Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Itna Fawzia
"Studi ini menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal dan faktor-fakto penarik lokasi industri yang dipertimbangkan oleh pemilik modal dalam melakukan investasi di Indonesia. Dengan menggunakan analisis ekonometrika model panel data dan count data serta memperhatikan robustness dari model, penelitian ini mendapatkan bukti empiris bahwa desentralisasi fiskal mempunyai dampak yang signifikan bagi peningkatan FDI di Indonesia. Proporsi PAD dan belanja modal menunjukkan aktivitas perkonomian di suatu daerah akan mendorong terjadinya peningkatan infrastruktur dan akhirnya akan menarik masuknya FDI. Selain itu, kualitas sumber daya manusia, kemudahan dalam proses perizinan, tingkat elektrifikasi, aksesibilitas jalan dan tingkat upah yang kompetitif akan mendorong masuknya FDI ke suatu daerah.

This study analyzed the effect of fiscal decentralization and industrial location considered by foreign investor in Indonesia. By using the econometric analysis of the panel data model, count data and observe the robustness of the model, this research obtain empirical evidence that fiscal decentralization has a significant impact on the inflow FDI in Indonesia. The proportion of revenue and capital expenditure in economy showed activity in the each region to encourage the improvement of infrastructure and ultimetely attracting more FDI. In addition, the quality of human resources, licensing process, the level of electrification, road accessibility and competitive salary levels will encourage the inflow of FDI in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
S59907
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
JIP 44(2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Y. Yusuf Suseno
"Dalam Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 Tahun 1999 telah diletakkan dasar hukum yang kuat pada daerah untuk melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Salah satu bagian yang penting dalam pelaksanaan otonomi ini adalah unsur pembiayaan daerah.
Sebagai ibukota negara Republik Indonesia dan sekaligus daerah propinsi yang menjalankan otonominya sendiri, propinsi DKI Jakarta juga tidak lepas dengan masalah pembiayaan ini, yang untuk saat ini memang dapat mengandalkan PAD-nya. Sedangkan sumber penerimaan lainnya yang memungkinkan untuk dapat memberikan harapan yang nyata adalah dari Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Pajak ini merupakan dana perimbangan yang pembagiannya didasarkan pertimbangan yang lebih mendalam atas potensi (daerah penghasil), pertumbuhan ekonomi, dan kinerja masing-masing daerah serta diberikan kepada daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah sejauh mana pajak-pajak yang terkait dengan Bagi Hasil Pajak ini telah tergali secara optimal ? dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari Bagi Hasil Pajak bagi propinsi DKI Jakarta secara optimal guna memenuhi pembiayaan daerahnya?
Tujuan penelitian tesis ini adalah untuk menjelaskan sejauh mana penggalian pajak-pajak yang terkait dengan bagi hasil pajak dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan bagi hasil pajak propinsi DKI Jakarta untuk memenuhi pembiayaan daerahnya.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait dan observasi atau pengamatan terhadap objek terkait.
Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa pajak-pajak yang terkait dengan Bagi Hasil Pajak ini belum tergali secara optimal. Untuk PBB, dapat dilihat dari hasil rata-rata analisis collection ratio sebesar 85,23%, pemungutannya belum dilaksanakan secara intensif dan berdasarkan analisis yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kewajaran harga rata-rata tanah masih menunjukkan nilai rata-rata yang belum selaras dengan kondisi yang sebenarnya. Untuk PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 juga belum optimal, dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang telah terdaftar di masterfile komputer Direk-torat Jenderal Pajak wilayah DKI Jakarta jumlahnya masih sedikit, yaitu sebesar 6,7% dari keseluruhan jumlah penduduk berdomisili yang berpotensi untuk dapat dikukuhkan sebagai Wajib Pajak
Saran-saran yang dianjurkan untuk dapat mengoptimalkan Bagi Hasil Pajak ini adalah dengan ekstensifikasi subjek pajak dan intensifikasi pengenaan pajaknya. PBB/BPHTB sebaiknya wewenang pemungutannya diserahkan kepada Pemda setempat, karena Pemda lah yang sebenarnya paling mengetahui keadaan objek pajak/ potensi daerahnya Selain itu upaya-upaya yang dapat dilakukan seperti: sosialisasi, pembinaan, dan pengarahan secara continue kepada wajib pajak / masyarakat setempat harus lebih ditingkatkan. Mengingat perlunya pengembangan potensi penerimaan bagi daerah, kebijakan Sharing Tax dapat diterapkan terhadap pajak yang jumlah penerimaannya relatif besar seperti Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) / Pajak Pertambahan Atas Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan ini akan lebih memacu semangat dari Pemerintah DKI Jakarta untuk dapat menciptakan iklim ekonomi yang kondusif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12017
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hania Rahma
"Seiring dengan penerapan desentralisasi sejak Januari 2001 lalu, penyelenggaraan asas dekonsentrasi di Indonesia juga mengalami perubahan mendasar baik dalam tata aturan penyelenggaraannya maupun dalam luas cakupan bidang kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan. Penerapan dekonsentrasi di Indonesia pada era desentralisasi ditujukan untuk melaksanakan sejumlah kewenangan di bidang lain yang masih dimiliki Pemerintah Pusat, selain lima bidang kewenangan utama yang tidak diserahkan ke daerah, yang lokasi pelaksanaannya berada di daerah. Kewenangan Pemerintah tersebut menurut UU 22/1999 dilimpahkan kepada gubernur dan atau perangkat pusat di daerah. Untuk kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur, pelaksanaannya berada pada dinas propinsi.
Desentralisasi seharusnya berimplikasi pada berkurangnya secara signifikan anggaran pembangunan sektoral yang dikelola Pemerintah Pusat mengingat mekanisme pembiayaan yang dianut Indonesia adalah money follows function. Namun yang terjadi saat ini adalah terdapatnya hubungan yang tidak sejalan antara arah dan besar perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan pembangunan dengan arah dan besar perubahan anggaran yang dialokasikan untuk melaksanaan kewenangan tersebut. Hal ini rnenimbulkan sejumlah pertanyaan yaitu: bagaimana dekonsentrasi diatur dalam peraturan perundangan yang ada saat ini, sejauh mana pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia dalam konteks desentralisasi secara umum, sejauh mana praktek dekonsentrasi telah sejalan dengan peraturan perundangan yang ada, implikasi apa yang timbul dari praktek dekonsentrasi yang terjadi selama ini, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya?
Hingga saat ini tidak banyak studi atau kajian mengenai dekonsentrasi. Di Indonesia, bahkan belum ada studi yang secara khusus membahas persoalan dekonsentrasi pada era desentralisasi. Berangkat dad permasalahan di atas dan adanya keinginan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi penyempurnaan peraturan perundangan dan pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia, kajian ini ditujukan untuk mempelajari pelaksanaan dekonsentrasi dengan membandingkan praktek dekonsentrasi yang terjadi dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, serta mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan dekonsentrasi di Indonesia pada era desentraliasasi.
Studi ini menggunakan variabel pengeluaran pembangunan APBN, terutama yang dikategorikan sebagai anggaran dekonsentrasi, sebagai indikator utama dalam menilal pelaksanaan dekonsentrasi. Selain APBN digunakan juga variabel pengeluaran pembangunan yang berasal dari APBD. Untuk menilai praktek dekonsentrasi yang dijalankan oleh departemen pusat, Departemen Pertanian diambil sebagai contoh kasus.
Secara keseluruhan, hasil studi menyimpulkan bahwa penyelenggaraan dekonsentrasi pada era desentralisasi masih jauh dari kondisi yang ditetapkan oleh peraturan perundangan dan masih di bawah kondisi yang diharapkan dari penyelenggaraan desentralisasi secara umum. Keseluruhan hasil studi menunjukkan:
Masih terdapat ketidakseimbangan dalam pola pembiayaan pembangunan antara pusat dan daerah yang dicerminkan oleh masih tingginya kontribusi APBN dalam pembiayaan penyelenggaraan pembangunan secara keseluruhan, terus meningkatnya pengeluaran pembangunan APBN selama era desentralisasi dengan tingkat kenaikan yang lebih besar dibanding tingkat kenaikan dana perimbangan yang ditransfer ke daerah otonom, terjadinya pergeseran dalam aiokasi pengeluaran pembangunan APBN dari yang tadinya secara dominan diselenggarakan di daerah menjadi lebih banyak dilaksanakan langsung oleh kantor pusat,
Terdapat ketimpangan antara anggaran dekonsentrasi dengan anggaran pembangunan yang berasal dari APBD dan juga dengan dana perimbangan yang diterima daerah yang ditunjukkan oleh tingginya anggaran dekonsentrasi (mencapai 2-4 kali lipat) dibanding anggaran pembangunan yang bersumber dari APBD, tidak seimbangnya besaran pembiayaan dengan besaran kewenangan yang diserahkan/dilimpahkan sebagaimana ditunjukkan oleh tingginya anggaran dekonsentrasi dibanding dana perimbangan yang diterima daerah, tidakterdapatnya pola, kriteria maupun mekanisme distribusi anggaran dekonsentrasi di antara propinsi,
Terdapat penyimpangan dalam praktek dekonsentrasi yang dijalankan departemen/LPND yang ditunjukkan oleh fakta bahwa sebanyak 73,5% anggaran pembangunan APBN dan 94% anggaran dekonsentrasi justru diserap oleh kelompok departemen/LPND yang tidak terkait dengan bidang kewenangan utama yang tidak diserahkan ke daerah, lebih dari 98% anggaran dekonsentrasi digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan yang bersifat pelaksanaan di daerah hanya 0,4% yang dialokasikan untuk penyelenggaraan kewenangan yang bersifat penetapan kebijakan, sebagian besar kegiatan dekonsentrasi diselenggarakan di tingkat kabupaten/kota dengan melibatkan dinas pemerintah daerah setempat, tidak ada perubahan yang terjadi dalam mekanisme dan pendekatan yang digunakan oleh Departemen/LPND dalam merumuskan kegiatan dan menyusun anggaran dekonsentrasi dibanding sebelum desentralisasi.
Dari kasus Departemen Pertanian (Deptan) diketahui bahwa lebih dari separuh anggaran dekonsentrasi Deptan dialokasikan untuk penyelenggaraan proyek di 337 kabupaten/kota dengan rata-rata nilai proyek sebesar Rp 2,1 milyar per kabupaten/kota, Deptan masih menjadikan dekonsentrasi sebagai pendistribusian tugas penyelenggaraan pembangunan antara pusat dan daerah tanpa memperhatikan apakah sesuai atau tidak dengan bidang kewenangan yang dimiliki, Iebih dari 98% anggaran dekonsentrasi Deptan digunakan untuk membiayai kegiatan proyek pembangunan pertanian yang ruang lingkup kewenangannya bukan lagi milik Deptan berdasarkan peraturan perundangan yang ada, anggaran dekonsentrasi Deptan yang sangat tinggi (rata-rata 3 kali lipat dari anggaran pembangunan sektor pertanian yang dibiayai APED) berpeluang mengganggu penyelenggaraan kegiatan dinas propinsi dalam rangka desentralisasi.
Kondisi di atas disebabkan oleh sejumlah faktor yang bersumber dari: (1) peraturan perundangan yang ada yaitu berupa (i) kelemahan ketentuan pasal-pasal dalam UU dan PP yang berlaku saat ini, (ii) adanya gap antara ketentuan dalam peraturan perundangan yang berlaku saat ini dengan terminologi dalam teori dekonsentrasi, dan (iii) terdapatnya inkonsistenasi di antara pasal-pasal yang terkait dengan dekonsentrasi yang terdapat daiam UU dan PP serta peraturan lain yang menyertainya, serta (2) pelaksanaan peraturan perundangan di lapangan yaitu berupa (i) adanya resistensi yang kuat dari pemerintah pusat untuk menyerahkan kewenangan berikut pembiayaannya kepada daerah, (ii) tidak berperannya Departemen Keuangan sebagai katup akhir penentuan keputusan pengalokasian penggunaan pengeluaran negara, (iii) hampir tidakadanya departemen/LPND yang melakukan penyesuaian tugas pokok dan fungsi dengan perubahan bidang kewenangan paska desentralisasi, (iv) rendahnya pemahaman para penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah mengenai dekonsentrasi, (v) rasa kecurigaan yang beriebihan berkaitan dengan rendahnya kepercayaan antar berbagai tingkatan pemerintahan, (vi) ketidakseimbangan antara transfer jumlah dan bobot kewenangan dengan pembiayaan, serta (vii) keteriambatan pusat dalam mengeluarkan peraturan perundangan lanjutan yang mendukung pencapaian efektifitas penyelenggaraan dekonsentrasi.
Studi ini mengusulkan kepada Pemerintah untuk: (1) melakukan berbagai perubahan dan penyempurnaan peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan dekonsentrasi dalam konteks desentralisasi secara luas yaitu dengan mengembalikan ketentuan mengenai dekonsentrasi kepada terminologi yang sebenarnya dan melakukan penyempurnaan peraturan perundangan tentang pembagian bidang kewenangan antara pusat dan daerah, (2) melakukan evaluasi dan koreksi terhadap alokasi anggaran pengeluaran negara, terutama pengeluaran pembanguan dan dana perimbangan, (3) menetapkan departemen/LPND yang bertugas menindakianjuti ketentuan-ketentuan peraturan perundangan mengenai penyelenggaraan dekonsentrasi dikaitkan dengan konteks desentralisasi secara luas serta melakukan pengawasan dan penilaian terhadap praktek dekonsentrasi pada setiap departemen/LPND, serta (4) meningkatkan sosialisasi kepada para pejabat terkait di pusat dan saerah mengenai penyelenggaraan asas dekonsentrasi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T13293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugihartoyo
"Reformasi yang terjadi dalam tatanan kehidupan politik dan pemerintahan di Indonesia, yang ditandai dengan Iahirnya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah mendorong beberapa perubahan, diantaranya adalah perubahan pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik (Otonomi Daerah).
Penataan ruang yang merupakan produk kebijakan yang dirumuskan di dalam UU No. 24 tahun 1992, menggariskan bahwa rencana tata ruang antar daerah, Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, dibuat berjenjang hirarkis, rencana di daerah bawahan merupakan penjabaran rencana daerah atasan, implikasinya adalah keterbatasan bagi daerah di bawahnya untuk mengembangkan daerahnya.
Hal semacam ini bertentangan dengan paradigma pada era otonomi saat ini, bahwa dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengganti UU No. 22/1999, daerah mempunyai otonomi penuh untuk mengelola daerahnya untuk mensejahterakan masyarakatnya.
Adanya ketidakkonsistenan antara UU No. 24 Tahun 1992 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dalam kegiatan penataan ruang, menyebabkan peranan UU No.24/1992 tentang Penataan ruang tidak akan optimum dan tampaknya perlu ditinjau lagi, mengingat paradigma saat ini berbeda dengan paradigma yang berlaku pada saat UU No. 24/1992 disusun.
Di dalam penataan ruang di daerah, baik kebijakan penataan ruang maupun kebijakan otonomi dengan paradigmanya masing-masing mempunyai implikasi positif dan negatif. Untuk solusi masalah ini, hal-hal yang bersifat positif dari kedua kebijakanlah yang diiadikan prinsip untuk mengakomodasi berbagai kepentingan di daiam penataan ruang.
Mengingat otoritas daerah saat ini, solusi hanya dapat dilakukan dengan prinsip koordinasi untuk memadukan dan mensinkronkan beberapa rencana atau keinginan daerah dalam penataan ruang, terutama daerah yang berbatasan. Implikasi terhadap kebijakan penataan ruang yang dirumuskan di dalam UU 24/1992 adalah perlunya revisi beberapa substansi UU terutama yang paradigmanya masih bersifat sentralistik."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"There is a reason or consideration why a state implements a decentralized government system, including in form of regional autonomy. As it is known that the regional autonomy is one of the variant of decentralization principle , thus asymmetrical decentralization is one of the variant of the form of regional autonomy policy. Asymmetrical decentralization or asymmetrical autonomy is a form of delegation of special authority which is given to the certain region. Asymmetrical autonomy is different from the commont autonomy, i.e. symmetrical autonomy. But don't forget that asymmetrical autonomy and symmetrical autonomy both are also autonomy. The difference between both of them is among others, can be seen by substance of regional . The substance of symmetrical autonomy is political autonomy (authority), administrative autonomy, fiscal autonomy which are commonly valid and the same in every region. The three substances of symmetrical autonomy are also contained in the asymmetrical autonomy, however,its format is different at the asymmetrical autonomy . For instance political and fiscal autonomy at symmetrical autonomy are bigger than at symmetrical autonomy. Besides that there is an addition of the substance of regional autonomy at the asymmetrical autonomy, for istance, autonomy in certain law, autonomy at culture field and so on. Actually, even there is difference in format and substance law, autonomy at cuture field an so on .Actually, even there is difference in format and substance between asymmetrical autonomy in region with the asymmetrical autonomy in region with the asymmetrical autonomy in another region."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Mustari Pide
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
352 AND o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>