Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Evianti Ristia Dewi
"Bahwa dengan terbitnya ketentuan Pasal 185 UUCK menyebabkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan peraturan pemerintah guna melaksanakan amanat dari UUCK salah satunya adalah dengan menerbitkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 yang pada salah satu pengaturannya yakni Pasal 86 memuat ketentuan terkait pembuatan akta PPAT secara elektronik yang mana ketentuan ini merupakan turunan dari ketentuan Pasal 147 UUCK adanya pengaturan mengenai akta peralihan hak atas tanah dapat dibuat dalam bentuk elektronik. Bahwa dengan adanya kedua ketentuan tersebut tentunya menimbulkan tumpang tindih pada Pasal 5 ayat 4 butir (b) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) mengenai akta PPAT tidak termasuk alat bukti elektronik sehingga keabsahan atas aktanya menjadi dipertanyakan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan membandingkan pengaturan maupun pelaksanaan di negara lain yang telah menggunakan akta elektronik dalam peralihan hak atas tanahnya seperti di Italia dan Amerika guna mengetahui dan menganalisa dalam hal pemerintah akan melaksanakan kegiatan pembuatan akta secara elektronik dalam rangka pendaftaran tanah secara elektronik. Penelitian dilakukan secara yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan perbandingan serta menggunakan data primer berupa wawancara dan data sekunder berupa data studi kepustakaan yang bentuk hasil penelitiannya adalah problem solution. Dari penelitian diketahui bahwa di Amerika, Italia telah diterapkan yang menggunakan mekanisme pembacaan dan penandatanganan akta secara elektronik melalui media audio-video conference yang ada di Amerika serta diizinkannya penggunaan pembuatan akta secara elektronik dan tanda tangan digital terhadap akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT di Italia. Penggunaan asas hukum lex posteriori derogate legi priori menjadi jawaban atas keberlakuan ketentuan Pasal 147 UUCK terhadap Pasal 5 ayat (4) butir b UU ITE, di mana ketentuan Pasal 147 UUCK tersebut menyebabkan terbitnya ketentuan Pasal 86 PP 18/2021 mengenai pembuatan akta PPAT secara elektronik sehingga dapat digunakan adagium lex specialis derogate legi generalis untuk mengatasi tumpang tindih ketentuan dengan UUITE.
......As a result of the issuance of Article 185 of the UUCK. Thus the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency of the Republic of Indonesia issued government regulations to carry out the mandate of the UUCK, one of which was by issuing the provisions of Government Regulation no. 18 of 2021, one of which is Article 86, which contains provisions relating to the making of PPAT deeds electronically, where this provision is a derivative of the provisions of Article 147 of the UUCK, the regulation regarding the transfer of land rights can be made in electronic form. That the existence of these two provisions certainly causes an overlap in Article 5 paragraph 4 point (b) of Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law Number 19 of 2016 (UU ITE) regarding the PPAT deed does not include electronic evidence so that the validity of the deed becomes questionable. Therefore, it is necessary to conduct further studies by comparing the regulation and implementation in other countries that have used electronic deeds in the transfer of land rights such as in Italy and America in order to find out and analyze in the event that the government will carry out electronic deed-making activities in the context of electronic land registration. electronic. The research was carried out in a normative juridical manner with a statutory approach and a comparative approach and used primary data in the form of interviews and secondary data in the form of library study data whose research results were in the form of a problem solution. From the research, it is known that in the United States, Italy has been implemented which uses the mechanism for reading and signing the electronic deed through audio-video conference media in the United States and allowing the use of electronic deed-making and digital signatures on deeds made by a Notary/PPAT. The use of the legal principle of lex posteriori derogate legi priori is the answer to the applicability of the provisions of Article 147 UUCK to Article 5 paragraph (4) point b of the ITE Law, where the provisions of Article 147 UUCK led to the issuance of the provisions of Article 86 PP 18/2021 regarding the making of PPAT deeds electronically. so that the adage lex specialis derogate legi generalis can be used to overcome overlapping provisions with UUITE."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Evianti Ristia Dewi
"Akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) merupakan akad pembiayaan syariah dengan prinsip kemitraan dan bagi hasil. Nasabah dengan Unit Usaha Syariah (UUS) pada Bank X melakukan pengikatan akad MMQ yang kemudian mengalami kemacetan karena adanya kewajiban yang tidak dilaksanakan oleh Nasabah untuk mengangsur pengambilalihan porsi kepemilikan UUS dan membayar bagi hasil berdasarkan sewa. Akibat tidak dilaksanakannya kewajiban tersebut menyebabkan adanya piutang pada UUS yang kemudian dilakukan penyelesaian dengan melakukan pengalihan piutang secara cessie menurut hukum perdata Indonesia pada akad MMQ. Pokok permasalahan dari penulisan ini adalah pengaturan akad MMQ di UUS, pengaturan pengalihan piutang dengan cessie yang dapat dilakukan pada akad MMQ, dan akibat hukum dari pengalihan piutang dengan cessie. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dilakukan wawancara dengan narasumber untuk menghasilkan data deskriptif analisis. Berdasarkan dari hasil penelitian pelaksanaan cessie yang dilakukan oleh pihak UUS Bank X untuk objek akad MMQ dilakukan tidak sesuai dengan cessie syariah yang ada di Fatwa DSN MUI. Akibat hukum dari pelaksanaan cessie bukan syariah pada akad MMQ adalah perjanjian pengalihan piutang cessie menjadi batal demi hukum. Dengan demikian, sebaiknya pengalihan piutang secara cessie pada akad pembiayaan syariah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan agar para pihak yang melakukan kegiatan transaksi syariah lebih cermat dan teliti sesuai dengan prinsip syariah yang ada.
Musyarakah Mutanaqishah Agreement (MMQ) is a sharia financing contract with the principle of partnership and profit sharing carried out by the Customer with a Sharia Business Unit (UUS), experiencing congestion because the Customer did not do the obligation in the agreement to repay the UUS ownership and pay the profit sharing based on the lease. Because of that UUS made the settlement by transfering receivables cessie according to indonesian civil law in the MMQ contract. The main problem of this theses is the MMQ contract arrangement in UUS, the arrangement of transfer of accounts receivable with cessie which can be done in the MMQ contract, and the legal consequences of transfering receivables with cessie. The research method used is normative juridicial, which is conducting a study of the applicable legislation and conducting interviews with informants to produce descriptive analysis data. Based on the research cessie implementation conducted by UUS Bank X for the MMQ contract object, it was conducted not in accordance by the islamic cessie in the Fatwa DSN MUI. The legal consequences of implementing a non-sharia cessie in the MMQ contract is that the cessie receivables transfer agreement become null and void by law. Thus, it is better to transfer cessie receivables to the sharia financing contract as outlined in the laws and regulations so that the parties carrying out sharia transaction activities are more careful and careful in accordance with existing sharia principles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library