stres pascatrauma, dan gangguan depresi yang berkomorbid dengan gangguan lainnya. Saat dilakukan analisis bivariat dan multivariat, ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dan jenis kelamin dengan terjadinya gangguan mental. Untuk analisis multivariat diperoleh p: 0,07 dan OR: 2,4 untuk variabel usia dan untuk variabel jenis kelamin p: 0,08 dan OR: 0,4.
Kesimpulan: Prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon sedikit lebih tinggi dari populasi normal, namun lebih rendah dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pengungsi di tempat lain. Hal ini disebabkan keterbatasan instrumen yang digunakan, serta pelaksanaan penelitian jauh setelah kerusuhan terjadi.

Background: Maluku province had riot and conflict since early of 1999 which encouraged thousand of people to move and find a safer place. Living in refugee wards often cause uncomfortable feeling and extended trauma. According to literature source, mental disorders in refugees are related to risk factors, suffered traumatic experiences, and psychosocial problems during their daily live in refugee ward. This study was conducted to recognize the prevalence of mental disorder in adult refugees who lived in refugee wards of Ambon city.
Methods: This study was a descriptive study with cross-sectional design. The sample were 214 refugees aged 18 - 65 years old who lived in refugees wards of Ambon city during February - March 2006 period. Sosiodemographic data and data of traumatic experiences and refugee were obtained from questioners. Data of mental disorder was obtained by using MINI-KO-10 instrument. Results were analyzed by using program of SP55-13.
Results: The study results indicated there were 30.4% subjects with mental disorder. The most common prevalence was mental disorder related to alcohol abuse and followed by depression disorder, generalized anxiety disorder, dystimia disorder, manic episodes, manic episodes with co morbidity of alcohol dependence, post-traumatic stress disorder, and depression disorder with co morbidity of other disorders. By using bivariate and multivariate analysis, there was significant association between age and gender with mental disorder. For multivariate analysis, there were p: 0.07 and OR: 2.4 for the age variable and p: 0.08 and OR: 0.4 for gender variable.
Conclusions: The prevalence of mental disorder in refugees who lived in refugee wards of Ambon city is slightly higher than normal population, but it is lower than previous studies in other refugee wards. This is caused by limitation of instrument utilized and timing of study, i.e. the study was conducted long after the riot and conflict occurred.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tantri Widyarti Utami
"ABSTRAK
Gangguan jiwa dialami oleh 81 jiwa dari 13764 jiwa penduduk dikelurahan
Sindangbarang Bogor, pelayanan kesehatan jiwa masyarakat melalui puskesmas
belum berjalan dan belum adanya kelompok swabantu (self help group ) klien dan
keluarga. Penelitian ini berjudul pengaruh self help group terhadap kemampuan
keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa di kelurahan Sindangbarang
Bogor.Tujuan penelitian ini adalah memperoleh pengaruh self help group terhadap
kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa. Desain yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ”Quasi experimental pre-post test without control group”
dengan intervensi self help group. Cara pengambilan sampel adalah purposive
sampling dengan sampel sebanyak 18 keluarga . Self help group dilakukan pada tiga
kelompok; kelompok I diberikan self help group dengan enam kali pertemuan
(empat kali bimbingan dan dua kali mandiri), kelompok II diberikan self help group
dengan enam kali pertemuan ( dua kali bimbingan dan empat kali mandiri) dan
kelompok III diberikan self help group dengan tiga kali pertemuan tanpa dibimbing.
Kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga diukur dengan menggunakan
kuesioner dan dianalisis menggunakan statistik.Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien
gangguan jiwa secara bermakna. Kemampuan kelompok yang mendapatkan self help
group dan dibimbing dua kali meningkat lebih tinggi secara bermakna dibandingkan
dengan yang dibimbing empat kali dan tanpa bimbingan.Direkomendasikan
membentuk dan melaksanakan self help group bagi keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan gangguan jiwa.

ABSTRACT
Mental illness experienced by 81 people among 13.764 inhabitants in District of
Sindangbarang, Bogor At the same time, a serving for psychology health program by
Centre of Community Health is not run well, and self help group for client and his/her
family was not exist. The title of this research is The Influence of Self Help Group to
Family Ability in Taking Care Client with Mental illness in District of Sindangbarang,
Bogor.
The research was aimed to get a comprehensive picture about the influence of self help
group to family ability in taking care client with Mental illness. Design of the research
was using “quasi experimental pre-post test without control group” by using self help
group intervention. A sample consist of 18 families was chosen by using purposive
sampling. Self Help Group treatment was divided into 3 groups as follows: Group I (6
times meeting consists of 4 times assisting and 2 times self helping); Group II (6 times
meeting consists of 2 times assisting and 4 times self helping) and Group III (3 times self
helping meeting and none assisting ).
The family’s cognitive ability and psychomotor ability are valued by using cognitive
ability and psychomotor ability questioner, and then the results of questioners are
analyzed by using statistic method. The research showed a significant increase in
family’s cognitive ability and psychomotor ability in taking care client with mental
illness. The abilities of the group that treated by self help group with 2 times assisting
were increase highly and significantly compare to the group with 4 times assisting and
the group without assisting. It is recommended to form and to conduct self help group to
families who have client with mental illness."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suswanti
"Diare akut sarnpai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare ini masih sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Dalam periode tahun 2005-2006, jumlah kasus penyakit diare di Kabupaten Landak mengalami kenaikan yang cukup tajam. Tahun 2005 sebanyak 4.474 kasus (1 meninggal) dan tahun 2006 naik menjadi 6.210 kasus (2 meninggal). Diare menempati urutan ketiga setelah ISPA dan Malaria dalam proporsi sepuluh penyakit terbesar di Kabupaten Landak. Tingginya kejadian penyakit diare ini menimbulkan kerugian sosial ekonomi dan berdampak pada pembiayaan pemerintah dan masyarakat. Penelitian terhadap kerugian yang dialarni oleh diare pemah dilakukan hanya pada satu sisi saja yaitu pada sisi pasien. Sementara sisi provider belum pemah dilakukan. Biaya yang timbul pada sisi provider maupun pasien masing-masing diklasifikasikan sebagai biaya langsung (drect cost) dan biaya tak langsung (indirect cost). Untuk itu penelitian ini bertujuan secara umum rnemperoleh gambaran tentang besaran biaya yang ditimbulkan akibat sakit (cost of illness) rawat jalan diare. Sedangkan Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik pasien rawat jalan diare, besaran biaya langsung (direct cost) dan biaya tak langsung (indirect cost) pada sisi provider dan pasien yang melakukan kunjungan ke puskesmas dalam satu periode sakit.
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan jumlah responden sebanyak 96 orang yang dilaksanakan di wilayah kerja Puskesrnas Ngabang Kalimantan Barat pada buian Maret s/d Mei 2007. Data yang digunakan dalarn penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari lokasi penelitian serta data primer yang diperoleh dari basil interview kepada pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan pasien ada/ah kelompok umur dewasa 44%, berjenis kelamin laki-laki 54%, tidakibelum bekerja 49%, tidakibelum sekolah 50%, tidak berpenghasilan 56%, jalan kaki ke puskesmas 40%, penanggung biaya puskesrnas berasal dad kantong sendiri 76%, jurnlah hari sembuh 2 hari 54%. Hasil penelitian menunjukkan besar biaya langsung pada provider adalah Rp. 2.292.440,- dengan rata-rata biaya langsung sebesar Rp. 23.879,-. Biaya tidak langsung pada provider sebesar Rp. 75.492,- dengan rata-rata sebesar Rp. 786,-. Total biaya pada provider sebesar Rp. 2.367.933,- dengan rata-rata sebesar Rp. 24.665,-. Biaya langsung pada pasien sebesar Rp. 478.000,- dengan rata-rata sebesar Rp. 4.979,- per pasien. Biaya tidak langsung pada pasien sebesar Rp. 1.090.250,- dengan rata-rata sebesar Rp. 11.356,-. Total biaya pada pasien diare sebesar Rp. 1.568.250,- dengan biaya rata-rata sebesar Rp. 16335,-.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata biaya akibat sakit (cost of illness) yang dikeluarkan baik pada sisi provider maupun sisi pasien untuk pelayanan rawat jalan diare per pasien sebesar Rp. 41.001,-(tidak termasuk opportunity cost). Apabila dilakukan simulasi perhitungan kerugian ekonomi yang menjadi beban pemerintah dan masyarakat akibat sakit diare maka diperoleh angka sebesar Rp. 1,6 IniIyar per tahun, atau 0,3% dari APED (Rp. 435.887.753.163,-), 7% dari anggaran kesehatan plus gaji (Rp. 26.126.133.800,-), 9% dari anggaran kesehatan tanpa gaji (Rp. 18.245.385.200,-). Dikaitkan dengan UMR Landak, maka didapatkan angka kerugian sebesar Rp. 2,5 Myst per tahun. Saran yang dapat disampaikan adalah angka kenigian yang dialarni dapat dijadikan aeuan perencanaan, penyusunan anggaran dan intervensi program penanggulangan diare dengan berorientasi path upaya preventif dan promosi, perlunya dilakukan penghematan biaya pada sisi provider dengan menekan penggunaan obat diare yang tidak rasionil, perlu dilakukan perhitungan biaya secara menyeluruh berdasarkan kegiatan, perlu penyuluhan dan perbatian kepada masyarakat tentang penyakit diare, dan terakhir bagi peneliti selanjutnya dapat melihat seeara bersarnaan pada layanan rawat jalan dan map di rurnah sakit dan puskesmas dengan menghitung opportunity cost.

Acute diarrhea at present still becomes health problem, not only in developing countries but also in developed countries. Diarrhea still leads to endemic (KLB) with very huge sufferer in short time. Between 2004-2005, number of diarrhea case in Landak Regency increase quite sharply. There are 4,474 cases (one died) in 2005 and the cases increase to 6,210 (2 died) in 2006. Diarrhea places the third rank after Upper Respiratory Infection (1SPA) and malaria among ten diseases in Landak Regency. The high of diarrhea incident has caused social economic loss and affected the cost for government and people. Research on loss caused by diarrhea was ever conducted but limited on patient side. Meanwhile, research on provider has never been done. Cost resulted from patient as well as provider was respectively classified as direct cost and indirect cost.
Generally, the purpose of this research is to obtain description on the cost of illness for diarrhea outpatients. Meanwhile. particularly, the purpose is to obtain description on characteristics of diarrhea outpatients, direct cost and indirect cost at provider and patient visiting health center in one period of illness.
The research conducted in Puskesmas Ngabang West Kalimantan from March to May 2007 uses cross sectional design with 96 respondents. Secondary data employed in this research come from research location, while the primary data come from interviewing the patient.
The results show that mostly patients are adult (44%). male (54%). unemployment (49%). uneducated (50%), having no income (56%). going to health center on foot (40%). self-utiarant or (76%), and having two-days recovery day (54%). Direct cost for provider is IDR 2,292,440 with direct cost IDR 23,879 on average. Indirect cost for provider is 1DR 75,492 with [DR. 786 on average. Total cost for provider is IDR 2.367,933 with /DR 24,665 on average. Direct cost on patient is [DR 478,000 with DR 4,979 on average per patient. Indirect cost for patient is [DR 1,090,250 with IDR 11,356 on average. Total cost for diarrhea patienzs is [DR 1.568.250 with 1DR 16,335 on average.
The results indicate that thc average cost of illness incurred by both provider and patients for outpatient service of diarrhea per patient is [DR. 41,001 (excluded opportunity cost). If economic loss due to diarrhea borne by government and people was caiculated, the rate is DR 1.6 billion per year or 0.3% of APBD (1DR 435,887,753,163), 7% of health budget phis salary (IDR 26,126,133.800), 9% of health budget without salary (IDR 18,245,385,200) Related to UN1R of Landak. the loss is 1DR 2.5 billion per year.
It is recommended that loss can be used as reference in planning, developing budget. and intervening program diarrhea control orienting to prevention and promotion. It is in need to retrench provider cost by reducing irrational use of diarrhea medicines, calculate cost comprehensively based on activities, educate people and keep them focused on diarrhea. Furthermore,, researcher could instantaneously see the service for outpatient and inpatient in hospital and health center by calculating opportunity cost.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
T34307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Laurentius
"Latar belakang dan tujuan
Pekerja dalam melakukan pekerjaannya berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Keselamatan pekerja merupakan hal yang penting mengingat pekerja adalah sumber daya yang diharapkan mampu berproduksi secara optimal. Keselamatan pekerja juga akan mengurangi angka kecelakaan kerja baik yang merugikan pekerja sendiri maupun orang lain yang berada di lingkungannya serta alat produksi. Faktor lingkungan pada pekerja di sektor kelistrikan seperti medan elektromagnit dapat menjadi gangguan keseimbangan lingkungan ekosistem bagi seseorang.
Metode
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan perbandingan internal pada populasi tertentu yaitu karyawan PT X Jakarta yang bekerja di tempat dengan pajanan yang tinggi dan di tempat dengan pajanan yang rendah. Pengukuran pada karyawan meliputi nilai SCL-90, Survei Diagnostik Stres, dan Data sosiodemografi.
Hasil
Medan listrik pada tempat dengan pajanan tinggi adalah 4.980 V/m masih di bawah nilai ambang batas yang dianjurkan untuk frekuensi 50/60 Hz yaitu 10.000 V/m untuk medan listrik dan 4,6 A/m untuk medan magnit yang juga masih di bawah ambang batas yaitu 398 A/m. Jumlah sampel yang diteliti adalah 164 karyawan sesuai jumlah sampel yang diperlukan masing-masing kelompok sama yaitu 82 orang. Pada kelompok subyek yang bekerja di tempat dengan pajanan medan elektromagnit tinggi didapat prevalensi gangguan mental 56% sedangkan pada kelompok yang bekerja di tempat dengan pajanan rendah didapat prevalensi gangguan mental 39,02% dengan perbedaan yang bermakna (p
Kesimpulan
Gangguan mental emosional tidak berhubungan secara bermakna dengan pajanan medan elektromagnit. Gangguan mental emosional berhubungan dengan stresor ketaksaan peran dan pengembangan karir.

Workers needed safety work protection ordered by the Safety Law in Workplace, Law Number 1, Year 1970. Safety was very important to have workers work optimally, as well as decreasing the number of accidents in workplace and to have production instruments. In such as the working place, electromagnetic fields was one of the factors interfered the ecosystem balance of work.
Method
This study was a cross sectional design with internal comparison. The population were workers of PT "X" Jakarta consisted of high exposed and low exposed groups. The SCL90 instrument was used to measure the mental emotional disorder.
Results
The electric field as well as the magnetic field in the high exposed workplace were 4.980 V/m and 4,6 V /m below the limit of threshold value 10.000 V/m for electrical field and 398 V /m for magnetic field. Number of samples collected were 164 workers, each 82 for high exposed group and for low exposed group. The prevalence of mental disorder in high exposed group was 56,00% and in the low exposed group was 39,09% when the difference was significant. (p<0,05). Mental emotional disorder did not correlate with age, job position, level and education. The bivariate analysis showed that mental emotional disorder correlated with career development, ambiguity, responsibility for people, conflict, overloaded quantitative role, overloaded qualitative role, workplace and period of work. The logistic regression function identified that career development and role ambiquity correlated with mental emotional disorder while workplace had no correlation with mental emotional disorder.
Conclusion
Mental emotional disorders had no significant correlation with electromagnetic fields. Mental emotional disorder had significant correlation with career development and role ambiguity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>