Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priyanto Wibowo
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"Orang Cina datang ke Indonesia sekitar abad ke-9, ketika utusan dari Cina menjalin kerja hubungan dengan kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara. Pemukiman-pemukiman kecil mereka sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa datang, seperti di kota-kota pelabuhan perdagangan di sepanjang pantai utara Jawa, seperti Tuban, Gresik, Surabaya, dan Batavia. Pada tahun 1596 ketika Belanda datang ke Batavia sudah terdapat kampung yang didiami oleh orang-orang Cina di tepi sungai Ciliwung. Mereka adalah imigran-imigran generasi pertama yang datang secara berombongan, sebagian besar dari mereka adalah pekerja-pekerja bujangan yang kemudian berintegrasi dengan penduduk setempat, menikah dengan perempuan pribumi dan menetap. Kelompok inilah yang secara kultural makin jauh dari kultur asli negara leluhurnya dan bahasa yang mereka pergunakan pun merupakan bahasa campuran, atau lebih dikenal sebagai bahasa Melayu Cina. Maka terbentuklah suatu kelompok yang dalam banyak buku disebut "golongan peranakan"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003
352.23 PRI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Peristiwa gerakan Lompatan Jauh ke Depan (Dayuejin) menjadi penting dalam sejarah Cina, karena gerakan tersebut dilakukan oleh pemerintah baru RRC untuk mencapai komunis_me dan meningkatkan status perekonomiannya. Segala cara dan upaya dilakukan oleh pemerintah RRC dalam mencapai tujuan ini melalui gerakan Lompatan Jauh ke Depan. Dalam skripsi ini akan digambarkan bagaimana pemerintah RRC mengingin_kan kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan poli_tik dalam waktu singkat melalui gerakan yang melibatkan massa rakyat ini..
Skripsi ini bertujuan memaparkan kembali peristiwa gerakan tersebut. Dengan dipaparkannya kembali peristiwa tersebut, maka paling tidak akan diperoleh dua manfaat: dapat lebih memahami peristiwa sejarah yang terjadi pada periode Cina modern tersebut.

"
1986
S13093
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
951 PRI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"Sejarah politik Cina periode 1955 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai sejarah konflik. Dalam periode tersebut serangkaian konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh adanya perbedaan poly kepemimpinan antara Mao Zedong dan Liu Shaoqi. Selain daripada itu, konflik tersebut menimbulkan juga banyak peristiwa yang hampir tidak masuk akal terjadi. Konflik infra elite yang terjadi dalam kurun waktu itu, cenderung berakibat pads pergeseran sifat ke arah antagonistis. Perseteruan antara kelompok Mao dan kelompok Liu Shaoqi dalam kurun waktu tersebut makin memburuk. Hal tersebut tidak terjadi begitu saja melainkan berlangsung beberapa tahap. Dalam tahap pertama antara tahun 1949 sampai 1956, hubungan antara Mao dengan Liu masih belum menunjukkan hal-hal yang negatif. Periode pertama itu ditandai dengan beberapa kerja sama yang dilakukan dan kerja sama itu masih memperlihatkan kecendrungan yang baik, walaupun di dalam kebijaksanaan yang dilahirkannya itu, di dalamnya sebenarnya mengandung perbedaan yang mendasar. Gerakan Land Reform merupakan contoh paling tepat. Keadaan mulai berubah memasuki tahap antara tahun 1957-1958. Liu tampak sudah tidak pasif lagi. Antara tahun itulah, tahapan ini memasuki periode transisi. Periode setelah tahun 1958, merupakan periode keras dalam hubungan antara Mao dan Liu. Konflik kedua pemimpin itu sudah makin terbuka. Gerakan Lompalan Jauh ke Depan ditandai dengan pembentukan Komune Rakyat tahun 1958, menjadi batas dimulainya konflik yang bersifat antagonistis. Antara tahun 1961-1962, Mao kembali ke panggung politik dan mendapat sambutan di daerah-daerah pedalaman. Tampilnya kembali Mao ke panggung politik itu, kemudian melahirkan gagasannya mengenai Revolusi Kebudayaan. Sejak tahun 1958 itulah, konflik antara Mao dengan Liu sudah menjadi antagonis dengan korban-korban yang mulai berjatuhan. Konflik yang makin keras dari tahun ke tahun dalam kurun waktu tersebut, menjadi semakin brutal karena pendukung kepemimpinan model Mao yang lebih cenderung emosional dan irasional ikut terlibat langsung. Sementara pendukung Liu bukanlah massa yang mudah dibangkitkan emosinya, apalagi dikerahkan. Pendukung Liu lebih benyak berasal dari kalangan formal, kader-kader partai serta kaum terdidik yang lebih rasional. Akibat emosi yang dibangkitkan dan dimanfaatkan oleh Mao sendiri, massa pendukung tersebut akhirnya justru sulit dikendalikan. Akibatnya, Pengawal Merah yang merupakan massa yang membentuk organisasi, menjadi tidak terkontrol dan memakan banyak korban. Akhirnya hanya militer yang mampu menghentikan kerusuhan setelah Liu Shaoqi sendiri bersama-sama dengan kawan dan pendukungnya termasuk Deng Xiaoping menjadi korban."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T37247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Hubungan antara bangsa Cina dan orang-orang dari sebrang lautan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Paling tidak sejak abad 14, atau bahkan jauh sebelumnya, beberapa kapal dari negara-negara yang lautnya maju pernah menyinggahi Cina. Tetapi kunjungan-kunjungan kapal-kapal asing tersebut tidak mendapat sambutan yang semestinya baik dari pemerintah Cina maupun tradisionil rakyat Cina, yang notabene juga merupakan pandangan penguasa Cina pada waktu itu yang menganggap orang asing adalah orang biadab. Hal ini tercermin dari konsep mereka tentang zhongguo, yang menganggap Cina adalah pusat dunia, pusat budaya dan segala peradaban. Sementara itu masyarakat di luar Cina adalah masyarakat primitif, tidak berbudaya serta bar-bar yang perlu dibudayakan.
Atas dasar pemikiran yang demikian, maka proses hubungan antara Cina dan negara-negara sangatlah lambat. Ketika Inggris memulai menjajaiki hubungan dengan Cina perlakuan yang diterima oleh utusan Inggris adalah perlakuan sama yang diterapkan oleh kepada utusan dari sebuah negara taklukan. Tentu saja Inggris tidak dapat menerima perlakuan tersebut. Budaya diplomasi Eropa yang dibawa Inggris berbenturan dengan budaya diplomasi yang diterapkan oleh Cina yang terkenal dengan sebutan family of nations, dimana Cina bertindak sebagai bapak sementara negara-negara, terutama dikawasan Asia, bertindak sebagai anak dengan masing-masing konsekwen dengan posisinya.
Dengan menggunakan beberapa bahan bacaan yang didapat melalui penelitian kepustakaan, yang terdiri dari bahan primer maupun sekunder, tulisan ini bermaksud mengunggkapkan bagaimana akhirnya bangsa Eropa, khususnya Inggris mampu menembus konsep tradisionil Cina yang menjadi penghalang kegiatan diplomasinya. Bahkan kemudian Inggris berhasil menjadi mitra dagang paling besar bagi Cina, terutama adalah berkat adanya konsumsi teh yang sangat besar dikalangan bangsa Inggris. Semua hal tersebut dapat dicapai oleh Inggris hanya dengan melalui satu cara : kekerasan."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Setelah usai Perang Dunia Kedua, Cina berada dalam posisi di antara dua negara kuat; Uni Soviet dan Amerika Serikat. Sementara RRC sendiri sebagai sebuah negara yang baru melewati perang saudara, masih perlu melakukan pembenahan dalam berbagai sektor; industry, transportasi, pertanian, pendidikan, dan lain-lain. Untuk membangun semua itu, Mao Zedong, sebagai pemimpin negeri itu, akhirnya memutuskan bantuan dana dan meminta bantuan teknis kepada Uni Soviet, dan bukan ke Amerika.
Nyatanya, Uni Soviet lebih banyak memberikan bantuan teknis dibandingkan bantuan dana sebagaimana yang telah disepakati kedua negara. Begitu juga, Pelita I yang dananya dan bantuan tenaga ahlinya didatangkan dari Uni Soviet, tidak sepenuhnya berhasil. Menghadapi situasi itulah, Mao lalu mencanangkan gagasan "Gerakan Lompatan Jauh Ke Depan". Penelitian ini mengungkapkan latar belakang munculnya gagasan tersebut."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
"ABSTRAK
Perubahan politik luar negeri Cina, yang terjadi sejak 50an hingga 80an, ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor. Selama ini faktor yang menonjol dan selalu dijadikan acuan banyak kalangan adalah adanya kaitan antara politik dalam negeri yang merupakan cerminan politik luar negerinya. Padahal sebenernya banyak faktor lainnya yang menjadi penentu perubahan kebijakan politik luar negeri Cina. Salah satu hal yang menjadi indikasi kuat adalah faktor internasional yang ikut mempengaruhi politik luar negeri Cina.
Atas dasar hal tersebut diatas, tulisan ini bermaksud mencari kejelasan, apakah memang benar faktor internasional menjadi penentu kebijakan luar negeri Cina, ataukah ada faktor lain yang lebih penting.
Untuk mencari dan menguji kebenaran tersebut, dalam menulis makalah ini digunakan metode penelitian melalui telaah kepustakaan dengan menggunakan bahan primer maupun sekunder. Dengan meneliti dokumen maupun bahan-bahan lainnya, maka diharapkan akan dapat diperoleh asumsi baru mengenai faktor penentu politik luar negeri Cina.
Ternyata setelah melalui telaah yang lebih teliti mengenai sejarah dalam negeri Cina maupun kegiatan Cina di dunia internasional, dapat di ambil kesimpulan bahwa memang faktor domestik dan internasional, dapat diambil kesimpulan bahwa memang faktor domestik dan internasional berperan. Tetapi yang lebih penting lagi ternyata adalah adanya beberapa faktor yang terbentuk oleh pengalaman sejarah yang berasal dari konsep pemikiran. Faktor-faktor penentu tersebut adalah faktor historis, Cina sebagai kekuatan yang tidak puas, ideologi anti imperialisme, teori tiga dunia serta konfliknya dengan Uni Soviet."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>