Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ngatawi
"Munculnya gerakan Islam radikal di Indonesia secara manifes pada dekade 90-an menimbulkan keterkejutan banyak pihak di negeri. Keterkejutan ini terjadi karena beberapa alasan: pertama, kekuatan hegemonik Orba, pada saat itu sangat anti dengan gerakan Islam radikal, sehingga sekecil apapun potensi yang mengarah pada terbentuknya gerakan ini akan cepat dihabisi; kedua, munculnya gerakan ini akan mengancam integritas negara Kesatuan Rl yang masyarakatnya majemuk; ketiga, gerakan ini secara sosiologis tidak memiliki akar di Indonesia, karena masyarakat Indonesia pada dasarnya tidak memiliki tradisi radikal dalam beragama. Atas pertimbangan ini, maka banyak kalangan yang merespons munculnya gerakan Islam radikal ini degan berbagai pandangan, ada yang keras menolak, ada yang ketakutan, ada yang khawatir bahkan ada yang bangga.
Sebagai fenomena sosial, gerakan ini menarik untuk diteliti, karena kemuncularmya yang mendadak dan terjadi secara massif. Gerakan seperti ini tidak akan bisa muncul tanpa koordinasi yang rapi dan didukung dengan dana yang memadai. Untuk mencari akar sosiologis gerakan ini, penulis melakukan penelitian terhadap gerakan FPI sebagai bagian dari gerakan Islam radikal.
Memang masih perlu perdebatan untuk menyebnut gerakan FPI sebagai gerakan Islam? apakah gerakan tersebut memang benar-benar gerakan Islam, dalam arti memperjuangkan suatu ideologi Islam? Atau sebaliknya, hanya gerakan politik yang menggunakan simbol-simbol Islam dan dipimpin oleh seorang tokoh Islam. Penulis tetap menyebut gerakan FPI ini sebagai gerakan Islam, karena menggunkan simbol-simbol, ritus, retorika dan ummat Islam sebagai basis gerakan. Karena banyaknya model dan jenis gerakan Islam dan luasnya spektrum ideologi maupun karakter ummat Islam, memang perlu ada penamaan dan katagorisasi yang spesilik terhadap masing-masing gerakan Islam. Dalam tesis ini penulis menyebut gerakan FPI sebagai gerakan Islam Simbolik, karena gerakan ini menggunakan simbol-simbol keislaman.
Dalam penelitian ini penulis menemukan, bahwa gerakan Islam radikal FPI, bukan gerakan ideologis sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak orang. Gerakan ini tidak memiliki basis ideologi yang jelas, organisasi yang solid dan konsolidasi yang mapan. Gerakan lebih merupakan suatu proyek politik dari kekuatan politik tertentu, yang menggunakan simbol Islam untuk menutupi kepentingan politik yang sebenarnya. Dari sini juga terlihat adanya dua realitas yang berbeda. Realitas pertama adalah realitas formal material. Realitas ini tampil dalam wujud gerakan sosial yang kasat mata, statement politik dan aturan-aturan organisasi.
Realitas kedua adalah realitas politik. Realitas ini tidak tampil ke publik, sifatnya sangat khusus dan tertutup dan berada di balik permukaan (back stage). Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses realitas. Dia tidak tampil di publik namun justru memiliki fungsi yang penting bagi gerakan. Seluruh gerakan ini dikendalaikan oleh realitas politik yang tidak tampak ini. Realitas formal material hanya kamuflase untuk menutupi realitas politik.
Para peneliti dan pengamat biasanya hanya menjadikan realitas formal ini sebagai data primer untuk membuat analisa, padahal data ini sebenarnya hanya data maya dalam proses gerakan Islam radikal. Dia bukan realitas yang sebenarnya. Kalau dijadikan sebagai basis dalam membuat analisa maka hasilnya akan bias. Sebagaimana yang terjadi dalam gerakan radikal FPI. Kalau dilihat dari data-data formal material, maka akan didapati suatu kesimpulan bahwa FPI adalah getakan Islam radikal yang ideologis seperti yang terjadi pada lkhwanul Muslim, Hizbuttahrir, al-Qaeda dan sebagainya. Namun apabila diteliti lebih jauh dengan menguak jaringan yang ada dibaliknya, melacak berbagai kelompok politik yang ada di belakangnya, maka akan ditemukan bahwa gerakan radikal Islam FPI tidak lebih dari suatu proyek politik dari kekuatan politik tertentu di negeri yang ingin menggunakan Islam sebagai alat politik untuk mencapai target politik tertentu.
Cara ini paling mudah dijalankan karena disamping murah, juga efektif. Hal ini bisa terjadi karena kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang masih bersikap mistis terhadap agama, maksudnya agama benar-benar dipahami sebagai sesuatu yang sakral secara mutlak. Cara pandang seperti ini membuat masyarakat tidak bisa bersikap kritis terhadap agama. Mereka menerima agama tanpa reserve. Akibatnya mereka mudah ditipu oleh kelompok lain melalui penggunaan simbol-simbol agama. Kenyataan ini yang tidak dicermati oleh peneliti-peneliti lain ketika melakukan penelitian terhadap gerakan Islam radikal di Indonesia.
Radikalisasi gerakan Islam FPI mempakan cerminan pertarungan politik dan pertukaran sosial antar elit di negeri ini, dengan demikian dia tidak akan memiliki daya tahan yang kuat, karena keberadaannya akan sangat tergantung dari proses pertukaran sosial dari berbagai kepentingan kelompok yang ada. Oleh karena ilu dia juga tidak akan memiliki fungsi yang berarti bagi gerakan sosial, kecuali kalau para pemimpin FPI melakukan reorientasi ideologi dan tidak terjebak dalam kepentingan ekonomi-politik praktis yang sesaat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4924
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngatawi
"Disertasi ini membahas fenomena menarik yang terjadi di kalangan pesantren pasca reformasi, yaitu munculnya orang kaya baru dengan gaya hidup mewah, harta melimpah dan rumah mewah. Mereka berkeliling dari hotel berbintang satu ke hotel berbintang lainnya dengan mobil mewah. Selain itu, banyak diantara mereka yang menduduki jabatan tinggi negara, menjadi menteri, bupati, pemimpin parta bahkan ada yang jadi komisaris beberapa perusahaan besar.
Bagi penulis fenomena ini menarik untuk diteliti, karena komunitas pesantren selama ini dikenal sebagai komunitas agamis, kehidupannya sarat denga nilai, moral dan ajaran tentang hidup sederhana, empati pada sesama. Penulis mencurigai, di balik fenomena ini ada proses ekonomisasi agama, yaitu upaya mengkonversi simbol-simbol agama ke dalam berbagai bentuk material yang memiliki nilai ekonomis. Atas dasar ini maka penulis mengambi fenomena ini sebagai topik penelitian disertasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode partisipatif. Dan untuk penggalian data, penulis terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari para responden dan subyek penelitian. Subyek penelitian ini adalah para kiai pengasuh pondok pesantren, para orang dekat kiai, dan para agen yang terlibat dalam pertarungan untuk memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh para kiai dan komunitas pesantren.
Karena berkaitan dengan gaya hidup dan selera, penelitian ini menggunakan konsep Bourdieu mengenai ranah, habitus dan kapitalis sebagai pijakan untuk melakukan analisis terhadap fenomena yang diteliti. Selain itu penulis juga menjadikan beberapa hasil penelitian mengenai pesantren sebagai bahan rujukan sekaligus sebagai alat ukur untuk melakukan analisa.
Dari penelitian ini terlihat, bahwa telah terjadi proses konversi kapital simbolik agama ke dalam kapital ekonomi di kalangan komunitas pesantren. Proses ini dilakukan oleh orang-orang dekat kiai, yang memiliki hubungan spesifik dengan kiai sehingga memiliki akses terhadap beberapa kelompok atau aktor yang ingin memanfaatkan posisi dan otoritas kiai dan pesantren, untuk kepentingan ekonomi-politik. Hal ini terjadi karena kiai sebagai pemegang otoritas pesantren tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan yang transaksional dengan pihak lain. Kiai tidak dapat melakukan kapitalisasi atas berbagai kapital yang dimiliki, yang sebenarnya secara potensial memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Nilai-nilai dan habitus pesantren tidak memungkinkan kiai melakukan semua itu.
Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh para broker yang berasal dari komunitas pesantren itu sendiri. Para broker ini dengan mudah mengambil alih peran kiai untuk melakukan transaksi dengan memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh para kiai, karena mereka memiliki hubungan yang dikat dengan kiai baik secara emosional maupun sosial, bahkan ada yanggenetik. Selain itu mereka juga berasal dari komunitas pesantren yang memahami habitus pesantren dan dianggap menjadi bagian dari pesantren, sehingga kiai sangat percaya pada mereka. Sementara itu, di sisi lain, kelompok kepentingan yang hendak mendekati pesantren merasa perlu memanfaatkan jasa mereka karena dianggap lebih memahami pesantren. Dengan demikian pendekatan dengan pesantren akan mudah dilakukan.
Proses konvensi ini ternyata menghasilkan keuntungan materi yang cukup banyak bagi broker, sehingga dari sini mulai terjadi perubahan haya hidup di kalangan mereka. Mereka tidak lagi menjadi komunitas modern dengan habitus metropolis dengan memanfaatkan kapital yang dimiliki oleh pesantren. Kelompok inilah yang oleh penulis sebut sebagai komunitas kelas transkultural, yaitu kelas yang muncul sebagai hasil perpaduan antara habitus pesantren dengan habitus modernis-metropolis, antara gaya hidup tradisional dengan gaya hidup pragmatis-hedonis.
Ada beberapa tipologi dan pola terbentuknya kelas transkultural ini. Pertama, pola affinitas yaitu melakukan pendekatan pada kiai sehingga pada titik tertentu dipercaya untuk melakukan konvensi terhadap kapital simbolik yang dimiliki oleh kiai dan pesantren. Kedua pola geneti yaitu mereka yang berasal dari keturunan atau keluarga kiai sehingga merasa berhak untuk melakukan transaksi dengan memanfaatkan kapital simbolik yang diliki oleh pesantren.
Secara sepintas kelas ini menguntungkan bagi pesantren karena bisa memperoleh kapital ekonomi/material yang bisa digunakan untuk pembiayaan pengelolaan pesantren. Namun dalam jangka panjang kelompok ini sangat berbahaya bagi eksistensi pesantren karena bisa menyebabkan terjadinya demoralisasi pesantren. Selain itu, secara faktual, keuntungan yang diterima pesantren tidak sebanding dengan yang diperoleh oleh kelas transkultural. Dengan demikian kelas transkultural ini sebenarnya sangat merugikan pesantren, karena tidak saja bisa mengancam eksistensi pesantren tetapi bisa menjadi "parasit sosial" bagi komunitas pesantren maupun sistem ekonomi.
Keberadaan kelas transkultural agama ini juga menunjukkan terjadi perubahan konstruksi sosial pesantren dari bipolar ; kiai-santri, menjadi multipolar, yaitu kiai, santri kelas transkultural dan kelompok kritik yang merupakan antithesis dari kelas transkultural. Dengan konstruksi sosial multipolar ini jelas akan terjadi relasi dan interaksi sosial dengan kiai kompleks dalam dunia pesantren pada masa-masa mendatang. Hal ini akan berpengaruh terhadap peran, posisi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan agama. Sehingga dari sini perlu adanya reaktualisasi, reinterpretasi dan reformulasi terhadap berbagai ajaran, sistem nilai dan pemahaman keagamaan pesantren."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D641
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library