Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203291 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Azalia Dewi
"Body shame adalah emosi negatif terhadap tubuh yang muncul saat individu merasa tidak sesuai dengan standar tubuh ideal. Perempuan emerging adulthood rentan mengalaminya, terutama karena pesan negatif dari orang tua (PNDO). Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan PNDO dari ayah dan ibu terhadap body shame pada perempuan usia 18–25 tahun di Jabodetabek yang masih tinggal bersama orang tua. Dengan pendekatan kuantitatif korelasional, digunakan Body Image Shame Scale (BISS) dan Family Influence Scale on Appearance (FIS-A) versi Bahasa Indonesia. Hasil uji Pearson menunjukkan hubungan positif signifikan antara PNDO dari ayah dan ibu dengan body shame, dengan pengaruh ibu yang lebih dominan. Temuan ini menegaskan pentingnya peran orang tua, khususnya ibu, dalam membentuk persepsi tubuh anak perempuan.

Body shame is a negative emotion toward the body that arises when individuals feel they do not meet ideal body standards. Emerging adult women are particularly vulnerable to experiencing body shame, especially due to negative messages from parents (PNDO). This study aims to examine the relationship between PNDO from fathers and mothers and body shame among women aged 18–25 in the Jabodetabek area who still live with their parents. Using a correlational quantitative approach, the Indonesian-adapted versions of the Body Image Shame Scale (BISS) and the Family Influence Scale on Appearance (FIS-A) were employed. Pearson correlation analysis revealed a significant positive relationship between PNDO from both fathers and mothers and body shame, with maternal influence being more dominant. These findings highlight the crucial role of parents, especially mothers, in shaping daughters’ body image during emerging adulthood. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hezron Kowardi
"Tantangan hidup yang dialami oleh mayoritas individu di setiap jenjang usia tidak pernah lepas dari penampilan fisik mereka, baik di dunia nyata maupun di media sosial setiap harinya, dengan tantangan untuk menerima diri sendiri menjadi salah satunya. Upaya yang paling menonjol yang dilakukan individu untuk menjaga penampilan fisik dan kondisi mental mereka adalah dengan berolahraga. Berolahraga juga didukung secara masif di berbagai bagian di setiap negara, dengan area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sebagai area yang memiliki banyak sekali akses pendukung latihan fisik di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara perilaku latihan fisik dan penerimaan diri pada perempuan emerging adults yang berdomisili di Jabodetabek. Menggunakan metode kuantitatif korelasional dengan desain penelitian cross-sectional, penelitian ini mengukur perilaku latihan fisik melalui frekuensi latihan mingguan dan penerimaan diri menggunakan Unconditional Self-Acceptance Questionnaire (USAQ). Di antara 139 partisipan yang berusia 18-24 tahun, hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi positif yang signifikan antara perilaku latihan fisik dan penerimaan diri (rs = 0.128, p = 0.067).

The life challenges experienced by the majority of individuals at every age level never escape their physical appearance, both in the real world and on social media every day, with one of them being the challenge to accept themselves. One of the most prominent efforts that individuals do to maintain their physical appearance and mental state is by exercising. Exercise is also massively supported in various parts of each country, with the Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek) areas having extensive access to physical training facilities in Indonesia. This study investigates the relationship between exercise behavior and self-acceptance among women in emerging adulthood residing in Jabodetabek. Using a quantitative correlational method with a cross-sectional design, the study measured exercise behavior through weekly exercise frequency and self-acceptance using the Unconditional Self-Acceptance Questionnaire (USAQ). Among 139 participants aged 18-24, the results showed no significant positive correlation between exercise behavior and self-acceptance (rs = 0.128, p = 0.067)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Janice Putri Heryanto
"Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara individu membangun hubungan sosial, salah satunya adalah melalui penggunaan aplikasi kencan. Masa emerging adulthood yang ditandai dengan masa eksplorasi identitas dapat memiliki berbagai motif dalam menggunakan aplikasi kencan. Pada aplikasi kencan, online self-presentation memainkan peran penting dalam membentuk kesan awal dan menentukan kemungkinan interaksi lebih lanjut. Meskipun fenomena ini semakin umum, penelitian mengenai hubungan antara online self-presentation dan motif penggunaan aplikasi kencan, khususnya di Indonesia, masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara online self-presentation dan motif penggunaan aplikasi kencan pada emerging adulthood di Jabodetabek. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional dengan 139 partisipan berusia 18–25 tahun yang merupakan pengguna aplikasi kencan (Tinder, Bumble, atau Tantan). Pengukuran yang digunakan meliputi Presentation of Online Self Scale (POSS; Fullwood et al., 2016) untuk mengukur online self-presentation, serta Tinder Motives Scale (TMS; Timmermans & De Caluwé, 2017) untuk mengukur motif penggunaan aplikasi kencan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara seluruh komponen online self-presentation dan berbagai motif penggunaan aplikasi kencan. Implikasi hasil penelitian ini, saran metodologis dan praktis dibahas lebih lanjut.

The development of digital technology has transformed the way individuals build social relationships, one of which is through the use of dating applications. Emerging adulthood, characterized by a phase of identity exploration, may involve various motives for using such platforms. In dating apps, online self-presentation plays a crucial role in shaping first impressions and determining the likelihood of further interaction. Although this phenomenon is becoming increasingly common, research on the relationship between online self-presentation and motives for using dating applications, particularly in Indonesia, remains limited. This study aims to examine the relationship between online self-presentation and motives for using dating apps among emerging adults in the Jabodetabek area. The study employs a quantitative correlational approach with 139 participants aged 18–25 who are users of dating apps (Tinder, Bumble, or Tantan). The measurements used include the Presentation of Online Self Scale (POSS; Fullwood et al., 2016) to measure online self-presentation, and the Tinder Motives Scale (TMS; Timmermans & De Caluwé, 2017) to measure motives for using dating apps. The results showed a significant positive relationship between all components of online self-presentation and various motives for using dating applications. The implications of these findings, as well as methodological and practical recommendations, are further discussed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana Trisnia Aditya
"Konflik antar orang tua yang terjadi terus menerus akan dapat diinterpretasikan
oleh anak dan memiliki dampak pada anak. Pengalaman paparan konflik ini akan
memengaruhi anak dalam ekspektasi mengenai hubungan romantis yang bersifat
negatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara konflik
antar orang tua dan optimisme dalam hubungan romantis pada emerging
adulthood di Jakarta. Partisipan penelitian ini berusia 18-25 tahun, berjumlah 172
orang, saat ini masih tinggal dengan kedua orang tua, dan berdomisili di Jakarta.
Child Perception of Interparental Conflict (CPIC) yang dikembangkan oleh
Grych, Seid, dan Fincham tahun 1992 digunakan untuk mengukur persepsi anak
mengenai konflik orang tua yang dilihatnya dan Optimism about Future
Relationship Scale yang dikembangkan oleh Carnelley dan Janoff-Bulman tahun
1992 digunakan untuk mengukur optimisme dalam hubungan romantis pada
emerging adulthood. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan negatif yang signifikan antara konflik antar orang tua dan optimisme
dalam hubungan romantis pada emerging adulthood di Jakarta. Maka, untuk
meningkatkan optimisme dalam hubungan romantis dalam diri perlu
memperhatikan dinamika konflik orang tua yang terjadi dan meminimalkan
dampaknya.

Continuous conflicts between parents will be able to be interpreted by the children and have an impact on them. The experiences of conflict exposure will affect children in forming an expectation toward romantic relationship that tend to negative. The purpose of this study is to examine the relationship between interparental conflict and optimism toward romantic relationship on emerging adulthood in Jakarta. Participants in this study were 172 participants, aged 18-25 years old, currently living with parents, and have domicile in Jakarta. Child Perception of Interparental Conflict (CPIC) developed by Grych, Seid, and Fincham in 1992 was used to measure children’s perceptions of interparental conflict that they saw. Optimism about Future Relationship Scale developed by Carnelley and Janoff-Bulman in 1992 was used to measure optimism toward romantic relationship on emerging adulthood. The results of this study indicate that there is a significant negative correlation between interparental conflict and optimism toward romantic relationship on emerging adulthood in Jakarta. Therefore, to increase optimism toward romantic relationship within oneself it is necessary to pay attention to the dynamics of interparental conflict that occurs and minimize its impact."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Amatulloh
"Konflik yang terjadi antar orang tua terus menerus membuat anak merasa tidak nyaman. Pengalaman melihat konflik antar orang tua menimbulkan pemikiran pada anak usia dewasa yang muncul bahwa pernikahan identik dengan perasaan negatif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara konflik orang tua dan sikap terhadap pernikahan pada masa dewasa yang muncul di Jakarta. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 172 orang, berusia 18-25 tahun, berdomisili di Jakarta, dan saat ini tinggal bersama orang tua. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Child Perseption of Interparental Conflict (CPIC) yang dikembangkan oleh Grych dan Fincham (1992) untuk mengukur pengetahuan anak tentang konflik yang terjadi antara orang tua, dan Marital Attitude Scale (MAS) yang dikembangkan oleh Braaten dan Rosén (1998) untuk mengukur sikap seseorang terhadap pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik antara orang tua memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan pada masa dewasa baru di Jakarta. Artinya semakin tinggi konflik antara kedua orang tua maka semakin rendah sikap (negatif) terhadap perkawinan pada masa dewasa baru di Jakarta.

Conflicts that occur between parents continuously make children feel uncomfortable. The experience of seeing conflicts between parents gives rise to thoughts in adult children who appear that marriage is identical with negative feelings. This study aims to examine the relationship between parental conflicts and attitudes towards marriage in adulthood that arise in Jakarta. The number of participants in this study were 172 people, aged 18-25 years, domiciled in Jakarta, and currently living with their parents. The measuring instrument used in this study is the Child Perseption of Interparental Conflict (CPIC) developed by Grych and Fincham (1992) to measure children's knowledge about conflicts that occur between parents, and the Marital Attitude Scale (MAS) developed by Braaten and Rosén. (1998) to measure a person's attitude towards marriage. The results showed that conflict between parents has a significant negative relationship with attitudes towards marriage during new adulthood in Jakarta. This means that the higher the conflict between the two parents, the lower the (negative) attitude towards marriage at new adulthood in Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Namira Salsabila
"Pada tahap emerging adulthood, ditandakan sebagai masa instabilitas yang membuat individu kerap berganti pasangan. Padahal, hubungan yang memuaskan dapat membantu individu dalam pengembangan identitas dan tujuan serta meningkatkan kesejahteraan diri. Diketahui beberapa faktor berperan dalam kepuasan hubungan adalah motif berkorban dan rasa syukur. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara motif berkorban dan rasa syukur terhadap kepuasan hubungan berpacaran pada emerging adulthood. Alat ukur yang digunakan Investment Model Scale (IMS) untuk mengukur kepuasan hubungan, Motives of Sacrifices (MoS) untuk mengukur motif berkorban, dan The Gratitude Questionnaire-6 (GQ-6 untuk mengukur rasa syukur. 2.839 partisipan merupakan individu berusia 18-29 tahun dan sedang berpacaran dengan lawan jenis. Hasil analisis dengan korelasi Pearson memberi hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara motif berkorban mendekat (r = .297, p < .001, one-tail) dan rasa syukur terhadap kepuasan hubungan (r = .206, p < .001, one-tail). Hasil juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara motif berkorban menjauh terhadap kepuasan hubungan (r = -.095, p < .001, one-tail). Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa, dalam berpacaran di usia emerging adulhood dengan memiliki motif berkorban mendekat dan rasa syukur dapat berguna untuk meningkatkan kepuasan hubungan.

The emerging adulthood period is known as a stage of instability that causes individuals to change relationships frequently. Indeed, relationship satisfaction may help individuals develop their identity and goals while also increasing their well-being. Namely, the motives of sacrifice and gratitude have an impact on this. The purpose of this study is to investigate the relationship between the motives of sacrifice and gratitude towards dating relationship satisfaction in emerging adulthood. The measuring instruments used in this study are Investment Model Scale (IMS) to measure relationship satisfaction, Motives of Sacrifices to measure the motives of sacrifices, and The Gratitude Questionnaire-6 (GQ-6) to measure gratitude. 2,839 participants are 18-29 years old and dating the opposite sex. The results of this study, using Pearson correlation analysis, show that there is a significant positive relationship between the approach motive of sacrifice (r =.297, p.001, one-tail) and gratitude (r =.206, p.001, one-tail)  to relationship satisfaction. The results also reveal a significant negative relationship between the avoidance motives of sacrifice to relationship satisfaction (r = -.095, p.001, one-tail). This study found that while dating at the age of emerging adulthood, having approach motives of sacrifices and gratitude can be beneficial for increasing relationship satisfaction. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Tia Marlyna Kusuma Wardani
"Penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran adult attachment style dan cara penyelesaian konflik serta perbedaan cara penyelesaian konflik terhadap orang yang memiliki attachment style tertentu pada hubungan romantis emerging adulthood di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yaitu korelasional. Penelitian terdiri dari 289 partisipan yang sedang menjalani hubungan romantis pada usia 18-25 tahun. Variabel adult attachment style diukur menggunakan The Experiences in Close Relationship – Revised (ECR-R) oleh Fraley, Waller dan Brennan (2000) dan variabel cara penyelesaian konflik diukur menggunakan Romantic Partner Conflict Scale (RPCS) oleh Zacchilli, Hendrick dan Hendrick (2009). Hasil yang didapatkan yaitu sebagian besar partisipan memiliki secure dan preoccupied attachment style dan cara penyelesaian konflik yang compromise dan avoidance. Melalui teknik korelasi chi square dan crosstabulation ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan cara penyelesaian konflik antara orang memiliki secure dan preoccupied attachment.

This aim of this study is to see how adult attachment style describes and how to resolve conflict and also resolve conflict resolution methods for people who have a certain attachment style in romantic relationship that emerged during the Pandemic COVID-19. This research is a non-experimental research that is correlational. The study consisted of 289 participants who were in romantic relationships at the age of 18-25 years. Adult attachment style variables were measured using The Experiences in Close Relationship – Revised (ECR-R) by Fraley, Waller and Brennan (2000) and variable conflict resolutions were measured using Romantic Partner Conflict Scale (RPCS) by Zacchilli, Hendrick and Hendrick (2009). The results obtained, most of the participants have a secure and preoccupied attachment style and for conflict resolution is compromise dan avoidance. Through the correlation technique of chi square and crosstabulation, it was found there is differences way to resolve conflicts between people who have a secure and preoccupied attachment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyatun Ni`mah
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara perceived partner affirmation dengan forgiveness pada emerging adulthood. Sebanyak 191 responden dengan kriteria individu berusia 18 sampai 25 tahun dan sedang berpacaran minimal 6 bulan, mengisi kuesioner alat ukur partner affirmation (Partner Affirmation Scale) dan forgiveness (TRIM). Pada penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden memiliki perceived partner affirmation rata-rata dan forgiveness yang tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara perceived partner affirmation dengan forgiveness (r = -0,208 , p < 0,05).

The aim of this research was to examine the relationship between perceived partner affirmation and forgiveness among emerging adulthood. A total of 191 respondents age 18-25 years old, currently involved in a dating relationship for minimum 6 months, complete questionnaires on partner affirmation (partner affirmation scale) and forgiveness (TRIM Inventory). In this research, the results points out that the respondents have moderate perceived partner affirmation and high motivation on forgiveness. The result of this research also indicate a positive and significant relationship between perceived partner affirmation and forgiveness (r = -0,208 , p < 0,05).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syannia Tasha Indra Putri
"Hubungan romantis seperti berpacaran merupakan salah satu bentuk hubungan yang dikembangkan oleh umat manusia. Setiap pasangan yang sedang menjalani hubungan berpacaran pasti ingin memiliki hubungan yang memuaskan di mana hubungan tersebut membutuhkan upaya yang berkelanjutan.Terkadang individu menerima secara cuma-cuma upaya yang dilakukan pasangan karena dianggap sebagai bare minimum dan individu tidak mengapresiasi upaya tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara apresiasi pasangan dan kepuasan hubungan berpacaran. Penelitian ini menggunakan Appreciation in Relationship (AIR) Scale untuk mengukur apresiasi dan Couple Satisfaction Index (CSI[16]) untuk mengukur kepuasan hubungan. Hasil teknik korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara apresiasi pasangan dan kepuasan hubungan (rs = .683, n = 230, ps < 0.01, one tailed). Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa, pada usia emerging adult yang sedang menjalani hubungan berpacaran, perasaan diapresiasi pasangan dapat berguna untuk meningkatkan hubungan yang memuaskan.

Romantic relationships such as dating is a form of relationship developed by mankind. Every couple who is in a dating relationship wants to have relationship satisfaction where it requires continuous effort. Sometimes individuals accept the efforts made by their partner for granted because they are considered a bare minimum and individuals do not appreciate these efforts. This study aims to examine the relationship between partner’s appreciation and relationship satisfaction. In this study, Appreciation in Relationship (AIR) Scale used to measure appreciation and Couple Satisfaction Index (CSI[16]) used to measure relationship satisfaction. Spearman correlation technique’s result showed a positive and significant relationship between partner’s appreciation and relationship satisfaction (rs = .683, n = 230, ps < 0.01, one tailed). Therefore, this study found that the feeling of being appreciated by a partner can bep useful to increase satisfaction in dating relationship among emerging adults."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Safira
"Landasan seseorang dalam melakukan pengorbanan menjadi salah satu faktor yang menarik untuk diteliti pada emerging adulthood yang berpacaran, karena ketika berpacaran, seseorang cenderung melakukan pengorbanan untuk pasangan dan hubungan tersebut, agar hubungan dengan pasangannya menjadi puas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara motif berkorban dan kepuasan hubungan pada emerging adulthood. Data yang didapat dari 2.839 individu emerging adulthood berusia 18 - 29 (M=23.19 tahun, SD=2.68) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motif berkorban mendekat (r = .297, p < .001, one tail) maupun motif menjauh (r = -.095, p <.001, one tail) dengan kepuasan hubungan. Hasil ini berarti emerging adulthood yang melakukan pengorbanan dengan motif berkorban mendekat cenderung lebih puas dengan hubungannya dan emerging adulthood yang melakukan pengorbanan dengan motif berkorban menjauh cenderung kurang puas dengan hubungannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu individu pada tahap emerging adulthood yang sedang berada dalam hubungan romantis untuk memiliki kepuasan hubungan yang tinggi.

The underlying basis for a person to make sacrifices is one of the interesting factors to study in dating emerging adulthood. When dating, a person tends to make sacrifices for their partner and relationship in hope that it will increase the relationship satisfaction. This study aimed to determine whether there is a relationship between the motive for sacrifice and relationship satisfaction in emerging adulthood. Data obtained from 2,839 emerging adulthood individuals aged 18 - 29 (M = 23.19 years, SD = 2.68) showed that there was a significant relationship between the approach motives (r = .297, p < .001, one tail) and avoidance motives ( r = -.095, p < .001, one tail) with relationship satisfaction. This result means that emerging adults who make sacrifices with the approach motives are likely to be more satisfied with their relationship, and emerging adults who make sacrifices with the avoidance motives are less likely to be satisfied with their relationship. The results of this study are expected to help individuals at the stage of emerging adulthood who are in romantic relationships to have high relationship satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>