Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Wahyudi
"Penyelengaraan sistem informasi kesehatan yang baik sangat diperlukan guna menunjang proses manajemen program-program kesehatan. Buruknya sistem informasi kesehatan akan mengakibatkan pada rendahnya kualitas data & informasi yang dihasilkan dan rendahnya kualitas data & informasi akan berdampak pada kualitas manajemen, seperti perencanaan yang tidak tepat, salah dalam evaluasi keberhasilan program dan sebagainya.
Sistem informasi manajemen Puskesmas (SIMPUS) adalah ketentuan teknis secara rinci mengenai sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas (SP2TP) berdasarkan SK Dit.Jen Binkesmas. No:590/BM/DJ/Info/V/96, bertujuan meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas secara lebih berhasil guna dan berdaya guna melalui pemanfaatan secara optimal data SP2TP dan informasi lain yang menunjang. Baik tidaknya penyelenggaraan SIMPUS akan berdampak pada baik tidaknya manajemen Puskesmas. Baik tidaknya manajemen Puskesmas diduga berkaitan dengan kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS, mulai dari pengumpulan data (pencatatan), pengolahan data, analisis dan interpretasi informasi hasil olahan data, pelaporan dan pemanfaatannya untuk menunjang proses manajemen Puskesmas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan Sistem Informasi Manajemen Puskesmas di Kota Bengkulu.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 144 dari 150 total populasi. Populasi penelitian adalah 10 pelaksana program pada 15 Puskesmas yang ada di kota Bengkulu. Pengumpulan data variabel terikat maupun variabel bebas dilakukan dengan metode self-assesment (kuesioner diisi oleh responden sendiri). Khusus untuk variabel terikat yaitu kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS, setelah responden menjawab/mengisi kuesioner, peneliti melakukan observasi dan pengecekan jawaban respoden sekaligus melakukan koreksi atas kebenaran kecocokan jawaban yang diisi oleh responder.
Hasil penelitian melaporkan proporsi pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS yang kinerjanya baik sebanyak 52,8% dan yang kinerjanya tidak baik sebanyak 47,2%. Hasil analisis menunjukan bahwa ada tiga faktor yang berhubungan dengan kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS di Kota Bengkulu yaitu pelatihan, pengetahuan tentang SIMPUS dan uraian tugas.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja pelaksana program dalam penyelenggaraan SIMPUS di kota Bengkulu belum dilaksanakan dengan baik, untuk itu perlu mendapat perhatian Pimpinan Puskesmas dan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu : Pertama kegiatan pelatihan perlu ditingkatkan baik dari jumlah dan mutunya, kedua diperlukan upaya khusus peningkatan pengetahuan tentang SIMPUS pada setiap pelaksana program Puskesmas seperti melengkapi buku-buku pedoman SIMPUS di setiap Puskesmas dan ketiga perlu adanya uraian tugas yang jelas pada setiap pelaksana program di Puskesmas khususnya tugas-tugas dan tanggung-jawabnya dalam pengelolaan data dan informasi.

Factors Related to the Performance of Program Officers in Administrating the Puskesmas Management Information Systems (SIMPUS) in Bengkulu City 2001Good health information system is needed to support the process of managing health programs. Unreliable health information system will produce low quality data and information. Low quality data and information, as a consequence, will damage the decision making process of health management, such as reducing their ability to plan accurately, hampering program performance evaluation, and other problems.
Puskesmas management information systems (SIMPUS) is detailed technical provision concerning integrated recording dan reporting systems of Puskesmas (SP2TP) which is based on SK Dit. Jenn. Binkenmas No. 590/BM/DJ/Info/V/96. The provision is aimed to enhance the effectiveness of Puskesmas management through optimal use of SP2TP data and other supporting information. The quality of SIMPUS administration will directly affect the effectiveness of Puskesmas management.
The effectiveness of Puskesmas management is hypothesized to be related to the performance of program officers in administrating SIMPUS, from the start of data collecting (recording), processing, analyzing and interpretation of the outputs, reporting, to utilizing information to support Puskesmas management. The objective of this study is to identify factors related to the performance of program officers in administrating SIMPUS in Bengkulu City.
The design of the study is cross-sectional, using a sample of 144, with the total population of 150. The population consists of 10 program officers at each of 15 Puskesmasses located in Bengkulu City.
The collection of data concerning dependent and independent variables was done using self-assesment method (the respondents were asked to fill the questionnaire by him or her). In the case of dependent variable, i.e. the performance of program officers in administrating SIMPUS, after the respondents filled the questionnaires, the researcher still had to make direct observations over the process SIMPUS administration, verify the answers of respondents, and make correction, if necessary.
The study found that the proportion of program officers having good performance in administrating SIMPUS is 52,8%, and the proportion of program officers whose performance low is 47,2%. The results of analysis found three factors that affect program officers? performance in administrating SIMPUS in Bengkulu City: training, knowledge of SIMPUS, and job description.
It can be concluded that program officers? performance in administrating SIMPUS in Bengkulu city is effectively low performances. Hence, these results should get attention from managers of Puskesmasses and Head office of health Bengkulu City: first, the number and quality of trainings should be increased, second there should be special efforts to increase program officers knowledge of SIMPUS, for example through providing SIMPUS manuals at every Puskesmas and the third, there should be clear description of tasks to be performed by program officers, especially description of tasks related to managing data and information.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T10124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wahyudi
"Berbagai literatur mutakhir mengenal resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan gambaran bagaimana konflik di Aceh mentransformasikan dirinya, kemudian memberikan kerangka kerja yang memungkinkan pihak-pihak yang saling bermusuhan melakukan rekonsiliasi dan mentransformasikan pertentangan mereka ke dalam kegiatan tanpa kekerasan yang diikuti dengan tindakan pemeliharaan perdamaian yang lebih luas, yang meliputi usaha-usaha untuk mentransformasikan ketidakadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan.
Data di lapangan menunjukkan bahwa cakupan resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak namun belurn tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Apalagi membangun perdamaian, mentransformasikan keadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan. Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal antara 'Aceh' dengan 'Jakarta', ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional. Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM menyebutnya 'bangsa Aceh') dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan. Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.
Data menunjukkan bahwa penyelesaian konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa), perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (simasi anomi). Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor konflik juga telah berubah, bukan antar 'siapa' namun bisa meluas menjadi antar 'situasi'. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi (fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan, transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial yakni terpenuhinya secara berkesinambungan penghidupan dan berbagai kebutuhan hidup sebagian besar warga masyarakat serta terbukanya peluang bagi tiap warga masyarakat untuk mengaktualisasikan diri masing-masing. Perubahan kemasyarakatan dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan akses politik.

Some text-books in conflict resolution have shown that conflict-related problems are not only concerning with how to stop violence, but also dealing with sustaining peace through development. This research is aimed at a description of conflict transformation in Aceh and to develop a framework for the actors to transform their conflict into a non-violence effort and addressing the root of the conflict that created injustice in the society.
Field data confirmed that the scope of conflict resolution is more than an effort to end war. With this regard, peace agreement between GAM and Govemment of Indonesia could be seen as an agreement to end violence but not to solve the conflict's problem. Based on the analysis, there is a shift of the conflict in ACeh, from a vertical conflict (between Jakarta and GAM) to a horizontal conflict between community groups. This shift has proven that social integration related problems are beyond MoU Helsinlci's imagination. A shift also can be seen from each stand point; GAM believes that their holy mission has not completed yet although MoU Helsinki gives significant benefits to GAM. Welfare of the people of Aceh and their political rights are not fully met. ln the other hand, Jakarta still considers GAM is a separatist, rebellion, and GAM has changed their strategy to a symbolic rebellion.
Based on field data, a comprehensive conflict resolution in Aceh is still far away because of some barriers such as ethnic sentiment, fragmented expectations and interests among community groups, and changes in the structure and actors of the conflicts. A comprehensive conflict resolution requires collective efforts from non- GAM groups as well because the conflict is merely between Jakarta and GAM but also between 'different situation'. Suggested actions for this is focusing on conflict transformation i.e. transformation of context, structural transformation, actors transformation, transformation of issues, and transfomiation of individual and groups.
Societal change and socio-economic development is the catalyst and an enabling environment for conflict transformation. This research recommends that an integration between peace building and development (peace through development) is a central issue in addition to economic transfonnation, education, socio-culture development, and access to political structure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D977
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library