Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155558 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penulisan ini menganalisis bagaimana pengajuan surat pengunduran diri dapat dikategorikan sebagai pemutusan hubungan kerja serta hak-hak pekerja ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, khususnya terkait dengan pemutusan hubungan kerja yang terjadi dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 296/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Mdn. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Pemutusan hubungan kerja merupakan akhir dari hubungan kerja yang terjadi akibat suatu kondisi tertentu sehingga mengakhiri hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha. Selain itu, pemutusan hubungan kerja pertanda sebagai awal dari berakhirnya sumber penghasilan pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka dari itu, ketika pemutusan hubungan kerja terjadi, terdapat hak-hak normatif wajib diberikan oleh pengusaha. Baik pengusaha maupun pekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi, terkadang prosedur pemutusan hubungan kerja tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan terhadap pekerja. Pada duduk perkara yang terjadi di dalam Nomor 296/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Mdn, baik pekerja maupun pengusaha tidak melaksanakan prosedur pemutusan hubungan kerja sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga beberapa hak pekerja menjadi tidak terpenuhi. Dalam memutus hubungan kerja seharusnya hakim juga perlu lebih memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku agar hak-hak pekerja tetap terjamin.

This paper analyzes how the application of a resignation letter can be categorized as termination of employment and workers' rights when termination occurs, especially in relation to the termination of employment in the Court of Industrial Relations at Medan District Court No. 296/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Mdn . The paper was written using a doctrinal research method. Termination of employment is the end of employment relationships that occurs due to certain conditions, thus ending the rights and obligations between workers and entrepreneurs. In addition, the termination of employment marks the beginning of the end of workers' income sources to meet the daily needs of life. Therefore, when the termination of employment occurs, there are normative rights that must be given by the employers. Both employers and workers can cut off employment. However, sometimes the termination procedure is not carried out in accordance with the procedures that have been regulated in the legislation. This could result in injustice for workers. In the case that occurred in verdict 296/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Mdn, both workers and employers didn’t carry out the termination procedure in accordance with the applicable regulations hence some workers' rights were not fulfilled. In making a decision for  termination of employment, judges should also pay more attention to the applicable legal provisions so that workers' rights remain guaranteed. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghazahra Vesti Rana
"Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan dengan alasan efisiensi merupakan hal yang diperbolehkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengajuan yang datang dari inisiatif pihak perusahaan maupun pekerja/buruh, prosedur yang wajib dilakukan, adanya pemberitahuan sebelum pengakhiran hubungan kerja serta pemberian uang kompensasi setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja menjadi ketentuan perundang-undangan sebagai wujud aspek keadilan dalam pemutusan hubungan kerja. Namun, sifat subordinasi dalam hubungan kerja menjadikan tak sedikit perusahaan yang menyalahgunakan alasan efisiensi sebagai dasar pemutusan hubungan kerja tanpa alasan yang jelas dan akhirnya melanggar aspek keadilan yang menjadi salah satu tujuan dibuatnya hukum. Hal serupa juga terjadi pada PT. Tirta Alpin Makmur berdasarkan Putusan Nomor 59/Pdt.Sus-PHI/2018. Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan cara metode kualitatif. Penelitian dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Ditemukan inkonsistensi majelis hakim dalam menerapkan hukum pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan, juga ketidaksesuaian pembenaran pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang diperbolehkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Implementasi keadilan tidak diterapkan sesuai dengan keadilan substansi dan prosedural pada Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Termination of employment by companies for reasons of efficiency is permissible under Law Number 13 of 2003 concerning Employment. Submission that comes from the initiative of the company as well as workers / laborers, have to undergo mandatory procedure, which is to give notification (notify) prior to the termination of the employment relationship and determining the compensation money after termination of employment, which is constituted by statutory provision as a form of justice aspects in termination of employment. However, the subordinate nature of work relations creates conditions where companies then misuse the reasons for efficiency as a basis for termination of employment without a clear reason and ultimately violate aspects of justice which is one of the aims of the law. Similar thing happened to PT. Tirta Alpin Makmur based on Court Decision Number 59/Pdt.Sus-PHI/2019/Pn.Mdn. This research takes the form of normative juridical research conducted by means of qualitative methods. The study was conducted by means of a literature study with secondary data in the form of primary, secondary and tertiary legal materials. The inconsistency of the judges in applying the law in termination of employment for reasons permitted by the Manpower Act. The implementation of justice is not applied in accordance with substance and procedural justice in the Labor Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lestari
"Skripsi ini membahas permasalahan mengenai penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena pengunduran diri pekerja berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, serta mengenai pertimbangan hukum Majelis Hakim tentang pengunduran diri pekerja dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 45/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif bersifat deskriptif analisis. Dalam penelitian ini penulis sampai pada kesimpulan bahwa penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena pengunduran diri pekerja berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Apabila perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka para pihak dapat menyelesaikan perselisihan melalui tahapan perundingan tripartit, yakni melalui konsiliasi atau mediasi. Dalam hal proses konsiliasi atau mediasi tidak juga mencapai kesepakatan, maka salah satu atau para pihak dapat melakukan upaya penyelesaian ke Pengadilan Hubungan Industrial. Selanjutnya, bahwa Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 45/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Bdg telah keliru dalam memberikan pertimbangan hukum dan menerapkan hukum dengan menyatakan putus hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha dengan alasan pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Pertimbangan Majelis Hakim tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 162 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

This thesis discusses any problems about dispute settlement over the termination of employment caused by resignation of worker based on Act Number 2 of 2004 on Industrial Relations Disputes Settlement, and legal consideration of the Judges about resignation of worker in Industrial Relations Court on District Court of Bandung Decision Number 45 Pdt.Sus PHI 2015 PN Bdg. This research used normative legal with descriptive analysis. In this research the author came to the conclusion that dispute settlement over the termination of employment caused by resignation of worker based on Act Number 2 of 2004 on Industrial Relations Disputes Settlement, shall be pursued in advance of bipartite negotiations by deliberation for consensus. If the negotiation does not reach an agreement, the parties can resolve by tripartite negotiation through conciliation or mediation. In the case of conciliation or mediation does not also reach an agreement, one of the parties can make efforts to settle to the Industrial Relations Court. Furthermore, that in Industrial Relations Court on District Court of Bandung Decision Number 45 Pdt.Sus PHI 2015 PN Bdg the Judges had mistaken in giving legal consideration and apply the law by stating that the working relationship between the worker and the employer was broken off because the worker resigned of his own accord. Consideration of the Judges is contrary to the provisions of Article 162 of Act Number 13 of 2003 on Manpower.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hazara Nasya Arvillia
"Berakhirnya hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan sewaktu-waktu dapat terjadi karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja yang disebabkan oleh suatu hal tertentu dan berdampak pada berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan. Namun, PHK sendiri banyak menimbulkan ketidakadilan, khususnya bagi pekerja outsourcing (alih daya) yang memiliki ketidakjelasan hubungan kerja. Terlebih lagi dengan berlakunya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undangundang Jo. PP No. 35 Tahun 2021 yang mengandung banyak perubahan dan kontroversi terkait alih daya dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Skripsi ini menganalisis tentang pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan outsourcing pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 264/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Jkt.Pst. yang berfokus pada permasalahan bagaimana hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing serta penerapan pemutusan hubungan kerja. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan undang-undang dan kasus, kemudian alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen. Bahwa hasil dari penelitian ini adalah karena terjadi penyimpangan
dalam PKWT, sehingga menyebabkan hubungan kerja berubah menjadi PKWTT serta penerapan PHK yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing terhadap pekerja dalam analisis putusan ini terjadi sejak tanggal 31 Juli 2020. Dengan demikian Untuk menghindari kesalahan dan ketidakpastian hukum maka diperlukan diperlukan kegiatan sosialisasi terhadap implementasi peraturan perundang-undangan terkait PKWT, PHK, dan hubungan kerja kepada berbagai perusahaan outsourcing dan pekerja atau buruh outsourcing.

Termination of the legal relationship between workers and companies can occur at any time due to termination of employment (PHK). Termination of employment is the termination of an employment relationship caused by a particular matter. It impacts the end of the rights and obligations between workers and companies. However, layoffs
cause many injustices, especially for outsourced workers with unclear work relations. Moreover, the enactment of UU No. 6 of 2023 concerning Perpu No. 2 of 2022 concerning Job Creation to become Law and PP No. 35 of 2021 contains many changes and controversies related to outsourcing and specific time work agreements (PKWT). This thesis analyzes the termination of employment by an outsourcing company in the Decision of the Industrial Relations Court of the Central Jakarta District Court No.
264/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Jkt.Pst. Which focuses on the problem of working relations between workers and outsourcing companies and the application of termination of employment. The research method used is juridical-normative research with a law and
case approach, then the data collection tool uses a document study. Whereas the results of this study are due to irregularities in the PKWT, causing the employment relationship to change to PKWTT, and the application of layoffs carried out by outsourcing
companies against workers in the analysis of this decision has occurred since July 31, 2020. Thus, to avoid mistakes and legal uncertainty, socialization activities are necessary regarding implementing laws and regulations related to PKWT, layoffs, and employment relations to various outsourcing companies and outsourced workers or workers.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Alzura
"Tulisan ini membahas peraturan pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran bersifat mendesak setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan perbandingan pertimbangan hakim dalam pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat dan pelanggaran bersifat mendesak pada dua putusan yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dengan pengumpulan data melalui penelusuran literatur. Peraturan pemutusan hubungan kerja karena pelanggaran bersifat mendesak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 memungkinkan pengusaha dapat langsung melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang diduga melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Mekanisme ini memiliki persamaan dengan pemutusan hubungan kerja akibat kesalahan berat pada Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 karena melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dan asas praduga tak bersalah. Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 16/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bgl mengenai kesalahan berat dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr mengenai pelanggaran bersifat mendesak juga menunjukkan persamaan dalam menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Kedua putusan memperbolehkan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena pekerja diduga melakukan tindak pidana yang dikategorikan sebagai kesalahan berat pelanggaran bersifat mendesak tanpa adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut menandakan bahwa kesalahan berat yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dilahirkan kembali dengan mekanisme yang sama, tetapi dalam istilah yang berbeda, yaitu pelanggaran bersifat mendesak.

This paper discuss the regulation of employment termination due to urgent violations following Constitutional Court Decision Number 012/PUU-I/2003 and compares the opinion of the court in related to grave wrongdoings and urgent violations in two different decisions. The study uses doctrinal research and data collection through literature reviews. Government Regulations Number 35 of 2021, a derivative of the Job Creation Law, addresses the termination of the employment relationship due to urgent violations. According to Article 52 paragraphs (2) and (3) of this regulation, employers can immediately terminate employees suspected of urgent violations without a notification letter. This mechanism is similar to the annulled Article 158 of the Labour Law, which allows termination for grave wrongdoings, nullified by the Constitutional Court for the violating Article 27 of the 1945 Constitution and the principle of presumption of innocence. The opinion of court in the Industrial Relations Court decisions at the Bengkulu District Court Number 16/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bgl and the Pekanbaru District Court Number 10/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Pbr also show similarities in handling such disputes. Both decisions permit the termination based on suspected criminal offenses without permanent legal force decision. These similarities suggest that the annulled concept of grave wrongdoings has re-emerged under the different term urgent violations, using the same mechanism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa selama belum ditetapkannya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Adapun kewajiban yang dimaksud meliputi upah yang diberikan selama proses pemutusan hubungan kerja (upah proses). Namun, ketentuan ini dianggap belum memberikan kepastian hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi RI memberikan penafsiran melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, bahwa upah proses tetap diberikan kepada pekerja hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pasca dijatuhkannya putusan tersebut, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 pada tanggal 29 Desember 2015 yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI, karena membatasi pemberian upah proses selama 6 (enam) bulan saja. Dengan adanya ketidakharmonisan dalam ketentuan upah proses ini telah mengakibatkan penafsiran yang keliru pada hakim dalam menjatuhkan putusannya. Sebagaimana yang diputuskan dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 346/PDT.SUS-PHI.G/2018/PN.JKT.PST, Majelis Hakim telah menjatuhkan hukuman upah proses sebanyak 2 (dua) bulan upah dengan pertimbangan pekerja tidak melaksanakan pekerjaannya selama proses pemutusan hubungan kerja. Atas hal tersebut, perlu dilakukan penelitian dengan metode penelitian deskriptif yang memberikan gambaran umum mengenai penetapan upah bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaan selama proses pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan penelitian ini, maka Negara perlu membentuk undang-undang yang jelas mengenai pemberian upah proses bagi pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya, dan memberikan keadilan bagi pekerja.

Article 155 paragraph (2) of the Law of Republic of Indonesia Number 13 of 2003 on Manpower regulates that as long as the decision of institute for the settlement of industrial relation disputes has not determined, employer and employee must keep on performing their obligations. The intended obligations include wages given during the employment termination process (process wages). However, this provision is considered not to provide legal certainty, thus the Constitutional Court provides an interpretation through the Decision Number 37/PUU-IX/2011 on 19 September 2011, that process wages is still given to employee until a decision has its permanent legal force (inkracht van gewijsde). After that, the Supreme Court then issued a Circular Letter Number 3 of 2015 on 29 December 2015 which contradicted the Decision of the Constitutional Court, because it limited the payment of process wages for 6 (six) months. With the disharmony in the regulations, it has resulted the mistaken interpretation of the judge in ruling the decision. As decided in the Industrial Relations Court Decision at the District Court of Central Jakarta Number 346/PDT.SUS-PHI.G/2018/PN.JKT. PST, the Panel of Judges has sentenced the employer to pay the process wage in the amount of 2 (two) months, with the consideration that employee does not carry out the work during the employment termination process. For this reason, research needs to be done with descriptive methods that provides an overview of the determination of wages for employee who does not carry out work during the employment termination process. Based on this research, the State needs to form a clear regulation regarding the provision of process wages for employee who does not carry out their work, thus it does not cause a different interpretation for the judge in ruling the decision, and provide a justice for employee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Ribka Seruni Gabriella
"Efisiensi adalah salah satu alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja. Tujuan dari efisiensi adalah penghematan, yang sebenarnya dilakukan untuk menyelamatkan keuangan perusahaan maupun karena adanya restrukturisasi di perusahaan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, seringkali menyebabkan perselisihan dengan pekerja/buruh yang terdampak atas dilakukannya pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka skripsi ini membahas mengenai bagaimana ketentuan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi karena perusahaan merugi diimplementasikan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 dan bagaimana penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 83/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan penelitian bahan pustaka atau data sekunder berupa peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan sebagai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dari buku serta artikel. Dari penelitian yang telah dilakukan, telah diperoleh hasil, pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi hanya dibenarkan bila perusahaan benar-benar tutup secara permanen. Dalam hal ini, Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 83/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST. dapat dikatakan belum menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011. karena memutus berdasarkan rasa kepatutan dan keadilan. Oleh karenanya, seharusnya dilakukan koordinasi di antara lembaga peradilan agar kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan dapat tercapai. Selain itu, ditambahkannya pengaturan mengenai kinerja pekerja/buruh dalam peraturan Ketenagakerjaan juga dianggap perlu agar adanya suatu pedoman yang pasti bagi pengusaha untuk menilai suatu kinerja pekerja/buruh. Mengingat, pekerja/buruh dengan pengusaha merupakan hubungan kemitraan, dan tidak seharusnya dapat diputuskan hubungan kerjanya serta diganti kapan saja.

Efficiency is one of the reasons for the termination of an employment. The purpose of efficiency is savings, which is actually done to save the company's finances as well as restructuring the company. However, to achieve this goal, it often cause disputes with workers/laborers who are affected by the termination of employment in terms of efficiency. In connection with these matters, this thesis discusses how the provisions for the termination of employment on the grounds of efficiency because the company loses money is implemented with the Constitutional Court decision Number 19/PUU-IX/2011 and how to resolve disputes over termination of employment on the grounds of efficiency in the Court Decision Central Jakarta District Court Industrial Relations Number 83/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST. This research uses normative-legal method. Data collection techniques are carried out by conducting research on library materials or secondary data in the form of statutory regulations and court decisions as primary legal materials and secondary legal materials from books and articles. From the research that has been conducted, it has been found that the termination of employment for efficiency reasons is only justified if the company is closed permanently. In this case, the Decision of the Industrial Relations Court of the Central Jakarta District Court Number 83/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.JKT.PST. it can be said that the Constitutional Court Decision Number 19/PUU-IX/2011 has not yet been implemented because they decide based on a sense of propriety and justice. Therefore, coordination should be carried out among the judiciary so that legal certainty and justice for the justice-seeking community can be achieved. In addition, the addition of regulations regarding worker/labor performance in the Manpower regulation is also deemed necessary so that there is a definite guideline for entrepreneurs to assess a worker/ aborer's performance. Bearing in mind that the workers/laborers and entrepreneurs are a partnership relationship, and they should not be able to terminate their work relations and be replaced at any time."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Cindy Andriani
"ABSTRACT
Pengunduran diri merupakan salah satu mekanisme PHK yang mensyaratkan faktor kesukarelaan dalam tindakan pekerja/buruh. Namun, pada sejumlah kasus, pengunduran diri nyatanya tidak didasarkan atas inisiatif pekerja/buruh melainkan dilatarbelakangi oleh tindakan pengusaha yang menempatkan pekerja/buruh pada situasi sulit sehingga tidak memiliki pilihan selain mengundurkan diri. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut pengaturan mengenai PHK dan implementasinya di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial terhadap kasus pengunduran diri pekerja/buruh yang dilakukan secara tidak sukarela dalam putusan no. 262/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn, no. 5/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bna, dan no. 18/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Pal. Penelitian dalam skripsi ini berbentuk penelitian yuridis normatif dengan membandingkan 3 (tiga) putusan, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara terhadap narasumber. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder yang dimaksud akan dianalisa lebih lanjut dengan pendekatan kualitatif. Dari segi pengaturan, ketentuan mengenai PHK akibat pengunduran diri pekerja/buruh yang dilakukan secara tidak sukarela belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada tataran teoritis sebenarnya terdapat 4 (empat) prinsip/teori/doktrin yang dapat dipergunakan untuk melengkapi peraturan di Indonesia. Di sisi lain, pada penerapannya, Hakim dalam putusan-putusan yang diteliti cenderung membatasi pertimbangan hukumnya pada pembuktian di persidangan dan kurang aktif melakukan penemuan hukum dalam kondisi minimnya peraturan. Dengan demikian, diperlukan peraturan yang komprehensif mengenai pengunduran diri pekerja/buruh yang dilakukan secara tidak sukarela dan sosialisasi teknik menggali latar belakang pengunduran diri pekerja/buruh kepada Hakim seperti melalui persangkaan.

ABSTRACT
Resignation is one of the mechanisms for terminating employment relations that requires voluntary factor in the employees action. However, in a number of cases, the resignation was actually not based on the initiative of employee, but was motivated by the employers action who put employee into difficult situation so that he/she had no choice but to resign. Therefore, it is necessary to further examine the regulations regarding termination of employment and their implementation at the Industrial Relations Court level toward cases about the employees involuntary resignation in decision no. 262/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn, no. 5/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.Bna, and no. 18/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Pal. The research is a normative juridical research by comparing 3 (three) court decisions, which has descriptive analytical. The research was conducted by literature research and interview. Data used in this research are secondary data which consist of primary, secondary, and tertiary legal materials. The secondary data would be further analyzed by qualitative approach. In terms of regulations, the provisions regarding termination of employment due to the employes involuntary resignation has not been regulated in legislations. Theoretically, there are actually 4 (four) principles/theories/doctrines that could be used to complement regulations in Indonesia. On the other hand, at the level of implementation, the Judge in the decisions examined tends to limit its legal considerations on proof at trial and is less active in making law within the lack of regulations. Thus, a comprehensive regulation is needed regarding the employees involuntary resignation matter and train the Judge how to recognize a dismissal instead of voluntary resignation by applying several techniques such as making a presumption."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Ayu Aniisa Thamrin
"Tulisan ini menganalisis bagaimana penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi Anak Buah Kapal (ABK) di Indonesia dan lebih khususnya membahas mengenai bagaimana kewenangan dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam kasus perselisihan hubungan industrial pada Putusan Nomor 639 K/Pdt.Sus-PHI/2023 jo Nomor 641 K/Pdt.Sus-PHI/2021. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian deskriptif yang memberikan gambaran umum mengenai penyelesaian perselisihan PHK bagi anak buah kapal di Indonesia. Kepastian hukum yang diberikan bagi pekerja awak kapal niaga adalah berdasarkan pada Perjanjian Kerja Laut (PKL). Hal tersebut sesuai dengan Pasal 337 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang tersebut, yang mengatur mengenai hubungan kerja anak buah kapal dengan pemberi kerja. Selanjutnya berdasarkan dengan kasus tersebut, diketahui bahwa hak pekerja terabaikan yaitu berupa PKL dengan jenis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dapat diperbaharui secara terus menerus dan adanya percobaan kerja namun PKL tetap disahkan oleh Syahbandar setempat. Hak-hak penting bagi pekerja anak buah kapal masih belum dapat diimplementasikan, sehingga pekerja anak buah kapal tetap harus memperjuangkannya melalui PHI. Berdasarkan penelitian ini, maka perlu membedakan mengenai perlindungan bagi pekerja di darat dengan di laut dan juga perlu memperhatikan kewenangan absolut maupun relatif dari pengadilan yang dituju untuk diajukan gugatan.

This article analyzes how disputes over Termination of Employment Relations (PHK) are resolved for ship crew in Indonesia and more specifically discusses the authority of the Industrial Relations Court (PHI) in cases of industrial relations disputes in Decision Number 639 K/Pdt.Sus-PHI/2023 jo Number 641 K/Pdt.Sus-PHI/2021. This article was prepared using descriptive research methods which provide a general overview of resolving layoff disputes for ship crews in Indonesia. The legal certainty provided for commercial ship crew workers is based on the Maritime Work Agreement. This is in accordance with Article 337 of Law no. 17 of 2008 concerning Shipping, Law no. 13 of 2003 concerning Employment, as amended by Law no. 6 of 2023 concerning Stipulation of Regulations in Lieu of Law no. 2 of 2022 concerning Job Creation becomes this law, which regulates the work relationship between ship crew and employers. Furthermore, based on this case, it is known that workers' rights are neglected, namely in the form of Maritime Work Agreement with the type of Specific Time Work Agreement \ which can be renewed continuously and there are work trials but the Maritime Work Agreement is still approved by the local Harbor Master. Important rights for ship crew workers still cannot be implemented, so ship crew workers still have to fight for them through Industrial Relation Court. Based on this research, it is necessary to distinguish between protection for workers on land and at sea and also need to pay attention to the absolute and relative authority of the court to which the lawsuit is filed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kana Martin
"Pemutusan hubungan kerja merupakan tindakan pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. Salah satu penyebab pemutusan hubungan kerja adalah pekerja melakukan pelanggaran berat atau melakukan tindak pidana. pada kasus yang diteliti penulis ini adalah pemutusan hubungan kerja karena melakukan tindak pidana, selanjutnya dalam rincian rumusan masalah diangkat mengenai pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam memutuskan perselisihan pemutusan hubungan kerja karena melakukan tindak pidana, bagaimanakah pertimbangan pembuktian dan alat bukti tindak pidana dan sudah sesuaikah pertimbangan hakim dalam memutuskan perselisihan tersebut. adapun hasil dari penelitian ini adalah Hakim harus menggunakan dasar hukum normatif ketika memutus PHK karena melakukan tindak pidana atau kesalahan berat yaitu Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mana pekerja yang melakukan tindak pidana dapat di PHK apabila telah mendapatkan putusan pidana pada pengadilan negeri.

Termination of employment is an act of terminating the employment relationship between an entrepreneur and a worker. One of the causes of termination of employment is that workers commit serious violations or commit criminal acts. In the case investigated by this writer is termination of employment due to committing a criminal act, then in the details of the problem formulation is raised regarding the considerations and legal basis of judges in deciding disputes over termination of employment due to a criminal act, how are the considerations of evidence and evidence of a criminal act and are according to consideration judge in deciding the dispute. As for the results of this study, the Judge must use a normative legal basis when deciding on dismissal for committing a crime or serious mistake, namely the Circular of the Minister of Manpower and Transmigration of the Republic of Indonesia Number: SE-13 / MEN / SJ-HK / I / 2005 Regarding the Court's Decision The Constitution on the Rights of Judicial Review Law No. 13 of 2003 concerning Manpower, where workers who commit a criminal act can be laid off if they have received a criminal verdict at a district court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>