Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

"BACKGROUND: in Indonesia, majority of hemodialysis centers use reusable dialyzer for cost efficiency reason. Currently, there is no available data regarding the quality of life of the end stage-renal disease patient who use reusable dialyzer measured by a standardized questionnaire, as it was stated that at molecular level, reusable dialyzer could worsen leukocyte activity and could affect patients complaints and symptoms. METHODS:this was a retrospective cohort study which involved 39 subjects. All subjects underwent hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted in March - September 2017. All subjects had experienced two kinds of dialyzers, the reusable dialyzers (before 2015) and the single-use dialyzers (after 2015). Of all patients, 19 patients did not know the change of dialyzers. Subjects were interviewed with Kidney Disease Quality of Life-Short Form 36 questionnaire.RESULTS:in kidney disease component dimension, there was a significant mean difference between reusable group (68.74; SD 13.22) and single-use group (74.87; SD 13.54) (Wilcoxon test, p=0.01). The Physical Component Summary dimension, in reusable group was 63.65; SD 27.07 and in single-use group was 69.38; SD 23.07 (Wilcoxon test, p=0.217). The Mental Component Summary dimension, in reusable group was 71.78; SD 21.54 and in single-use group was75.27; SD 22.30 (Wilcoxon test, p=0.127). Bivariate analysis and further analysis showed significant association between income less than 5 million rupiah and low quality of life (p=0.048).CONCLUSION:the reusable dialyzer membrane lowers the ESRD patients quality of life influenced by another factor such as low income.

---

Pendahuluan: di Indonesia, pemakaian membran hemodialisis dengan metode reuse banyak digunakan karena hemat biaya. Diperlukan data apakah tindakan hemodialisis dengan metode reuse cukup optimal untuk kualitas hidup pasien karena metode reuse dapat menimbulkan perubahan tertentu pada tingkat molekuler tubuh yang diduga dapat meningkatkan gejala dan keluhan. Metode: studi ini menggunakan desain kohort retrospektif pada 39 subjek penelitian yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Maret – September 2017. Subjek pernah menjalani hemodialisis dengan dua tipe membran, yaitu membran dialisator reuse (sebelum tahun 2015) dan membran dialisator single-use (sejak tahun 2015). Sebanyak 19 dari 39 pasien tidak mengetahui penggantian membran dialisator. Subjek diwawancara dengan kuesioner Kidney Disease Quality of Life-Short Form 36. Hasil: rerata dimensi kualitas hidup komponen penyakit ginjal pada kelompok single-use adalah 74,87 (SD 13,54) dan reuse 68,74 (SD 13,54) (uji Wilcoxon, p = 0,01). Rerata dimensi komponen fisik pada kelompok single-use adalah 69,38 (SD 23,07) dan reuse 63,65 (SD 27,07) (uji Wilcoxon, p = 0,217). Rerata dimensi komponen mental pada kelompok single-use adalah 75,27 (SD 22,30) dan reuse 71,78 (SD 21,54) (uji Wilcoxon, p = 0,315). Pada uji analisa bivariat dan lanjutannya dalam model regresi linear ditemukan asosiasi yang signifikan antara pendapatan dibawah 5 juta rupiah dengan kualitas hidup (p=0,048). Kesimpulan:dialisator reuse menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya pendapatan yang rendah"

"Lupus nephritis (LN) is involvement of the kidney in patient with systemic lupus erythematosus (SLE) and one of the most common target organ in SLE. The diagnosis of LN will significantly impact the clinical outcome and therapy of the patient. Therapy regiment of LN is divided into two stages, induction and maintenance treatment. The main objective of the induction therapy is to achieve complete or partial remission as soon as possible since it is correlated with better prognosis and fewer relapse incidence. In the maintenance stage, the main aim of the therapy is to maintain the remission status and avoid future relapse. It is also important to evaluate the effectiveness of the therapy as it will affect the duration and the regiment therapy being used. Corticosteroid, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, azathrioprine, cyclosporine and tacrolimus are example of drugs used in LN therapy. Currently, studies are being conducted to evaluate and develop targeted drug therapy to further add treatment options for LN.

---

Nefritis lupus (NL) adalah keterlibatan organ ginjal pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dan merupakan salah satu keterlibatan organ yang paling sering ditemukan. Ditemukannya NL pada pasien LES akan berdampak besar baik secara prognosis dari pasien maupun dalam pengobatan itu sendiri. Pengobatan NL dibagi menjadi dua tahap, induksi dan rumatan. Target dari pengobatan tahap induksi adalah untuk secepatnya mencapai remisi, baik parsial ataupun komplit, karena akan memberikan prognosis yang lebih baik dan kejadian relapse yang lebih rendah. Pada tahap rumatan, target yang ingin dicapai adalah untuk mempertahankan status remisi dan mencegah terjadinya relapse. Evaluasi keberhasilan dari masing-masing tahap juga sangat penting karena akan berpengaruh pada kelanjutan pengobatan. Kortikosteroid, siklofosfamid, mikofenolat mofetil, azatioprin, siklosporin dan takrolimus adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam pengobatan NL. Berbagai target pengobatan baru juga terus berkembang guna memberikan pilihan yang lebih luas dalam menangani kejadian NL."

"BACKGROUND: hypertension remains a global burden. Complications of unrecognized hypertension might increase mortality as shown by a WHO 2013 report that hypertension caused 9.4 million deaths worldwide. There is no prior data in Indonesia on blood pressure status in young adults with similar education levels. Medical students are at high risk of developing early hypertension due to modern lifestyle habits. This study aimed to determine the blood pressure profile of medical students as representative of the young adult population. METHODS: we measured the prevalence of hypertension in medical students. All medical students who agreed to participate completed a questionnaire. Afterwards, we conducted a physical examination and obtained blood and urine samples to screen for blood pressure, estimated glomerular filtration rate, and the lipid profile. RESULTS: the prevalence of students with prehypertension or hypertension was 29.6%. The mean eGFR was 105.45 ml/min/m2. The mean total cholesterol was within normal limits. CONCLUSION: the prevalence of hypertension in medical students was high. This study shows that early detection of hypertension is key to treating it early and therefore to reducing morbidity and mortality.

---

Latar belakang: hipertensi tetap menjadi beban global. Komplikasi hipertensi yang tidak diakui dapat meningkatkan mortalitas seperti yang ditunjukkan oleh laporan WHO 2013 bahwa hipertensi menyebabkan 9,4 juta kematian di seluruh dunia. Tidak ada data sebelumnya di Indonesia tentang status tekanan darah pada orang dewasa muda dengan tingkat pendidikan yang sama. Mahasiswa kedokteran berisiko tinggi terkena hipertensi dini karena kebiasaan gaya hidup modern. Tujuan penelitian ini untuk menentukan profil tekanan darah mahasiswa kedokteran sebagai perwakilan dari populasi dewasa muda.

Metode: kami mengukur prevalensi hipertensi pada mahasiswa kedokteran. Semua mahasiswa kedokteran yang setuju untuk berpartisipasi mengisi kuesioner. Setelah itu, kami melakukan pemeriksaan fisik dan memperoleh sampel darah dan urin untuk menyaring tekanan darah, perkiraan laju filtrasi glomerulus, dan profil lipid.

Hasil: prevalensi mahasiswa dengan prehipertensi atau hipertensi adalah 29,6%. Rata-rata LFG adalah 105,45 ml/menit/m2. Total kolesterol rata-rata dalam batas normal.

Kesimpulan: prevalensi hipertensi pada mahasiswa kedokteran tinggi. Studi ini menunjukkan bahwa deteksi dini hipertensi adalah kunci untuk mengobatinya sejak dini dan karenanya mengurangi morbiditas dan mortalitas."