Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Liswarti Hatta
"Lembaga Petelitian pada hakekatnya merupakan wadah struktural untuk menampung kegiatan penelitian di Perguruan Tinggi. Di Universitas Indonesia, Lembaga Penelitian baru diresmikan pada tahun 1983. Pada masa tersebut tugas dan fungsi Lembaga Penelitian Universitas Indonesia adalah membina kegiatan penelitian dan sebagai pusat kegiatan pengumpulan dan penyebarluasan dokumen karya ilmiah yang dihasilkan oleh para ilmuwan di lingkungan Universitas Indonesia.
Buku ini memberikan gambaran tentang penelitian yang dilaksanakan Universitas Indonesia dalam periode 1984/1985 -1990/1991 dengan biaya dari Univesitas Indonesia melalui jalur SPP/DPP dan biaya dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI baik melalui jalur DIP-UI (Daftar Isian Proyek Universitas Indonesia) maupun DPPM (Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) yang terdiri dari kategori Penelitian PSSR (Proyek Studi Sektoral/Regional) dan kategori Proyek PIT (Pengetbangan Ilmu dan Teknologi).
Data yang termuat dalam buku ini mencerminkan keadaah sampai bulan Desember 1990. Buku ini diterbitkan dengan maksud adalah sebagai berikut:
1. Diperolehnya gambaran tentang kegiatan dan manfaat penelitian yang dilaksanakan oleh Universitas Indonesia dengan data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
2. Dapat dipergunakan sebagai bahan pembahasan dalam rangka menetapkan dengan lebih tepat sasaran masalah penelitian sesuai dengan tujuan dan peranan Universitas Indonesia.
3. Dapat digunakan sebagai alat untuk menelusuri dan mempercepat proses penyelesaian penelitian-penelitian yang belum selesai pertanggungjawabannya kepada pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak di bawah ini yang secara langsung maupun tidak langsung memungkinkannya diterbitkannya buku ini."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1991
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Liswarti Hatta
"Telah banyak penelitian tentang sektor informal, utama nya pedagang kaki lima. Akan tetapi suatu komunitas ataupun wilayah tertentu biasanya mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri. Hal ini patut dicermati agar kita tidak terjebak untuk menggeneralisir semua persoalan. Penelitian ini mengambil kasus pedagang kaki lima yang menetap malam hari di sepanjang Jalan Hargonda raga Depok. Pinggir jalan Margonda Raya yang menjadi lokasi para pedagang kaki lima ini adalah bukan tempat khusus yang diperuntukkan sebagai "pasar" kaki lima, akan tetapi para pedagang memanfaatkan lokasi kosong untuk menjajakan dagangannya selama jalan belum diperlebar atau setidaknya sebelum ada pelarangan dari Pemerintah Daerah. Mencermati posisi yang kurang menguntungkan ini memberikan kenyataan adanya ketidakpastian akan masa depan para pedagang, dalam arti rasa kurang aman dan nyaman dalam kontinyuitas usaha pada lokasi yang lebih tetap serta tidak terusik oleh alasan mengganggu ketertiban, kebersihan, dan keindahan, ataupun lalu-lintas.
Walaupun setiap saat para pedagang di lokasi ini dapat saja dianggap mengganggu K. 3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) ataupun lalu-lintas, akan tetapi usaha ini dapat memberikan keuntungan ekonomis keluarga pedagang bahkan juga para karyawannya. Tegasnya lokasi ini telah memberikan kontribusi yang oukup berarti bagi "pengusaha" ekonomi lemah ini. Pengusaha jenis ini memang sering dihadapkan pada persoalan yang cukup sulit antara melanggar ketertiban dan mencari nafkah (makan). Dengan kata lain tidak makan sama sekali atau makan tetapi melanggar peraturan, sehingga urusan melanggar atau setidaknya dapat dianggap melanggar peraturan menjadi nomor dua.
Pedagang umumnya mempunyai tingkat pendidikan yang minim hal ini bukan saja ditunjukkan oleh usaha informal mereka, akan tetapi juga tingkat keawaman politiknya. Umumnya menganggap bahwa politik adalah bukan urusan orang kecil seperti pedagang kaki lima, dan tidak mengerti bahwa usaha sektor informal sering kali sebagai akibat dari kebijakan politik baik tingkat pusat maupun daerah. Pedagang di lokasi ini tidak mempunyai organisasi yang dapat dijadikan wadah untuk menyalurkan aspirasi kepada pemerintah, dan umunya tidak mempunyai ijin lokasi. Kenyataan ini secara legal-formal memberikan posisi yang kurang menguntungkan pedagang dimata pengambil keputusan (pemerintah). Kecenderungan pada umunya adalah pasrah jika sewaktu-waktu lokasi ini terlarang.
Kepasrahan pelaku sektor informal ini menunjukkan sikap apatisme, sehingga sulit untuk diketaui ataupun di ukur tingkat kekuatan politiknya. Hal ini terbukti dari demonstrasi ataupun unjuk rasa oleh tukang becak dan pedagang kaki lima di Bandung bebrapa waktu yang lalu. Demonstrasi semacam ini dalam kekuatannya yang lebih lanjut dapat memiliki muatan politik yang dapat memaksa ataupun mempengaruhi kebijakan pemerintah. Peristiwa semacam ini dapat terjadi dimanapun.
Dengan mengetahui profil sektor informal ini, selain untuk menambah pengetahuan juga dapat dipakai sebagai pertimbangan Pemerintah dalam membuat keputusan untuk menangani masalah kaki lima agar lebih bersifat arif dan bijaksana. Mengingat usaha kaki lima ini pada umumnya merupakan pekerjaan maupun penghasilan utama bagi para pedagang, sehingga keputusan yang diambil tidak merugikan pedagang yang dapat menjadi picu keresahan social maupun gejolak massa.
Pemerintah Daerah dalam menangani sector informal ini pada umumnya hanya dikaitkan dengan K 3 dengan alasan untuk mendapatkan Adipura (sebuah penghargaan atas prestasi K 3 dari Pemerintah Pusat), sehingga dimensi sosial ekonomi dari pedagang ini sering dikalahkan oleh kepentingan mandapatkan Adipura. Pelarangan pementasan Ketoprak Siswo Sudoyo di halaman Mangkunegaran oleh Walikota Solo adalah contoh yang masih hangat dalam ingatan kita. Adanya pementasan Ketoprak di halaman Mangkunegaran dianggap dapat mengundang kaki lima di lokasi ini sehingga dapat mengganggu Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1994
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Liswarti Hatta
"Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilandasi oleh Kebijakan Keputusan Presiden (Kepres) No. 3 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan telah berjalan sejak 1 April 1994. Program ini secara ideal adalah untuk memberdayakan kaum miskin dan desa tertinggal baik di pedesaan maupun perkotaan Dari dimensi politis program ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembangunan adalah untuk rakyat, artinya kepedulian pemerintah terhadap kaum tertinggal (penduduk dan desa miskin) bukan sekedar slogan pembangunan. Sebuah program adalah perencanaan yang terkadang antara konsep dan pelaksanaan di lapangan berbeda, perbedaan ini dapat disebabkan oleh konsep yang terlalu sulit untuk diterapkan, pelaksana di lapangan yang tidak mampu menterjemahkan suatu konsep ataupun kedua-duanya. Pelaksanaan program IDT di desa yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan kurangnya sinkronisasi dan pengawasan program yang ketat terutama dalam pemberian dana dari pemerintah Kurangnya sinkronisasi menunjuk pada pembangunan infrastruktur desa yang kurang diarahkan pada variabel ketertinggalan desa (dalam penentuan desa tertinggal menggunakan 27 variabel, lihat lampiran 2); kurang tanggapnya Pemerintah Daerah dalam memberikan informasi dan mempersiapkan penduduk miskin calon penerima IDT sehingga terkesan program ini hanya'membagi-bagi dana tanpa membekali calon penerima dengan manajemen pengelolaan dana yang memadai. Sedangkan pengawasan yang kurang ketat menunjuk pada kurangnya instansi terkait dari pihak pemerintah dalam memberikan pengawasan pengelolaan uang dari para penerima dana IDT atau kurang ketat dalam mengevaluasi pengguliran dana, sehingga kurang jelas tingkat keberhasilan dari kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis penerima dana IDT.
Program IDT yang memberikan dana kepada masyarakat tertinggal di desa tertinggal sebanyak Rp. 20.000.000,- per desa/tahun dan setiap desa penerima akan menerima selama 3 tahun berturut turut jadi dalam 3 tahun (1994, 1995 dan 1996) setiap desa penerima IDT mendapatkan dana sebanyak Rp. 60.000.000,- yang langsung diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat di desa yang sengaja telah dibentuk untuk menyongsong program ini. Dari banyaknya dana tersebut, jika dikelola dengan baik akan memberikan prospek yang cerah pada setiap desa tertinggal. Pengawasan yang ketat terhadap pengelolaan dana dari setiap penerima IDT sangat diperlukan demi tercapainya program ini yakni memberdayakan masyarakat miskin. Pemberdayaan masyarakat harus mencakup segala dimensi seperti sosial, ekonomi, budaya, politik dan hukum. Artinya dimensi ekonomi lewat pemberian dana IDT kepada masyarakat tertinggal harus pula dibarengi dengan pemberdayaan dimensi lain agar sesuai dengan maksud dan tujuan pemerintah yakni pembangunan disegala bidang. Pembangunan yang berhasil apabila semua program mampu membangkitkan daya masyarakat untuk secara otonom menjadi subjek dalam pembangunan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library