Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16984 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Challem, Jack
"Focuses on inflammation, the most important underlying factor in health and disease. This book shows us how the antioxidant vitamins E and C, modifying lifestyle factors, food and nutritional supplements, and nutraceuticals can be useful in reducing the risks of inflammatory disorders."
New York: Wiley, 2004
616.047 CHA i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Hartanto
"Intervensi yang sedang populer di kalangan perempuan sebagai rekonstruksi wajah tanpa operasi yaitu tanam benang atau tarik benang. Akupunktur tanam benang adalah salah satu jenis tindakan akupunktur yang memanfaatkan benang yang dapat diserap, yang melekat pada jarum. Kerusakan jaringan akibat penusukan dan penyisipan benang menghasilkan reaksi inflamasi aseptik dan akhirnya mendorong regenerasi jaringan sekitar. Meskipun akupunktur tanam benang telah banyak dilakukan untuk kasus-kasus tertentu, terutama untuk kasus kosmetika, namun masih kurangnya bukti mengenai keamanannya baik di Korea, yang merupakan negara yang mempopulerkan teknik ini. Infeksi, reaksi terhadap benang yang dianggap benda asing oleh tubuh, nodul subkutan atau eritem, gatal, reaksi inflamasi akibat mikrotrauma saat penusukan dan penyisipan adalah hal-hal yang mungkin terjadi dalam tindakan akupunktur tanam benang ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada 4 subyek (30,77%) yang merasakan 1 jenis tanda kardinal inflamasi, 3 subyek (23,08%) yang merasakan 3 jenis tanda inflamasi, 5 subyek (38,46%) yang merasakan 4 jenis tanda kardinal inflamasi dan 1 subyek (7,69%) yang merasakan semua jenis tanda kardinal inflamasi. Bila dilihat dari tanda kardinal, maka 100% pasien mengalami dolor, 6 pasien mengalami kalor, 7 pasien mengalami rubor dan tumor, serta 5 pasien mengalami fungsio lesa. Nilai FACE-Q untuk domain penampilan wajah dan kualitas hidup terkait dengan kesehatan cukup tinggi reratanya, sedangkan untuk dampak buruk cukup rendah reratanya. Untuk uji korelasi antara perubahan kerutan nasolabial dengan nilai FACE-Q tidak ada korelasi. Dapat disimpulkan bahwa prosedur akupunktur tanam benang relatif aman dan minimal efek samping serta memberi penilaian subyektif yang tinggi.

An intervention that is popular with women as face reconstruction without surgery is planting threads or pulling threads. Thread acupuncture is one type of acupuncture that utilizes absorbable thread attached to the needle. Tissue damage due to puncturing and insertion of threads results in aseptic inflammatory reactions and ultimately encourages the regeneration of surrounding tissue. Although yarn acupuncture has been used for certain cases, especially for cosmetics, there is still a lack of evidence regarding its safety either in Korea, which is a country that popularized this technique. Infection, reactions to threads that are considered foreign bodies by the body, subcutaneous nodules or erythema, itching, inflammatory reactions due to microtrauma during pricking and insertion are things that might occur in this thread acupuncture action. The results showed that there were 4 subjects (30.77%) who felt 1 type of cardinal inflammation sign, 3 subjects (23.08%) who felt 3 types of inflammatory sign, 5 subjects (38.46%) who felt 4 types of signs cardinal inflammation and 1 subject (7.69%) who felt all kinds of inflammatory cardinal signs. When viewed from the cardinal sign, then 100% of patients experience color, 6 patients experience heat, 7 patients experience rubles and tumors, and 5 patients experience fatigue. The FACE-Q value for the domain of facial appearance and quality of life associated with health is quite high, while for adverse effects it is quite low. For the correlation test between changes in nasolabial wrinkles with the FACE-Q value there is no correlation. It can be concluded that the thread acupuncture procedure is relatively safe and minimizes side effects and gives a high subjective assessment."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Anne Miriam
"ABSTRAK
Umumnya fistula enterokutan terjadi pasca tindakan pembedahan open abdomen, yang disertai dengan status nutrisi buruk saat preoperatif. Malnutrisi merupakan salah satu komplikasi fistula enterokutan, selain gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit hingga sepsis. Hal ini menunjukkan adanya fistula enterokutan akan memperburuk status nutrisi hingga menyebabkan kematian. Terapi nutrisi berperan penting dalam tatalaksana umum fistula enterokutan, karena pada kasus ini terjadi kondisi emergensi nutrisi. Semakin lama penundaan terapi nutrisi akan menambah risiko perburukan. Terapi nutrisi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi, mendukung penutupan spontan dari fistula, mempersiapkan komposisi dan fisiologis tubuh dalam menghadapi tindakan pembedahan selanjutnya serta meningkatkan imunitas mukosa saluran pencernaan. Pemberian terapi nutrisi berupa perhitungan kebutuhan energi, makronutrien dan mikronutrien. Pasien pada serial kasus ini berjumlah empat orang dengan rentang usia 22-39 tahun. Berdasarkan skrining dengan malnutrition screening tools MST keempat pasien mendapatkan skor ge;3. Kebutuhan energi total dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict yang dikalikan dengan faktor stres sebesar 1,5-2. Target kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB untuk mencegah katabolisme. Kebutuhan cairan harus terpenuhi dengan mempertimbangkan output fistula, demikian juga dengan kadar elektrolit. Nutrisi diberikan melalui oral atau enteral dengan kombinasi parenteral. Dari keempat pasien dalam serial kasus ini, satu pasien meninggal dunia akibat sepsis sedangkan 3 pasien lainnya pulang ke rumah dengan sebelumnya dilakukan repair fistula. Terapi nutrisi pada pasien fistula enterokutan bila dilakukan secara cepat dan tepat akan mengembalikan fungsi gastrointestinal, memperbaiki status nutrisi dan membantu penyembuhan luka.
ABSTRACT Enterocutaneous fistula occurs in general after open abdominal surgery, commonly associated with poor nutritional status prior to operation. Malnutrition is one of the complications of enterocutaneous fistula, besides fluid or electrolyte losses and sepsis. The existence of enterocutaneous fistula will exacerbate the nutritional status leading to death. Nutritional therapy plays an important role in the general management of enterocutaneous fistula, because this case will cause a nutritional emergency condition. The longer delays in nutritional therapy will increase the risk of worsening. Nutritional therapy aims to meet energy needs, supports spontaneous closure of the fistula, to prepare the composition and physiological body in the face of further surgical procedures and to improve the gastrointestinal mucosal immunity. Provision of nutritional therapy is in the form of the calculation of energy needs, macronutrients and micronutrients. Patients in this case series amounted to four people with the age range 22 39 years. Based on the screening with malnutrition screening tools MST the four patients scored ge 3. Total energy requirements were calculated using the Harris Benedict equation multiplied by a stress factor of 1.5 2. Protein requirement target is 1.5 2g kgBW to prevent catabolism. The fluid requirement must be met by considering the fistula output, as well as the electrolyte losses. Nutrition is given by oral or enteral with a parenteral combination. Of the four patients in this case series, one patient died of sepsis while the other 3 returned home undergoing fistula repair previously. Nutritional therapy patients with fistula enterocutaneous if it is done quickly and accurately will reestablishment of gastrointestinal continuity, improve nutritional status and wound healing process."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Maryam
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronis saluran cerna dengan siklus eksaserbasi-remisi. Masih terdapat tantangan dalam mempertahankan remisi dan menunda flare pada pasien IBD. Asupan gizi tertentu dapat memodifikasi mediator inflamasi pada saluran gastrointestinal sementara aktivitas fisik dapat mempengaruhi kadar sitokin sehingga keduanya dapat mempengaruhi perjalanan IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara potensi inflamasi diet dan aktivitas fisik dengan aktivitas penyakit IBD.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien IBD yang melakukan kontrol di Poliklinik Gastroenterologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode Juli–September 2022. Pengambilan data mengenai potensi inflamasi diet berdasarkan skor Dietary Inflammatory Index (DII) dan aktivitas fisik berdasarkan skor International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Derajat aktivitas penyakit IBD diperoleh berdasarkan kuesioner Indeks Harvey-Bradshaw (HBI) untuk Penyakit Crohn (PC) dan Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) untuk Kolitis Ulseratif (KU). Analisis statistik dengan menggunakan uji KruskalWallis, Spearman, dan Regresi linear multipel.
Hasil: Sebanyak 100 subjek penelitian didapatkan rerata skor DII pada kelompok PC adalah 0,22± 2,20 dengan tren rerata yang meningkat signifikan seiring dengan keparahan PC: -0,13 ± 2,3 (remisi), 0,17 ± 2,51 (ringan), 0,65 ± 2,11 (sedang), 0,68 ± 1,60 (berat); p=0,02. Rerata skor DII pada kelompok KU adalah 0,11 ± 2,45 dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antar subgrup keparahan. Rerata skor aktivitas fisik pada kelompok PC dan KU berturut-turut adalah 5097,4 ± 2955,7 dan 6023,7 ± 4869,4. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara tingkat aktivitas fisik dan derajat aktivitas penyakit IBD. Skor DII secara independen dapat mempengaruhi aktivitas penyakit PC dari analisis multivariat (koefisien Î² 0,370; p= 0,006). 
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit PC. Tidak terdapat hubungan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit KU maupun antara aktivitas fisik dengan derajat aktivitas penyakit IBD.

Background: inflammatory bowel disease (IBD) is a chronic gastrointestinal disease with exacerbation-remission cycles. There are still challenges in maintaining remission and preventing flares in IBD patients. Intake of certain nutrients can modify inflammatory mediators of the gastrointestinal tract while physical activity may affect cytokine levels, therefore both can influence the course of  IBD. This study aims to analyze the association between inflammatory potential of diet and physical activity with IBD disease activity.
Method: in this cross-sectional study, IBD patients who had regular control at the gastroenterology outpatient clinic of RSCM were recruited during the period of July–September 2022. The data of inflammatory potential of diet obtained through the dietary Inflammatory Index (DII) score and physical activity data obtained through the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) score. The degree of IBD disease activity based on the Harvey-Bradshaw Index (HBI) for Crohn’s Disease (CD) and the Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) for Ulcerative Colitis (UC). Statistical analysis using the Kruskal-Wallis test, Spearman test, and Multiple Linear Regression test.
Results: A total of 100 subjects obtained the mean DII score in the CD group was 0.22± 2.20 with an upward trend that increased significantly as CD disease severity progressed: -0.13 ± 2.3 (remission), 0.17 ± 2.51 (mild), 0.65 ± 2.11 (moderate), 0.68 ± 1.60 (severe); p=0,02. The mean DII score in the UC group was 0.11 ± 2.45 and there was no significant difference among severity subgroups. The mean physical activity scores in the CD and UC groups were 5097.4± 2955.7 and 6023.7 ± 4869.4 respectively. There was no significant difference of physical activity among various degrees of IBD severity. DII scores independently influenced CD disease activity based on multivariate analysis (β-coefficient 0.370; p= 0.006).
Conclusion: A significant association between the inflammatory potential of diet and CD disease activity was observed. There was no association between inflammatory potential of diet and UC disease activity, as well as between physical activity and IBD disease activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Hafiah Halidha Nilanda
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang ditandai dengan pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan pada otak. Penyebab tersering stroke hemoragik adalah hipertensi. Selain itu penyebab lainnya seperti diabetes melitus dan obesitas dapat menjadi penyulit keadaan klinis pasien. Stroke hemoragik dan beberapa penyulit akan menyebabkan disfungsi neurologis dan disfungsi motorik, yang keduanya akan menyebabkan penurunan asupan nutrisi. Penurunan asupan nutrisi dapat disebabkan penurunan kapasitas fungsional dan gangguan proses menelan atau disfagia. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas hidup menurun serta risiko serangan stroke berulang. Terapi medik gizi klinis berperan memberi nutrisi optimal, membatasai natrium, mengontrol glukosa darah dan mengatasi defisiensi mikronutrien. Metode:Serial kasus ini terdiri dari empat kasus stroke hemoragik pada pasien perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 50 ndash;65 tahun, dengan penyulit seperti disfagia, penurunan kesadaran, dan perdarahan GIT, disertai penyakit penyerta yaitu Hipertensi dan DM tipe 2. Kasus pertama dan kedua mengalami gejala disfagia dan membutuhkan dukungan nutrisi melalui jalur enteral. Kasus ketiga terdapat penurunan asupan makanan karena penurunan kapasitas fungsional yang terjadi. Kasus keempat mengalami penurunan kesadaran dan perdarahan saluran cerna serta membutuhkan dukungan nutrisi secara enteral dan parenteral. Keempat pasien memiliki indeks massa tubuh obes 1. Masalah nutrisi yang dihadapi keempat pasien ini adalah asupan makro dan mikronutrien yang tidak optimal, jalur pemberian nutrisi, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi selama sakit. Terapi medik gizi klinik diberikan sesuai rekomendasi stroke hemoragik ddengan hipertensi dan DM tipe 2. Hasil :Kasus pertama hingga kasus ketiga mengalami perbaikan keadaan klinis, antara lain peningkatan kemampuan menelan, perbaikan tekanan darah, kadar glukosa, dan kapasitas fungsional. Kasus keempat meninggal dunia pada hari perawatan ke-8 akibat edema paru dan gagal jantung. Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang diberikan dapat membantu keadaan klinis dan kapasitas fungsional pada pasien stroke hemoragik dengan Hipertensi dan DM tipe 2.

ABSTRACT<>br>
Background Hemorrhagic stroke is a cerebrovascular disease characterized by rupture of blood vessels resulting in bleeding in the brain. The most common cause of hemorrhagic stroke is hypertension. In addition, other causes such as diabetes mellitus and obesity could worsening the patient's clinical situation. Hemorrhagic strokes and some complications will cause neurologic dysfunction and motoric dysfunction, both of which will lead to a decrease in nutrient intake. Decreased nutritional intake could caused due to decreased functional capacity and impaired ingestion or dysphagia. Inadequate nutrition can lead to decreased quality of life as well as the risk of recurrent stroke. Medical clinical nutrition therapy plays an optimal role in nutrition, restricting sodium, controlling blood glucose and overcoming micronutrient deficiencies. Methods This case series consists of four cases of hemorrhagic stroke in female and male patients with age range 50-65 years, with complications such as dysphagia, consciousness derivation, and gastrointestinal bleeding, accompanied by comorbidities susch as Hypertension and type 2 DM. The first and second cases have symptoms of dysphagia and require nutritional support through the enteral route. The third case there is a decrease in food intake due to decreased functional capacity that occurs. The fourth case has consciousness derivation and gastrointestinal bleeding that requires support of enteral and parenteral nutritions. All of patients had obesity 1 body mass index. Nutritional problems faced by these four patients were unoptimal macro and micronutrient intake, nutritional pathways, unfulfilled nutritional needs during illness. Medical clinical nutrition therapy is given as recommended by hemorrhagic stroke with hypertension and type 2 diabetes mellitus Result The first case to the third case has improved clinical conditions, including increased ability to swallow, improvement of blood pressure, glucose levels, and functional capacity. The fourth case died on the 8th day of treatment due to pulmonary edema and heart failure. Conclusion Clinical nutrition therapy provided could improved clinical and functional capacity in hemorrhagic stroke patients with hypertension and type 2 DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
King, George L., (author.)
New York: NY Workman Publishing, 2014
616.4 KIN d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Ngatidjan
"Kaki diabetik merupakan komplikasi pada diabetes melitus (DM) tipe 2 tersering yang menyebabkan pasien menjalankan perawatan di rumah sakit. Penyulit lain pada DM tipe 2 berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan penting dalam kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, serta perbaikan penyembuhan luka. Serial kasus ini melibatkan empat pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit yang diberikan terapi medik gizi berupa asupan energi, makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi gaya hidup. Pasien dilakukan pemantauan selama 19 hari sesuai fase proliferasi penyembuhan luka. Satu pasien dengan ketoasidosis diabetikum, satu pasien dengan hipertensi, dan dua pasien dengan diabetic kidney disease. Kontrol glikemik keempat pasien tercapai pada akhir perawatan di rumah sakit dan tidak didapatkan penurunan berat badan yang bermakna selama masa pemantauan. Penyembuhan luka berupa luka mengering, edema berkurang, dan timbulnya jaringan granulasi didapatkan pada tiga diantara empat pasien. Satu pasien tidak didapatkan penyembuhan luka yang signifikan karena adanya stenosis multipel pembuluh darah arteri di tungkai kiri. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan pada perbaikan kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, dan penyembuhan luka.

The most common cause of complication and hospitalization in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients are those associated with diabetic foot (DF). Complication of T2DM contribute to increasing morbidity and mortality. Medical nutrition therapy in patients with T2DM and DF with various complication plays an important role in management of glycemic control, worsening nutritional status, and repair wound healing. This case series include four patients T2DM and DF with various complication that given nutritional medical therapy consisting of energy intake, macronutrients, micronutrients, spesific nutrient, and healthy lifestyle education. Patients was monitored for 19 days according to the proliferation phase of wound healing. One patient with diabetic ketoacidosis, one patient with hypertension, and two patients with diabetic kidney disease. All patients got glycemic control during hospitalization. No significant weight loss was observed during monitoring period. Wounds in three of the four patients appeared to heal with dry wound, reduced edema, and formation of granulation tissue. One patient found insignificant wound healing due to multiple arterial stenosis in the left leg. Medical nutrition therapy with type 2 diabetes and diabetic foot with various complications plays an important role in management of glycemic control, preventing worsening nutritional status, and repair wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Verawati
"Latar Belakang: Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik yang dimediasi sistem imun, menyebabkan lesi kulit dan dapat mengenai sendi. Kondisi inflamasi sistemik meningkatkan risiko berbagai non-transmissible chronic disease dan menyebabkan kehilangan nutrien akibat hiperproliferasi dan deskuamasi epidermis, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. Terapi medik gizi dengan menjaga indeks massa tubuh dalam rentangan normal dan memenuhi kebutuhan vitamin A, E, C, D, dan asam folat, serta pemberian asam lemak omega-3 dapat menurunkan stres oksidatif dan inflamasi. Terapi diet, pengaturan aktivitas fisik, dan modulasi respons inflamasi sistemik menjadi tujuan terapi yang penting dan terintegrasi.
Kasus: Pasien psoriasis berbagai tipe dengan penyulit, terdiri atas 3 orang laki-laki dan seorang perempuan, rentangan usia 28–64 tahun. Pasien pertama dengan SIDA, artritis dan hipoalbuminemia, pasien ke-2 hipoalbuminemia, pasien ke-3 artritis, dan pasien ke-4 dengan obesitas. Terapi medik gizi yang diberikan meliputi diet cukup energi, protein tinggi, dan lemak sedang sesuai kodisi pasien, serta beberapa vitamin. Pemantauan dilakukan minimal selama 6 hari meliputi keluhan subjektif, keluaran klinis, hasil laboratorium, antropometri, kapasitas fungsional, dan analisis asupan 24 jam. Nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai keluaran klinis dan toleransi. Mikronutrien yang dapat diberikan adalah vitamin B kompleks, C, dan asam folat. Semua pasien mendapat edukasi gizi.
Hasil: Asupan energi keempat pasien dapat meningkat bertahap hingga mencapai KET saat pulang. Peningkatan kadar albumin tanpa koreksi infus albumin terjadi pada 2 pasien, penurunan albumin pada 1 pasien, dan pada 1 pasien tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Kapasitas fungsional semua pasien mengalami perbaikan saat pulang. Tidak terjadi perubahan berat badan pada 3 pasien, namun 1 pasien mengalami penurunan selama dirawat.
Kesimpulan: Terapi medik gizi yang adekuat menunjang proses penyembuhan, serta memperbaiki parameter laboratorium dan kapasitas fungsional.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory disease mediated by the immune system causing skin lesions and may also affect the joints. Systemic inflammatory conditions increase the risk of various non-transmissible chronic diseases, loss of nutrients through hyperproliferation and desquamation of the epidermis that may reduce quality of life. Medical therapy in nutrition by maintaining body mass index within normal range and fulfillment the requirement of vitamins A, E, C, D, and folic acid, and supplementation of omega-3 fatty acids can reduce oxidative stress and inflammation. Dietary therapy, management of physical activity, and modulation of systemic inflammatory responses are the important and integrated therapeutic goals.
Case: Psoriasis patients of various types and complications with the range of age 28–64-years-old, consist of 3 males and 1 female. The first patient with HIV-AIDS arthritis and hypoalbuminemia, the second with hypoalbuminemia, the third with arthritis, and the fourth with obesity. The medical therapy in nutrition include diet that sufficient in energy, high protein, and moderate fat corresponding to the patients’ condition with supplementation of some vitamins. Monitoring was carried out for at least 6 days that include subjective complaints, clinical outcomes, laboratory results, anthropometric, functional capacity and 24-hour dietary intake analysis. Nutritional intake was gradually increased according to the clinical outcomes and tolerance. Micronutrients that can be given were vitamins B complex, C, and folic acid. All patients received nutrition education.
Results: Nutritional intake of all patients increased gradually and achieved the total energy requirement before discharged from the hospital. There were increased of albumin levels without albumin infusion in 2 patients, decreased in 1 patient, and no albumin levels’ reexamination in 1 patient. Functional capacity improved in all patients before discharged from the hospital. There were no changes in the body weight of 3 patients. However, 1 patient experienced decreased of body weight during hospotalisation.
Conclusion: Adequate medical therapy in nutrition supports the healing process, and improves laboratory parameters and functional capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hebert, David
New York: Avery Pub. Group, 1998
616.12 HEB n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Steffi Sonia
"Luka bakar adalah bentuk trauma yang paling berat yang menyebabkan hipermetabolisme berkepanjangan. Jika asupan nutrisi tidak adekuat, penurunan berat badan dapat terjadi, yang kemudian akan memengaruhi pertumbuhan, penyembuhan luka, dan imunitas. Pedoman nutrisi pada anak dengan luka bakar dibuat di negara maju, sehingga mungkin akan sulit diterapkan di negara berkembang. Pada serial kasus ini, terapi nutrisi diberikan kepada empat pasien anak pasca luka bakar dengan usia 2 ndash;8 tahun dan luas luka bakar antara 5 dan 35 total body surface area. Dari keempat pasien tersebut terdapat satu pasien dengan luka bakar mayor. Target kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan rumus Schofield ditambah faktor stres 1,5 ndash;2 menurut luas luka bakar pasien. Target protein ditetapkan sebesar 1,5 ndash;3 g/kg/hari menurut luas luka bakar pasien. Semua pasien mendapatkan nutrisi melalui jalur oral, dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai target. Suplementasi mikronutrien diberikan kepada semua pasien mendekati rekomendasi, namun suplementasi tembaga tidak diberikan karena keterbatasan sediaan. Terdapat penurunan berat badan pada dua pasien, namun status gizi yang baik berhasil dipertahankan pada semua pasien. Semua pasien juga mengalami penyembuhan luka yang progresif. Terapi medik gizi klinik pada pasien anak dengan luka bakar dapat mempertahankan status gizi yang baik dan membantu penyembuhan luka.

Burn injury is the most severe trauma that causes prolonged hypermetabolism. Inadequate nutritional intake may cause weight loss, which in turn may influence growth, wound healing, and immunity. Nutritional guidelines for pediatric burn were made in developed countries, meanwhile their application in a developing country may be limitted. In this case series, nutritional therapy was instituted on four pediatric burn patients aged 2 ndash 8 years old with burn surface areas between 5 and 35 total body surface area. Among these patients, there was one patient with major burn. Energy requirements were determined using Schofield formula and stress factors of 1,5 ndash 2 depending on the patient rsquo s burn surface area. Protein requirements were set at 1,5 ndash 3 g kg day depending on the patient rsquo s burn surface area. All patients were given oral nutrition, with stepwise increases until the goals were achieved. Micronutrient supplementation was given to all patients according to previous recommendations, however copper supplementation was not be given due to unavailability. Two patients experienced weight loss, but normal nutritional status was maintained in all patients. In addition, progressive wound healing was observed in all patients. In conclusion, nutritional therapy in pediatric burn patients may preserve normal nutritional status and promote wound healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>