Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Renaningtyas
"Latar Belakang: Pemeriksaan histopatologi pada apendisitis akut dianggap sebagai
pemeriksaan baku emas, walaupun tidak selalu dapat membuktikan adanya
peradangan akut. Hal tersebut menimbulkan dugaan adanya patogenesis lain yang
belum diketahui. Beberapa penelitian menemukan adanya korelasi antara sel mast
dengan saraf enterik pada apendisitis akut. Tujuan penelitian ini adalah melihat
kepadatan sel mast dan jaringan saraf, serta korelasi derajat kepadatan sel mast
dengan derajat kepadatan jaringan saraf pada dinding apendisitis akut. Bahan dan
cara kerja: Penelitian observasional analitik potong lintang dilakukan pada 97
sediaan histopatologi apendisitis akut yang dikelompokkan menjadi apendisitis akut
fokal, supuratif, gangrenosa dan perforatif. Penilaian sel mast menggunakan pulasan
Toluidine blue dan penilaian jaringan saraf menggunakan pulasan IHK S100.
Kemudian dilakukan penilaian korelasi derajat kepadatan sel mast dengan derajat
kepadatan saraf enterik yang masing-masing dikelompokkan menjadi 4 derajat, pada
lapisan submukosa dan muskularis, menggunakan uji Sommers'd. Hasil: Kepadatan
sel mast/lpb lebih tinggi pada apendisitis akut fokal (3,9±1,3) dibandingkan
apendisitis akut supuratif-gangrenosa. Sedangkan kepadatan jaringan saraf enterik/lpb
lebih tinggi pada apendisitis akut supuratif-gangrenosa (3,7±0,9). Terdapat korelasi
kuat antara derajat kepadatan sel mast dengan derajat kepadatan jaringan saraf enterik
pada lapisan muskularis apendisitis akut (p<0,05; r=0,733). Sedangkan pada lapisan
submukosa terdapat korelasi lemah antara kedua variabel tersebut (p>0,05; r=0,118).
Tidak terdapat perbedaan kepadatan sel mast dan kepadatan jaringan saraf yang
bermakna pada kelompok apendisitis akut (p>0,05). Kesimpulan: Kepadatan sel
mast tertinggi terdapat pada apendisitis akut fokal, sedangkan kepadatan jaringan
saraf tertinggi pada apendisitis akut supuratif-gangrenosa. Terdapat korelasi kuat
antara derajat kepadatan sel mast dengan derajat kepadatan jaringan saraf enterik
pada lapisan muskularis, sedangkan korelasi lemah terdapat pada lapisan submukosa apendisitis akut.

Background: Histopathologic examination is the gold standard for diagnosis of acute
appendicitis, although no obvious histopathological signs of acute inflamation shown.
Therefore other unknown pathogenesis is suspected. Several studies prove there is
correlation between mast cells and enteric nerve system on acute appendicitis. The
aims of this study are to see the density of mast cell and enteric nerve and to evaluate
correlation between grade of mast cell density and enteric nerve density on
histopathologically acute appendicitis. Material and methods: A cross-sectional
retrospective study was conducted on 97 histopathologically acute appendicitis which
grouped as acute focal, acute suppurative, gangrenous (phlegmonous) and
perforative. All sections were subjected to toluidine blue stain for mast cell and S100
stain for enteric nerve. The density of mast cell and enteric nerve were designed into
4 grades. A correlation test between grade of mast cell density and grade of enteric
nerve density were studied in submucosa and muscularis using Somers?d correlation
test. Results: The highest densities of mast cell/hpf (3,9±1,3) and enteric nerve/hpf
(3,7±0,9) were found in acute focal appendicitis and suppurative-gangrenous
appendicitis respectively. There was strong correlation between grade of mast cell
density and enteric nerve density in muscularis (p<0,05; r=0,733), whereas the
submucosal layer had the weak one (p>0,05; r=0,118). There was no significant
difference for mast cell and enteric nerve density on each group (p>0,05).
Conclusion: The highest densities of mast cell and enteric nerve were found in acute
focal appendicitis and suppurative-gangrenous appendicitis respectively. There was
strong correlation between grade of mast cell density and grade of enteric nerve
density in muscularis layer of acute appendicitis, meanwhile the weak correlation was
on submucosa.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gati Renaningtyas
"Okuma yang dilahirkan di daerah Hizen (sekarang menjadi propinsi Saga) pada tahun 1838, mula-mula adalah seorang pendukung gerakan Sonna Jai (Muliakan Kaisar, Usir orang-orang Barbar). Pada tahun 1866 bersama dengan Soejima Taneomi, ini meninggalkan tanah kelahirannya itu dan pergi ke Kyoto, dimana mereka berdua berharap untuk dapat berpartisipasi dalam gerakan untuk mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar.
Sejak terjadi Restorasi Meiji pada bulan Januari tahun 1868, Okuma mulai memangku jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan yang baru. Setelah runtuhnya feodalisme Bakufu dan timbulnya Restorasi Meiji, maka Jepang mulai mengadakan modernisasi yang mencakup berbagai bidang, seperti : modernisasi di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan lain-lain. dalam modernisasi di bidang politik dan ekonomi, sekelompok pemimpin pemerintah Meiji yang baru."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S13604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nidia Renaningtyas
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi dan pengembangan clinical pathway pneumonia ringan. Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif dengan metode telaah data, telaah dokumen dan wawancara mendalam. Analisis data kuantitatif menggunakan Tools Pengembangan Pra Clinical Pathway dan Evaluasi Clinical Pathway versi beta 2.3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada variabel input tidak memiliki kendala, staf sudah siap untuk melakukan implementasi clinical pathway. Tim pengembangan clinical pathway masih terbatas pada satu golongan tenaga medis saja. Masih terdapatnya variasi yang tinggi pada pemakaian obat-obatan. Rata-rata lama hari rawat sudah sesuai yaitu 4,19 hari dengan pasien terbanyak pulang pada hari rawat keempat. Sebanyak 14 pasien dari total 67 pasien dirujuk ke Rumah Sakit lain pada hari rawat pertama. Beberapa hal yang dapat Rumah Sakit lakukan yaitu libatkan lebih banyak staf dari berbagai disiplin ilmu dalam proses pengembangan clinical pathway, lakukan berbagai cara untuk sosialisasi clinical pathway, lakukan evaluasi rutin terkait kepatuhan terhadap clinical pathway dan evaluasi formulir clinical pathway berdasarkan dengan variasi pada penelitian ini.

This study aims to determine the implementation and development of clinical pathway of simple pneumonia. The type of research used quantitative and qualitative study withdata analysis, document review and in depth interviews methods. Quantitative data analysis using Pre Clinical Pathway Development Tools and Clinical Pathway Evaluation beta 2.3. The results showed that in the input variables have no constraints, the staff is ready to implement the clinical pathway. Clinical pathway development team is still limited to one class of medical personnel only. There is still a high variation in the use of drugs. The average length of stay was 4,19 days with most patients discharge from the hospital on the fourth day of treatment, 14 patients from 67 patients were referred to another hospital on the first day of treatment. Some things the Hospital can do include involving more staff from various disciplines in the clinical pathway development process, doing various ways to socialize clinical pathways, conducting routine evaluations about clinical pathway compliance and clinical pathway form evaluation based on variations in this study."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library