Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93690 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mulhat
"Tesis ini membahas satu entitas sosial masyarakat hukum adat Baduy dalam perspektif Undang-Undang Pemilu. Masyarakat hukum adat Baduy memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, salah satu yang kentara ialah partisipasi politik dalam proses elektoral seperti pemilihan umum, di mana masyarakat adat Baduy memilih para kandidat yang berlaga dalam arena politik. Namun, masyarakat adat Baduy memiliki prinsip milu kanu meunang (lunang) dalam konteks politik elektoral. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan metode wawancara sebagai pengumpulan data untuk memperoleh temuan penelitian baru. Hasil penelitian mengafirmasi bahwa partisipasi politik masyarakat adat Baduy dalam pemilihan umum seringkali mengalami fluktuasi. Hal ini ditengarai karena masyarakat adat Baduy memiliki ciri khasnya sebagai satu entitas sosial, termasuk dalam hal Pikukuh yang diyakini menjadi prinsip utama masyarakat hukum adat Baduy. Di satu sisi, masyarakat adat Baduy harus menentukan pilihan politik sebagai warga negara Indonesia, sedangkan di sisi yang lain, masyarakat adat Baduy melakukan prinsip Pikukuh yang selama ini sudah menjadi rutinitas yang ditanggalkan oleh para leluhurnya, terlebih saat ada acara bersamaan antara pemilihan umum dan ritual keadatan masyarakat adat Baduy. Kemudian, dalam proses politik yang sedang bergulir, masyarakat adat Baduy juga melarang para kandidat untuk melakukan aktivitas kampanye politik, karena dinilai akan menciptakan fragmentasi sosial di lingkungan masyarakat adat Baduy. Dalam konteks ini, masyarakat adat Baduy memegang prinsip milu kanu meunang (lunang) dalam proses pemilihan umum tersebut. Keterlibatan masyarakat adat Baduy dalam memilih dan tidak memilih saat pelaksanaan pemilihan umum juga tidak bisa dijustifikasi bahwa masyarkat adat Baduy bersikap netral, melainkan hak masyarakat adat Baduy, terlebih tidak ada pemberian sanksi kepada para pemilih pada umumnya maupun masyarakat adat Baduy yang tidak memilih, termasuk dalam prinsip Pikukuh adat Baduy.

This thesis discusses a social entity of the Baduy customary law community from the perspective of the Election Law. The Baduy customary law community has different characteristics from society in general, one of which is obvious is political participation in electoral processes such as general elections, where the Baduy customary community chooses candidates who compete in the political arena. However, the Baduy customary community has the principle of milu kanu meunang (lunang) in the context of electoral politics. This study uses a qualitative descriptive approach using a case approach and interview methods as data collection to obtain new research findings. The results of the study affirm that the political participation of the Baduy customary community in general elections often fluctuates. This is suspected because the Baduy customary community has its own characteristics as a social entity, including in terms of Pikukuh which is believed to be the main principle of the Baduy customary law community. On the one hand, the Baduy indigenous people must determine political choices as Indonesian citizens, while on the other hand, the Baduy indigenous people carry out the Pikukuh principle which has become a routine abandoned by their ancestors, especially when there is a simultaneous event between the general election and the Baduy indigenous people's traditional rituals. Then, in the ongoing political process, the Baduy indigenous people also prohibit candidates from carrying out political campaign activities, because it is considered that it will create social fragmentation in the Baduy indigenous community environment. In this context, the Baduy indigenous people uphold the milu kanu meunang (lunang) principle in the general election process. The involvement of the Baduy indigenous people in choosing and not choosing during the general election cannot be justified that the Baduy indigenous people are neutral, but rather the right of the Baduy indigenous people, especially since there are no sanctions given to voters in general or the Baduy indigenous people who do not vote, including in the Baduy customary Pikukuh principle."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Kelana Dewantara
"Kompleksitas regulasi pemilu yang ada menghasilkan permasalahan serius diantaranya adanya tumpang tindih regulasi; pengulangan pengaturan; standar beda atas isu yang sama; dan tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Masalah-masalah tersebut menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi yang bernama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mempunyai agenda menyatupadukan/kodifikasi regulasi pemilu demi menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Reynolds (1997) penyusunan kerangka hukum pemilu merupakan salah satu aspek standar pemilu demokratis.
Penelitian ini melihat bagaimana strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang merupakan proses pencarian dan pengungkapan, dilakukan dengan metode wawancara dengan aktor masyarakat sipil dan penentu kebijakan, mempelajari risalah-risalah pertemuan dan dokumen lainnya. Dalam mengadvokasi RUU Pemilu, pilihan strategi advokasi yang digunakan oleh koalisi masyarakat sipil berupa networking, lobbying dan media.
Kesimpulan dari penelitian ini melihat kelompok masyarakat sipil bukanlah kelompok yang homogen, sehingga kelompok masyarakat sipil merupakan kekuatan yang terpecah/fragmentasi, sebagian kelompok tergabung dalam koalisi sekber, sebagian lainnya tergabung dalam tim perumus kebijakan yang mendorong perubahan dari dalam.

The complexity of the existing electoral regulations produces serious problems including overlapping regulations; repeat settings; different standards on the same issue; and incoherent in regulating the legislative and executive election systems. These problems cause uncertainty and unfairness of election law. To overcome these problems, civil society groups formed a coalition called the Joint Secretariat of the Election Law Codification, which had an agenda to integrate/codify election regulations in order to create legal certainty and justice. As Reynolds (1997) explained, the electoral legal framework is one aspect of standard democratic elections.
This research looks at how the advocacy strategy carried out by the coalition in the formation of Law No. 7 of 2017 concerning Elections. The research approach used is a qualitative approach, this approach is used to obtain a comprehensive picture of the aspects studied. The data collection technique, which is a process of searching and disclosing, is carried out by means of interviews with civil society actors and policy makers, studying the minutes of meetings and other documents. In advocating for the Election Bill, the choice of advocacy strategies used by the civil society coalition in the form of networking, lobbying and the media.
The conclusion of this study is that civil society groups are not homogeneous groups, so civil society groups are fragmented, some groups are part of the Joint Secretariat coalition, others are part of a policy-making team that encourages change from within.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Maharaja Segara Putra
"Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan sebuah anugerah terindah dari Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apa pun. Keberadaan seorang atau beberapa anak merupakan dambaan bagi pasangan suami istri maupun seorang yang tidak memiliki pasangan. Hukum Perdata Barat mengenal sebuah lembaga untuk mewujudkan dambaan tersebut, yaitu adopsi. Namun, sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menganut pluralisme di dalam sistem hukumnya yang menempatkan Hukum Perdata Barat, Hukum Islam, dan Hukum Adat sebagai sistem-sistem hukum yang sejajar dan dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu, timbul pertanyaan mengenai bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai lembaga adopsi yang dikenal di dalam Hukum Perdata Barat, bagaimana Hukum Adat mengatur mengenai adopsi yang dilakukan oleh orang tua tunggal (single parent), bagaimana akibat hukum kekeluargaan dan kewarisan terhadapnya, dan bagaimana kedudukan anak perempuan dalam lembaga adopsi serta akibat-akibat hukumnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Penulis menggunakan metode penelitian berupa penelitian kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap Kepala Adat dan Pemuka Agama yang dalam hal ini difokuskan pada pengaturan Hukum Adat Bali. Pengaturan mengenai adopsi pada Hukum Adat Bali bersumber pada Kitab Suci Veda dan kebijakan-kebijakan lokal yang tidak tertulis. Adopsi di dalam Hukum Adat Bali lebih dikenal dengan istilah “Memeras Pianak” yang bertujuan untuk meneruskan garis keturunan, sehingga memiliki akibat hukum berupa putusnya hubungan kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua kandung. Persyaratan utama dari pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali adalah dilakukan terhadap anak yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan orang tua yang hendak mengangkatnya, dalam artian anak yang hendak diangkat tidak boleh dilakukan terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya. Pengangkatan anak yang dilakukan menurut Hukum Adat Bali juga harus melalui suatu prosedur yang dinamakan sebagai upacara “Pemerasan” sebagai perwujudan asas terang dan tunai dalam Hukum Adat. Mengenai pengangkatan anak oleh orang tua tunggal pada Hukum Adat Bali diperbolehkan dan memiliki akibat hukum yang sama dengan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua berpasangan, baik secara kekeluargaan maupun kewarisan. Hal menarik yang lain kemudian adalah pengangkatan anak bisa dilakukan terhadap anak perempuan yang kemudian memiliki akibat hukum yang tidak sama dengan pengangkatan anak terhadap anak laki-laki. Pengangkatan anak yang dilakukan terhadap anak perempuan bisa melalui “Nyentane” maupun “Pemerasan” yang memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

The existence of one or several children is the most beautiful gift from God that cannot be replaced by anything. The existence of one or several children is a dream for a husband or a single partner. Western Civil Law recognizes an institution to realize this dream, namely adoption. However, it is known that Indonesia adheres to pluralism in its legal system which places Western Civil Law, Islamic Law and Customary Law as parallel legal systems and is used in social life. Then, the question arises about how the Adat Law regulates regarding adoption institutions known in the Western Civil Law, how the Adat Law regulates regarding adoption by single parents, what is the effect of kinship and inheritance law on it, and how Adat Law positions girls in adoption institutions and its legal consequences. To answer these questions, the author uses research methods in the form of library research, as well as conducting interviews with traditional heads and religious leaders, which in this case focuses on regulating Balinese Customary Law. Regulations regarding the adoption of Balinese Customary Law are based on the Vedic Scriptures and unwritten local policies. Adoption in Balinese Customary Law is better known as "Memeras Pianak" which aims to lineage, so it has legal consequences in the form of breaking the kinship between adopted children and biological parents. The main requirement for adoption carried out according to Balinese Customary Law is that it is carried out on children who are still related to their parents, in the sense that the adopted children cannot be against children whose origins are unknown. Adoption of children carried out according to Balinese Customary Law must also go through a procedure known as the "Pemerasan" ceremony as the embodiment of the principle of clear and cash in Customary Law. Regarding adoption by a single parent in Balinese Customary Law, it has the same legal consequences as adoption by paired parents, both by family and inheritance. The interesting thing then is the adoption of children that can be carried out against girls, which has a legal consequence that is not the same as adoption of children for boys. Adoption of children for girls can be done through “Nyentane” or “Pemerasan” which has different legal consequences."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Enda Yuliana
"ABSTRAK
Pembentukan UUPA dimaksudkan dengan tujuan untuk menjamin hak-hak masyarakat yang ketika zaman kolonial Belanda selalu dikesampingkan. Ketika UUPA diundangkan, hukum adat dinyatakan sebagai dasar penyusunannya tetapi pengaturan tentang hukum adat sendiri tidak diatur secara tegas didalam UUPA tetapi hanya disinggung mengenai pengakuan hak
ulayat yang bersyarat. Hal ini mengakibatkan banyak terdapat konflik pertanahan salah satunya dalam program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang terjadi antara masyarakat hukum adat dan perusahaan pelaksana yang di fasilitasi oleh negara

ABSTRACT
UUPA formation intended for the purpose of guaranteeing the rights of society when the Dutch colonial era has always ruled out. When UUPA legislation, customary law is expressed as the basic formulation but the setting of customary law itself is not set explicitly in the UUPA but only mentioned about the unconditional recognition of customary rights. This resulted in many there is a conflict over land one of them in the program Perkebunan Inti
Rakyat (PIR) which occurs between the indigenous people and their implementing enterprise which was facilitated by the state"
2016
T45413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bimantara Wisnu Aji Mahendra
"Masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang tetap dan teratur telah berkembang secara internasional hal ini di dukung dengan adanya pembentukan United Nations Declaration on the rights of Indigenous People (UNDRIP) yang telah disahkan oleh PBB pada tahun 2007. Di Indonesia ketentuan mengenai masyarakat hukum adat telah tertuang pada Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Dengan menganalisis bagaiman a pembentukan Rancangan Undang – Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat berpengaruh terhadap upaya pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat. Rencana pembentukan RUU tentang masyarakat hukum adat tersebut telah ada sejak tahun 2004, dan pada tahun 2016 hingga 2018 RUU tersebut sudah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di dalam DPR. Namun hingga saat ini RUU tersebut belum juga dilakukan pengesahan oleh pemerintah. Senyatanya pembentukan RUU tersebut sudah ada masuk dalam tahap urgensi seperti banyak kasus perampasan wilayah yang menimpa masyarakat hukum adat, pelanggaran hak atas free, prior, dan informed consent (FPIC) yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat terhadap pernyataan persetujuan atas suatu agenda, pelanggaran terhadap hak konstitusional termasuk hak politik, serta perempuan adat yang sering dihadapkan terhadap permasalahan diskriminasi. Dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat yang saat ini masuk dalam tahap pembahasan DPR juga tak luput dari permasalahan, beberapa pasal menimbulkan kerancuan dalam implementasinya misalkan Pasal 11 hingga Pasal 17 yang memuat mengenai proses identifikasi dan verifikasi, Pasal 6 terhadap ketentuan persyaratan, Pasal 22 terhadap ketentuan perlindungan, dan Pasal 20 terhadap ketentuan evaluasi. Beberapa pasal dan ketentuan tersebut belum mencerminkan tujuan utama pembentukan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, namun secara nyata hal tersebut justru banyak mengurangi hak yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pengesahan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi hal yang penting disahkan untuk melakukan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakat hukum adat.

Indigenous Peoples, as stable and organized societies, have developed internationally, supported by the establishment of the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP), which was ratified by the UN in 2007. In Indonesia, provisions concerning indigenous peoples are outlined in Article 18B, Paragraph (2) of the 1945 Constitution. This paper is composed using doctrinal research methods. It analyses how the drafting of the Draft Law on Indigenous Peoples impacts efforts to fulfill and protect human rights for indigenous legal communities. The plan to establish the Draft Law on Indigenous Peoples has been in place since 2004, and from 2016 to 2018, the draft law was included in the National Legislation Program (Prolegnas) within the House of Representatives (DPR). However, to date, the draft law has not yet been enacted by the government. In fact, the drafting of this draft law has reached an urgent stage due to numerous cases of territorial seizures affecting indigenous legal communities, violations of the right to free, prior, and informed consent (FPIC) regarding their approval of certain agendas, violations of constitutional rights including political rights, and indigenous women often facing issues of discrimination. The Draft Law on Indigenous Peoples currently under discussion in the DPR is not without problems. Several articles cause confusion in their implementation, such as Articles 11 to 17, which cover the processes of identification and verification. Article 6, which pertains to the requirements. Article 22, which concerns protection provisions. And Article 20, which deals with evaluation provisions. These articles and provisions do not yet reflect the main objectives of forming the Draft Law on Indigenous Peoples. In fact, they often diminish the rights that should be granted to the communities. This underscores the importance of enacting the Draft Law on Indigenous Peoples to ensure the fulfillment and protection of human rights for Indigenous Peoples."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soekanto
Bandung: Alumni, 1979
340.57 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmad Safa`at
"Peningkatan sektor modern dalam pengelohaan sumber daya laut--perhubungan laut, penambangan energi minyak dan gas bumi, penambangan pasir laut, wisata laut, penyelamatan mutu lingkungan maupun penangkapan ikan dengan teknologi modern--acapkali menyebabkan "terpinggirkan" bahkan "terabaikan"-nya akses nelayan tradisional dalam pengelolan sumber daya perikanan. Sektor modern dengan dukungan modal, teknologi, hukum dan politik akan memperoleh akses lebih mudah dan lebih banyak terhadap sumber daya alat-alat produksi dan kescinpatan ekonomi. Sebaliknya nelayan tradisional dengan keterbatasan modal, teknologi, hukum dan politik memperoleh akses lebih "sulit" dan "sedikit" terhadap sumber daya, alat-alat produksi dan kesempatan ekonomi. Perbedaan ini menimbulkan konflik antar kelompok yang memiliki akses dengan kelompok yang tidak memilikinya.
Masyarakat nelayan yang umumnya hidup di sepanjang pantai secara tradisional mempunyai lrak adat kelautan yang keberadaannya belum diatur secara tersendiri (otonom) dalam sistem perundangan-undangan nasional sebagaimana leak adat alas tanalr dalam Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria).
Dalam Kondisi yang demikian itulah, pelanggaran terhadap keberadaan hak adat kelautan berlangsung terus menerus secara "sistematis" dan "struktural" sehingga peluang untuk rnempertahankannya sangat sulit. Tidak adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak adat kelautan pada tingkat operasional, sektoral maupun lintas sektoral akan berdampak pada terjadinya kompetisi dalam eksploitasi sumber daya laut, yang pada gilirannya akan menyebabkan penurunan secara drastis bahkan mengakibatkan kepunahan. Di samping itu juga mengakibatkan menurunnya partisipasi nelayan tradisional, sebagian nelayan beralih ke lapangan kerja lain, seperti buruh bangunan, buruh industri dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, menimbulkan beberapa permasalahan yang relevan untuk dibahas. Masalah pertama berkaitan dengan sistem pola dan cara pengelolaan sember daya perikanan nelayan tradisional Kedung Cowek umumnya dan nelayan Masangan khususnya. Masalah kedua berkaitan dengan konflik yang dialami nelayan Masangan dan upaya menyelesaikan konflik dalam mempertahankan dan menegakkan hak adat kelautan. Masalah ketiga erat kaitannya dengan kedudukan hak menguasai negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap keberadaan hak adat kelautan nelayan Masangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis: sistem, pola dan cara pengelolaan sumber daya perikanan; macam dan kronologis konflik dan upaya penyelesaian yang ditempuh nelayan Masangan serta kedudukan menguasai negara dalam memberikan perlindungan hukum hak adat kelautan nelayan Masangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Lokasi penelitian dipilih wilayah Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Kenjeran Kotaniadya Surabaya berdasarkan pertimbangan: potensi konflik antara nelayan masangan dan pengelolaan sumberdaya laut lainnya yang bersifat aktual maupun latent masih terus berlangsung; dewasa ini belum ada upaya-upaya konkrit untuk mengadakan penelitian dan pembahasan secara mendalam tentang keberadaan hak adat kelautan nelayan masangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Jenis dan sumber data terdiri dari data primer yang meliputi latar belakang kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, pola usaha, pola hubungan dan aktivitas budaya, tradisi, mitos dan sosial keagamaan serta pengelolaan sumber daya perikanan nelayan tradisional Kedung Cowek pada umumnya. Di samping itu juga pengetahuan lokal, kepercayaan dan kearifan, pola pengelolaan serta konflik yang dialami nelayan Masangan pada khususnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Data sekunder meliputi laporan hasil penelitian, kliping koran, serta berbagai peraturan tentang pengelolaan laut dan pesisir, khususnya yang berkaitan dengan hak adat kelautan di Jawa Timur dari berbagai instansi terkait baik pemerintah maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sampel responden diambil berdasarkan dua cara: pertama, proporsional random sampling sebanyak 32 responden untuk mengetahui keadaan umum sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat nelayan tradisional dan; kedua, purposive sampling sebanyak 15 informan yang merupakan informan kunci untuk mengetahui konflik yang dialami nelayan Masangan dan upaya penyelesaiannya.
Analisis dilakukan dengan menggunakan Analisis Kuantitatif diperoleh dari kuesioner, ditabulasi dan dikuantifikasi dalam bcntuk persentase. Sedangkan analisis Kualitatif dilakukan dengan pendekatan etnoekologi, antropologi hukum dan hukum yang normatif. Pendekatan etnaekotagi digunakan untuk mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis pengetahuan lokal, kepercayaan dan kearifan nelayan masangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Pendekatan antropologi lrukunz digunakan untuk mengkaji, mendeskripsikan dan menganalisis bentuk hukum yang berfungsi dalam masyarakat nelayan masangan Kedung Cowek baik berupa hukum negara maupun hukum adat dalam pengelolaan sumber daya perikanan serta konflik yang dialami dan upaya penyelesaiannya. Sedangkan pendekatan hukum yang normatif digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis subtansi (content analysis) hukum positif tentang kedudukan hukum negara dan hukum adat dalam pengelolaan sumber daya laut dan perlindungan hukum yang diberikan hukum positif terhadap keberadaan hak adat kelautan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan Masangan Kedung Cowek telah memiliki pemahaman yang utuh terhadap lingkungan fisik, sosial ekonomi dan sosial budaya setempat. Lebih dari ? generasi mereka telah mengembangkan hak adat kelautan yang berupa hak atas "petorosan" yang keberadaannya diakui oleh komunitas nelayan setempat sebagai alat produksi untuk menangkap rebore. Hak atas petorosan sebagai pranata hukum mempunyai ketentuan yang unik dan spesifik baik dalam pemasangan, pengoperasian maupun dalam pemindahtanganan atau peralihan hak milik.
Keberadaan hak atas petorosan nelayan Masangan sejak tahun 1986 hingga saat ini mengalami gangguan bahkan konflik dengan pengelola sumber daya laut lainnya seperti penambang pasir laut, pembangunan Jembatan Surabaya Madura dan Pelaksanaan Instruksi Gubernur KDII Tingkat I Jawa Timur No. 10 Tahun 1985 tentang Larangan Pemasangan Alat Tangkap Ikan Bagan di Jawa Timur yang dianggap mengganggu jalur pelayaran di Selat Madura.
Guna menegakkan dan mempertahankan hak atas petorosan, nelayan Masangan melakukan upaya iron-litigasi untuk konflik yang aktual dengan Cara negosiasi dan fasilitasi. Sedangkan konflik laten dilakukan lewat advokasi dan Pengembangan Sumber daya Hu/runt llfasyarakat Nelayan (PSDHM) yang dilakukan oleh LBH Surabaya dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Secara Yuridis Normatif peraturan perundang-undangan yang secara implisit maupun eksplisit telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap keberadaan hak adat kelautan atas torus nelayan masangan. Namun, perlindungan hukum yang diberikan hanya berhenti di tingkat undang-undang saja, belum sampai pada peraturan organik atau pelaksanaan sehingga sulit dioperasionalkan. Bahkan ada peraturan pelaksanaan yang bertentangan dengan ketentuan Undang-undang yang secara implisit dan eksplisit memberikan jaminan perlindungan hukum, yaitu Instruksi Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 10 Tahun 1985 tentang Larangan Pemasangan Alat Tangkap Ikan Bagan di Jawa Timur karena dianggap membahayakan jalur pelayaran.
Hak menguasai negara atas pengelolaan laut dalam implementasinya telah mendominasi bahkan mengabaikan keberadaan hak adat kelautan masyarakat nelayan Masangan setempat. Keadaan ini acap kali menimbulkan konflik yuridis baik yang bersifat aktual maupun latent.
Pengetahuan terhadap keberadaan hak adat kelautan atas taros nelayan Masangan ini diharapkan dapat dijadikan masukan pemerintah baik secara sektoral atau Pintas sektoral dalam perencanaan tata guna laut khususnya di Selat Madura. Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi tata guna laut sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan serta menghindari terjadinya konflik pengelolaan. Diharapkan pula bahwa studi-studi rnikro terhadap keberadaan hak adat kelautan dikembangkan di seluruh wilayah perairan laut Indonesia sehingga keberadaannya teridentifikasi untuk dapat dikembangkan selaras dengan kepentingan nasional yang benar-benar berorentasi kepada kepentingan peningkatan kesejakteraan rakyat.
Orienlasi pada peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional haruslah didasarkan pada reformasi hukum adat terhadap hak adat kelautan masyarakat lokal dan tetap mendasarkan pada pemberian kesempatan yang optimal bagi nelayan tradisional untuk memperoleh penguasaan sumberdaya yang menjamin kepentingan hak-hak masyarakat lokal.

The progress of modern sector on the marine sources management--sea transportation, oil and gas mining, sea-sand mining, sea tourism, saving the quality of environment, as well as fishing using modern technology--often causes elimination and underestimation of traditional fishermen access on the exploitation of fish sources. Modern sectors supported by capital, technology, law and political policy receive more access, appliances and economic chances. In contrast, traditional fishermen, supported by limited capital, technology, law and political policy receive only little access of sources, appliances and economic opportunity. This difference creates conflict between the groups having and not having the access.
Fishermen people, living along the beach, traditionally have marine customary rights which are not autonomously governed by the system of national law. This is unlike the customary property right which has been governed by UU No. 511960, the Agrarian Code.
With this condition, the violation of marine customary rights has been going on systematically and structurally, so that the effort to maintain this right is almost impossible. Without any legal protection on this right in operational, sectored or inter sectored levels, there will be a competition in exploiting the sea sources that leads to drastic decline and finally, to the extinction of the sources. Besides that, it will discourage participation of the traditional fishermen who finally may change their jobs to be building contraction labors, industrial labors, etc.
Based on the background, there are several problems which are relevant to discuss. First problem is about the pattern system and the method of fish sources exploitation among traditional fishermen in Kedung Cowek and specially in Masangan. Second problem is about the conflict among Masangan fishermen and the ways to settle the conflict to maintain and to enforce their sea customary right. Third problem is about the management right of the state in protecting the existence of the marine customary right of Masangan fishermen.
This research is aimed to describe and to analyze the system, the pattern and ways of exploiting fish sources; kinds and chronology of conflict as well as the solution taken by Masangan fishermen; the management right of the government in protecting the marine customary right of Masangan fishermen in exploiting fish sources.
Location of this research is at Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Kenjeran, Kodya Surabaya where actual and latent conflicts between Masangan fishermen and other groups of workers are still going on. Until now, there is no research and discussion on the marine customary right of Masangan fishermen in exploiting fish sources.
Types and sources of data are primary data and secondary data. Primary data contains background of the social life, social economic, social culture, and pattern of the effort, pattern of relationship and cultural activities, tradition myth and social religion and management of fish resources of traditional fisherman at Kedung
Cowek. Furthermore, includes local knowledge, belief and wisdom, pattern of exploitation and conflict were done by Masangan fishermen in exploiting fish sources. Secondary data includes other research result, news, and regulations on exploiting sea and beach, especially these are related to sea customary right in East Java.
Respondent sample are taken up in two ways: first, 32 people are chosen with proportional random sampling to know the general, social economic and social cultural condition of traditional fishermen; second, a purposive sampling of 15 informants who are key informant to know the conflict experienced by Masangan fishermen and the ways to control the conflict.
This research is used descriptive analysis with etnoccological, legal anthropological and normative law approach. Etnoecological research is used to discuss, describe and analyze the local knowledge, beliefs and wisdom of Masangan fishermen in exploiting fish sources: Legal anthropological approach is used to discuss, describe and analyze both state law and customary law that work among Masangan fishermen in Kedung Cowek to regulate the exploitation of fish sources. Besides that, this approach is used to discuss, describe and analyze conflicts happened and the ways to control it. Nornzatif law approach is used to identify and analyze the content of state law and customary law that regulate the exploitation of fish sources. This approach is also used to identify and analyze the legal protection of sea customary right given by positive law.
The result of this research shows that Masangan fishermen in Kedung Cowek had comprehensive understanding of their physical, social economic and cultural environment. More than 7 generation of them have developed sea customary right on "petorosan" which their existence is recognized by the fishermen community as an appliance to catch ration. The right on petorosan has unique and specific provision regarding with the installment, operation, transfer, and changing the owner of petorosan.
Since 1986, the existence of rights on petorosan has been disturbed by people who mine sand on the sea Surabaya-Madura Bridge, project and implementation of the Instruction of East Java Governor No. 101 1985 of prohibitation to Install Casting Net of Bagan Fish.
In order to maintain and to enforce their right on petorosan, masangan fishermen use non-litigation way to settle actual conflicts. Non-litigation way includes negotiation and facilitation. While advocating and the Development of Legal Sources of Fishermen Society (PSDHM) are used to control latent conflicts. These later settlements are used by the LBI-I Surabaya and the Faculty of Law, l3rawijaya University Malang.
Juridical and normatively, the existing laws have implicitly and explicitly guaranteed legal protection on the marine customary right of Masangan taros. However, the legal protection stops at the codes only. It never reaches to organic regulation or implementation so it is difficult to be operationalized. Moreover, there is even organic regulation that is against the codes, namely the Instruction of East Java Governor, mentioned before. The instruction considers that the Masangan bras will endanger shipping lines.
The management right of the state on the sea exploitation has dominated and ignored the existence of the sea customary right of Masangan fishermen. This situation often creates juridical conflict, either actually or latently.
The understanding among Masangan fishermen of the existence of sea customary right on toros is expected to be an input for the government, sectored or intersectoralIy in planning the sea exploitation, especially on the Madura Strait. The local community participation in planning, enforcing, monitoring and evaluating the sea exploitation is needed to improve the community living standard and welfare, and it is needed to prevent conflict on exploitation. It is also expected that micro studies on marine customary right will be developed in all Indonesian sea water area. Therefore, the existence of the right will be and can be developed integrally into national interests that lead to the improvement of people welfare.
The orientation to improve the welfare of traditional fishermen must be based on the reformation of customary law of sea right which is done through the giving of opportunity to traditional fishermen to have the right to manage sources.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Zurnetti
Depok: RadjaGrafindo Persada, 2021
340.5 ARI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Iswanto
"Tesis ini mengkaji dan membahas topik fenomena Peran Fraksi-Fraksi DPR RI Periode Periode 2014 ndash;2019 dalam Perumusan Ambang Batas Parlemen dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Topik ini berangkat dari adanya upaya pembubaran fraksi DPR RI oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi GNPK karena keberadaan fraksi dinilai banyak berperan di dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR dan dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sehubungan dengan itu, penelitian ini memfokuskan pada salah satu pelaksanaan fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi dalam perumusan ambang batas parlemen dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal ini diangkat karena di Indonesia, ambang batas parlemen parliamentary threshold/PT merupakan salah satu isu krusial yang cukup alot dibahas. Fraksi DPR RI, yang merupakan kepanjangan tangan partai politik, memegang peran penting dalam perumusan ambang batas parlemen tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori elite dan teori oligarki. Sementara, penelitian ini dianalisis dari perspektif Ilmu Politik dengan pendekatan rancangan penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian kualitatif, dengan strategi penelitian studi kasus, dan teknik pengumpulan datanya melalui studi dokumen dan wawancara. Sementara, teknis analisis data dilakukan berdasarkan hasil studi dokumen dan wawancara yang digunakan untuk memperdalam analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran fraksi-fraksi DPR RI dalam perumusan ambang batas parlemen dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kuat dan mendominasi. Hal ini sebagaimana terlihat, baik dari aspek penentuan substansi kebijakan maupun aspek pengambilan keputusan. Implikasi teoritis menunjukkan bahwa teori elite Pareto, Mosca, Mills, dan Keller ; dan teori oligarki Michels dalam penelitian ini terbukti dan terkonfirmasi.

This thesis examines and discusses the topic of the Role of Factions of the DPR RI of 2014 ndash 2019 Period in the Formulation of Parliamentary Thresholds in Law Number 7 of 2017 on General Election. This topic is based on the effort to dissolve factions of the DPR RI by the National Movement for Corruption Eradication GNPK because while its existence is considered to play a significant role in the implementation of the functions, duties and authority of the DPR RI, its existence is also considered to be contradictory to the 1945 Constitution. With those considerations in mind, this research focused on the implementation of one function of the DPR RI, namely its function on legislation in the formulation of parliamentary threshold in Law Number 7 Year 2017 on General Election. This topic was raised because in Indonesia, the parliamentary threshold PT is one of the crucial issues intensely discussed. Factions of the DPR RI, as they are the extension of political parties, plays an important role in the formulation of parliamentary threshold. The theory used in this research is elite theory, oligarchy theory. Meanwhile, this research is analyzed from the perspective of Political Science with qualitative research design approach, that is qualitative research type, with case study research strategy, and data collection technique through document study and interview. Meanwhile, technical data analysis is conducted based on the results of document studies and interviews used to deepen the analysis. The results showed that the role of factions of the DPR in the formulation of parliamentary threshold in Law Number 7 of 2017 on General Election, was strong and dominating. This is as seen, both from the aspect of determining the substance of policy and decision making aspects. Theoretical implications show that elite theory Pareto, Mosca, Mills, and Keller and Michels rsquo oligarchy theory in this research is proven and confirmed."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>