Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agus Munawar
"Perbankan memiliki peranan yang vital sebagai perantara (intermediaries) sektor keuangan. Untuk sektor perbankan mikro (microbanking), maka BPR (Bank Perkreditan Rakyat) memiliki posisi yang strategis. Sejak awal keberadaannya BPR telah memiliki misi membantu masyarakat miskin, terutama di wilayah pedesaan, yakni memberikan akses terhadap pelayanan keuangan. Namun agar tetap dapat berkelanjutan, BPR juga harus mampu menghasilkan keuntungan yang memadai. Untuk itu BPR juga harus memiliki kinerja keuangan yang baik. Dengan data-data utama bersumber dari laporan keuangan BPR di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, dan Banten, penelitian ini bermaksud mengeksplorasi faktor-faktor yang dianggap berhubungan erat dan signifikan pengaruhnya terhadap kinerja keuangan BPR. Kemudian, analisis lebih lanjut juga dilakukan untuk melihat kinerja keuangan dan jangkauan (outreach) dari BPR. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan metode Anova dan Regresi Linier Berganda, namun didukung dengan informasi kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa faktor-faktor efisiensi operasional dan pengelolaan kualitas aktiva yang baik merupakan faktor utama peningkatan kinerja keuangan. Selanjutnya peningkatan kinerja keuangan BPR tetap dapat sejalan dengan pencapaian misi sosial yaitu menjangkau masyarakat miskin. Namun seiring pertumbuhannya BPR juga ternyata mulai mengalami gejala pergeseran misi. BPR juga masih terkendala struktur biaya yang tinggi yang berakibat pada tingginya suku bunga pinjaman diberikan. Kemudian ditemukan hasil bahwa BPR yang dimiliki oleh pemerintah daerah dan BPR yang berlokasi di pedesaan masih mengedepankan misi sosial yakni pelayanan kepada nasabah miskin.

Bank plays a vital role as intermediaries in the financial sector, as well as microbanking sector, in which BPR (people credit bank) has strategic position. BPR has, in the first place, been setting up mission to assist the poor, particularly those in the rural areas; through providing access to financial services. However, to be sustainable, BPR must also be able to produce reasonable amount of profits. Therefore, BPR should be having a good financial performance as well. With main data from BPR?s financial statements, BPRs in Jabodetabek, West Java and Banten, this research endeavors to explore determinants that highly and significantly correlate with BPR?s financial performance. A further analysis then conducted to explain financial performance and BPR?s outreach. This is a quantitative research which contains Anova method and Multiple Regression Analysis, supported with descriptive qualitative information.
Results show that operational efficiency and sound asset quality management are principal factors in improving financial performance. Thus, improving financial performance could also go hand in hand with attaining social mission i.e. reaching the poor. But, along with its growth it turns out that BPR begins to experience mission drift phenomenon. BPR is still also facing high cost structure that has impact on the high interest rate charged on loan given. Moreover, it was found that BPR owned by local government as well as BPR located in rural setting is still stay true to social mission that is serving poor clients."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27647
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Munawar
"Situasi krisis moneter disusul krisis ekonomi dan akhirnya berubah menjadi krisis politik yang bermula pada tahun 1997 dan berlanjut pada tahun 1998 telah menyebabkan banyaknya tekanan yang dialamatkan kepada pemerintah. Salah satu institusi pemerintah yang paling banyak disorot adalah Polri. Masyarakat telah kehilangan kepercayaan pada Polri sebagai institusi yang seharusnya mampu memberikan public service. Dalam hal ini ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri telah demikian besarnya akibat akumulasi kesalahan dan disorientasi tujuan organisasi Polri. Ini ditandai dengan makin bencinya masyarakat terhadap personil polisi yakni dengan berbagi penyerangan-penyerangan yang dilakukan baik terhadap individu maupun kantor-kantor polisi. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri maka mau tidak mau Polri harus memperbaiki kualitas pelayanannya dan mengganti metode dan pendekatan yang sering digunakan selama ini yaitu pendekatan represif dengan pendekatan pelayanan. Pada tanggal 1 April 1999 salah satu perubahan besar yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan dikeluarkannya Polri dari tubuh ABRI. Hal tersebut merupakan langkah awal untuk menyikapi tuntutan perbaikan pelayanan atas jasa atau public goods yang disediakan oleh pemerintah. Terutama jasa pelayanan keamanan yang telah menjadi tugas dan tanggung jawab Polri untuk menyediakannnya. Selama ini dirasalcan bahwa Polri tidak memberikan pelayanan (public service) terbaiknya kepada masyarakat. Polri tidak berlaku sebagai `public servant' sebagaimana layaknya anggota-anggota polisi di negara-negara yang memiliki kepolisian terbaik seperti Jepang, Inggris, Singapura, AS dan sebagainya. Pelayanan oleh Polri sering dijumpai sangat lamban. Baik ketika terjadi suatu kasus, proses penyidikan, maupun dalam melayani masyarakat di tempat-tempat umum atau di kantor-kantor polisi. Belum lagi perilaku oknum (kalau tidak ingin dikatakan sebagian besar) aparat Polri yang sering kurang menghargai masyarakat, sewenang-wenang, kasar, arogan, perilaku yang koruptif, identik dengan pungli, ataupun seringnya dijumpai petugas Polri yang justru penyalahgunaan wewenang (abusive police power). Sehingga timbul praktik-praktik pungli, beking, ataupun anggota Polri yang justru menjadi pelaku kejahatan. Dalam hal ini etika profesi kepolisian perlu ditegakkan secara konsekuen, sebagai salah satu instrumen standar nilai dan norma. Untuk mengembangkan orientasi pelanggan/masyarakat maka mutlak diperlukan sebuah upaya social marketing, dengan bekerja sama dengan pekerja sosial, LSM, universitas dan anggota masyarakat lainnya untuk menggali lebih dalam input-input yang diperlukan bagi perbaikan di tubuh Polri, serta perbaikan sistem pemolisian masyarakat. Disamping merupakan upaya melibatkan masyarakat agar turut bertanggung jawab di dalam perbaikan Polri. Upaya pemasaran jangan hanya yang bersifat humas (public relation) saja. Sebab tidak akan berhasil dan efektif mencapai tujuan yaitu mengembalikan citra positif Polri, tanpa melakukan perbaikan internal organisasi terlebih dahulu. Dan akhirnya Polri dapt mejadikan model Inggris dan Jepang sebagai contoh sistem kepolisian yang terbaik dan mapan, modern, dengan ciri pendekatan yang humanistic dan kekeluargaan. Saat ini Polri telah berupaya mengarahkan sistem pemolisiannya kearah pemolisian yang bersifat community approach."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
S19209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library