Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148632 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cresentia Valerie Audrey Evangeline
"Penelitian ini menganalisis pemenuhan asas kepastian hukum dari ketentuan secondary adjustment terhadap transaksi afiliasi dalam negeri yang menimbulkan constructive dividend setelah diterbitkannya PMK 172/2023. Penelitian ini menggunakan pendekatan berupa paradigma post-positivisme. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya dua (2) dari enam (6) dimensi kepastian hukum menurut Rachmat Soemitro (1988) yang terpenuhi, yaitu materi/objek hukum dan subjek hukum. Sementara itu, dimensi lainnya, antara lain pendefinisian, penyempitan/perluasan materi, ruang lingkup, dan penggunaan bahasa hukum masih belum terpenuhi. Dalam konteks perlakuan PPh, frasa “diperlakukan sebagai dividen” menimbulkan keambiguan sehingga memberikan dua (2) penafsiran yang berbeda terkait perlakuan PPh atas constructive dividend di dalam negeri. Di satu sisi, constructive dividend dapat ditafsirkan sebagai non-objek pajak karena diterima oleh WP badan dalam negeri sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh. Namun, di sisi lain, terdapat pandangan bahwa perlakuan pajaknya tetap mengacu pada persyaratan dividen yang dikecualikan dari objek pajak yang diatur dalam PP 55/2022. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan bahwa terdapat penerbitan pedoman yang lebih jelas dalam bentuk naskah dinas, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak atau Surat Edaran.

This study analyses the fulfillment of the legal certainty principle of the secondary adjustment provisions on related-party transactions in Indonesia that result in constructive dividends following the enactment of PMK 172/2023. This research uses a post-positivist approach. The data collection techniques employed were a literature review and in-depth interviews. The findings of this study conclude that only two (2) out of six (6) dimensions of legal certainty as defined by Rachmat Soemitro (1988) are fulfilled, namely legal object/material and legal subject. Meanwhile, the other dimensions, which include definition, narrowing/broadening of material, legal scope, and the use of legal language, have yet to be fulfilled. In the context of income tax treatment, the phrase “treated as dividends” creates ambiguity, leading to two (2) differing interpretations regarding the income tax treatment of constructive dividends in Indonesia. On one hand, a constructive dividend may be interpreted as a non-taxable object since it is received by a domestic corporate Taxpayer, in accordance with Article 4 paragraph (3) letter f of Income Tax Law. Conversely, another view holds that the tax treatment should still refer to the requirements for dividends excluded from tax objects as stipulated in PP 55/2022. Based on these findings, it is recommended that clearer guidelines be issued in the form of an official document, such as a Directorate General of Taxes Regulation (Peraturan Direktur Jenderal Pajak) or a Circular Letter."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Muhammad
"Praktik transfer pricing di Indonesia semakin berkembang beriringan dengan perkembangan perusahaan multinasional. Berkaitan dengan hal ini, baik DJP maupun Wajib Pajak harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada praktik transfer pricing. Namun, tidak jarang bahwa baik wajib pajak maupun DJP belum dapat mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut, yang kemudian mengarah kepada terjadinya sengketa pajak, salah satunya terjadi pada sengketa yang dibahas dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penetapan harga transfer PT ABC atas pembelian dari pihak afiliasi serta koreksi yang dilakukan oleh DJP atas pembelian tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan berupa pendekatan kualitatif dengan melakukan studi literatur dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT ABC belum memenuhi ketentuan perpajakan dalam praktik penetapan harga transfer dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dikarenakan pembuatan dokumentasi Transfer Pricing yang tidak lengkap. Disamping itu, penetapan koreksi dianggap keliru karena belum ada peraturan rigid terkait constructive dividend serta tahapan pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP juga masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikarenakan DJP tidak turut mempertimbangkan latar belakang dan kondisi PT ABC dalam melakukan analisis kesebandingan.

Transfer pricing practices in Indonesia are growing in tandem with the development of multinational companies. In this regard, both DGT and Taxpayers must comply with the prevailing laws and regulations in applying the Arm’s Length Principle in transfer pricing practices. However, it is not uncommon that both taxpayers and the DGT have not been able to implement these provisions, which then leads to disputes, one of which is the dispute discussed in this study. This study aims to determine the transfer price of PT ABC for purchases from third parties as well as correction made by the DGT for these purchases in accordance with the laws and regulations and other provisions in force in Indonesia. The research method used is an approach by conducting literature studies and field studies. The results of the study indicate that PT ABC has not complied with the tax provisions in the application of transfer pricing with related parties due to incomplete transfer price documentation. In addition, the determination of the correction is considered wrong because there are no rigid regulations regarding constructive dividends and the stages of inspection carried out by the DGT are also not in accordance with the applicable regulations because the DGT does not take into account the background and condition of PT ABC in conducting a comparability analysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Thariq Ramadhani
"Sengketa Pajak yang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini terkait dengan sengketa pajak atas dividen terselubung dalam koreksi DPP PPh Pasal 26. Transaksi yang dilakukan merupakan transaksi pembelian mesin kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa (pemegang saham) sehingga pemeriksa mengkoreksi bahwa atas transaksi tersebut terdapat pemberian dividen terselubung karena transaksi tidak wajar dan lazim. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian koreksi dividen terselubung terhadap konsep dan regulasi yang ada, serta menganalisis kepastian hukum atas dividen terselubung tersebut. Hasil penelitian didapatkan bahwa secara konseptual koreksi atas dividen terselubung tidak sesuai. Hal tersebut terjadi karena memang tidak dapat dibuktikan kebenaran atas dividen terselubung itu sendiri dimana nilainya tidak terbukti tidak wajar dan lazim dalam putusan pengadilan. Penggunaan dasar hukum yang digunakan sudah sesuai, dimana regulasi undang-undang perpajakn di Indonesia mengatur dalam pasal 4 ayat 1 huruf (g) UU PPh dan Pasal 18 ayat 3 UU PPh . Selain itu, dividen terselubung tersebut belum memenuhi asas kepastian hukum dikarenakan secara materi/objek dividen terselubung tidak diatur secara jelas dalam regulasi dan pendefinisian dividen terselubung yang masih terlalu luas sehingga menimbulkan banyak interpretasi.

The tax dispute that is used as a case study in this research is related to a tax dispute over disguised dividend in the correction of DPP PPh Article 26. The transaction is a machine purchase transaction to a party who has a special relationship (shareholders) so that the examiner corrects that in this transaction there is a dividend payment. disguised because transactions are not fair and common. This study aims to analyze the suitability of the disguised dividend correction to existing concepts and regulations, as well as to analyze the legal certainty of the disguised dividend The results showed that conceptually the correction of disguised dividends was not appropriate. This happened because it was not possible to prove the truth about the hidden dividend itself, where the value was not proven to be unreasonable and common in court decisions. The use of the legal basis used is appropriate, where the regulation of the tax law in Indonesia regulates Article 4 paragraph 1 letter (g) of the Income Tax Law and Article 18 paragraph 3 of the Income Tax Law. Besides that, the disguised dividend do not meet the principle of legal certainty because the material/object of hidden dividends is not clearly regulated in the regulations and the definition of disguised dividends is still too broad, giving rise to many interpretations."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisa Khairunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi hukum terhadap imbalan dalam bentuk kenikmatan yang mengalami perubahan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam klaster pajak penghasilan, dengan penekanan pada aspek kepastian hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah paradigma post-positivist. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini mengungkapkan kesimpulan berdasarkan 6 (enam) dimensi kepastian hukum, yaitu (1) dimensi materi/objek hukum belum mampu memberikan kepastian hukum yang memadai; (2) dimensi subjek hukum memberikan kepastian hukum yang memadai, (3) dimensi pendefinisian belum memberikan kepastian hukum, (4) dimensi perluasan/penyempitan juga belum memberikan kepastian hukum, (5) dimensi ruang lingkup belum memberikan kepastian hukum, dan (6) dimensi penggunaan bahasa hukum masih belum mampu memberikan kepastian hukum. Berdasarkan temuan penelitian ini, terlihat bahwa kebijakan pajak penghasilan terbaru terkait imbalan kenikmatan belum mampu memberikan kepastian hukum, sehingga berpotensi menimbulkan sengketa pajak dalam implementasinya. Oleh karena itu, disarankan agar muatan undang-undang lebih diperjelas dan disempurnakan melalui regulasi perpajakan yang berkaitan dengan imbalan kenikmatan, guna memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Dengan meningkatkan kejelasan hukum, para pengambil kebijakan dapat menciptakan lingkungan perpajakan yang stabil dan dapat diprediksi, yang menguntungkan baik bagi para wajib pajak maupun administrasi perpajakan. Memperkuat kerangka hukum akan mengurangi potensi sengketa yang berlarut-larut dan berkontribusi pada pembangunan sistem perpajakan yang adil dan efektif.

The objective of this research is to comprehensively analyze the legal interpretation of benefits in the form of perks, which have undergone modifications as a result of the enactment of the Harmonization of Tax Regulation Act in the income tax cluster, with a specific focus on establishing the extent of legal certainty. Employing a post-positivist paradigm, the study employs a combination of literature review and in-depth interviews as data collection techniques. The research findings shed light on the six dimensions of legal certainty. Firstly, the material/legal object dimension fails to provide the required level of legal certainty. Secondly, while the legal subject dimension achieves a satisfactory level of legal certainty, shortcomings are observed in other dimensions. Thirdly, the definition dimension lacks the necessary legal certainty. Fourthly, both the expansion/narrowing dimension and the scope dimension exhibit inadequacies in ensuring legal certainty. Lastly, the utilization of legal language dimension falls short in establishing legal certainty. Based on these research outcomes, it becomes apparent that the latest income tax policy concerning perks fails to guarantee legal certainty, which in turn may lead to tax disputes during implementation. Consequently, it is strongly recommended to clarify and enhance tax regulations pertaining to perks to ensure a higher level of legal certainty. By fostering improved legal clarity, policymakers can cultivate a stable and predictable tax environment that benefits both taxpayers and tax authorities. Strengthening the legal framework will reduce the likelihood of protracted disputes and contribute to the development of an equitable and effective tax system."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Dhanthes
"Penelitian ini membahas objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa konstruksi ditinjau dari asas kepastian hukum. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan, yakni perbedaan pemajakan atas penghasilan dari jasa konstruksi yang bersifat final dan tidak final dan dampak perbedaan pemotongan PPh atas jasa konstruksi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pemajakan ganda atas penghasilan dari jasa konstruksi yang memiliki sifat pemajakan yang berbeda. Perbedaan pemotongan PPh atas jasa konstruksi yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan menimbulkan keraguan dalam pelaksanaannya.

This study discusses the object of withholding income tax (PPh) on construction service seen from certainty principle. This research raised two issues, namely the differences of global taxation and schedular taxation on construction service fee and the impact of the different from withholding income tax on construction service. This research using qualitative approach with desciriptive design.
This research states that there is double taxation on construction service fee wich have different characteristic in withholding income tax. The different characteristic in withholding income tax on construction service in Indonesia Income Tax Law appear the ambiguous tax in its implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S61275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sazkia Balhqis Kemalajati
"Penelitian ini dilatarbelakangi adanya perbedaan pengakuan objek penghasilan atas transaksi non-fungible token (NFT) antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian, pada Maret 2022, pemerintah menetapkan PMK Nomor 68 Tahun 2022 yang mengatur tentang pajak penghasilan atas transaksi aset kripto. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan asas kepastian hukum dalam pengenaan pajak atas transaksi NFT dan permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pengenaan pajaknya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan post-positivisme dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah pemungutan pajak penghasilan atas transaksi NFT belum sepenuhnya memenuhi asas kepastian hukum. Adapun indikator yang belum memenuhi kepastian hukum yaitu materi/objek, subjek, pendefinisian dengan menggunakan tafsiran otentik, penyempitan/perluasan materi, dan ruang lingkup. Selain itu, dalam praktik implementasinya permasalahan yang dihadapi pemerintah adalah kepatuhan pajak dan perkembangan variasi transaksi NFT.

The background of this research is that there are differences in recognition of income objects for non-fungible token (NFT) transactions between taxpayers and the Directorate General of Taxes. Then, in March 2022, the government issued PMK 68/2022, which regulates income tax on crypto-asset transactions. This study aims to analyze the fulfillment of the principle of legal certainty in collecting taxes on NFT transactions and the problems faced by the government in levying taxes. The approach used in this study is a post-positivism approach with data collection techniques through literature studies and in-depth interviews. This study's results show that the income tax collection on NFT transactions still needs to comply with the certainty of law principle fully. The indicators that have not met a certainty of law principle are material/object, subject, definition using authentic interpretation, narrowing/expanding material, and scope. Apart from that, in practice, the problems faced by the government are tax compliance and the development of variations in NFT transactions."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamilia Karamina
"ABSTRAK
Pada tahun 2015, pemeriksa pajak melakukan koreksi atas tiga akun baya PT X, yakni biaya bunga atas leasing fee pada pihak afiliasi, biaya bunga atas pinjaman afiliasi, dan juga kerugian selisih kurs. Dasar hukum koreksi adalah Pasal 18 Ayat (3) UU Pajak Penghasilan dengan pendekatan benchmark debt to equity ratio (DER) PT X dengan DER wajar perusahaan pembanding, dimana DER PT X bernilai -34,8797, sedangkan rentang interkuartil DER perusahaan pembanding bernilai positif. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan DER PT X pada tahun pajak 2013 ditinjau dari asas certainty (kepastian). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan paradigma post-positivis dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar koreksi yang dilakukan pemeriksa atas biaya usaha PT X memenuhi asas certainty dalam dimensi objek dan subjek yang diatur dan ruang lingkup materi yang diatur. Sementara itu dasar koreksi tersebut tidak memenuhi asas certainty dalam dimensi pendefinisian, perluasan materi yang diatur, dan juga istilah baku dalam ketentuan DER. Majelis Hakim membatalkan koreksi pemeriksa atas ketiga akun biaya tersebut dengan poin yang memberatkan pemeriksa karena adanya pengertian ganda dalam interpretasi pendekatan benchmark yang dilakukan oleh pemeriksa."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubaya Arif Auliya
"Sengketa pajak terkait secondary adjustment dalam transfer pricing terus mengalami peningkatan, meskipun jumlah total sengketa yang diajukan ke Pengadilan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak mengalami penurunan. Permasalahan ini sebagian besar dipicu oleh ambiguitas dalam regulasi dan penerapan aturan yang tidak konsisten, sehingga sering menjadi pemicu utama perselisihan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akar penyebab utama sengketa tersebut dan merumuskan solusi strategis untuk mencegah permasalahan serupa di masa depan. Dalam pendekatannya, penelitian ini menggunakan metode Root Cause Analysis (RCA) yang didukung oleh Fishbone Diagram untuk memetakan berbagai faktor penyebab, seperti kurangnya kejelasan dalam definisi dividen terselubung, penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22 Tahun 2020 yang menimbulkan kontroversi, serta terbatasnya pelatihan dan pemahaman teknis di kalangan pemeriksa pajak. Studi ini dilakukan dengan metode kualitatif berbasis studi kasus melalui analisis 358 putusan pengadilan pajak periode 2021-2023 dan wawancara mendalam dengan hakim, konsultan pajak, serta pemeriksa pajak. Hasil penelitian menegaskan pentingnya revisi regulasi untuk memberikan kepastian hukum, pengembangan panduan teknis yang lebih rinci, dan pelaksanaan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi pemeriksa pajak. Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti data analytics dan sistem pengelolaan dokumen digital diusulkan sebagai solusi untuk memperkuat proses audit pajak. Implementasi solusi ini diharapkan dapat mengurangi jumlah sengketa yang diajukan ke pengadilan, meningkatkan kualitas pengawasan pajak, serta mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak. Dengan langkah-langkah tersebut, sistem perpajakan diharapkan menjadi lebih transparan, efektif, dan adil dalam menghadapi tantangan di masa mendatang

Tax disputes related to secondary adjustment in transfer pricing have continued to increase, even though the overall number of tax disputes submitted to the Tax Court by the Directorate General of Taxes has declined. This issue is largely driven by regulatory ambiguities and inconsistent rule enforcement, which frequently serve as primary triggers of disputes. This study aims to analyze the root causes of such disputes and propose strategic solutions to prevent similar issues in the future. The study employs the Root Cause Analysis (RCA) method, supported by a Fishbone Diagram, to map various contributing factors, such as the lack of clarity in the definition of hidden dividends, the contentious application of Minister of Finance Regulation Number 22 of 2020, and limited technical training and understanding among tax auditors. The research adopts a qualitative case study approach, analyzing 358 Tax Court rulings from the 2021–2023 period and conducting in-depth interviews with judges, tax consultants, and tax auditors. The findings highlight the urgent need for regulatory reforms to ensure legal certainty, the development of detailed technical guidelines, and the implementation of continuous training programs to enhance the competencies of tax auditors. Moreover, leveraging technology, such as data analytics and digital document management systems, is proposed as a solution to strengthen tax audit processes. The implementation of these solutions is expected to reduce the number of disputes brought to the Tax Court, improve the quality of tax oversight, and encourage greater voluntary compliance by taxpayers. These measures are anticipated to contribute to a more transparent, effective, and equitable tax system capable of addressing future challenges."
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsya Khairina Azzahra
"ABSTRAK
Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis fungsi Pengembangan, Peningkatan, Pemeliharaan, Perlindungan, dan Pemanfaatan (selanjutnya disebut DEMPE) untuk transaksi dengan pihak afiliasi sehubungan dengan harta tidak berwujud. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana mengidentifikasi fungsi DEMPE untuk pemanfaatan harta tidak berwujud diantara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai salah satu bentuk implementasi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arms Length Principle) di Indonesia, dan untuk mengetahui kondisi regulasi Indonesia atas identifikasi fungsi DEMPE atas transaksi afiliasi sehubungan dengan harta tidak berwujud. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan teknik analisis data kualitatif. Data yang dikumpulkan sebagai dasar analisis didapatkan melalui wawancara mendalam dengan narasumber yang dipilih berdasarkan pengalaman profesional mereka di bidang Perpajakan Internasional dan Transfer Pricing. Penelitian ini kemudian menjelaskan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi fungsi DEMPE atas transaksi afiliasi sehubungan dengan harta tidak berwujud, cara yang dapat dilakukan misalnya melalui wawancara fungsional kepada key personnel perusahaan atau grup, serta melakukan tinjauan analisis fungsional yang dapat dilakukan melalui tinjauan mendalam terhadap dokumen yang dimiliki oleh perusahaan atau grup. Penelitian ini juga menghasilkan bahwa saat ini tidak ada peraturan atau pedoman khusus yang secara khusus mengacu pada kewajiban Wajib Pajak untuk mengidentifikasi fungsi-fungsi DEMPE yang dilakukan untuk transaksi pihak afiliasi sehubungan dengan harta tidak berwujud di Indonesia, dan penerimaan masukan yang berasal dari pihak Wajib Pajak dan Pejabat Pajak yang menyatakan bahwa dibutuhkan klarifikasi dalam bentuk regulasi atau panduan mengenai transfer pricing atas harta tak berwujud - dan tidak hanya terbatas pada identifikasi fungsi DEMPE. Peneliti kemudian menyarankan pihak pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan opsi untuk merumuskan dan menegakkan peraturan atau pedoman mengenai penentuan harga transfer atas harta tidak berwujud yang berfungsi untuk mengklarifikasi posisi peraturan penentuan harga transfer Indonesia, serta untuk memitigasi risiko atas sengketa pajak terkait penentuan harga transfer sehubungan dengan harta tidak berwujud di Indonesia.

ABSTRACT
The focus of this research is to analyze the Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation (hereinafter referred as DEMPE) function for related party transactions concerning Intangibles. The purpose of this study is to understand how to identify the DEMPE function of for the use of Intangibles between related parties as a part of the implementation on Arms Length Priciple in Indonesia, and to find out Indonesias state of regulation when it comes to the DEMPE function identification in related party transactions concerning Intangibles. The methodology used in this research is qualitative approach with qualitative data analysis technique. The data were collected by means of in-depth interview with the respected sources chosen based on their professional experience in the field of International Tax and Transfer Pricing. This research later explains that there are some ways that could be done in order to identify the DEMPE functions of intangibles transactions, e.g. to perform functional interview to the companys or groups key personnels, as well as functional analysis that could be done through in-depth review of the companys or the groups documents. This research also results that currently there is no specific regulation nor guidance that are specifically referring to the obligation of the Taxpayers to identify the DEMPE functions performed for related party transactions concerning intangibles in Indonesia and that there are suggestions from both Taxpayers and Tax Officers side that a clarification in the form of regulation or guidance regarding transfer pricing for Intangibles-and not only limited to the identification of DEMPE functions-is required. The researcher later suggests the policy maker to consider the options to formulate and to enforce the regulation or guidance regarding transfer pricing for Intangibles to clarify Indonesias transfer pricing regulation position, as well as to mitigate the risk of overwhelming and unnecessary increase in transfer pricing dispute regarding Intangibles in Indonesia."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nauval
"Berlakunya peraturan pelaksana Pasal 31 D UU Nomor 36 Tahun 2008 yaitu PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah pun menunjukkan adanya dukungan Pemerintah Indonesia dalam memberikan kepastian hukum dan mendorong netralitas perpajakan produk perbankan syariah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas imbalan sukuk dalam produk investasi sukuk negara/ ritel ditinjau dari asas kepastian hukum dan netralitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan wawancara mendalam kepada narasumber sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip mutatis mutandis yang berlaku sesuai PP Nomor 25 Tahun 2009 memberikan kepastian hukum bagi pengenaan pajak atas penghasilan imbalan sukuk bagi investor dan pemberlakuan tarif PPh atas obligasi syariah yang sama dengan obligasi netral dari segi pajak. Disarankan agar pemerintah membuat evaluasi yang terpisah terkait penerimaan pajak tahunan kegiatan syariah dan non-syariah untuk melihat keseimbangan ekonomi/pasar yang terjadi sehingga keputusan penyetaraan perlakuan pajak antara imbalan sukuk dan bunga obligasi yang diterima investor tetap dipertahankan/tidak sesuai pertimbangan tersebut

The enactment of implementing regulations for Article 31 D of Law Number 36 of 2008, namely PP Number 25 of 2009 concerning Income Tax for Sharia-Based Business Activities also shows the support of the Indonesian Government in providing legal certainty and encouraging tax neutrality of Islamic banking products. This research aims to analyze the income policy (PPh) policy on the imbalance of sukuk in the investment product of sovereign sukuk / review in terms of legal certainty and neutrality. The research is conducted using quantitative approach with in-depth interviews as data collecting technique. The results of this research indicate that the mutatis mutandis principle in accordance with Government Regulation No. 25 Year 2009 provides legal certainty for the imposition of taxes on the sukuk yield for investors and the imposition of PPh rates on sharia bonds which are same as bonds, neutral from a tax perspective. It is recommended that the government make a separate evaluation regarding the annual tax revenue for sharia and non-sharia activities to see the economic / market balance that occurs so that the decision to equalize tax treatment between sukuk returns and bond interest received by investors is maintained / not in accordance with these considerations"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>