Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92057 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Ibrahim Baasir
"Informed consent merupakan persetujuan terhadap tindakan pelayanan medis oleh pasien setelah memperoleh pemahaman yang cukup mengenai tindakan yang akan dilakukan. Informed consent dalam autopsi forensik akan diberikan oleh keluarga dari mayat yang meninggal akibat kematian tidak wajar. Informed consent diterapkan dalam autopsi forensik untuk memastikan pelaksanaan autopsi forensik telah diketahui dan disetujui oleh keluarga korban. Namun, dalam pengaturannya di Indonesia terdapat perbedaan antara Undang-Undang Kesehatan dengan KUHAP dan Instruksi Kapolri no. pol : Ins/E/20/IX/75 yang merupakan peraturan teknis kepolisian. Undang-Undang Kesehatan menyatakan informed consent dalam autopsi forensik wajib memerlukan persetujuan keluarga, sedangkan KUHAP tidak menyatakan keharusan akan diperolehnya persetujuan keluarga sebelum pelaksanaan autopsi forensik, dan Instruksi Kapolri no. pol : Ins/E/20/IX/75 menyatakan dalam hal keluarga korban keberatan dilaksanakan autopsi forensik maka wajib bagi petugas POLRI untuk menerangkan secara persuasif atau bahkan menegakkan Pasal 222 KUHP. Dalam implementasinya, penyidik selaku aparat penegak hukum yang menerapkan prosedur informed consent pada nyatanya meminta persetujuan keluarga terlebih dahulu, sehingga terdapat kebingungan akan peraturan mana yang sebenarnya berlaku antara Undang-Undang Kesehatan, KUHAP, dan Instruksi Kapolri no. pol : Ins/E/20/IX/75.

Informed consent is an agreement to medical services by a patient after obtaining sufficient understanding of the actions to be taken. Informed consent in a forensic autopsy will be given by the family of a corpse who died due to unnatural death. Informed consent is applied in a forensic autopsy to ensure that the implementation of a forensic autopsy has been known and approved by the victim's family. However, in its regulation in Indonesia there are differences between the Health Law and the Criminal Procedure Code and the Chief of Police Instruction no. pol: Ins/E/20/IX/75 which are technical police regulations. The Health Law states that informed consent in a forensic autopsy must require family approval, while the Criminal Procedure Code does not state the requirement to obtain family approval before carrying out a forensic autopsy, and the Chief of Police Instruction no. pol: Ins/E/20/IX/75 states that if the victim's family objects to a forensic autopsy, it is mandatory for POLRI officers to explain persuasively or even enforce Article 222 of the Criminal Code. In its implementation, investigators as law enforcement officers who apply the informed consent procedure actually ask for the family's consent first, so there is confusion about which regulations actually apply between the Health Law, the Criminal Procedure Code, and the Chief of Police Instruction no. pol: Ins/E/20/IX/75."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvan Adiyan Wijaya
"Profesi dokter forensik merupakan profesi yang sangat erat kaitannya dengan sains hukum, khususnya hukum kesehatan dan hukum pidana dan acara pidana. Sebagai Dibagian profesi kedokteran, dokter forensik juga tak luput dari penataan
mengenai persetujuan dan rahasia medis. Dalam skripsi ini, Masalah utama yang diangkat adalah tentang implementasi dan regulasi informed consent mengenai proses otopsi forensik yang dilakukan oleh dokter forensik, serta segala sesuatu yang termasuk dalam lingkup rahasia penyakit dalam proses otopsi jenazah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan jenis penelitian deskriptif. Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, dengan metode pengumpulan data yaitu studi pustaka dan mewawancarai informan, serta pengolahan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam melakukan otopsi jenazah tidak perlu persetujuan (consent) dari keluarga korban untuk otopsi jenazah, yang dibutuhkan adalah pemberian informasi (informing) kepada keluarga korban. Ada rahasia medis yang harus dijaga oleh dokter forensik mencakup semua informasi medis mengenai jenazah, baik dari a menunjukkan tindakan kriminal atau tidak, dengan informasi medis menunjukkan bahwa semua tindak pidana harus diberikan hanya kepada penyidik polisi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Kesehatan Harus lebih disosialisasikan bahwa otopsi jenazah tidak diperlukan persetujuan keluarga korban, serta dokter forensik, harus lebih hati-hati memberikan informasi medis kepada pihak manapun.

The forensic doctor profession is a profession that is closely related to legal science, especially health law and criminal law and criminal procedure. As part of the medical profession, forensic doctors also do not escape the arrangement
regarding consents and medical secrets. In this thesis, the main problem raised is about the implementation and regulation of informed consent regarding the forensic autopsy process carried out by forensic doctors, as well as everything that is included in the scope of disease secrets in the autopsy process of a corpse. This research is a normative legal research with descriptive research type. The research data used is secondary data, with data collection methods, namely literature study and interviewing informants, as well as qualitative data processing. The results showed that in carrying out the autopsy of a corpse, consent from the victim's family did not need consent for the autopsy of a corpse, what was needed was providing information (informing) to the victim's family. There is a medical secret that must be kept by a forensic doctor including all medical information regarding the body, whether from a
indicate a criminal act or not, with medical information indicates that all criminal acts must be given only to investigators Police. Ministry of Law and Human Rights and Ministry of Health It should be more socialized that an autopsy of the body is not necessary the consent of the victim's family, as well as forensic doctors, must be more careful provide medical information to any party.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ericka Hirnanti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Andita Sari
"Makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong setiap orang untuk terus melakukan berbagai eksperimen baru untuk melengkapi ilmu pengetahuan yang sudah ada. Namun di lain pihak, eksperimen-eksperimen yang dilakukan tersebut membuat sebagian orang yang tidak mengikuti perkembangan ilmu tertinggal jauh. Salah satu bidang yang mengalami kemajuan ilmu pengetahuan adalah bidang kedokteran. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran bertumpu pada eksperimen yang dilakukan, termasuk eksperimen yang dilakukan pada manusia sebagai obyeknya. Eksperimen yang melibatkan manusia sebagai obyek eksperimen tidak dapat dihindarkan, walaupun telah dilakukan eksperimen pada hewan percobaan, karena perbedaan species antara keduanya. Sebelum melakukan eksperimen ini, terlebih dahulu harus terdapat kesepakatan antara subyek eksperimen dan obyek eksperimen yang dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mereka dapat memperjanjikan sendiri halhal yang telah disepakati bersama, sesuai dengan ketentuan pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam perjanjian tersebut terdapat semua hak dan kewajiban para pihak, dimana mereka harus mematuhi segala ketentuan yang telah disepakati bersama. Salah satu hal penting dalam pelaksanaan eksperimen adalah persoalan Informed Consent, menyangkut informasi yang diberikan subyek eksperimen dan persetujuan dari obyek eksperimen. Dalam memberikan persetujuannya, obyek eksperimen harus dalam keadaan bebas dan terlepas dari intervensi apapun. Informed Consent ini juga harus diterapkan dalam uji klinik pemakaian obat baru, setelah diadakan eksperimen terhadap hewan percobaan. Studi ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2005
S21076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desriza Ratman
"Legal aspects of informed consent in medical treatment in Indonesia."
Bandung: Keni Media, 2018
344.041 DES a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Desriza Ratman
"Legal aspects of informed consent in medical treatment in Indonesia."
Bandung : Keni Media , 2013
344.041 DES a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S21859
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desriza Ratman
"Legal aspects of informed consent in medical treatment in Indonesia."
Bandung : Keni Media , 2013
344.041 DES a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Irawaty Melissa
"ABSTRAK
Prita Mulyasari mengungkapkan kekecewaannya terhadap pelayanan medis rumah sakit OMNI Internasional melalui surat elektronik. Isi surat elektronik kemudian tersebar luas ke masyarakat sampai diketahui oleh pihak rumah sakit. Kemudian rumah sakit mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas dasar penghinaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1376 KUHPerdata. Penulis akan membahas mengenai batasan pengertian penghinaan sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan penerapan informed consent dalam kaitannya dengan kasus Prita Mulyasari serta analisis putusan Mahkamah Agung No. 300K/PDT/2010. Maka berdasarkan Pasal 1376 KUHPerdata, suatu perbuatan melawan hukum atas dasar penghinaan harus dibuktikan dengan adanya unsur maksud untuk menghina. Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008, mengatur bahwa dokter wajib mendapatkan informed consent pasien atas tindakan medis yang dilakukan, Kode Etik Kedokteran Indonesia juga mengatur kewajiban dokter untuk memberikan keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya. Pemberian suntikan dan obat-obatan tanpa persetujuan pasien serta hasil laboratorium yang tidak dapat dibuktikan oleh dokter inilah yang menurut penulis tidak sesuai dengan apa yang diatur.

Abstract
Prita Mulyasari expressed her disappointment toward OMNI International hospital?s medical services through electronic mail. The content of the electronic mail later spread to the community and known by the hospital. Hospital reacted by filing law suit against Prita based on tort as provided in Article 1365 and Article 1376 Indonesian Civil Code. In this thesis, the writer will defined the limitation of insulting deed as tort and the application of informed consent in the case of Prita Mulyasari, furthermore the writer will analyze The Verdict of the Supreme Court No.300K/PDT/2010. Article 1376 Indonesian Civil Code required the element of intention of insulting deed as tort to be proven. Regulation of Minister of Health No.290/MENKES/PER/III/2008, stipulates that doctor should obtain an informed consent from the patient before the doctor allowed to conduct any medical treatment, Code of Medical Ethics in Indonesia also stipulates that doctor is obliged to give an explanation and opinion that are subjected to verification. As in the case, the doctor?s conduct, giving injections and medicines without first asking Prita for informed consent and the incapability to verify the laboratory?s result are what the writer highlights and thinks were not conform with the law.
"
2012
S42446
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
J. Guwandi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
344.041 GUW h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>