Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juwita Cresti Rahmaania
"Penyakit Hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan pada neural crest yang mempunyai karakteristik tidak terdapatnya ganglion pada kolon distal dengan panjang yang bervariasi. Teori mengenai penyakit Hirschsprung telah banyak dipelajari khususnya mengenai komplikasi dini dan lanjut yang sering menyertai pasca operasi yaitu enterocolitis dan incontinence. Kadar secretory Imunoglobulin A (sIgA) yang rendah dipelajari merupakan suatu faktor yang memudahkan terjadinya infeksi pada saluran cerna. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan kadar ekspresi sIgA pada feses pasien Hirschsprung dibandingkan dengan anak normal. Penelitian ini merupakan suatu penelitian pendahuluan yang bersifat deskriptif analitik. Subjek penelitian ini adalah pasien anak dengan Hirschsprung di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Umum Persahabatan dan anak normal di Puskesmas Kecamatan Senen pada periode bulan November 2024 – Desember 2024 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yaitu 16 pasien anak Hirschsprung dan 16 anak normal. Hasil kadar sgIA feses pasien anak Hirschsprung lebih tinggi dengan nilai median 1551,56 µg/ml (27,69-35988,75) µg/ml dan anak normal dengan nilai median 771,87 µg/ml (31,27-11250,52) µg/ml dengan nilai p=0,72. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memerhatikan faktor-faktor yang memengaruhi kadar sIgA pada pasien Hirschsprung dan anak normal seperti penggunaan susu formula beserta komposisinya, pemberian ASI , infeksi Adenovirus dan paparan antigen pada lingkungan (sistem pembuangan, sumber air dan sanitasi lingkungan). Ekspresi kadar sIgA pada feses dapat digunakan pada penelitian selanjutnya pada pasien Hirschsprung dengan enterocolitis dengan memerhatikan variabel perancu tersebut.

Hirschsprung's disease is a congenital disorder of the neural crest which has the characteristic of no ganglion in the distal colon with varying lengths. The theory of Hirschsprung's disease has been widely studied, especially regarding early and late complications that often accompany after surgery, namely enterocolitis and incontinence. Low levels of secretory Immunoglobulin A (sIgA) are studied as a factor that facilitates the occurrence of infections in the digestive tract. The purpose of this study was to determine the difference in sIgA expression levels in the fecal of Hirschsprung patients compared to normal children. This study is a preliminary study that is descriptive analytical. The subjects of this study were pediatric patients with Hirschsprung at Cipto Mangunkusumo National Hospital, Persahabatan General Hospital and normal children at the Senen District Health Center in the period November 2024 - December 2024 who met the inclusion and exclusion criteria, namely 16 pediatric Hirschsprung patients and 16 normal children. The results of fecal sgIA levels in Hirschsprung patients were higher with a median value of 1551.56 μg/ml (27.69-35988.75) μg/ml and normal children with a median value of 771.87 μg/ml (31.27-11250.52) μg/ml with a p value = 0.72. Further research is needed by considering factors that affect sIgA levels in Hirschsprung patients and normal children such as the use of formula milk and its composition, breastfeeding, Adenovirus infection and exposure to antigens in the environment (waste system, water sources and environmental sanitation). The expression of sIgA levels in fecal can be used in further research in Hirschsprung patients with enterocolitis by taking into account these confounding variables.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Kurnia
"Latar belakang: Pullthrough pada zona transisi (ZT) adalah penyebab utama obstruksi pascatindakan definitif pada Morbus Hirschsprung (MH). Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan karakteristik histologi dan panjang ZT pada MH. Dibuat hipotesis bahwa gambaran histologi dan panjang ZT sangat bervariasi dan berhubungan dengan klasifikasi MH, usia, serta keberadaan stoma. Metode penelitian: Dilakukan kajian ulang terhadap sediaan histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin eosin pada pasien MH yang telah dilakukan pullthrough. Sampel terbagi dalam kelompok zona transisi lengkap (ZTL) dan zona transisi tidak lengkap (ZTTL) tergantung batas reseksi. Diameter serabut saraf, jarak antar ganglion dan panjang ZT pada lapisan submukosa dan intermuskular diukur dan dinilai hubungannya dengan klasifikasi MH, usia, serta keberadaan stoma. Hasil penelitian: Panjang ZTL berkisar antara 2-16 cm, sedangkan ZTTL berkisar antara 3-33 cm. Secara keseluruhan, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara diameter serabut saraf, jarak antar ganglion dan panjang ZT dengan klasifikasi MH, usia, serta keberadaan stoma. Didapatkan hubungan bermakna antara diameter serabut saraf pada lapisan intermuskular dengan usia (p=0,004) dan stoma (p=0,001) pada kelompok ZTTL, serta antara panjang ZT pada lapisan submukosa dengan stoma (p=0,016) pada kelompok ZTTL. Kesimpulan: Panjang ZT sangat bervariasi, cenderung lebih panjang pada MH long segment, seiring pertambahan usia, dan pada kelompok pasien dengan stoma. Direkomendasikan untuk reseksi minimal 10 cm proksimal dari area mulai ditemukannya ganglion dan dikonfirmasi dengan VC sirkumferensial pada batas sayatan paling proksimal untuk meminimalisir pullthrough pada ZT.

Background: Transition zone (TZ) pullthrough is a leading cause of obstructive symptoms after pullthrough procedure in Hirschsprung disease (HD). The aim of this study is to describe the histologic characteristics and length of TZ in HD. The hypothesis is TZ histology and length varies according to HD classification, age and the presence of stoma. Method: Review of histopathology slides with hematoxylin eosin stain of HD patients who had undergone pullthrough was performed. Sample was sorted into two groups, complete transition zone (CTZ) and incomplete transition zone (ITZ), depending on the margins of resection. Nerve diameter, interganglionic interval, and TZ length in submucosal and intermuscular layer were measured, and their relationship with HD classification, age and presence of stoma, analyzed. Result: The length of CTZ ranges between 2-16 cm, and ITZ ranges between 3-33 cm. Overall, there were no significant relations between nerve diameter, interganglionic interval, and TZ length with HD classification, age and presence of stoma. There were significant nerve diameter difference in the intermuscular layer of ITZ group, in relations with age (p=0,004) and presence of stoma (p=0,001). There was a significant TZ length difference in the submucosal layer of ITZ group in relations with presence of stoma (p=0,016). Conclusion: The length of TZ varies greatly, tends to be longer in long segment HD, increasing with age, and in patients with stoma. It is recommended to resect minimal 10 cm proximal from the most distal ganglionic area, and confirmed with circumferential frozen section study of the most proximal resection margin to minimize risk of TZ pullthrough."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Rahardjo Budianto
"Latar Belakang. Penyakit Hirschsprung (PH) adalah suatu penyakit kongenital akibat tidak terbentuknya sel ganglion Meissner dan Auerbach pada lapisan sub mukosa dan lapisan intermuskularis usus. Komplikasi dari PH yang umum terjadi adalah Hirschsprung associated Enterocolitis (HAEC) yang dapat mengancam nyawa, biasa terjadi karena keterlambatan diagnosis PH, namun masih dijumpai pasca operasi definitif PH. Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab HAEC, mulai dari gangguan elektrolit dan air, disbiosis kuman usus maupun gangguan homeostasis mukosa dinding usus, seperti berkurangnya musin yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel neuroendokrin yang berperan pada motilitas dan sekresi usus, namun sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari HAEC. Sel Paneth, salah satu sel epitel pembentuk dinding mukosa usus yang berfungsi sebagai sel pertahanan yang menghasilkan beberapa protein dan peptide antimikroba, salah satunya α-defensin. Dalam keadaan normal sel paneth tidak ditemukan di kolon, namun pada penyakit radang usus seperti Penyakit Crohn dan kolitis ulserativa, ditemukan metaplasia sel Paneth akibat inflamasi yang terjadi. Peran sel paneth yang berfungsi sebagai sel pertahanan terhadap mikroba blm diteliti dalam terjadinya HAEC. IL-β adalah sitokin proinflamasi yang berperan pada peradangan dan kerusakan jaringan usus dan pada penyakit Crohn, peningkatan derajat keparahan peradangan mukosa terlihat sejalan dengan peningkatan konsentrasi protein IL-1β. Indikator inflamasi lainnya yaitu calprotectin, suatu protein penanda biologis yang ditemukan pada tinja ketika terjadi inflamasi di usus dimana konsentrasinya akan meningkat 4-6 kali dari konsentrasinya di plasma. Penelitian ini berfokus pada peran dan fungsi sel Paneth pada patogenesis HAEC dan diharapkan dapat menjawab permasalahan pada HAEC dan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas PH di masa yang akan datang.
Tujuan. Mengetahui peran sel Paneth, α-defensin, IL-β dan calprotectin pada patogenesis HAEC
Metode Penelitian. Penelitian menggunakan hewan coba tikus jantan Sprague-Dawley. Kelompok sampel dibagi menjadi 11 kelompok yang terdiri dari 10 kelompok perlakuan BAC 0.1% dan 1 kelompok kontrol. Jumlah masing–masing kelompok adalah 5 ekor. Pengambilan sampel dan sacrifice dilakukan pada hari ke-0, 3, 5, 7, 10, 12, 14, 16, 18 dan 21 hari setelah 7 hari diberi perlakuan BAC. Jaringan usus kolon sigmoid dan serum diambil untuk pemeriksaan histologi (derajat enterokolitis dan metaplasia sel Paneth) menggunakan pewarnaan hematoxyllineosin serta pemeriksaan biokimia menggunakan teknik ELISA untuk menentukan konsentrasi α- defensin, IL-β dan calprotectin. Analisis statistik data numerik menggunakan uji Anova, uji Mann–Whitney dan uji korelasi Spearman.
Hasil. Enterokolitis mulai terjadi pada kelompok PH+7 dengan derajat yang makin meningkat sejalan dengan waktu. Terdapat perbedaan bermakna pada metaplasia sel Paneth antara kelompok PH+0 dan PH+7 serta PH+0 dan PH+18, namun tidak didapati perbedaan bermakna pada konsentrasi α-defensin jaringan, α-defensin serum, IL-β dan calprotectin terhadap kelompok PH+0. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara konsentrasi α-defensin dengan jumlah metaplasia sel Paneth, α-defensin serum, IL-β dan calprotectin.
Simpulan. Derajat enterokolitis meningkat sejalan dengan berjalannya waktu pada PH yang tidak dilakukan intervensi dan terjadi metaplasia sel Paneth yang tidak diikuti dengan peningkatan konsentrasi konsentrasi protein α-defensin.

Background. Hirschsprung disease (HD) is a congenital disease, characterized by absence of Meissner and Auerbach ganglion cells in the submucosal and intermuscularis layer of the gut. Hirschsprung Associated Enterocolitis (HAEC) is a common and sometimes life threatening complication of HD, presenting either before operation due to delayed in diagnosis or after definitive surgery for HD. Variety of HAEC causes has been thought, such as electrolyte and water metabolism defect, infection caused by dysbiosis of gut microflora, and various dysfunction of intestinal homeostasis like disordered intestinal motility by neuroendocrine cells, mucosal immunity defect and abnormal mucin production by goblet cells. Despite the advancement of HD management therapy, HAEC etiology and pathophysiology remain poorly understood and unconfirmed. Paneth cell, one of the principle cell type of the epithelium of the intestinal mucosal wall, an innate antimicrobial peptides that contribute to mucosal host defence by producing antimicrobial peptides and protein, including α-defensin. Normally, Paneth cell is not found in the adult colon, but in intestinal bowel disease (IBD) like Crohn disease and ulcerative colitis, paneth cells metaplasia due to inflammation was found. The role of paneth cell as mucosal host defence has not been investigated in the pathophysiology of HAEC. Pro inflammation cytokine IL-β known to be involve in the inflammation and tissue defective in Crohn disease, where increasement of the inflammation degree was followed by IL-β increasement respectively. Other inflammation indicator, calprotectin, a biomarker protein, found in the feces when inflammation occurred in the intestine, would increased 4-6 fold from the plasma concentration. This study is to investigate the role of paneth cell in the pathogenesis of HAEC so that morbidity and mortality of HD could be lowered in the future.
Aim. To investigate the role of Paneth cell, α-defensin, IL-β and calprotectin in HAEC patogenesis.
Method. Male Sprague Dawley rat was used in this study, divided into 11 groups, one control group and 10 Benzalkonium Chloride (BAC) 0.1% intervention groups, each group consisted of r rats. Sacrifice and sample harvesting done on day 0, 3, 5 ,7 10,12, 14, 16, 18 and 21; 7 days after BAC 0.1% intervention was done. Sigmoid colon and blood serum harvested for histological examination (aganglionosis segmen, HAEC degree and Paneth cell metaplasia) with hematoxyllin-eosin staining and biochemical examination with ELISA technique to measure α-defensin, IL-β and calprotectin concentration. Statistic analisys using Anova, Mann-Whitney test and Spearman test.
Result. HAEC occurred on the 7th day after 14 days application of BAC, analog to 7 days after HD, with increasement of enterocolitis degree along with the time of scarifice. In term of paneth cell metapasia, there is a significant differences between HD+0 and HD+7, and between HD+0 and HD+18, but there is no significant differences for tissue and plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin concentration compare to HD+0. There are no significant correlation between tissue α-defensin concentration compare to paneth cell metaplasia, plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin respectively. There are also no significant correlation between degree of Enterocolitis compare to paneth cell metaplasia, tissue and plasma α-defensin concentration, IL-β and calprotectin.
Conclusion. HAEC degree increase alongside with time in HD without intervention, Paneth cell metaplasia occurred in HAEC but not followed by increasement of α-defensin concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Richard Hudson
"ABSTRAK
Anak yang mengalami penyakit Hirschsprung atau Malformasi Anorectal sering mengalami kurang gizi dikarenakan terjadinya distensi abdomen yang menyebabkan penurunan asupan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran praktik pemberian makan dan status gizi pada anak yang mengalami penyakit Hirschsprung atau Malformasi Anorectal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan jumlah responden 48 anak yang dipilih dengan teknik pengambilan data consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan 52,1% ibu telah melakukan praktik pemberian makan sesuai dan 76% responden memiliki status gizi normal. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan dengan jumlah responden yang lebih banyak sehingga gambaran hasil penelitian dapat digeneralisasikan untuk populasi yang lebih luas.

ABSTRACT
Children suffer Hirschsprung Disease or Malformation Anorectal are often experiencing under nutrition because of distended abdomen that causes decreasing nutritional intake. This research aimed to describe feeding practice and nutritional status among children suffer Hirschsprung Disease or Anorectal Malformation.
This research used descriptive design with 48 children as respondents. The respondents were selected with consecutive sampling technique. The result showed that 52,1 % mothers had a good feeding practice and 76% of the children had normal nutritional status. Further research is expected to be done with more respondents so that the results can be generalized for the population"
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Febriani
"Menurut badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) pada tahun 2015, sebanyak 70% penyebab kematian pada penyakit jantung disebabkan oleh penyakit jantung koroner (PJK). Tercatat 17,5 juta kematian atau setara dengan 30,0 % dari total kematian di dunia disebabkan oleh penyakit jantung koroner (WHO, 2017). Penyakit jantung koroner merupakan gangguan fungsi jantung yang disebabkan adanya plaque yang menumpuk di dalam pembuluh darah arteri sehingga mengganggu supply oksigen ke jantung. Hal ini menyebabkan aliran darah ke otot jantung menjadi berkurang dan terjadi defisiensi oksigen. Pada keadaan yang lebih serius dapat mengakibatkan serangan jantung. Faktor risiko penyakit jantung koroner diantaranya adalah Usia, Jenis Kelamin, Hipertensi, Kolesterol, Riwayat Keluarga dan sebagainya. Jika kemungkinan seseorang untuk menderita penyakit jantung koroner dapat diprediksi sejak awal berdasarkan faktor risiko yang ada, maka tingkat kematian akibat penyakit jantung koroner dapat ditekan menjadi lebih rendah.
Tesis ini mengusulkan Model Regresi Logistik Fuzzy untuk memprediksi kemungkinan seseorang untuk menderita penyakit jantung koroner. Tahap pertama dari penelitian ini adalah membangun model prediksi, kemudian mengestimasi nilai parameter dengan menggunakan metode least square. Selanjutnya pada tahap ketiga mengaplikasikan model yang didapatkan untuk memprediksi penyakit jantung koroner. Setelah itu melakukan uji kelayakan atau kesesuaian model dengan metode Mean Degree of Membership dan yang terakhir menghitung akurasi prediksi dengan menggunakan Confusion Matrix.

According to the World Health Organization (WHO) in 2015, as many as 70% of the causes of death in heart disease were caused by coronary heart disease (CHD). It was recorded that 17.5 million deaths or the equivalent of 30.0% of the world's total deaths were caused by coronary heart disease (WHO, 2017). Coronary heart disease is a disorder of heart function caused by plaque that builds up in the arteries so it interferes with oxygen supply to the heart. This causes blood flow to be reduced and oxygen deficiency occurs. In more serious situations it can prevent heart attacks. Risk factors for coronary heart disease are Age, Gender, Hypertension, Cholesterol, Family History and so on. If there is someone who is a victim of coronary heart disease can be predicted from the beginning, then there is likely to arise more.
This thesis proposes a Fuzzy Logistic Regression Model to predict the possibility of a person suffering from coronary heart disease. The first stage of this research is to build a predictive model, then estimate the parameter values using the least square method. Furthermore, in the third stage, apply a model to predict coronary heart disease. After that, test the feasibility or suitability of the model with the Mean Degree of Membership method and finally calculate the prediction accuracy using the Confusion Matrix.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwang Gumiwang
"Latar Belakang. Intervensi koroner perkutan (IKP) pada subgrup "chronic total coronary occlusion" (CTO) sering dihubungkan dengan tingkat kegagalan yang relatif lebih tinggi dan angka komplikasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan angioplasti koroner secara umum, Penyempurnaan tehnik, peralatan dan cara seleksi pasien terus menerus disempurnakan untuk mencapai keberhasilan yang semakin tinggi. Mengetahui prediktor kegagalan tindakan IKP pada CTO merupakan langkah penting dalam proses seleksi pasien.
Tujuan Penelitian
Mencari variabel prediktor kegagalan tindakan IKP pada CTO
Metode
Dilakukan studi retrospektif "cross sectional" pada 78 kasus CTO yang di terapi IKP, setelah melewati seleksi pada 1205 pasien oklusi total dari total 3654 pasien yang di lakukan tindakan invasif koroner selama setahun (2005). Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan gagal atau suksesnya tindakan. Ditetapkan sebanyak 25 variabel yaitu 12 variabel klinis (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, merokok, diabetes melitus, hipertensi, riwayat infark, riwayat bedah pintas koroner, umur oklusi >1 tahun, angina berat dan disfungsi ventrikeI kiri) dan 13 variabel angiografik (true CTO, lokasi Iesi, Iesi ostial, kalsifikasi, "tortousity", "abrupt type"," side branch type", "bridging collateral", diffuse disease", diameter <3mm, panjang > 15mm, lesi multipel dan "multivessel disease") untuk dinilai peranannya terhadap kegagalan tindakan melalui uji univariat dan uji multivariat "logistic regression".
Hasil
Sukses prosedural dicapai pada 57 kasus (73%), komplikasi terjadi pada 1 kasus (1%). Mayoritas kasus adalah pria dengan rerata umur 55 tahun. Pada uji univariat, didapat prediktor adanya kalsifikasi yang signifikan berbeda (OR 3,28. p 0,04. 95%CI 1.05-10,18). Melalui uji multivariat terhadap 7 prediktor yang terseleksi lewat uji univariat mendapatkan 2 prediktor kegagalan IKP yaitu adanya "multivessel disease" (OR 7,1. p 0,07 .95%CI 0,85-59,21) dan adanya "diffuse disease" (OR 2,7. p 0,06 .95%CI 0,93-8,08)
Simpulan
Kami dapat mengidentifikasi adanya "multivessel disease" dan "diffuse disease" sebagai dua variabel prediktor kegagalan IKP pada sari pasien CTO tahun 2005. Kesuksesan IKP dicapai pada 73% pasien dengan angka komplikasi 1%.
Saran
Penelitian prospektif dengan jumlah sampel besar mungkin perlu dilakukan.

Background. Percutaneous coronary intervention (PCI) in patients with chronic total coronary occlusion (CTO) is associated with higher rate of failure and higher rate of complication compared to non-CTO angioplasty. Improvement in technique, logistic and patient's selection method lead to a better success rate. Identification of predictor of failure could be an important step in patient selection.
Objective
To study the predictors of failure of PCI in patients with CTO
Method
A retrospective analysis of clinical and angiographic data of 78 consecutive eligible CTO patients who underwent PCI selected in series of 1205 total occluded vessel of 3654 angiographic patients in the year of 2005 in our catheterization laboratory. We analyzed 25 variables, 12 clinical variables (age, sex, family history, smoking, diabetes mellitus, hypertension, history of myocardial infarction, history of coronary bypass operation, age of occlusion > 1 year, severe angina and poor left ventricle systolic dysfunction) and 13 angiographic variables (true CTO, CTO location, ostial lesion, calcification, tortoises, non-tapered type, side branch type, bridging collateral, diffuse disease, vessel diameter < 3mm, CTO length > 15mm, multi-lesion and multi vessel disease) by unvaried and multivariate analysis (logistic regression) in association between 21 cases of procedural failure group and 57 cases of procedural success group.
Results
Procedural success was achieved in 57 patients (73%) and complication occured in one patient (1%). Majority of patients are male with mean age 55 year. Presence of calcification is the only predictor identified by unvaried analysis (OR 3,28. p 0,04. 95%CI 1.05-10,18). Multivariate analysis identified multivessel disease (OR 7,1. p 0,07 .95%CI 0,85-59,21) and diffuse disease (OR 2,7. p 0,06 .95%CI 0,93-8,08) as predictors of procedural failure.
Conclusions
We identified multivessel disease and diffuse disease as two predictors of procedural failure of PCI in our series of CTO patient with 73% success rate and 1% complication rate in the year of 2005.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21234
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noormanto
"Tujuan Mengetahui profil lemak, faktor risiko PJK lain serta ketebalan tunika intimamedia karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini. Tempat penelitian: Poliklinik rawat jalan Anak Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subyek penelitian Anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini.
Metode dilakukan pengukuran berat badan, tinggi badan, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa dan ketebalan tunika intima-media karotis. Analisis data yang digunakan untuk membandingkan faktor risiko antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua PJK dini adalah x2, tes t tidak berpasangan dan regresi logistik. Untuk mengetahui perbedaan ketebalan tunika intima-media karotis pada remaja dengan atau tanpa riwayat orangtua mendeirita PJK dini dilakukan analisis tes t tidak berpasangan. Sedangkan untuk mencari hubungan ketebalan tunika intima-media karotis dengan profil lemak dan faktor risiko PJK lain dilakukan uji korelasi Pearson.
Hasil Sebanyak 24 anak dengan riwayat orangtua menderita PJK dini, terdiri 66,7% laki-laki dan 33,3% perempuan. Pada analisis bivariat diperoleh perbedaan yang bermaia7a pads indeks masa tubuh, tekanan darah diastolik dan ketebalan tunika intima media arteri karotis antara anak dengan atau tanpa riwayat orangtua menderita PJK dini (p= 0,035, p=0,029 dan p=0,004), tetapi dari analisis multivariat indeks masa tubuh dan tekanan darah diastolik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,083 dan p=0,094). Sedangkan umur, jenis kelamin, status merokok, perokok pasif, aktivitas anak, tekanan darah sistolik, kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, kadar gula darah puasa tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dari analisis bivariat maupun multivariat. Ketebalan tunika intima-media karotis pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungannya dengan faktor risiko PJK seperti kadar kolesterol total, kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL, kadar trigliserida, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, indeks masa tubuh dan umur.
Kesimpulan (1) Remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini mempunyai kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserid, tekanan darah sistolik dan diastolik serta indeks rasa tubuh rata-rata lebih tinggi tetapi secara statistik tidak bermakna disbanding kontrol; (2) Tunika intima-media karotis pada remaja dengan riwayat orangtua menderita PJK dini lebih tebal secara bermakna dibanding kontrol; (3) Ketebalan tunika intima-media karoti; tidak ada hubungannya dengan faktor risiko PJK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Dwi Hasriani
"Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pada kelompok kardiovaskular. Obesitas dapat meningkatkan risiko seseorang terhadap progresivitas dari prediabetes menjadi DM tipe 2 dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Kondisi prediabetes dengan obesitas meningkatkan risiko kejadian PJK berdasarkan Cardiometabolic Disease Staging (CMDS). Penelitian ini menggunakan desain studi kohor retrospektif dengan data sekunder studi kohor faktor risiko PTM tahun 2011-2018. Sampel adalah 493 penduduk penduduk dewasa yang obesitas yang menjadi responden Studi Kohor Faktor Risiko PTM, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Hasil analisis multivariat menggunakan cox regression setelah dikontrol dengan usia dan durasi obesitas menemukan bahwa prediabetes memiliki nilai HR=0,80 (95%CI:0,462-1,387), p=0,429, yang berarti hubungan prediabetes dengan kejadian PJK pada penduduk dewasa yang obesitas tidak bermakna secara statistik.

Coronary Heart Disease (CHD) is a leading cause of death in the cardiovascular group. Obesity could increase a person's risk of progression from prediabetes to type 2 DM and increase the risk of cardiovascular disease. Prediabetes with obesity increases the risk of CHD events based on Cardiometabolic Disease Staging (CMDS). This study was used a retrospective cohort study design using secondary data on NCD Risk Factor Cohort Study in 2011-2018. The sample was 493 obese adult respondents in population of NCD Risk Factor Cohort Study whom met this study inclusion and exclusion criteria. The results of multivariate analysis using cox regression after being controlled by age and duration of obesity found that prediabetes had HR = 0.80 (95% CI: 0.462-1.387), p = 0.429 which means the relationship between prediabetes with CHD events in obese adult respondents was not statistically significant."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Indra Prasetya
"Latar belakang dan tujuan: Morbiditas dan mortalitas pascaCABG salah satunya dipengaruhi respon inflamasi oleh penggunaan mesin CPB. Di beberapa pusat, sering dilakukan pemberian kortikosteroid untuk menurunkan respon inflamasi. Terdapat berbagai uji klinis yang memberikan hasil yang masih kontroversial. Deksametason dipilih karena memiliki potensi efek glukokortikoid yang tinggi, tanpa efek mineralokortikoid, masa kerja yang panjang, relatif aman bagi pasien, serta mudah untuk didapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan deksametason lebih efektif untuk memperbaiki keluaran klinis dan mengendalikan penanda inflamasi jika dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi CABG on pump.
Metode: Randomisasi 60 sampel menjadi grup deksametason (n=30) dan grup plasebo (n=30). Variabel dengan sebaran normal dilakukan analisis statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal dilakukan analisis statistik nonparametrik yaitu Mann-Whitney test. Analisis univariat antara dua kelompok studi akan dilakukan menggunakan uji fisher exact test.
Hasil: Uji statistik kejadian MACE dengan grup deksametason dibandingkan grup plasebo, didapatkan nilai RR 1,389 dengan CI 0,995-1,938 (p =0,045). Deksametason memiliki keunggulan yang dapat dilihat dari parameter durasi ventilasi mekanik (deksametason 7 (5-14) vs plasebo 10 (5-19), p <0,0001), lama rawat ICU (deksametason 16 (11-22) vs plasebo 18 (12-72), p =0,017), lama rawat rumah sakit (deksametason 5 (5-7) vs plasebo 6 (5-15), p = 0,005), penanda inflamasi IL-6 (deksametason 114 (32-310) vs plasebo 398 (72-1717), p <0,0001) dan PCT (deksametason 1,08 (0,31-3,8) vs plasebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Simpulan: Pemberian deksametason efektif memperbaiki keluaran klinis, dan mengendalikan penanda inflamasi pascaoperasi dibandingkan plasebo.

Background and purpose: Mortality and morbidity post CABG are affected by inflammatory response which are caused by usage of CPB machine. In some centre, corticosteroid are often used to reduce inflammatory response. There are various clinical trials that provide controversial results. Dexamethasone was chosen because it has a high potential for glucocorticoid effects, without mineralocorticoid effects, long working period, relatively safe for patients, and easy to obtain. This study aims to determine whether the use of dexamethasone is more effective in improving clinical outcomes and controlling inflammatory markers when compared to placebo in patients undergoing on pump CABG.
Methods: 60 sample are randomized into dexamethasone group (n=30) and placebo group (n=30). Variables with normal distribution were carried out independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics, namely Mann-Whitney test. Univariate analysis between the two study groups will be conducted using the fisher exact test.
Result: The incidence of MACE with the dexamethasone group compared to the placebo group was obtained RR 1,389 with CI 0,995-1,938 (p =0,045). Dexamethasone has advantages that can be seen from the parameters of duration of mechanical ventilation (dexamethasone 7 (5-14) vs placebo 10 (5-19), p <0,0001). ICU stay (dexamethasone 16 (11-22) vs placebo 18 (12-72), p =0,017), hospital stay (dexamethasone 5 (5-7) vs placebo 6 (5-15), p = 0,005), IL-6 (dexamethasone 114 (32-310) vs placebo 398 (72-1717), p <0,0001) and PCT (dexamethasone 1,08 (0,31-3,8) vs placebo 3,7 (1,06-11,4), p <0,0001).
Conclusion: The administration of dexamethasone improves clinical output, and managed to controls post operative inflammatory marker more effectively compared to placebo.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Maulidya Sari
"Penyakit Jantung Koroner merupakan prevalensi yang cukup tinggi di masyarakat umum maupun pekerja, serta menyebabkan kematian sebesar 36,5 kesakitan dan tidak mampu kerja. Prevalensi PJK tahun 2013 sebesar 1,5.Salah satu faktor risiko PJK adalah hiperglikemia yang berperan penting dalam proses aterosklerosis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan hiperglikemia dengan risiko PJK pada pekerja sektor formal dengan menggunakan pendekatan Framingham Risk Score untuk menentukan risiko PJK pada pekerja. Desain penelitian ini adalah studi cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari hasil pemeriksaan berkala Pekerja Sektor Formal di Indonesia tahun 2015-2016. Analisis data yang digunakan adalah Cox Regressi. Hasil analisis menemukan bahwa pekerja yang hiperglikemia berisiko 3,818 kali 95 CI 2,451-5,950) berisiko PJK dibandingkan dengan yang tidak hiperglikemia setelah dikontrol dengan kadar trigliserida. Pekerja dapat menerapkan pola makan sehat dan rutin melakukan pemeriksaan kadar gula darah serta pemeriksaan kesehatan lain untuk mencegah hiperglikemia dan mengetahui risiko PJK"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>