Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Fuad
Abstrak :
Sebagai alat komunikasi terpenting, bahasa mempunyai sifat-sifat maupun ciri khas masing-masing. Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh suatu bahasa asalah sifat unik yang dimilikinya dalam arti bahwa bahasa mempunyai sistemyang tidak harus ada pada bahasa lain. Dalam bahasa Arab (bA) terdapat salah satu keunikan yang dimilikinya, yaitu adanya keterangan perbandingan eksplisit (kpe), dan keterangan perbandingan implisit (kpi) dalam struktur kalimat Arab. Dikatakan eksplisit, karena di dalam struktur kalimat Arab dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Dikatakan implisit, karena tidak ditemui secara kontekstual. Tetapi baru dapat ditentukan setelah konteks tersebut diterjemahkan dari bA ke dalam bahasa Indonesia. Dalam skripsi ini yang dibahas hanyalah kpi bA. Tujuan yang dicapai adalah untuk mengungkapkan kpi bA secara jelas dengan menggunakan metode penulisa deskriptif mulai dari bentuk, kasus, posisi, dan fungsinya dalam kalimat.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S13139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Fuad
Abstrak :
Pertumbuhan perumahan dan kota-kota baru di wilayah Bogor, Tangerang Bekasi sangat pesat sejak dikeluarkannya kebijakan izin lokasi pada tahun 1993 sebagai bagian dari kebijakan PAKTO-23- yang memberi banyak kemudahan berupa penyederhanaan prosedur perolehan izin lokasi dan kemudahan dalam penguasaan tanah. Kemudahan ini mengakibatkan penguasaan lahan yang sangat luas sampai ke wilayah-wilayah pinggiran. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan mekanisme dan isi dari kebijakan izin lokasi dan dampaknya pada perilaku pengembang perumahan di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi. Penelitian ini juga menggambarkan dampak ikutan dari perilaku pengembang perumahan di wilayah tersebut. Penelitian ini adalah penelitian disikriptif dengan menggunakan metode studi kasus. Wilayah studi kasus yang dipilih adalah Kabupaten Tangerang. Izin Lokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah berisi tentang berbagai kewenangan yang menumpuk pada satu perangkat kebijakan. Kewenangan itu adalah hak monopoli dalam penguasaan tanah, pembatalan hak atas tanah yang ada dan kewenangan pemecahan hak atas tanah. Dengan demikian, izin lokasi dapat menjadi "surat sakti" bagi pengembang untuk menguasai lahan. Begitu kuatnya kewenangan yang ada dalam Izin lokasi mempengaruhi perilaku pengembang dalam perolehan izin lokasi. Pengembang harus melakukan lobi untuk mendapatkan izin lokasi skala besar sehingga mendorong munculnya perilaku rent-seeking baik yang dilakukan oleh pengembang maupun pejabat administratif. Sementara itu, penetapan waktu dan biaya resmi dalam memperoleh izin lokasi tidak realistis sehingga dalam praktek dibutuhkan waktu lebih lama dan biaya yang cukup besar. Izin lokasi juga mempengaruhi perilaku pengembang dalam penentuan lokasi pengembangan. Faktor yang paling mempengaruhi penentuan lokasi pengembangan adalah harga tanah, permintaan pasar, kesesuaian dengan tata ruang dan aksesibilitas. Izin lokasi mempengaruhi perilaku pengembang dalam penguasaan lahan. Penguasaan lahan yang berlebihan tanpa didukung oleh sumber daya yang cukup, menyebabkan luasan tanah yang tercantum dalam izin lokasi tidak dapat dikuasai seluruhnya oleh pengembang dan kalaupun semua luasan tanah yang tercantum dalam izin lokasi dapat dikuasai, pengembang tidak mampu membangun seluruhnya. Hal ini mengakibatkan adanya blighted land dan idle land yang sangat besar di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi. Perilaku pengembang dalam penguasaan tanah dalam skala luas berdampak pada terjadinya inefisiensi dan ketidakadilan dalam penggunaan tanah sehingga menyebabkan adanya biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Penguasaan lahan yang berlebihan juga memberikan sumbangan terhadap terjadinya krisis sektor properti pada awal 1998. Rekomendasi bagi penyempurnaan kebijakan di masa yang akan datang adalah pertama, menyederhanakan proses perizinan dengan melaksanakan penggabungan izin prinsip dan izin lokasi menjadi satu "izin baru." guna mencegah ekonomi biaya tinggi dalam pengurusannya; kedua, memberikan kewenangan dan tanggungjawab kepada Pemerintah Daerah untuk sepenuhnya melaksanakan pengaturan di bidang pertanahan; ketiga, melaksanakan kebijakan pertanahan secara lebih terbuka untuk mendorong peran serta masyarakat dalam proses perencanaan rata ruang dan pengawasan pelaksanaan pembangunan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1918
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fuad
Abstrak :
Pembahasan Filsafat Pendidikan Paulo Freire dalam tesis ini merupakan suatu usaha untuk menganalisa secara filosofis terhadap konsep pendidikan Paulo Freire yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas. Konsekuensinya, pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik pihak yang berkuasa dalam sebuah rezim. Pendidikan merupakan suatu sarana untuk memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan sifat kemanusiaan setelah terjadinya proses dehumanisasi. Dalam kerangka ini pendidikan harus memiliki kepekaan terhadap persoalan ketidakadilan sosial dan harus mendudukkan peserta didik sebagai subyek dari segala kegiatan pendidikan. Karena itu kesadaran kritis sangat diperlukan wujudnya pada kepribadian peserta didik. Paulo Freire membangun kerangka konsep pendidikan itu dengan tumpuan pada pandangan dasarnya tentang manusia dengan menggunakan asumsi dasar bahwa: kenyataan yang dialami oleh manusia merupakan sebuah proses. Proses ini merupakan "proses menjadi" yang dipahami melalui hubungan antara manusia dengan dunia, manusia selalu terarah kepada suatu perubahan dunia, eksistensi manusia adalah sebuah tugas praksis, manusia disituasikan dalam sejarah yang tidak selesai, manusia mempunyai panggilan hidup yang bersifat ontologis; yaitu menjadi subyek dan "memberi nama dunia", hubungan antara manusia dengan dunia memperlihatkan adanya problema "dunia tema dan dunia batas" dan menjadi ada berarti bertindak politik untuk humanisasi. Kemudian dalam rangka mengukuhkan filsafat pendidikannya, Paulo Freire memberikan kerangka pikir sistematis tentang metode mengetahui realitas, yaitu: berpikir dan mengetahui tidak tergantung dari sejarah dan kebudayaan, subyektivitas dan objektivitas tidak dibedakan dalam tindakan mengetahui yang sejati, kesadaran kaum tertindas merupakan bagian dari epestemologi sejarah, kesadaran manusia harus berkembang dari kesadaran magis menuju ke kesadaran kritis yang bersifat intensional, mengetahui itu berarti melakukan tindakan politik untuk sebuah proses humanisasi dan memerlukan kesadaran transitif yang dapat dikembangkan melalui sebuah proses yang disebut konsientisasi. Dalam filsafat pendidikannya, Paulo Freire juga menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis sebagai manifestasi dari pendidikan hadap masalah yang menekankan problema-problema aktual melalui kegiatan yang disebutnya dengan: kodifikasi dan dekodifikasi, diskusi kultural dan aksi kultural. Dengan demikian pendidikan gaya bank harus ditinggalkan dan dihilangkan sama sekali sejalan dengan munculnya pendidikan sebagai proses pembebasan. Selanjutnya, Paulo Freire melanjutkan proses pendidikan seperti di atas dengan mengalihkan semua cara dan aktifitas yang bemada dehumanisasi kepada cara dan aktifitas yang bemada penuh kepada proses humanisasi. Ini berarti Paulo Freire telah menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses transpormasi sosial menuju kepada perubahan ke arah kemajuan yang ditandai dengan adanya peralihan situasi dari: teologi tradisional menuju teologi pembebasan, proses anti dialog menuju proses dialog, masyarakat tertutup menjadi masyarakat terbuka, invasi kultural menjadi aksi kultural dialogis, masifikasi menuju konsientisasi, pendidikan gaya bank menuju pendidikan hapad masalah dan masyarakat buta huruf menuju "masyarakat melek huruf". Akhirnya tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan harus selalu diarahkan kepada tindakan yang direfleksikan bersama melalui sebuah daur dalam bentuk: aksi - refleksi dan kemudian refleksi - aksi. Inilah tindakan praksis yang tetap berjalan terus menerus. Karena itu, pendidikan menjadi daur berpikir dan bertindak secara terus menerus sepanjang hasrat melekat dalam badan manusia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T12565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Syahrul Fuad
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk meningkatkan mutu beton, disamping komposisi semen, agregat kasar, agregat halus, dan faktor air semen, juga diperlukan bahan tambahan.

Bahan tambahan ini bertujuan untuk mengubah satu atau lebih sifat-sifat beton sewaktu masih dalam keadaan segar atau setelah mengeras, misalnya mempercepat pengerasan, menambah encer adukan, menambah kuat tekan, menambah daktilitas, memperlambat terjadinya retak-retak.

Salah satu bahan tambahan beton adalah fiber. Pemikiran dasar pemakaian fiber ini adalah menulangi beton dengan orientasi random, sehingga dapat mencegah terjadinya retak-retak pada beton yang terlalu dini, akibat panas hidrasi maupun akibat beban.

Dengan dicegahnya retak-retak yang telalu dini, mengakibatkan kemampuan bahan untuk mendukung tegangan-tegangan yang terjadi akan semakin lebih besar.

Bahan fiber ini ada beberapa jenis. Seperti baja, karbon, nilon, dan polypropylene. Sedangkan bentuknya, seperti oval, rektangular, bergantung pada proses pembuatan dan bahan mentahnya yang dipakai. Dalam penelitian ini dipakai dipakai polypropylene.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh penambahan serat polypropylene terhadap kuat tekan, kuat tank talc langsung, kuat tank lentur, dan daya tahan abrasi pada beton.

Hasil pengujian menunjukkan, bahwa dengan tambahan 0,1%-0,3% fiber, kuat tekan, kuat tarik tak langsung, kuat tarik lenturnya meningkat dan abrasinya menurun.
ABSTRACT
To increase quality concrete, beside cement composition, coarse aggregate, fine aggregate, and water cement ratio, even if require admixtures.

These admixtures to aim at change one or more properties concrete at still fresh or hardened, increase soft paste, increase compressive strength, increase ductility, delaying the growth of ckracks.

One of admixtures for concrete are fibers. The basic idea use of fibers are the bones at concrete with ramdom orientate, until it can the restrain growth of very early ckracks at concrete, result both hydrated temperature and load. With the restrain growth of very ckracks, result in capability material to carry happened strength more bigger.

Fiber material have some type. As steel, carbon, nylon, polypropylene. At the time shape, as oval, rectangular, hang by activation process, and the use of crude material. In this research the polypropyline will be used.

The aim of this research is to find out the effect of the increase of Polypropylene fibers on concrete compressive strength, tensile strength, flexural strength, and abrasion.

The test result show that by adding 0,1% - 0,3% fibers, compressive strength, tensile strength, flexural strength are mounting and abrasion is reduce.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiki Sakinatul Fuad
Abstrak :
Penelitian ini mengungkapkan posisi perempuan dalam perjodohan atas dasar kafa'ah nasab (kesetaraan keturunan dalam perkawinan), dengan mengangkat pengalaman perempuan yang menerima dan menolak perjodohan. Permasalahan yang diangkat: Pertama, adanya pengaruh bias dalam menafsirkan ayat AI-Qur'an maupun Hadits yang dijadikan dasar penggunaan kafa'ah nasab tersebut. kedua, adanya perbedaan arti dalam menerima dan menolak perjodohan. Untuk menganalisis posisi perempuan digunakan dirumuskan dalam pertanyaan turunan (1) konsep perkawinan menurut agama Islam baik syarat maupun rukunnya, kemudian melihat (2) konteks sejarah kafa'ah nasab itu sendiri dan (3) arti perjodonan bagi perempuan. Ketiga pertanyaan tersebut dianalisis menggunakan metodologi pendekatan kualitatif dan analisis berperspektif perempuan dengan pengumpulan data didasarkan pada metode wawancara mendalam kepada lima orang perempuan dengan kriteria; tiga orang syarifah yang mengalami perjodohan, seorang syarifah yang memilih menikah dengan non-Arab dan seorang perempuan Masyayikh yang menikah dengan seorang laki-laki dari golongan yang sama. Kemudian alat analisis menggunakan pandangan tiga tokoh Feminis Muslim yang menyatakan bahwa Islam menjamin kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan, untuk melihat kepasrahan perempuan dalam menerima perjodohan saya menggunakan pandangan Multikulturalisme yang melihat adanya kesetaraan dalam perbedaan. Hasil penelitian menunjukan adanya kesenjangan antara Ajaran Islam dan Tradisi Arab, sehingga memposisikan perempuan syarifah dan non-syarifah berbeda bahkan antara Arab dan non-Arab. Pada akhimya saya simpulkan bahwa konsep kafa'ah nasab inl lebih dekat pada tradisi Arab yang dapat dihilangkan melihat pada konsep kesetaraan yang digunakan oleh tiga Feminis Muslim tersebut, Sikap pasrah menerima yang dialami perempuan tersebut, merupakan bentuk pengakuan pada identitas kelompok yang di tempatinya dan sikap menolak perjodohan merupakan bentuk penolakan tertiadap arogansi kesukuan, karenaMultikulturalisme tidak memandang adanya kelompok yang superior (lebih tinggi) dari kelompok lainnya.
The purpose of this research is to analyze the position of Arabic women in the system of Arab's arranged marriage, which commonly based on the system of the kafa'ah nasab (equality in family rank) based on the experience of accepting and denying women. Firstly, the aim of this research is the existence of gender bias interpretation in religius texts, which supports kafa'ah nasab. Second, the different meaning between accepting and denying arrange marriage. The position of women in this case will be analyzed by comparing the Arab's marriage system with concept of marriage in Islam, explaining the historical context of kafa'ah nasab, and showing the meaning of arranged marriage for her. All of these will be approach qualitatively from women's perspective using the theory of Multiculturalism and Moslem Feminism. The data will be gathered from in depth interview with three sharifahs (descents of Muhammad) who is still living in arrange marriage and married to non-Arab and one sharifah from masyayikh (social rank under sharifa) who married a man from the same group. The research has found out two factors. First, there's a contras between Islamic teaching and Arab culture. According to Islamic teaching, there's no different in among human being based on sexuality, gender and ethnicity, but according to the Arab culture, women is inferior to man and Arab has higher position in than any raze on the world. Then Arab man is superior to both of women and the people. Here we can see clearly that kafa'ah nasab which is applied to protect the original generation of Muhammad, is not coming from Islamic teaching but Arab culture. Second, accepting arranges marriage for women means submission to the gender and racial bias culture and denying it means denying racial arrogance and patriarchal culture.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rieta Fuad
Abstrak :
Kepatuhan partai politik untuk menerapkan kuota perempuan 30 % di DPR RI masih merupakan suatu proses panjang dengan Pemilu 2004 sebagai titik awal. Pengertian kuota adalah penetapan jumlah tertentu, dimana kuota sebagai affirmative action diperlukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan, kliususnya lembaga legislatif, yang merupakan penentu kebijakan umum, anggaran negara, dan legislasi. Namun demikian, apakah partai-partai politik peserta Pemilu (Golkar, PDI-P dan PKB) dalam penyusunan dan pengajuan calon anggota DPR RI telah memenuhi ketentuan kuota perempuan 30%? Jika telah memenuhi ketentuan kuota perempuan 30% dalam pencalonan anggota legislatif, apakah perempuan calon anggota yang diajukan diletakkan pada urutan calon jadi? Inilah pertanyaan permasalahan yang hendak dijawab dalam penulisan tesis ini. Hal ini menarik untuk diteliti, terulama jika dikaitkan dengan dominasi budaya partriarki selama ini yang menekankan pada superioritas Iaki-laki dimana perempuan ditempatkan pada posisi inferior. Pembahasan difokuskan pada kepatuhan Partai Golkar, PKB dan PDT-P terhadap pemberlakuan kuota perempuan 30 % bagi caleg DPR RI. Pembahasan akan antara lain akan ditinjau dari sudut pandang teori Simone de Beauvoir dan hubungannya dengan budaya patriarki, teori participatory democracy Iris Marion Young tentang ketidakadilan struktur, serta pola rekrutmen pada partai politik. Akan dianalisis sistem seleksi caleg dan penempatan nomor unit, perbandingan strategi ketiga parpol, serta pencapaian dari persebaran caleg perempuan partai Golkar, PDI-P dan PKB dalam memenuhi kuota perempuan 30% bagi caleg DPR RI. Adapun pemilihan ketiga partai sebagai objek penelitian dikarenakan ketiga partai adalah pemenang Pemilu 2004 yang meraih suara terbanyak. Sebagai studi kualitatif, penulisan tesis ini menggunakan data primer berupa hasil wawancara mendalam terhadap informan, dalam hal ini terdiri dari pengurus DPP dan anggota DPR RI dari parpol terkait, serta aktifiis perempuan. Selain itu, juga digunakan data sekunder dari berbagai literatur. Teknik analisis data penulisan tesis adalah analisis domain. Adapun perdebatan utama dalam tesis ini adalah apakah pencalonan perempuan sebagai calon anggola DPR hanya sekedar memenuhi kuota perempuan 30% tanpa memperhatikan nomor urut, dan apa sebenarnya kendala utama yang dihadapi ketiga parpol dalam upaya mendukung pemberlakuan kuota perempuan perempuan 30 % bagi caleg DPR RI. Berdasarkan kuantitas caleg perempuan, ketiga partai sekilas terlihat sudah mempunyai political will (itikad politik), dengan banyaknya caleg perempuan dalam daftar caleg mereka. Golkar dan PDI-P mempunyai komposisi perempuan 28,3 % pada daftar caleg mereka, sementara PKB bahkan mencapai 37,6%. Namun demikian, sebagian besar caleg perempuan tersebut hanyalah menempati nomor unit bawah yang disebut banyak orang sebagai "nomor sepatu", dan akhirnya tidak jadi terpilih menjadi anggota DPR RI. Dengan kata lain, bisa dikatakan political will yang ditunjukkan oleh parpol dan pemerintah masih sebatas wacana atau basa-basi. Adapun implikasi teoritis adalah berdasarkan teori jender dari Simone de Beauvoir. ketidaksungguhan laki-laki memberikan kesempatan lebih banyak kepada perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh sosialisasi jender, yaitu "naskah" pembagian peran yang kita mainkan bahwa ruang publik adalah milik laki-laki, dan perempuan hanyalah di ruang domestik. Jika ditilik dari teori participatory democracy" Iris Marion Young, keadaan ini bisa dikategorikan sebagai dominasi (kaum laki-laki) dan penindasan (terhadap kaum perempuan) yang disebabkan karena ketidakadilan struktur.
The obedience of political party to apply women quota 30% at Indonesian Parliament (DPR RI), still has to go a long way. General Election 2004 is definitely not a final destination, but a starting point instead. The definition of women quota is mainly to set the certain quantity, and as an affirmative action, quota is needed to raise women representation, especially in parliament which has an important role to set public policy, nation budget, and legislation. However, are political parties involved in general election 2004 (Golkar Party, PDI-P, and PKB) have been accomplishing women quota 30% in arranging their legislative candidates? If they have fulfilled the requirement, are the women candidates placed on winnable numbers? These are predicament questions that would be answered in this thesis, based on the angle of the patriarchy culture that emphasized men superiority that place women in inferior position The analysis will be focused on the obedience of Golkar Party, PKB, and PDI-P in complying the application of women quota 30% for legislative candidates at Indonesia Parliament (DPR RI). The analysis will be done from the angle of Simone de Beauvoir's jender theory and the connection to patriarchy culture, participatory democracy of Iris Marion Young concerning structure injustice, and recruitment pattern of political parties. Also, it will be analyzed the selection of legislative candidates and the placed number, the comparison of strategy of the three political parties, and the spread of women legislative candidates from Golkar, PDI-P and PKB in complying women quota 30% for legislative candidates at Indonesian Parliament. Moreover, the three political parties have been chosen as the research object because they are the three winners that get most votes in General Election 2004. As a qualitative research, this thesis use primary data which is in-depth interview with informant from concerned political parties, and secondary data from various literatures. As technical data analysis is used domain analysis. The main argument in this thesis is whether or not the placement of women legislative candidates is only to fulfill women quota 30% without paying attention to the placement number? And what main barriers the three political parties face to in comply the application of women quota 30% for legislative candidates at Indonesian Parliament. Based on the quantity of women legislative candidates, Golkar, PDI-P, and PKB has shown their political will to support the quota. Golkar and PDI-P have composition 28,3% women in their legislative candidates lists. PKB is even better with 37,6 women legislative candidates, often labeled as "shoes number, resulting they are not elected as the parliament member. Fn other words, the political will that has been shown either by political parties or government, is only a theory so far. In addition, the theoretical implication is based on gender theory from Simone de Beauvoir. Regarding the hesitation of men to give more women more opportunities in politics is basically caused by the gender socialization. It is like a "script" that divided our role we play; public spaces are for men, while women are only placed in domestic spaces. If it is reviewed form participatory democracy from Iris Marion Young, this condition could be defined as a domination (of men) and oppression (toward women) that caused by structure injustice.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Agustiawan Fuad
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis pengaruh aktiva dan modal terhadap penerima lingkage program BMT. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan pendamping program, yakni mengolah data yang didapatkan dari Baitulmaal Muamalat, lembaga yang diberikan kewenangan oleh Bank Muamalat untuk melakukan pendampingan progam. Mengelompokan data keuangan pada BMT atas data Aktiva, Total Modal. Dengan jumlah BMT yang cukup besar dan tersebar di seluruh wilayah, sesungguhnya BMT memiliki potensi pembiayaan dan pengelolaan Jana yang cukup besar, khususnya dalam melakukan pembiayaan kepada UKM. BMI pada tahun 2004 memiliki kebijakan untuk menyalurkan dana lingkage sebesar 200 milyar dengan pola executing dan akad mudharabah. Dalam penyaluran dana lingkage program, jumlah dana yang diterima oleh BMT tidak merata. Secara teoritis besamya lingkage program dapat dikaitkan dengan besarnya modal dan aktiva yang dimiliki BMT. Artinya BMT yang memiliki modal dan aktiva yang besar tidak selalu mendapatkan dana lingkage yang besar, demikian pula sebaliknya bahwa BMT yang memiliki modal dan aktiva kecil mendapatkan dana lingkage yang kecil pula. Penelitian yang dilakukan adalah melakukan analisa pengaruh aktiva dan modal BMT terhadap penerimaan dana lingkage program BMT (Studi kasus penyaluran dana lingkage di BMI). Dari penelitian diperoleh bahwa jika nilai variabel aktiva dan modal sama dengan nol, maka Dana Lingkage adalah 7.060.844.5 rupiah. maka setiap kenaikan 1 rupiah Aktiva akan mengakibatkan kenaikan Dana Lingkage sebesar 0,184 % dan setiap kenaikan 1 rupiah Modal akan mengakibatkan naiknya Dana Lingkage sebesar 0,011%. Dengan demikian apabila kedua variabel diregresi secara bersamaan, maka variabel Aktiva paling kuat pengaruhnya terhadap perubahan dana lingkage.
ABSTRACT
The purpose of the research is to analyze the potential of the linkage program for BMI in the assets side and liabilities directly as well as indirectly to make the fund 100% effective. The goals are (a) to know the influence of fund to the assets and liabilities (as moderating variable) in the linkage program; (b) to find out how the fund can influence the liabilities (intervening variable); (c) to find out how far the fund can influence the linkage program. We use the data that we got from Baitulmaal Muamalat, an institution given by Muamalat Bank to assist and guide the program. Then, we group the financial data in BMT on liabilities and total assets. With the big number of BMT in all over Indonesia, BMT has good potential to finance and manage the fund especially to subsidize micro and small enterprises. Having seen the investment possibilities. Bank Muamalat Indonesia (BMI) in 2004 has policy to give the linkage fund with the amount of 200 billions with executing fund and `akad mudharabah'. But the program linkage is only effective 3 billions. To make it more effective, we do further research towards BMT financial structure abilities to to run linkage fund in Bank Muamalat Indonesia.
2007
T20672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahlul Fuad
Abstrak :
Penelitian ini membahas pandangan-pandangan, gagasan-gagasan, dan ungkapan-ungkapan, serta tindakan-tindakan anak muda NU yang berada di P3M sebagai bentuk resistensi terhadap pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan para elit NU. Hal ini muncul karena tindakan-tindakan, dan kebijakan-kebijakan beberapa tokoh NU tidak selalu sesuai dengan gagasan dan pandangan kaum muda NU di P3M. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan sekaligus pemahaman mengenai berjalannya budaya kekuasaan dan resistensi dalam suatu kelompok masyarakat. Penelitian ini juga memberikan pemahaman reflektif terhadap budaya resistensi di Indonesia. Adapun manfaat penelitian ini secara teoretis untuk memahami suatu budaya yang dinamis, melalui pendekatan yang holisitik terhadap suatu problem tertentu. Kerangka teori penelitian ini mengacu pada konsep kekuasaan yang dikemukakan Michel Foucault, yang menyatakan bahwa hubungan-hubungan kekuasaan sekaligus bersifat intensional dan tidak subyektif; di mana pun ada kekuasaan, di sana ada resistensi atau resistensi tidak pernah berada di luar kekuasaan. Kemudian, konsep resistensi menelaah terhadap kajian James C Scott dan Lila Abu-Lughod. Menurut Scott, resistensi tidak lebih dari sebuah hasrat yang dapat dipahami pada bagian rumah tangga untuk survive, untuk kepastian keamanan fisik, kebutuhan makanan, kebutuhan uang tunai, dan mengidentifikasi sumberdaya resistensi terhadap tuntutan tekanan geng, penagih pajak, tuan tanah, dan para pembantu. Sedangkan menurut Lila Abu-Lughod, bahwa resistensi hendaknya digunakan sebagai sebuah “diagnosa kekuasaan”. Oleh karena itu, Lughod menggunakan resistensi sebagai tanda kebabasa manusia yang bisa digunakan sebagai strategi untuk memberi informasi mengenai bentuk-bentuk kekuasaan dan bagaimana orang-orang mengejarnya. Melalui pendekatan interpretasi terhadap data-data yang diperoleh melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, penelitian ini menemukan selain adanya ungkapan, gagasan, dan tindakan yang dilakukan oleh kaum muda NU di P3M sebagai bentuk resistensi mereka terhadap struktur kekuasaan yang sedang berjalan, mereka juga menujukkan kekuasaannya melalui jaringan-jaringan yang mereka bangun. Bentuk-bentuk resistensi yang mereka lakukan adalah dengan mengungkap kekurangan-kekurangan para elit NU melalui gosip, mengkritik, menggagas bentuk kegiatan untuk kepentingan NU, dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk kepentingan warga NU.
This research discusses views, ideas, articulations, and actions of the NU youth in P3M, which were a form of resistance towards views and actions of NU elites. This resistance emerged because the actions of NU elites were not always in line with the ideas and views of the NU youth. The purpose of this research is to provide a picture as well as an understanding on the culture of power and its resistance in certain society. It is also intended to provide a reflective understanding on the resistance culture in Indonesia. Such a research is useful to understand a dynamic culture through a holistic approach towards a particular problem. The theoretical framework of the study is based on the concept of power introduced by Michael Foucault, which says that power relations are intentional and non-subjective; wherever there is power, there is resistance, and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation of power. Furthermore, the concept of resistance in this study refers to the concept of resistance introduced by James C. Scott and Lila Abu-Lughod. According to Scott, a resistance is no more than a desire in a part of a household to assure physical safety, food needs, cash needs, and to identify resistant resources upon gang pressures, tax collectors, landlords and their guards. Lila Abu-Lughod argues that a resistance as a diagnose power. Therefore, she marks resistance as signs of human freedom will be use them as strategically to tell information on the forms and how people are caught up in them. Through interpretative approaches on some data, which were collected from direct observation and in-depth interview, this research discovers several articulations, ideas, and actions of the NU youth in P3M, which were the forms of their resistance toward the structure of power hold by NU elites. They also demonstrated their power through their networks. The resistance was articulated by gossiping the weaknesses of NU elites, criticizing them, and running several alternative activities for the interests of NU members.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T22721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahlul Fuad
Abstrak :
Penelitian ini membahas pandangan-pandangan, gagasan-gagasan, dan ungkapan-ungkapan, serta tindakan-tindakan anak muda NU yang berada di P3M sebagai bentuk resistensi terhadap pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan para elit NU. Hal ini muncul karena tindakan-tindakan, dan kebijakan-kebijakan beberapa tokoh NU tidak selalu sesuai dengan gagasan dan pandangan kaum muda NU di P3M. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan sekaligus pemahaman mengenai berjalannya budaya kekuasaan dan resistensi dalam suatu kelompok masyarakat. Penelitian ini juga memberikan pemahaman reflektif terhadap budaya resistensi di Indonesia. Adapun manfaat penelitian ini secara teoretis untuk memahami suatu budaya yang dinamis, melalui pendekatan yang holisitik terhadap suatu problem tertentu. Kerangka teori penelitian ini mengacu pada konsep kekuasaan yang dikemukakan Michel Foucault, yang menyatakan bahwa hubungan-hubungan kekuasaan sekaligus bersifat intensional dan tidak subyektif; di mana pun ada kekuasaan, di sana ada resistensi atau resistensi tidak pernah berada di luar kekuasaan. Kemudian, konsep resistensi menelaah terhadap kajian James C Scott dan Lila Abu-Lughod. Menurut Scott, resistensi tidak lebih dari sebuah hasrat yang dapat dipahami pada bagian rumah tangga untuk survive, untuk kepastian keamanan fisik, kebutuhan makanan, kebutuhan uang tunai, dan mengidentifikasi sumberdaya resistensi terhadap tuntutan tekanan geng, penagih pajak, tuan tanah, dan para pembantu. Sedangkan menurut Lila Abu-Lughod, bahwa resistensi hendaknya digunakan sebagai sebuah “diagnosa kekuasaan”. Oleh karena itu, Lughod menggunakan resistensi sebagai tanda kebabasa manusia yang bisa digunakan sebagai strategi untuk memberi informasi mengenai bentuk-bentuk kekuasaan dan bagaimana orang-orang mengejarnya. Melalui pendekatan interpretasi terhadap data-data yang diperoleh melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, penelitian ini menemukan selain adanya ungkapan, gagasan, dan tindakan yang dilakukan oleh kaum muda NU di P3M sebagai bentuk resistensi mereka terhadap struktur kekuasaan yang sedang berjalan, mereka juga menujukkan kekuasaannya melalui jaringan-jaringan yang mereka bangun. Bentuk-bentuk resistensi yang mereka lakukan adalah dengan mengungkap kekurangan-kekurangan para elit NU melalui gosip, mengkritik, menggagas bentuk kegiatan untuk kepentingan NU, dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk kepentingan warga NU. ......This research discusses views, ideas, articulations, and actions of the NU youth in P3M, which were a form of resistance towards views and actions of NU elites. This resistance emerged because the actions of NU elites were not always in line with the ideas and views of the NU youth. The purpose of this research is to provide a picture as well as an understanding on the culture of power and its resistance in certain society. It is also intended to provide a reflective understanding on the resistance culture in Indonesia. Such a research is useful to understand a dynamic culture through a holistic approach towards a particular problem. The theoretical framework of the study is based on the concept of power introduced by Michael Foucault, which says that power relations are intentional and non-subjective; wherever there is power, there is resistance, and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation of power. Furthermore, the concept of resistance in this study refers to the concept of resistance introduced by James C. Scott and Lila Abu-Lughod. According to Scott, a resistance is no more than a desire in a part of a household to assure physical safety, food needs, cash needs, and to identify resistant resources upon gang pressures, tax collectors, landlords and their guards. Lila Abu-Lughod argues that a resistance as a diagnose power. Therefore, she marks resistance as signs of human freedom will be use them as strategically to tell information on the forms and how people are caught up in them. Through interpretative approaches on some data, which were collected from direct observation and in-depth interview, this research discovers several articulations, ideas, and actions of the NU youth in P3M, which were the forms of their resistance toward the structure of power hold by NU elites. They also demonstrated their power through their networks. The resistance was articulated by gossiping the weaknesses of NU elites, criticizing them, and running several alternative activities for the interests of NU members.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Assyifa Fuad
Abstrak :
Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanahkan kepada negara untuk mensejahterakan masyarakat, namun nyatanya negara belum mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang optimal kepada masyarakat. Hal ini terbukti dari pelayanan di bidang penyediaan air minum di Indonesia yang masih minim akibat keterbatasan yang diemban oleh Pemerintah terkait pendanaan dan pengelolaan infrastruktur. Demi menanggulangi kendala ini, maka Pemerintah bekerjasama dengan Badan Usaha dalam rangka membangun sistem penyediaan air minum yang layak guna bagi masyarakat, yang kerap disebut sebagai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Untuk melihat sejauh mana peran Pemerintah dalam penyediaan air minum melalui skema KPBU ini, maka Penulis melakukan penelitian yuridis normatif yakni menganalisis Kontrak Kerjasama yang dimiliki Penulis dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur untuk melihat kesesuaian isi kontrak kerjasama dan mengetahui peran Pemerintah dalam skema KPBU. Berdasarkan Kontrak Kerjasama tersebut, Pemerintah ternyata tidak melaksanakan salah satu kewajibannya yaitu pemberian Dukungan dan Jaminan Pemerintah, yang mana dalam hal ini adalah pemberian Dana Penyiapan Proyek (Project Development Fund) sehingga menurunkan gairah Badan Usaha untuk turut berkontribusi membangun infrastruktur. Dengan demikian, melalui penelitian ini diharapkan masalah kontribusi Pemerintah dalam hal pembiayaan infrastruktur dapat diperbaiki, sehingga alokasi risiko antara Pemerintah dan Badan Usaha menjadi seimbang dan penyelenggaraan pelayanan publik bagi masyarakat dapat terwujud secara maksimal. ......Although the Constitution has mandated the state to fulfill the basic needs of society, one of which is the need for access to potable water, however the service in supplying potable water is frequently hampered by the lack of state funds and management to build water and sanitation infrastructure. To overcome this obstruction, the Government pull together with the private company to build up the potable water supply system that can be accessed by society, which often referred to as Public-Private Partnership (PPP). According to this, the writer figures out the suitability of the Cooperative Contract with the regulations and concludes the Governments role in supplying public service. Based on the contract, in fact, the Government does not carry out any of its obligations specifically the Government Support and Guarantees, videlicet Project Development Fund, thus the interest of Business Entity to invest in developing infrastructure becomes low and the funds allocation is not optimal. Therefore, this thesis will provide a proper solution through normative judicial research by conducting literature studies and evaluation towards the public sectors role in cooperating with the private. Using that evaluation and implemented the PPPs partnership principle, hopefully the problem of Governments contribution on financing the infrastructure development can be improved.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>