Found 2 Document(s) match with the query
Razky Faisal Aziz
"Sistem tata kelola antariksa merupakan aglomerasi dari kebijakan, institusi, dan aspek normatif lainnya dalam rangka mengatur seluruh kegiatan manusia di luar angkasa. Struktur yang membentuk sistem tata kelola antariksa mulai disusun pada pertengahan abad ke-20. Pembentukan sistem tata kelola antariksa dilakukan sebagai respon terhadap mengatur aktivitas eksplorasi luar angkasa yang mulai dilakukan oleh beberapa aktor. Dengan berjalannya waktu, perkembangan teknologi dan aktivitas manusia di luar angkasa terus meningkat. Namun perkembangan aktivitas tersebut tidak diikuti oleh perkembangan struktur tata kelola antariksa yang masih memiliki struktur yang serupa dengan penyusunannya pada pertengahan abad ke-20. Tulisan ini akan mengeksplorasi terjadinya stagnasi dalam perkembangan sistem tata kelola antariksa. Tulisan akan menekankan fokus pada permasalahan dan hambatan yang terjadi dalam proses perkembangan kebijakan tersebut. Literatur yang dibahas pada tulisan ini secara keseluruhan akan menilik mengenai sistem tata kelola antariksa dan faktor penghambatnya seperti isu keamanan, konflik kepentingan antar negara, dan kelemahan pada struktur institusional. Setelah membahas mengenai persebaran tema dalam literatur, tulisan ini akan menyusun konsensus dan perdebatan terhadap literatur yang dibahas dan juga refleksi mengenai konteks dari literatur tersebut. Terakhir tulisan ini akan menyimpukan sintesis yang mencakup poin utama yang didapat dari keseluruhan literatur. Tulisan ini diharapkan dapat menggerakan urgensi diskursus luar angkasa dalam ilmu hubungan internasional sebagai arena interaksi baru bagi negara-negara di dunia.
Outer space governance is an agglomeration of policies, institutions and other normative aspects in order to regulate all human activities in space. The structures that make up the outer space governance system began to be constructed in the mid-20th century. The formation of the outer space governance system was carried out in response to regulate increasing number of space exploration activities that began to be carried out by countries. Technological advancement and human activities in space continued to increase over time. However, the development of these activities has not been followed by the development of the space governance structure, which still has a similar structure to its preparation in the mid-20th century. This paper will explore the stagnation in the development of outer space governance system. The paper will emphasize the focus on the problems and obstacles that occur during the process of policy development. The literature discussed in this paper will place focus at the space governance system and its constraining factors such as security issues, conflicts of interest between states, and weaknesses in institutional structures. Furthermore, this paper will organize the consensus and debates based on the literature discussed as well as reflections on the context of these literatures. Finally, this paper will conclude with a synthesis that includes the main points derived from the entire literature. Hopefully, the creation of this paper would lead to the increase space discourse urgency in international relations study as a new arena of interaction for countries in the world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Faisal Aziz
"Asuransi rangka kapal (marine hull and machinery insurance) merupakan bentuk proteksi terhadap risiko kerusakan fisik kapal dan mesin yang mengiringi kegiatan pelayaran. Dalam praktiknya, pengajuan klaim asuransi kerap melibatkan unsur kelalaian dari pihak tertanggung, sehingga memunculkan urgensi analisis terhadap doktrin pembagian pertanggungjawaban, khususnya contributory negligence dan comparative negligence. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana penerapan doktrin tersebut dalam hukum asuransi Indonesia serta bagaimana Mahkamah Agung menerapkannya dalam Putusan No. 521/PK/Pdt/2015. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif-analitis yang mengkaji ketentuan hukum positif dan yurisprudensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa doktrin contributory negligence yang awalnya menganut prinsip all or nothing, telah berevolusi menjadi sistem comparative negligence yang lebih fleksibel dan berkeadilan. Dalam kasus yang dianalisis, Mahkamah Agung mempertimbangkan tingkat kontribusi kelalaian tertanggung secara proporsional untuk menentukan besaran ganti rugi. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia mulai mengadopsi pendekatan progresif yang bersumber dari common law dalam menyelesaikan sengketa asuransi. Penelitian ini merekomendasikan pembaruan regulasi yang secara eksplisit mengakomodasi comparative negligence dalam perjanjian asuransi untuk menciptakan kepastian hukum dan perlindungan yang adil bagi semua pihak. Dengan demikian, pembentukan sistem pembagian tanggung jawab dalam konteks hukum asuransi kapal menjadi landasan penting menuju efisiensi hukum dan ekonomi di tengah kompleksitas transaksi maritim.
Indonesian antitrust law prohibits companies from entering into agreements with competing companies in order to prevent distortion of competition in the market. In practice, direct evidence to prove agreements is becoming increasingly difficult to establish, leading to the emergence of indirect evidence, namely communication evidence and economic evidence, to prove unwritten agreements. The economic concept of price parallelism exists to depict price fixing among companies without a conscious agreement, but it is likely to be based on an unwritten agreement among companies that violates antitrust law. Price parallelism essentially can be used as economic evidence, but its validity depends on certain factors. The focus of this research is to analyze the relevance of price parallelism to the Indonesian antitrust law and its validity as economic evidence in Indonesian antitrust law. Using a descriptive doctrinaire research method, the results show that the relevance between price parallelism and Indonesian antitrust law must be based on the fact of whether or not there were agreements between companies that caused price parallelism. Meanwhile, the validity of price parallelism as economic evidence must be based on factor-plus analysis related to agreements among companies, the independence of companies, and other factors that could cause price parallelism"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library