Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42287 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Poppy Octasari
"Indonesia memiliki kewajiban dalam melindungi HAM bangsa yang sebagaimana telah diatur dalam Konstitusi Negara yaitu UUD 1945. Pada implementasinya di Indonesia banyak jumlah kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga yang terus meningkat tiap tahunnya, hal ini terjadi karena masih kurang nya peran negara dalam melindungi PRT, belum adanya regulasi yang mengatur secara khusus terkait dengan perlindungan PRT. Berangkat dari permasalahan yang terjadi, kebutuhan regulasi untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Solusi yang ditawarkan adalah segera mengesahkan RUU PPRT sebagai dasar perlindungan PRT serta meratifikasi ILO Konvensi 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Penelitian ini bertujuan: pertama, menjelaskan secara detail sehingga dapat membantu pemerintah untuk menguatkan perlindungan PRT yang diatur dalam RUU PPRT merupakan hal yang prioritas untuk disahkan negara. Metode penelitian ini merupakan penelitian doktrinal yang menggunakan bahan kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Indonesia belum memiliki peraturan untuk melindungi PRT serta belum ada peraturan yang menjadi kerangka acuan perlindungan PRT.

Indonesia has an obligation to protect the human rights of the nation as regulated in the State Constitution, namely the 1945 Constitution. In its implementation in Indonesia, the number of cases of violence against Domestic Workers continues to increase every year, this occurs because the role of the state in protecting domestic workers is still lacking, there are no regulations that specifically regulate the protection of domestic workers.Based on the problems that occur, the need for regulations to protect Domestic Workers is a form of state responsibility to protect Human Rights. The solution offered is to immediately ratify the RUU PPRT PPRT as a basis for protecting domestic workers and to ratify ILO Convention 189 on Decent Work for Domestic Workers.This research aims: first,explaining in detail so that it can help the government to strengthen the protection of domestic workers regulated in the RUU PPRT is a priority for the state to pass. This research method is doctrinal research that uses library materials. The results of this research show that Indonesia does not yet have regulations to protect domestic workers and there are no regulations that serve as a reference framework for protecting domestic workers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Anjani
"Skripsi ini mengkaji konflik antara kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dengan kewajiban negara untuk melindungi hak investor asing, suatu permasalahan yang sering terjadi ketika negara menghadapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan investasi asing. Melalui penelitian yuridis- normatif, skripsi ini membahas pengaturan HAM dan hak investor asing dalam hukum internasional, serta konsekuensi hukum bagi negara akibat praktiknya dalam menghadapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan investasi asing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai sumber hukum internasional memberikan kewajiban kepada negara untuk melindungi HAM dan juga untuk melindungi hak investor asing. Jika negara tidak melindungi HAM demi kepentingan investor asing, negara dapat divonis melanggar kewajibannya melindungi HAM. Di lain pihak, jika negara melindungi HAM dengan mengorbankan investor asing, negara dapat divonis melanggar kewajiban untuk melindungi hak investor asing. Namun, negara dapat dibebaskan dari gugatan pelanggaran hak investor asing apabila tindakan negara yang merugikan investor asing demi perlindungan HAM memenuhi kriteria-kriteria tertentu.

This study discusses the conflict between state duty to protect human rights and state duty to protect the rights of foreign investors, a problem which often occurs when states are dealing with human rights cases related to foreign investments. By using the juridical-normative research method, this study elaborates how international law regulates human rights and the rights of foreign investors, along with the legal consequences for states for their practices in dealing with human rights cases related to foreign investment.
The research shows that various sources of international law give states the duty to protect human rights and also the duty to protect the rights of foreign investors. If the state did not protect human rights for the convenience of foreign investors, states could be judged to be breaching its obligation to protect human rights. On the other hand, if states protect human rights at the cost of foreign investors, states could be judged to be violating the rights of foreign investors. However, states can also be exempted from such judgment, given that the state?s human rights measures which incur losses for foreign investors fulfill certain criterias.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44959
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ryanindityo
"Penelitian ini memfokuskan kepada kebijakan Australia yang dikenal dengan istilah Operation Sovereign Borders, terutama mengenai faktor-faktor yang menyebabkan Australia memberlakukan Operation Sovereign Borders dan hak-hak yang dilanggar di dalam melaksanakan Operation Sovereign Borders tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sebagai negara yang telah meratifikasi dan menjadi negara pihak dalam Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokolnya Tahun 1967, serta ICCPR, maka seharusnya pelaksanaan Operation Sovereign Borders yang dijalankan oleh Pemerintah Australia tetap tunduk pada kewajiban-kewajiban internasional terkait pencari suaka dan pengungsi yang datang ke negaranya dan tidak melanggar hak-hak mereka.

This research focuses on Australia's policy known as The Operation Sovereign Borders. In particular, it emphasizes on the sources of changes (factors) that causes Australia to establish The Operation Sovereign Borders and the human rights that are breached from the implementation of The Operation Sovereign Borders. This is a qualitative-descriptive research design. The results of this thesis suggest that as a country that has ratified and become a state party of The United Nations Convention and Protocol Relating to The Status of Refugees in The Year 1951 and 1967, and The ICCPR, The Operation Sovereign Borders that is carried out by the Australian Government should be align with its international obligation regarding asylum seekers and refugees entering its territory and does not breach its human rights obligation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhief F. Ramadhani
"ABSTRAK
Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Hak kebebasan beragama tidak hanya mencakup kebebasan setiap manusia untuk memilih keyakinan yang menurutnya benar, namun juga termasuk hak bagi tiap-tiap manusia untuk mengekspresikan keyakinannya dan juga hak untuk menjalankan segala ajaran agama atau kepercayaan yang diyakininya. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia, khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat, pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara, pendirian rumah ibadat, dan pendidikan agama di sekolah.

ABSTRACT
The right to freedom of religion is a human right that should not be restricted in any circumstances. Right to freedom of religion not only includes the freedom of every human being to choose beliefs which he said is true, but it also includes a right for every human being to express his convictions and also right to perform any religious doctrine or belief that he believes. Indonesia through Law No. 1/PNPS of 1965 only recognizes six religions: Islam, Christianity, Protestantism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. State recognition of a particular religion is permissible and does not violate human rights. Unfortunately the state recognition of the six religious impact some human rights violations, especially the adherents of religions, beliefs and religions other than official religions recognized by the state. Impacts arising from the state recognition of certain religions is the dissolution of streams that are considered heretical, the inclusion of religion on identity cards which later became the entrance to the restrictions of the rights of followers of religions, beliefs and religions that are not recognized by the state, the establishment of the synagogue, and religious education in schools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S439
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Nurseptiana Barzah
"Penggeledahan merupakan bagian pengusutan atau penyidikan. Penggeledahan merupakan suatu tindakan penguasa untuk membatasi kebebasan orang, yaitu melanggar ketenteraman rumah kediaman ataupun melanggar kebebasan privasi pada tubuh seseorang. Tindakan penggeledahan ini bisa saja diambil atas dasar dugaan. Oleh karena itu, seseorang bisa saja sewaktu-waktu digeledah untuk kepentingan penyelidikan dan penegakan hukum. Bahkan penggeledahan ini bisa saja berujung pada penahanan. Meskipun tindakan penggeledahan biasanya dilakukan pada orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa, tetapi jika seseorang suatu saat digeledah belum berarti seseorang tersebut telah menjadi tersangka, terdakwa ataupun terpidana. Tindakan penggeledahan ini bisa dilakukan terhadap siapapun. Karena langsung menyangkut hak asasi seseorang, maka penggeledahan harus dilakukan sesuai Undang-Undang. Pengaturan mengenai penggeledahan diatur dalam Pasal 32 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Permasalahan yang dibahas adalah mengenai Kewenangan dalam Penggeledahan dilihat dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis- normatif yaitu dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang terhadap bagaimana Kewenangan dalam Penggeledahan apabila dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia.

A search is part of an investigation. A search is an act of the authorities to restrict people's freedoms, including violating the peace of a residence or violating the privacy of a person's body. These searches can be taken on the basis of suspicion. Therefore, a person can be searched at any time for the purpose of investigation and law enforcement. It may even lead to detention. Although searches are usually carried out on people who have been named as suspects or defendants, if a person is searched at any time, it does not mean that the person has become a suspect, defendant or convict. These searches can be carried out on anyone. Because it directly concerns a person's human rights, the search must be conducted in accordance with the law. The regulation on searches is stipulated in Article 32 of the Criminal Code (KUHAP). The problem discussed is about the Authority in Searches seen from a Human Rights Perspective. This research is a juridical-normative legal research that uses the Law approach to how the Authority in Searches when viewed from a Human Rights perspective."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meirina Fajarwati
"ABSTRAK
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini membuat pemerintah mengambil langkah untuk mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU No 17 tahun 2016 yang mana dalam undang-undang tersebut mengatur hukuman pidana kebiri kimia yang diberikan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Kebiri kimia ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan jaminan bagi setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Berdasarkan uraian diatas penulis akan menganalisis mengenai politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 dan bagaimanakah pengaturan mengenai sanksi kebiri kimia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 ditinjau dari perspektif HAM. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kesimpulan bahwa; Pertama, dalam kasus ini dikeluarkannya UU No 17 Tahun 2016 dikarenakan pemerintah beranggapan kasus kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengancam dan membahayakan jiwa anak. Diharapkan dengan sanksi kebiri kimia ini dapat menurunkan jumlah kasus kekerasan seksual pada anak. Kedua, sanksi kebiri kimia telah mengabaikan dan bertentangan dengan substansi HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 serta beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu jika dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan maka dapat dikatakan jika UU No 17 Tahun 2016 telah melanggar asas kemanusiaan dan asas dapat dilaksanakan dalam UU No 12 Tahun 2011. Sanksi kebiri kimia juga akan sulit untuk diimplementasikan karena adanya penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjadi eksekutor dalam pelaksanaan kebiri kimia ini. Hal ini dapat menyebabkan sanksi ini menjadi tidak dapat dilaksanakan dan tidak efektif.

ABSTRACT
The number of sexual violence cases that occurs against children over the last few years has prompted the government to take steps an issue Government Regulation in law number 17 year 2016 on the enactment of Government Regulation in lieu of Law on the Republic of Indonesia Number 1 year 2016 on the Second Amendment to Law Number 23 year 2002 on Child Protection. That regulation has imposed the chemical penalty punishment for perpetrators of child sexual abuse. However, this regulation is inconsistent with the provision of Article 28G Paragraph (2) of the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 which guarantees everyone to be free from torture or degrading treatment of human dignity. Based on the above description, the authors will analyze the legal politics of the establishment of the Law Number 17 year 2016 and how the regulation of chemical in Law Number 17 Year 2016 from the perspective of human rights. From the research result, it can be concluded that; First, in this case the issuance in Law Number 17 year 2016 because the government considers that cases of sexual violence against children is an extraordinary crime and will be threatened and endanger the soul of the child. It is hoped that the sanction of chemical castraction can reduce the number of cases of sexual violence against children. Second, this sanction has ignored and contradicted to the human rights protection which guaranteed in the Constitution of the Republic of Indonesia year 1945 and the other of several laws and regulations. In addition, if be observed from the formulation of legislation it can be said that Law No. 17 of 2016 has violated the principle of humanity which regulated in Law No. 12 year 2011. The sanction of chemical castraction will also be difficult to implement because of the refusal of organization of Indonesian doctor to become executor of this sanction. This causes the sanction of chemical castraction can be unworkable and ineffective."
2017
T47748
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gilang Tri Wibisono
"Migrasi tenaga kerja Tajikistan ke Rusia memainkan peran dalam pertumbuhan ekonomi Tajikistan. Namun dibalik itu migrasi tenaga kerja Tajikistan melibatkan berbagai resiko untuk tenaga kerja migran. Tahun 2013 merupakan tahun terberat para pekerja migran. Isu-isu anti-migran dan xenophobia berkembang dan berdampak pada serangan-serangan terhadap migran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran Hak Asasi Manusia pekerja migran Tajikistan di Rusia 2013. Penelitian ini menggunakan Teori Hak Asasi Manusia yang dikaitkan dengan pasal-pasal DUHAM dan pasal-pasal konvensi internasional perlindungan hak buruh yang dikeluarkan oleh ILO (International Labour Organization). Dari analisis diketahui bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM dilihat dari pasal-pasal DUHAM dan dan pasal- pasal konvensi internasional perlindungan hak buruh yang dikeluarkan oleh ILO (International Labour Organization). Kejadian ini memiliki dampak bagi para migran Tajikistan dan Negara Rusia.

Tajikistan's labor migration to Russia plays a role in the economic growth of Tajikistan. But behind the labor migration Tajikistan involves various risks to migrants. 2013 was the toughest year of migrant workers. Issues of anti-migrant and growing xenophobia and impact on attacts against migrants. This study aims to analyze the human rights violations of Tajikistan migrant workers in Russia 2013. This study uses the theory of Human Rights, which is associated with the articles of the Universal Declaration and the provisions of international conventions the protection of labor rights issued by ILO (International Labour Organization). From the analysis shows that this case is a violation of human rights seen from the articles of the Universal Declaration and the provisions of international conventions the protection of labor rights issued by ILO (International Labour Organization). This incident could have implications for migrants Tajikistan and Russia."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fazari Zul Hasmi Kanggas
"

Negara Indonesia melindungi dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negaranya sebagaimana yang telah tertulis pada Pasal 28A sampai dengan 28I UUD 1945. Dengan adanya jaminan dari negara atas hak-hak tersebut, bukan berarti negara telah membuka pintu seluas-luasnya kepada warganya untuk melakukan segala macam perbuatan tanpa batas, sebagaimana yang ada pada Pasal 28J UUD 1945. Lesbian Gay Bisexual and Transgender merupakan sebuah penyimpangan dalam perilaku seksual.Beberapa kelompok di negara-negara eropa membungkus bentuk penyimpangan tersebut dengan sebuah “bungkus” yang bernama hak asasi manusia guna justifikasi terhadap prilaku homoseksual dan legalisasi perkawinan sejenis. Dalam penelitian ini mempunyai dua rumusan masalah yaitu; I) Bagaimana pandangan Hak asasi manusia di Indonesia terhadap perkawinan sesama jenis dan perbuatan homoseksual? II) Bagaimana norma hukum yang berlaku di Indonesia dalam menyikapi fenomena perkawinan sejenis dan perbuatan homoseksual kaum  LGBT dengan mempertimbangkan Hak Asasi Manusia? Penelitian ini merupakan penelitan normatif dengan sumber data sekunder. Menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan wawancara. Sedangkan analisis data mengunakan analisis kualitatif sehingga bentuk penelitian ini merupakan penelitian evaluatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sejarah. Pada akhirnya penelitan ini menyimpulkan I) berdasarkan cara pandang theosentris perkawinan sejenis dan prilaku homoseksual bukan merupakan hak asasi manusia, sedangkan berdasarkan cara pandang antroposentris, sebaliknya. II) Indonesia adalah negara yang menganut teori hukum alam irasional dengan pandangan theorisentris, sehingga prilaku homoseksual dan perkawinan sejenis sejatinya telah bertentangan dengan Pancasila dan norma hukum yang berlaku. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia merumuskan adanya norma hukum yang melarang prilaku homoseksual dan perkawinan sejenis.


The Indonesian state protects and guarantees the human rights of every citizen. Protection of these rights is written in Articles 28A through 28I of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. With the guarantee from the state of the rights possessed by each citizen, it does not mean that the state has opened the widest possible door for its citizens to do all kinds of actions according to their own personal desires without clear boundaries. In Article 28J of the 1945 Constitution, according to Article 28J paragraph (2) of the 1945 Constitution Lesbian Bisexual and Transgender Gay is a deviation in sexual behavior. Some groups in European countries wrap the form of deviation with a "wrapper" called human rights for justification of homosexual behavior and the legalization of similar marriage. In this study there are two formulation of the problem, namely; I) What is the view of human rights in Indonesia towards same-sex marriage and homosexual behavior of LGBT people? II) What are the legal norms in force in addressing the phenomenon of similar marriages and homosexual behavior of LGBT people by considering human rights? This research is normative research with secondary data sources consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Using data collection techniques with literature studies and interviews. While the data analysis uses qualitative analysis so that the form of this research is evaluative research. The approach taken is the conceptual approach, legislative approach and historical approach. The purpose of this study is I) The purpose of writing this paper is to explain more about the human rights perspective in Indonesia in addressing homosexual behavior of LGBT people and same-sex marriage. II) to explain the legal norms in Indonesia in responding to homosexual behavior of LGBT people and same-sex marriage based on consideration of the concept of human rights in Indonesia In the end, this research concludes I) that based on irrational natural law theory with theorocentric views will see homosexual and marital behavior of a kind not part of human rights, but based on rational natural law theory with an anthropocentric view will see this as part of human rights. II) Indonesia is a country that adheres to irrational natural law theory with a theoretic view, so that homosexual and marital behaviors of a kind have actually contradicted Pancasila, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights Suggestions from this study suggest that the Indonesian Government formulate legal norms that prohibit similar homosexual and marital behavior.

"
2019
T54415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The intelligence body is the foremost line in national security system by conducting early detection and early warning system in preventing and overcoming any threat to national security. The confidential character of the intelligence body eqquiped with special authority has made possible it becomes a subject of human right violation. However, the acknowledgement and protection of the human right law number 39 year 1999. This essay attempts to examine the complexion problems between the implementation of intelligence function to ensure the national security and the necessity of human right's protection in the implementation of intelligence task and authority; in its profesional etic code and sworm; penalty sanction given in the event any violation; and the multilayered oversight to intelligence bodies."
NGRHKM 1:1 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>