Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Joko Tri Haryanto
"Sejak tahun 2001 telah terjadi perubahan yang cukup signifikan di dalam pola hubungan pemerintahan pusat dan daerah. Hal ini ditandai dengan telah dilaksanakannya secara resmi desentralisasi fiskal atau yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah. Desentralisasi fiskal dijalankan di Indonesia dengan harapan membawa banyak perubahan khususnya dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah.
Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan tujuan menganalisis bagaimana hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan. Dari beberapa penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal dapat membawa dampak negatif dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk itulah kemudian penelitian ini dilakukan dengan tujuan melakukan analisis hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi daerah khususnya provinsi di Indonesia dengan tahun pengamatan mulai 2001 hingga 2004.
Di dalam analisis digunakan model yang telah dipakai oleh beberapa peneliti lainnya yaitu ∆GSPi = a0+ a, Decentralization, +β1X1+ ε i =1??.30
dengan metode estimasi panel data sebanyak 30 provinsi di Indonesia mulai tahun 2001 hingga 2004. Di dalam analisis nantinya dipilih beberapa variabel kontrol yang terdiri dad pendidikan, pengangguran, ketimpangan daerah, infrastruktur, jumlah penduduk dan keterbukaan daerah.
Dari hasil analisis di dapat beberapa kesimpulan bahwa variabel pendidikan signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara psoitif. Sedangkan variabel pengangguran terbukti signifikan negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hasil yang berbeda didapatkan oleh variabel ketimpangan daerah, jumlah penduduk dan infrastrutur yang temyata signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif. Sedangkan variabel keterbukaan daerah signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi namun kadang positif kadang negatif tergantung keberadaan variabel tersebut.
Dilihat dad indikator desentralisasi fiskal, maka indikator belanja daerah terbutki signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara negatif. Sedangkan indikator penerimaan terbukti signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif. Indikator gabungan temyata tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sedangkan indikator PAD terbukti signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Tri Haryanto
"Indonesia has been running a decentralized reform era since 1 January 2001. The goal of decentralization is to accelerate the realization of prosperity through the improvement of public services. Fiscal decentralization then became the main benchmark of the successful creation of indicators of regional autonomy in addressing various problems in the regions, especially inequality and poverty. According to government data, Sumatra recorded a major contributor to national GDP growth while facing poverty, inequality constraints and also the largest mining sector. By using the shared and growth analysis and quadrant method, this research tries to provide policy-making recommendations based on the characteristics of the regions in Sumatra. Based on shared analysis, the biggest region is Bengkalis Regency, Riau Province, Siak Regency, Rokan Hilir Regency, and Musi Banyuasin Regency. For the smallest region, it consists of West Nias Regency, North Nias, Toba Samosir, Gunung Sitoli and South Nias. From the growth analysis, it was found that Mesuji Regency, Southeast Aceh Padang Lawas Utara, Kota Padang Panjang and West Nias Regency have the highest growth in Indonesia. From the quadrant method, 20 regions are in quadrant I, about 54 other areas are in quadrant II, and 35 areas are in quadrant III. The largest part of the regional classification in the region of Sumatra is in quadrant IV. Based on these findings, fiscal policy in the future should be prioritized to develop on regional eradication in quadrant IV in terms of Transfer to Region."
Jakarta: Research and Development Agency Ministry of Home Affairs, 2018
351 JBP 10:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Tri Haryanto
"Indonesia has a long history of fiscal decentralization. In terms of accountability and transparency, it is necessary to have performance appraisal of local financial indicators. This research was conducted by taking samples of natural and non-natural resources regions from the 2010 - 2014 period. From the result of the degree of decentralization indicator, the natural resources region has a low degree. In contrast, on non-natural resources regions, they have a higher degree and included in both good and very good criteria. Based on the independence local indicators, only Siak Regency has the greatest independence, while other natural resource regions have very small category and the instructional relationships pattern. In non-natural resources regions categories, all samples are independent enough and already independent with participatory and discretionary relationship pattern. In the harmonization among routine and developmental spending indicators, in natural resources regions, routine spending is relatively small. While in non- natural resources regions, routine spending allocation is also very dominant. From that result, the government should formulate an innovative non-public development pattern to further enhancing the participation of other stakeholders and also provide advocacy to Local Government to start limiting the routine personnel expenditure and prioritizing to infrastructure development that impacts the investment."
Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI, 2017
351 JBP 9:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Tri Haryanto
"Dewasa ini, pola konsumsi yang didasarkan pada aktivitas goreng menggoreng meningkat dengan pesat. Tidak ada satupun konsumsi masyarakat yang lepas dari kegiatan goreng menggoreng. Akibatnya muncul ketergantungan luar biasa dari rumah tangga terhadap industri minyak goreng. Hal inilah yang kemudian memicu adanya pola penjualan yang tidak etis dan kemudian muncul fenomena minyak jelantah (waste cooking oil) dimana para pelaku industri tersebut kemudian berupaya memaksimalkan penggunaan minyak jelantah dalam proses industrinya. Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi (PT) seperti IPB dan UI, menunjukkan bahwa zat-zat berbahaya yang timbul akibat penggorengan minyak yang berulang-ulang diantaranya adalah kandungan asam, peroksida, lemak bebas, dan lemak trans. Kondisi ini disebabkan karena dalam penggunaannya, minyak goreng mengalami perubahan kimia akibat kondisi oksidasi dan hidrolisi yang menyebabkan kerusakan pada minyak goreng. Penggunaan secara berulang-ulang menyebabkan oksidasi asam lemak tidak jenuh. Sampai sekarang belum ada teknologi atau senyawa yang bisa memulihkan sifat kimia jelantah menjadi setara dengan minyak goreng murni. Mengingat urgensi dampak yang ditimbulkan dari penggunaan minyak jelantah yang hanya dikonsumsi semata, sekiranya perlu diambil langkah-langkah yang tepat sehingga minyak jelantah dapat ditangani secara hati-hati atau diubah menjadi bahan keperluan non-makanan untuk mengurangi polusi dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan."
Jakarta: The Ary Suta Center, 2018
330 ASCSM 41 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library