Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196264 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwirana Iriska Nerviadi
"Komunikasi dan empati merupakan variabel yang saling berkaitan. Empati berperan memediasi individu dalam meningkatkan kualitas relasi interpersonal. Terbentuknya hubungan yang positif dan selaras penting untuk pembentukan hubungan harmonis. Secara spesifik, keharmonisan keluarga dapat membantu perkembangan identitas dan kondisi psikologis anak. Namun demikian, perbedaan persepsi dan ketegangan diketahui banyak terjadi dalam relasi ibu dan anak perempuan dewasa dengan adanya keterlibatan muatan emosi yang lebih intens dan ambivalen. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan kemampuan komunikasi dan empati sebagai upaya meningkatkan keharmonisan anak perempuan dewasa dengan ibu setelah pemberian intervensi komunikasi empatik. Desain penelitian menggunakan quasi experimental one group pretest-posttest design (n=5). Partisipan merupakan perempuan berusia dewasa (M = 24) dengan konflik bersama ibu dan kemampuan komunikasi dan empati yang rendah. Partisipan mendapatkan lima sesi intervensi. Pengukuran variabel menggunakan instrumen penelitian Family Communication Scale,Basic Empathy Scale, Family Harmony Scale-24, dan General Health Questionnaire-12. Diketahui, intervensi menunjukkan perubahan positif pada tiga partisipan terhadap kemampuan komunikasi, empati, dan keharmonisan keluarga. Data kualitatif menunjukkan perubahan kemampuan partisipan dalam memahami tindakan dan sudut pandang ibu, menciptakan ruang untuk membangun interaksi, serta melakukan regulasi emosi. Sehingga, implikasi intervensi komunikasi empatik menunjukkan perubahan kemampuan komunikasi dan empati yang mendukung peningkatan keharmonisan anak perempuan dewasa dengan ibu.

Communication and empathy are two interrelated variables. People can improve quality of interpersonal interactions by using empathy as mediator. Building positive and harmonious relationships, especially within families, is important due to positive impact on psychological well-being and identity formation of the children. However, perception diverges and tension may raise between adulting daughter and mother due to their emotional and ambivalent relationship. This study aims to look at the impact of empathic communication intervention as enhancement in communication and empathy skills in order to improve harmony between adult daughters and their mothers. The research design used quasi experimental one group pretest-posttest design (n=5), including five intervention sessions. Participants were adult women (M = 24) with history of conflict with mothers, also poor communication and empathy skills. Measurements were taken using Family Harmony Scale-24, Basic Empathy Scale, Family Communication Scale, and General Health Questionnaire-12. Results showed positive improvement in three participants toward their communication, empathy skills, also family harmony. Qualitative data showed changes in participants’ ability to comprehend mother’s actions and perspectives, make space for interactions, and regulate their emotions. Thus, the effects of empathic communication intervention indicate improvement of communication and empathy, follow by greater harmony among adult daughters with mothers."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila
"Kedekatan ibu dan anak perempuan memiliki pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis anak perempuan hingga dewasa. Namun, konflik dalam hubungan ini sering terjadi akibat masalah komunikasi dan perbedaan perspektif. Oleh karena itu, diperlukan intervensi untuk meningkatkan pemahaman dan komunikasi antara ibu dan anak perempuan dewasa. Penelitian ini bertujuan melihat perubahan kedekatan ibu dan anak perempuan dewasa setelah intervensi komunikasi empatik diberikan pada anak perempuan dewasa. Penelitian menggunakan desain quasi-experimental one-group (n=7), dengan partisipan berusia minimal 18 tahun yang memiliki konflik dengan ibu kandung. Lima sesi intervensi dilakukan secara luring dalam kelompok. Sebelum dan setelah intervensi, partisipan mengisi Mother-Adult Daughter Questionnaire, Basic Empathy Scale, dan Family Communication Scale. Follow-up dilakukan dua minggu setelah intervensi. Analisis statistik menggunakan uji Friedman menunjukkan peningkatan signifikan pada skor kedekatan (χ2 (2) = 6.462, p=.04) dan komunikasi (χ2 (2) = 10.69, p=.00). Namun, skor empati tidak menunjukkan perubahan signifikan (χ2 (2) = 1.68, p=.43). Analisis kualitatif menunjukkan bahwa partisipan umumnya berkeinginan untuk berkomunikasi lebih empatik dengan ibu. Kesimpulannya, komunikasi empatik memiliki efek positif terhadap hubungan ibu dan anak perempuan dewasa, terutama dalam meningkatkan kedekatan dan pemahaman.

Mother-daughter connectedness has a significant influence on daughters psychological well-being into adulthood. However, conflicts in this relationship often occur due to communication problems and differences in perspective. Therefore, interventions are needed to improve understanding and communication between mothers and adult daughters. This study aimed to examine changes in the connectedness between mothers and adult daughters after an empathic communication intervention was provided to adult daughters. The study used a quasi-experimental one-group design (n=7), with participants at least 18 years old who had conflict with their biological mothers. Five intervention sessions were conducted offline in a group setting. Before and after the intervention, participants completed the Mother-Adult Daughter Questionnaire, Basic Empathy Scale, and Family Communication Scale. Follow-up was conducted two weeks after the intervention. Statistical analysis using the Friedman test showed significant improvements in connectedness (χ2 (2) = 6.462, p=.04) and communication (χ2 (2) = 10.69, p=.00) scores. However, empathy scores showed no significant change (χ2 (2) = 1.68, p=.43). Qualitative analysis showed that participants generally wished to communicate more empathically with their mothers. In conclusion, empathic communication has a positive effect on the relationship between mothers and adult daughters, especially in increasing connectedness and understanding."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardine Genoveva Saulina
"Tantangan penyesuaian peran ganda yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 memberikan dampak buruk pada psychological well-being ibu yang bekerja, khususnya pada ibu yang bekerja dengan anak kelas 1-3 sekolah dasar karena adanya tantangan perkembangan serta perubahan sistem pembelajaran akibat pandemi COVID-19. Mindful parenting merupakan gaya pengasuhan yang dapat diterapkan untuk menghindari penurunan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat kontribusi mindful parenting terhadap psychological well-being pada ibu bekerja dengan anak yang duduk di kelas 1 sampai dengan 3 SD. Mindful parenting dan psychological well-being pada ibu bekerja dengan anak yang duduk di kelas 1 sampai dengan 3 SD (N=310) diukur menggunakan Interpersonal Mindfulness in Parenting Scale dan Ryff’s Scale of Psychological Well-being. Hasil analisis statistik regresi linear sederhana menunjukkan bahwa mindful parenting memiliki kontribusi yang positif dan signifikan terhadap psychological well-being.

The challenge of adjusting to multiple roles caused by the COVID-19 pandemic has a negative impact on the psychological well-being of working mothers. Especially for mothers who work with children in grades 1-3 of elementary school due to developmental challenges and changes in the learning system due to the COVID-19 pandemic. Mindful parenting is a parenting style that can be applied to avoid a decrease in psychological well-being. This correlational study aims to examine the contribution of mindful parenting to psychological well-being in working mothers with children who are in grades 1 to 3 of elementary school. Mindful parenting and psychological well-being of working mothers with children in grades 1 to 3 of elementary school (N=310) were measured using the Interpersonal Mindfulness in Parenting Scale and Ryff's Scale of Psychological Well-being. The results of simple linear regression statistical analysis showed that mindful parenting had a positive and significant contribution to psychological well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Azzahra Rivardi
"Emerging adulthood adalah fase kehidupan individu yang dipenuhi oleh banyak perubahan dalam berbagai aspek, salah satunya adalah dalam aspek psikosial. Pada periode ini, muncul kebutuhan untuk menjalin relasi dan hubungan intim dengan individu lainnya. Untuk dapat menjalin hubungan dengan baik dan sehat, emerging adulthood perlu untuk memiliki subjective well-being yang baik. Subjective well-being yang dimiliki oleh individu ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tipe attachment yang dimiliki oleh individu dengan orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan subjective well-being berdasarkan tipe adult attachment yang dimiliki oleh individu. Adult attachment style akan ditentukan menggunakan alat ukur Experience in Close Relationship - Short Form (ECR-SF) dan subjective well-being akan diukur menggunakan Satisfaction with Life Scale (SWLS) dan Positive and Negative Affect Schedule(PANAS). Partisipan sebanyak 311 individu baik perempuan maupun laki-laki berusia 18-25 tahun menjadi sampel dalam penelitian ini. Menggunakan metode analisis uji beda ANOVA nonparametrik Kruskal-Wallis, terbukti bahwa terdapat perbedaan subjective well-being berdasarkan tipe adult attachment style yang signifikan, dengan tipe attachment securememiliki subjective well-being paling baik dilihat dari ketiga komponen subjective well-being, yaitu kepuasan hidup (kognitif), afek positif (afektif), dan afek negative (afektif). Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan dan informasi terkait tipe adult attachment style dan subjective well-being pada emerging adulthood.

Emerging adulthood is a phase of an individual's life that is filled with many changes in various aspects, one of which is the psychosocial aspect. In this period, the need arises to establish relationships and intimate relationships with other individuals. To be able to have good and healthy relationships, emerging adulthood needs to have good subjective well-being. An individual's subjective well-being is determined by many factors, one of which is the type of attachment the individual has with their parents. This research aims to look at differences in subjective well-being based on the type of adult attachment an individual has. Adult attachment style will be determined using the Experience in Close Relationship - Short Form (ECR-SF) measuring instrument and subjective well-being will be measured using the Satisfaction with Life Scale (SWLS) and Positive and Negative Affect Schedule (PANAS). Participants totaling 311 individuals, both women and men aged 18-25 years, were the samples in this study. Using the Kruskal-Wallis non-parametric ANOVA different test analysis method, it was proven that there were significant differences in subjective well-being based on the type of adult attachment style, with the secure attachment type having the best subjective well-being seen from the three components of subjective well-being, namely life satisfaction. (cognitive), positive affect (affective), and negative affect (affective). The results of this research can be used to develop knowledge and information regarding types of adult attachment style and subjective well-being in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Dela Pranaya Wisesa
"Perawat adalah bagian penting dari tenaga kesehatan di Indonesia, terutama di masa pandemi COVID-19. Perawat diketahui sebagai populasi yang rentan terhadap masalah psikologis. Terutama perawat yang juga menjalani peran sebagai ibu yang memiliki anak kecil.. Sejauh observasi peneliti, masih sedikit studi di Indonesia yang menganalisis mengenai kondisi mental perawat perempuan yang memiliki anak berusia kanak-kanak awal. Penelitian ini menganalisis perbedaan mental well-being antara perawat yang memiliki anak pada tahap perkembangan kanak-kanak awal dan perawat yang memiliki anak pada tahap perkembangan kanak tengah dan remaja, serta menganalisis variabel demografis yang ada. Menggunakan studi populasi, 102 perawat dari salah satu rumah sakit di Tangerang Selatan, berusia 25-56 tahun berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipan memiliki 1-4 anak, berusia 0-18 tahun. Mental well-being perawat diukur menggunakan Warwick Edinburgh Mental Well-Being Scale (WEMWBS). Terdapat perbedaan tingkat mental well-being yang signifikan antara perawat yang memiliki anak berusia lebih kecil atau sama dengan 6 tahun dan diatas 6 tahun. Studi ini juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan pengaturan tempat tinggal. Perawat yang memiliki anak berusia dini dan tinggal bersama anak mereka memiliki tingkat mental well-being paling rendah, dan perawat yang memiliki anak berusia kanak tengah dan tinggal bersama mereka memiliki mental well-being tertinggi.

Nurses are critical part of the health workers force in Indonesia, especially during COVID-19 pandemic. This issues coming on stronger for nurses who are also mothers with little children. According to child-rearing practices in Indonesia, mothers are responsible to take care of the children. There haven’t been much studies that analyse nurses with little children’s mental condition. This study highlights the difference of mental well-being between nurses who are mothers with early childhood aged children (0-6 years old) and non-early childhood children (older than 6 years old), also analysing demographic variables. Using population study, 102 nurses from a Hospital in South Tangerang, ranged 25-56 years old, participated in this study. The participants have a range of 1 to 4 children, aged from 0 to 18 years old. Nurses’ well-being was assessed using Warwick Edinburgh Mental Well-Being Scale. A significant difference of mental well-being was found between nurses with infant until early childhood aged, and non-early childhood aged children. Difference in mental well-being level between nurses who have early childhood aged children and nurses who have middle childhood aged children was found. In addition, this study reports a significant differences based on where the children live."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bilqis Sekar Ayu Maharani
"Dihadapi dengan ketidakstabilan dan tantangan masa emerging adulthood, individu cenderung rentan akan masalah psikologis. Salah satu hal yang dapat menjadi faktor protektif individu pada masa ini adalah keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran keberfungsian keluarga terhadap aspek kognitif dan aspek afektif subjective well-being pada emerging adult. Terdapat 311 partisipan WNI berusia 18–25 tahun yang diukur keberfungsian keluarga serta subjective well-being-nya menggunakan Family Assessment Device, Satisfaction With Life Scale, dan Positive and Negative Affect Scale. Hasil penelitian menunjukkan keberfungsian keluarga secara signifikan berperan pada subjective well-being, baik pada aspek kognitif (Adjusted R2 = 0,262, p < 0,001), afek positif (Adjusted R2 = 0,093, p < 0,001), maupun afek negatif (Adjusted R2 = 0,090, p < 0,001). Dari 6 dimensi keberfungsian keluarga (pemecahan masalah, komunikasi, peran, respon afektif, keterlibatan afektif, dan kontrol perilaku), dimensi peran dan respon afektif berperan pada aspek kognitif dan afek positif subjective wellbeing sementara dimensi keterlibatan afektif berperan pada afek negatif subjective wellbeing. Melalui hasil penelitian ini, keluarga dan emerging adult diharapkan mampu membentuk fungsi peran, respon afektif, dan keterlibatan afektif yang efektif agar subjective well-being individu pada emerging adult optimal.

Emerging adults tend to be vulnerable to psychological problems due to the instability and challenges of emerging adulthood. One of the protective factors in this life period is family. This research aims to examine the influence of family functioning on cognitive and affective aspects of subjective well-being in emerging adult. There were 311 Indonesian participants, aged 18–25 years old, who had their family functioning and subjective well-being measured using the Family Assessment Device, Satisfaction With Life Scale, and Positive and Negative Affect Scale. Research results show that family functioning significantly influences subjective well-being, whether in life satisfaction (Adjusted R2 = 0,262, p < 0,001), positive affect (Adjusted R2 = 0,093, p < 0,001), or negative affect (Adjusted R2 = 0,090, p < 0,001). Among the 6 dimensions of family functioning (problem solving, communication, role, affective responsiveness, affective involvement, and behavior control), the role and affective responsiveness dimension influences the cognitive aspects and positive affect of subjective well-being. On the other hand, affective involvement dimension influences the negative affect of subjective wellbeing. From these results, family and emerging adults should be able to maintain effective functioning of family roles, affective responsiveness, and affective involvement so that emerging adults' subjective well-being is optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradnya Corinelia
"Kegiatan perilaku prososial semakin sering terjadi pada situasi krisis, seperti situasi pandemi COVID-19. Dalam upaya pencegahan dan penanganan pandemi COVID-19, pemerintah membuat kebijakan pembatasan sosial sehingga memengaruhi kondisi well-being masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara perilaku prososial dan well-being pada dewasa muda setelah berakhirnya pembatasan sosial COVID-19. Sejumlah 409 individu dewasa muda berusia 18-29 tahun yang berdomisili di Jabodetabek berpartisipasi dalam penelitian ini. Perilaku prososial diukur menggunakan alat ukur Prosocialness Scale for Adults (PSA) (Caprara dkk., 2005) dan well-being diukur menggunakan alat ukur PERMA Profiler (Butler & Kern, 2016). Hasil analisis korelasi menggunakan Pearson correlation menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dan well-being (r(409)= 0.487, p < 0.01, r2=0.237).

Prosocial activities are happening more often during the time of a crisis, like the COVID-19 pandemic situation. As a measure to prevent and manage the COVID-19 pandemic, changes in regulations are made by the government which limit people’s daily activities and thus potentially affect their well-being. Therefore, this study aimed to see a relationship between prosocial behavior and well-being in young adults’ post COVID-19 pandemic. The study sample is 409 young adults between the ages of 18-29 years old living in Jakarta greater area (Jabodetabek). Prosocial behavior was assessed with Prosocialness Scale for Adults (PSA) (Caprara et al., 2005) and well-being was assessed with the PERMA Profiler (Butler & Kern, 2016). Result in correlation by Pearson correlation technique shows a significant and positive relationship between prosocial behavior and well-being (r(409)= 0.487, p < 0.01, r2=0.237)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Naufal Sugiharto
"Model kerja hibrida semakin populer di berbagai industri dengan menawarkan fleksibilitas bagi karyawan untuk bekerja di kantor dan dari jarak jauh. Namun, hal ini menimbulkan tantangan bagi kesejahteraan subjektif karyawan, seperti stres, kelelahan digital, kurangnya hubungan sosial dengan rekan kerja, dan kesulitan menjaga keseimbangan kehidupan-kerja. Penelitian ini menguji hubungan antara keterlibatan kerja dan kesejahteraan subjektif pada 140 pekerja berusia 19-56 tahun di Indonesia yang telah menjalani model kerja hibrida setidaknya selama 3 bulan. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan alat ukur The PERMA-Profiler dan Utrecht Work Engagement Scale (UWES)-9. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif secara signifikan antara keterlibatan kerja dan kesejahteraan subjektif (r = 0,637; p <0,01; one tailed) yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi pekerja terlibat dalam pekerjaannya, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif yang dirasakannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu merancang kebijakan yang mendukung fleksibilitas kerja dan memberikan dukungan yang memadai untuk meningkatkan keterlibatan dan kesejahteraan pekerja.

Hybrid working models are gaining popularity across industries by offering employees the flexibility to work in the office and remotely. However, this challenges employees subjective well-being, such as stress, digital fatigue, lack of social connection with coworkers, and difficulty maintaining work-life balance. This study examined the relationship between work engagement and subjective well-being in 140 workers aged 19-56 in Indonesia who had been in a hybrid work model for at least 3 months. Data were collected through questionnaires with The PERMA-Profiler and Utrecht Work Engagement Scale (UWES)-9 measurement tools. The results showed a significant positive correlation between work engagement and subjective well-being (r = 0,637; p < 0,01; one tailed) indicating that the more engaged workers are in their work, the higher their subjective well-being. Therefore, companies must design policies that support work flexibility and provide adequate support to improve worker engagement and well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Rachmawati Sugianto
"Pada umumnya, semua orang setelah dewasa akan menikah. Namun ada orang-orang yang belum menikah meskipun telah berusia lebih dari usia yang dianggap lazim untuk menikah, yang disebut orang lajang. Dengan mempertimbangkan definisi orang lajang dari Cargan dan Melko, teori perkembangan dari Havighurst dan usia rata-rata pernikahan di Indonesia, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan orang lajang adalah orang-orang berusia 30 tahun atau lebih yang belum pemah menikah.
Kehidupan sebagai orang Iajang seperti memiliki dua sisi. Di satu pihak orang lajang memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesendiriannya, tetapi di lain pihak ia juga harus menghadapi berbagai masalah dan stereotipe dari masyarakat yang sebagian besar bersifat negatif.
Dalam dua dekade terakhir ini jumlah orang lajang terus bertambah, termasuk di wilayah DKI Jakarta. Para ahli manca negara pun mcrasa tertarik untuk meneliti orang lajang, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being. Hasilnya ternyata kontroversial. Ada para ahli yang menemukan bahwa status Iajang berhubungan dengan psychological well-being dan ada pula yang tidak menemukan hubungan antara keduanya.
Selain hasil yang kontroversial, peneiitian-penelitian tersebut juga dilakukan di luar Indonesia dan pada tahun 80-an. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di Indonesia dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Di samping itu, kehidupan orang lajang dengan segala keunntungan dan masalah yang diperoleh dari kesendiriannya menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah psychological well-being mereka. Apakah ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being.
Selanjutnya karena adanya perbedaan kondisi antara pria lajang dengan wanita lajang, maka akan diteliti juga apakah ada perbedaan nilai rata-rata psychological well-being antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah, antara pria lajang dengan wanita lajang dan antara pria menikah dengan wanita menikah. Mengingat psychological well-being juga berkaitan dengan tingkat pendidikan diri tingkat penghasilan, maka juga diteliti apakah ada perbedaan psychological well-being pada subyek dengan tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang berbeda.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psychological well-being dari Ryff serta berbagai teori yang menggambarkan kehidupan orang lajang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan karakteristik pria atau wanita, belum pernah menikah atau yang sudah menikah, berusia 30-40 tahun, bekerja, tamat SLTA dan berdomisili di Jakarta Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan persentase, korelasi point-biserial dan ANOVA. Uji validitas dilakul-can dengan menggunakan teknik korelasi Pearson dan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being. Juga tidak ditemukan adanya perbedaan nilai rata-rata psychological well-being yang signifikan antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah; antara pria menikah dengan wanita menikah; antara pria lajang dengan wanita lajang; antara subyek dengan tingkat pendidikan berbeda dan antara subyek dengan tingkat penghasilan berbeda.
Hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena alat yang tidak mengukur, presentase subyek yang kurang berimbang atau karena sebenarnya hubungan antara status Iajang dengan psychological well-being Iebih terkait dengan kualitas hidup melajang itu sendiri.
Saran yang disampaikan penulis bagi penelitian selanjutnya adalah penyempurnaan alat ukur, menggali lebih dalam mengenai kualitas hidup subyek serta melengkapi pengukuran kuantitatif dengan wawancara mendalam. Sedangkan saran-saran praktisnya adalah agar orang-orang lajang tidak perlu merasa rendah diri, dan kepada masyarakat agar dapat lebih menerima orang lajang sebagai bagian dari mereka, serta yang terakhir kiranya para konselor yang terkait dengan permasalahan orang lajang dapat menggunakan hasil ini untuk membantu orang lajang lebih memahami dirinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Larissa Dewi
"

Social comparison dalam bidang akademik mengacu pada kecenderungan individu untuk membandingkan kinerja akademik, kemampuan, atau prestasi mereka dengan rekan-rekannya dalam lingkungan akademik. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa social comparison dikaitkan dengan dampak negatif yang memengaruhi psychological well-being. Namun, temuan lain menunjukkan bahwa social comparison juga dapat menjadi faktor protektif. Memahami faktor protektif dan faktor risiko yang memengaruhi psychological well-being menjadi penting untuk mendukung kesejahteraan psikologis mahasiswa. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat peran social comparison dalam konteks akademik terhadap psychological well-being serta mengidentifikasi dimensi apakah yang paling berperan terhadap psychological well-being mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Penelitian ini melibatkan 152 partisipan mahasiswa dengan rentang usia 20-25 tahun, dari universitas negeri maupun swasta di Indonesia. Alat ukur yang digunakan adalah Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB) dan Academic Social Comparison Scale (ASCS). Hasil menunjukkan social comparison berkontribusi sebesar 16,1% terhadap psychological well-being mahasiswa. Dimensi yang paling berperan terhadap psychological well-being mahasiswa adalah dimensi downward comparison dan upward comparison. Penelitian ini memberikan masukan kepada penelitian selanjutnya untuk lebih mendalami faktor-faktor lainnya yang memengaruhi psychological well-being pada tingkat pendidikan tinggi.

 

Social comparison in the academic setting to the tendency of individuals to compare their academic performance, abilities, or achievements with those of their peers within an academic setting. Previous research has shown that social comparison is associated with negative impacts on psychological well-being. However, other findings suggest that social comparison can also serve as a protective factor. Understanding the protective and risk factors influencing psychological well-being is crucial to supporting the psychological welfare of students. Therefore, the aim of this study is to examine the role of social comparison in the academic context on psychological well-being and to identify which dimensions most significantly affect the psychological well-being of students working on their theses. This study is quantitative research with a correlational design. It involves 152 student participants, aged between 20 and 25 years, from both public and private universities in Indonesia. The measurement tools used are the Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB) and the Academic Social Comparison Scale (ASCS). The results indicate that social comparison contributes 16.1% to the psychological well-being of students. The dimensions that play the most significant role in students' psychological well-being are downward comparison and upward comparison. This study suggests that future research should further explore other factors that influence psychological well-being in higher education settings

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>