Ditemukan 212342 dokumen yang sesuai dengan query
Sandy Yudha Pratama Hulu
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan Bawaslu dalam penyelesaian perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Bawaslu dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia serta menjelaskan sejauh mana hukum acara Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kedudukan Bawaslu dalam pertimbangan putusan perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal serta analisis Putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden dari tahun 2009 hingga 2024. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa Bawaslu merupakan pihak pemberi keterangan dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Bawaslu juga diberi kewenangan untuk menghadirkan saksi atau ahli dalam proses persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden masih belum sempurna. Dalam mempertimbangkan putusannya, Hakim Konstitusi juga masih bergantung pada keterangan Bawaslu. Mahkamah Konstitusi juga dalam putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden mengesampingkan dalil permohonan Pemohon ketika ditemukan bahwa Bawaslu telah menangani perkara tersebut, terlepas apakah proses di Bawaslu telah dilakukan secara benar atau tidak. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Pemilihan Umum, serta peraturan perundang-undangan di bawahnya guna memperbaiki tata cara penanganan pelanggaran pemilu di Bawaslu serta menyempurnakan hukum acara PHPU Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi.
This undergraduate thesis discusses the position of General Election Supervisory Agency (Bawaslu) in the resolution of Dispute over the Results of Presidential General Elections (PHPU of the President and Vice President) in the Constitutional Court. The purpose of this research is to determine the position of Bawaslu in the PHPU of the President and Vice President in Indonesia and to explain the extent to which the procedural law of the Constitutional Court considers the position of Bawaslu in the consideration of the decision of the PHPU case of the President and Vice President in Indonesia. This research was conducted using doctrinal legal research methods and analysis of PHPU decisions of the President and Vice President from 2009 to 2024. Based on the results of this study, it was found that Bawaslu is a party providing information in the PHPU case of the President and Vice President. In addition, Bawaslu is also entitled to present witnesses or experts in the PHPU trial of the President and Vice President. However, the procedural law of the Constitutional Court in dealing with the PHPU cases of the President and Vice President is still not perfect. The Constitutional Court often relies on Bawaslu's testimony in reaching its decision. The Constitutional Court has also often rejected the petitioner's arguments when it found that Bawaslu had handled the case, regardless of whether or not Bawaslu's procedure was correct. To solve these problems, amendments to the Constitutional Court Law, the General Election Law and the laws and regulations under them are needed to improve the procedures for handling election violations in Bawaslu and to improve the procedural law for the PHPU president and vice-president by the Constitutional Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ilham Kurniawan Ardi
"Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Peradilan pasca reformasi nyatanya memberikan angin segar bagi para pihak yang ingin berperkara. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang diberikan pada Pasal 24C ayat (1) yaitu memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Melalui kewenangan tersebut banyak gugatan perselisihan hasil pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dalil-dalil yang disampaikan beragam yaitu gugatan secara kualitatif atau gugatan kuantitatif namun, timbul perdebatan bahwa sejauh mana Mahkamah Konstitusi dapat mengadili perkara PHPU berdasarkan 2 (dua) pendekatan tersebut. Tesis ini hendak menjawab permasalahan yaitu mengenai macam-macam putusan MK dalam menangani perkara PHPU dan desain yang ideal agar tercapai nilai keadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa melihat beberapa putusan PHPU, Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara berbeda-beda dengan amar putusan yang melampaui dari ketentuan jenis putusan di UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Mahkamah Konstitusi. Formulasi desain yang ditawarkan adalah alat kelengkapan penyelesaian PHP Kada hendaknya juga terdapat di PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Pertimbangan estimasi waktu penyelesaian agar dapat diselaraskan mengingat kesamaan urgensi kekosongan Pemerintahan.
The establishment of the Constitutional Court as a judicial institution after the reformation has in fact provided fresh air for parties who wish to litigate. One of the powers that the Constitutional Court has granted in Article 24C paragraph (1) is to decide on disputes over the results of general elections. Through this authority, many disputes over election results are submitted to the Constitutional Court. The arguments presented are various, namely qualitative or quantitative claims, however, there is a debate as to the extent to which the Constitutional Court can judge PHPU cases based on these 2 (two) approaches. This thesis intends to answer the problem, namely regarding the kinds of Constitutional Court decisions in handling PHPU cases and the ideal design to achieve the value of justice. The method used in this research is normative juridical method. The results showed that looking at several PHPU decisions, the Constitutional Court decided a case that was different from the verdict that exceeded the provisions of the type of decision in Law Number 24 of 2009 concerning the Constitutional Court. The design formulation offered is that the completion tool for PHPUD should also be available at the PHPU President and Vice President. Consideration of the estimated completion time so that it can be harmonized given the similarity of urgency for the absence of Government."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ahmad Fadlil Sumadi, 1952-
malang: Setara Press, 2013
342 AHM p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Ibnu Hakam Musais
"Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, pilkada bukan lagi pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, sampai saat ini juga masih menimbulkan perdebatan apakah dilaksanakan secara langsung atau dapat pula melalui perwakilan. Kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada di Indonesia telah beberapa kali berpindah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, lalu dikembalikan kepada Mahkamah Agung, dan terakhir secara normatif diberikan kepada badan peradilan khusus. Alih-alih menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 untuk mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada, pembuat undang-undang justru mengembalikan kewenangan penyelesaian hasil pilkada untuk sementara waktu kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun badan peradilan khusus harus dibentuk paling lambat pada tahun 2024, sebelum dilaksanakannya pilkada serentak nasional, sampai dengan saat ini masih belum ada pembahasan serius untuk mencari format ideal penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Terlepas dari hal tersebut, pada praktik ketatanegaraan di negara lain telah dikenal
electoral court yang secara khusus mengadili perselisihan hasil pilkada. Namun demikian, pengaturannya dilandasi oleh pencantuman kewenangan lembaga tersebut pada konstitusi. Dari fakta pengalaman dalam mengadili perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi diakui oleh berbagai kalangan lebih baik daripada Mahkamah Agung. Untuk itu, penyelesaian perselisihan hasil pilkada sebaiknya diberikan kembali kepada Mahkamah Konstitusi.
Post-decision of the Constitutional Court Number 97/PUU-XI/2013, regional election is no longer as an election mentioned in the Article 22E of the 1945 Constitution of the Repuublic of Indonesia. Until now, debates about provisions of the Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, especially about regional heads are democratically elected, should be applied by direct regional election or indirect regional election. The authority to resolving disputes over regional elections results in Indonesia has moved from Supreme Court to Constitutional Court, then returned to the Supreme Court, and finally its given to the special judicial bodies. Instead of executing the Constitutional Courts Decision Number 97/PUU-XI/2013 to regulate about institution to resolve disputes over regional election, law makers even give the authority back to the Constitutional Court, as a temporarily authority until the Special Judicial Bodies established. Although the Special Judicial Bodies should be formed before years of 2024 which is simultaneously national election are held, there are no serious discussion from the lawmakers to have an insight for an institution to resolving the disputes over regional election results. Even though, constitutional practices in other countries began to introduce electoral court as a special judicial bodies to resolving disputes over regional elections results. However, it based on the provision on their constitution. From the fact of experiences in resolving disputes over regional elections results, Constitutional Court is better than the Supreme Court was. For this reason, the authority to resolving disputes over regional elections results, is way much better if returned to the Constitutional Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55129
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.
Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Heriyanto
"Tesis ini membahas sejarah sampai lahirnya kewenangan lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa dalam penyelenggeraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, mulai dari konsep Nomokrasi dan Demokrasi, Pemilihan oleh DPRD dan Pilkada Langsung sampai dengan pemilu kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Pembahasan juga dilakukan terhadap kerangka hukum penyelesaian sengketa (hukum acara) yang dimiliki oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dan yang menjadi inti dari tesis ini adalah Kepatuhan KPU dalam melaksanakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.
This thesis discusses the historical existence of the authority of Judiciary Institution to settle dispute on Local Head dan Vice Head Region Election, Comparation between the concept of Nomocracy and Democracy, between Elected by Local Parliament and Local Direct Election, between Direct Election regime and General Election regime. This thesis also discusses legal framework for Dispute Settlement Procedure (Procedural Law) under Administrative Court and Constitutional Court in Local Head Election Management. Finally, Main discussion of this thesis addresses the Compliance of Election Commission in implementing Administrative and Constitutional Court Decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29320
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Marpaung, Mandahar
"Skripsi ini adalah membahas pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat pasca perubahan UUD 1945 yang telah dilaksanakan sejak Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2004. Pemilihan Umum secara langsung merupakan pelaksanaan demokrasi oleh masyarakat, memungkinkan timbulnya perselisihan dalam pelaksanaan dan perhitungan suara dalam penentuan pemenang pada pemilihan tersebut, untuk itu skripsi ini menguraikan tata cara penyelesaian sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan untuk mengadili sengketa Pemilu.
This paper isto discussthe implementation of the General Election of President and Vice President directly by the people after the 1945 changes that have been implemented since the election of President and Vice President in 2004. Election directly in the exercise of democracy by the people, allowing the emergence of disputes in the implementation and counting in determining the winner in the elections, for this thesis outlines the procedures for dispute resolution election of President and Vice President of the Constitutional Courtas ajudicial institution authority to adjudicate disputes elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S65507
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Artikel ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai fungsi lembaga negara penegak hukum di Indonesia. Perbedaan kewenangan dan fungsi lembaga penegak hukum seperti MA, Kejaksaan Agung, dan MK perlu dipahami secara mendalam. Selanjutnya mengingat perrmasalahan di semua lembaga pengadilan di seluruh dunia antara lain tentang lambatnya penyelesaian perkara, artikel ini mendeskripsikan dan menganalisis peran Hakim Agung dalam menyelesaikan perkara kasasi dan peninjauan kembali sebelum dan sesudah terbitnya SK Ketua MK No. 119/KMA/SK/VII/2013 tentang penetapan hari musyawarah dan ucapan dan No. 214/KMA/SK/XII/2014 tantang jangka waktu penanganan perkara pada MA. Namun demikian, ketika MK menerbitkan putusan No. 34/PUU-XI/2013 muncul masalah bahwa diantara produk kedua lembaga tinggi negara di bidang peradilan terlihat tidak sejalan, terutama dalam rangka penyelesaian perkara pidana. Di satu sisi, MA yang menginginkan terciptanya proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan melalui penguatan dua produk di atas, namun di sisi lain MK melalui putusannya memperpanjang rentang waktu proses penyelesaian perkara permohonan peninjauan kembali yang dapat dilakukan berulang kali. Kemudian untuk memberikan kepastian hukum, MA menerbitkan surat edaran MA No. 7 tahun 2014 yang menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dibatasi satu kali melalui payung hukum lainnya, yaitu UU kekuasaan kehakiman dan UU Mahkamah Agung."
JK 12:2 (2015)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Susanto Budi Raharjo
"Tesis ini membahas tentang Paradigma Keadilan Substantif yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara yang terkait dengan Pemilu Tahun 2009 yang mengesampingkan aspek-aspek procedural. Penelitian ini adalah kajian hukum normative dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyarankan agar Keadilan Substantif dapat tercapai tanpa mengesampingkan keadilan procedural perlu dilakukan perubahan berupa perbaikan dalam undang-undang yang berkaitan dengan pemilihan umum dan pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi dalam penyelenggaraan pemilu sehingga dapat mengakomodir hal-hal yang bersifat substantive sehingga tidak membelenggu hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusional terutama terkait dengan pemilu.
This thesis discusses the paradigm of Substantive Justice that is reflected in several decisions of the Constitutional Court in cases related to General Elections in 2009 which set aside procedural aspects. The study was a normative legal studies with a descriptive design. The results suggested that Justice Substantive justice can be achieved without neglecting the necessary procedural changes in the form of improvements in the law relating to elections and the tasks of the Constitutional Court in the administration of elections so as to accommodate the things that are substantive, so do not fetter the constitutional judges of deciding constitutional matters, especially relating to the election."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28037
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Hutapea, Adrian Prayoga
"Skripsi ini membahas mengenai perkembangan norma hukum yang mengatur verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilihan umum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan adalah norma hukum verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu bersifat dinamis sepanjang penyelenggaraan pemilu pada masa Reformasi. Selain itu, tafsir Mahkamah Konstitusi mengenai keadilan dalam proses verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu mengalami perubahan. Putusan MK No. 52/PUU-X/2012 dan Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 menafsirkan keadilan dalam proses verifikasi partai politik dengan menempatkan seluruh partai politik dalam posisi yang sama tanpa perlakuan yang berbeda. Putusan MK No. 55/PUU-XVIII/2020 menggantikan tafsir tersebut dengan mendasarkan pada keadilan yang “memperlakukan sama terhadap sesuatu yang sama dan memperlakukan beda terhadap sesuatu yang berbeda,” sehingga terjadi pembedaan perlakuan antara suatu partai politik dengan partai politik lainnya berdasarkan patokan tertentu. Berdasarkan kesimpulan tersebut, harapan dari Penulis adalah publik berusaha untuk melakukan pengawasan terhadap pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu demi terwujudnya prinsip-prinsip demokratis dalam pemilu, terutama mengenai verifikasi partai politik untuk menjadi peserta pemilu, terlepas dari kepentingan politik dari pembuat undang-undang dalam menyusun peraturan perundang-undangan mengenai pemilu.
This thesis discusses the development of legal norms governing the verification of political parties to become participants in general elections after Constitutional Court Decision Number 53/PUU-XVIII/2020. The research method used is the juridical-normative method with literature study. The conclusion of this research based on the facts found is that the legal norms of verification of political parties to become election participants are dynamic throughout the implementation of elections during the Reformation period. In addition, the Constitutional Court's interpretation of justice in the verification process of political parties to become election participants has changed. Constitutional Court Decision No. 52/PUU-X/2012 and Constitutional Court Decision No. 53/PUU-XV/2017 interpret justice in the political party verification process by placing all political parties in the same position without different treatment. Constitutional Court Decision No. 55/PUU-XVIII/2020 replaces this interpretation by basing it on the maxim that "treats the same to something that is the same and treats differently to something different," so that there is differential treatment between one political party and another political party based on certain benchmarks. Based on these conclusions, the author hopes that the public will try to supervise the legislators and election organizers for the realization of democratic principles in elections, especially regarding the verification of political parties to become election participants, regardless of the political interests of the legislators in drafting election laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library