Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Adinda merupakan tokoh utama sekaligus judul sebuah monolog. Adinda berbicara dengan simbol dan senandung. Simbol dan senandung tersebut menyuarakan kepedihan hatinya ketika posisi sebagai seorang PSK tersudut dalam pandangan negatif masyarakat. Adinda merindukan kasih sayang dan mengharapkan perubahan dalam hidupnya. Namun, situasi dan lingkungan sosial tidak mau berterima terhadap profesi yang ia jalnai. Dampak sosial yang keji tidak mampu dihindari oleh Adinda hingga akhir hidupnya. Makalah ini membahas ketersudutan Adinda dari berbagai simbol yang ada di sekitarnya. Pembahasan simbol tersebut dilandasi dengan teori semiologi Roland Bartez dengan konsep signifier-signified. Berdasarkan analis yang dilakukan, simbol yang terdapat di dalam monolog tersebut sangat signifikan dalam menyuarakan kesulitan Adinda sebagai bagian dari kelompok marginal.
Adinda is the main character as well as the title of a monologue. Adinda spoke with symbols and humming. The symbol and the chanting voiced his heartache when the position as a PSK cornered in the negative view of society. Adinda longs for affection and expects a change in his life. However, the situation and the social environment do not want to accept the profession that he jalnai. The cruel social impacts can not be avoided by Adinda until the end of his life. This paper discusses Adinda's adherence from the various symbols around him. The discussion of the symbol is based on Roland Bartez's semiologi theory with a signifier-signified concept. Based on the analysts conducted, the symbol contained in the monologue is very significant in voicing the difficulty of Adinda as part of the marginal group."
Balai Bahasa Jawa Barat, 2016
400 BEB 3:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Poligami ditengarai sebagai pemicu keretakan rumah tangga. Namun, di tengah polemik yang tidak berkesudahan, antara pro dan kontra, poligami tetap dijalankan dalam kehidupan manusia. Poligami bahkan dianggap sebagai ritual dalam beberapa budaya di dunia, seperti Timur Tengah, India, Cina, dan beberapa suku asli di berbagai belahan dunia. Salah satu kasus poligami menarik diungkapkan oleh Su Tong dalam sebuah novel yang berjudul Raise the Red Lantern. Poligami yang digambarkan dalam novel tersebut menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan cenderung radikal sehingga menimbulkan korban nyawa dan penderitaan psikis yang dialami oleh beberapa istri. Persaingan tidak sehat ditunjukkan oleh simbolisasi penempatan lampion sebagai penanda kuasa patriarkis dominan dalam rumah tangga Tuan Chen Zuoqian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan kompleksitas poligami tersebut melalui sudut perlawanan Teratai sebagai perempuan berlatar akademis yang cukup tinggi sekaligus istri keempat Tuan Chen Zuoqian. Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif. Deskripsi tentang Teratai dan orang-orang di sekitarnya dianalisis dengan menggunakan konsep metafora Lakoff dan Johnson. Metafora tersebut tidak hanya berfungsi sebagai upaya perbandingan, melainkan mengiris konsep budaya setempat yang menjadi latar belakang cerita. Simpulan yang penulis dapatkan adalah poligami dalam keluarga Chen Zuoqian merupakan perkawinan kompleks dan cenderung merendahkan derajat perempuan di dalam budaya patriarkis.

Polygamy is considered as major factor of household endings. But, amongst of its everlasting polemic,between the pros and the contras, polygamy keep on doing in the reality. Even more, polygamy is also considered as a ritual of masculinity in several cultures, such as, Far East, India, and many tribes throughout the world. One of thein terestedpolygamy was disclosed by Su Tong in his novel: Raise the Red Lantern, showed the high complexity and radical tendency of polygamy which caused the death and psychological suffering for several wives. The unfair competition was represented by the lanterns placement which symbolized the dominant patriarchal authority of Mr. Chen Zuoqian. The purpose of this study was to show the complexity of the polygamy through the side of Teratai’sresistance as the highest academic background wife among the other fourth. This research was conducted base on descriptive analysis method. Description of Teratai and the people around her were analyzed using the metaphor concept of Lak off andJohnson. The metaphor does not only a way to comparison, but also a way to explore local culture as its background. The conclusion was the ChenZuoqi an polygamous marriage wasterribly complex and tended to degrad women in a patriarchal culture."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Artikel ini berjudul “Remaja Kering dalam Pembacaan Durum”. Durum merupakan salah satu naskah unggulan dalam Festival Drama Basa Sunda 2017. Durum merupakan naskah yang masif (padat dalam pemeranan dan muatan cerita). Naskah tersebut menyampaikan faktor-faktor penyebab timbulnya konflik dalam kehidupan remaja dan dampak yang terjadi akibat kehilangan idealitas di dalam lingkungan keluarga. Identifikasi masalah dalam artikel ini dibatasi pada konflik remaja dan lingkungan keluarganya serta dampaknya terhadapdiri si remaja maupun lingkungan di sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan latar terjadinya konflik remaja melalui telaah pada simbol adegan serta aspek psikologis remaja. Konsep teoretis yang digunakan dalam artikel ini adalah semiotika John Fiske dan psikologi perkembangan Hurlock. Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut adalah adanya kesenjangan antar generasi:antara remaja dengan segala nilai kontemporernya dengan generasi tua dan nilai-nilai sosial yang dianggap kolot; hilangnya kedekatan dan komunikasi harmonis antara orangtua dan remaja, serta antar orang tua sendiri; tekanan kehidupan hedonistis dan materialistis yang cukup tinggi; pola hidup individualis yang tidak lagi memahami arti pengertian dan kepedulian antarsesama manusia. Remaja kering merupakan bukti atas ketidakharmonisan keluarga dan lingkungan setempat.

This article entitled "The exhaustic Adolescent on Durum Reading". Durum is one of the compulsary scripts in Festival Drama Sunda Basa 2017. Durum is a massive script -solid in characters and content of the story-. The script conveys factors that cause conflict in teenagers life and the impact that occurs due the losing the family’s ideality . The identification problem in this artical was just focused on adolencent’s conflict and family along its impact against himself/herself and their surroundings.The purpose of this study revealed the background of their conflict through the symbol of each scene and their psychological aspects This artical used semiotics of John Fiske and developmental psychology of Hurlock as its theoretical concepts.Anyway, the research method used qualitative with descriptive analysis. The results showed that there were intergenerational gap among adolescents with all their contemporary values with the older generation and social values that wer considered as anold-fashioned; lossing of closeness and harmonious communication between parent and adolescent, as well as between parents themselves; the high pressure of hedonistic and materialistic life; also an individualist lifestyle that no longer understood the meaning of understanding and caring among people. The exhaustic adolescent represented family and environtmentald is harmony."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2018
400 JIKKT 6:1 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library