Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riana Sahrani
"ABSTRAK
Perkawinan adalah hubungan yang paling intim dari semua
hubungan dekat lainnya dan merupakan salah satu tugas
perkembangan yang harus dicapai oleh orang dewasa muda. Bila
perkawinan berjalan dengan baik, maka kepuasan yang
diberikannya lebih besar dibandingkan dengan kepuasan yang
diberikan oleh dimensi-dimensi lain dalam kehidupan.
Kepuasan perkawinan berkaitan erat dengan tahapan
perkembangan keluarga. Kepuasan perkawinan tampaknya mengikuti
curnilinear path (arah garis lengkung), dimana kepuasan
perkawinan paling tinggi pada saat pasangan baru menikah dan
belum mempunyai anak, mencapai titik terendah ketika anak
pertama berusia remaja, dari kemudian meningkat kembali ketika
anak pertama telah mandiri/keluar rumah (Rollins dan Cannon
dalam Lerner & Hultsch, 1983; Levenson) Capstensen, & Gottman,
1993; Spanier, Lewis, & Cole, 1975; Strong & DeVault, 1989).
Walaupun perkawinan diharapkan memberikan kepuasan pada
pasangan suami istri, tetapi dalam kenyataannya banyak juga
pasangan yang akhirnya mengakhiri perkawinan mereka dengan
parceraian. Kasus perceraian terbanyak diakibatkan oleh adanya
perselisihan suami istri yang terus-menerus, sebanyak ,49.76%
(Salaban, 1992); yang disebabkan antara lain oleh adanya
hambatan komunikasi di antara suami istri. Munculnya masalah
komunikasi ini dapat dikarenakan tidak adanya intimacy di
antara pasangan suami istri, karena intimacy adalah dasar dari
komunikasi (Stephen dalam Strong & Devault, 1989).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan intimacy dengan kepuasan perkawinan
pasangan suami istri pada tiga tahapan perkembangan keluarga,
yaitu pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
prasekolah, pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, dan pasangan suami istri yang anak pertamanya telah
mandiri/keluar rumah. Ketiga tahapan ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa pada masa-masa tersebutlah kepuasan
perkawinan sangat jelas terlihat, sehingga diharapkan hasil
penelitian ini nantinya dapat memperlihatkan adanya
curvelinear path (arah garis lengkung) dalam kepuasan
perkawinan seperti hasil-hasil penelitian sebelumnya. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi gambaran mengenai
perkawinan dan krisis yang terjadi pada tahap-tahap
perkembangan keluarga tersebut, sehingga dapat diantisipasi
masalah yang timbul dan dicari pemecahannya secara benar.
Penelitian ini dilakukan di Jabotabek dengan subyek
pasangan suami iatri yang berpendidikan minimal SLTA dan
memiliki tingkat sosial ekonomi menengah keatas. Untuk
mengukur derajat intimacy, maka akan diberikan kuesioner
intimacy dari Sternberg (1988). Sedangkan untuk mengukur
kapuasan perkawinan akan digunakan skala kepuasan perkawinan
dari Spanier (1976) yaitu DAS (Dyadic Adjustment ScaIe) yang
terdiri dari 4 subskala yaitu: dyadic consensus (kesepahaman) ,
dyadic satisfaction (kepuasan dalam hubungan), dyadic cohesion
(kebersamaan), dan affectional expression (ekspresi perasaan).
Hasil panelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan
positif dan bermakna antara intimacy dengan kepuasan pasangan
suami istri dari seluruh tahapan perkembangan keluarga yang
diteliti. Selain itu ditemukan bahwa kepuasan perkawinan
ternyata memang mengikuti arah garis lengkung (curvilinear
path), dimana kapuasan perkawinan tinggi pada pasangan suami
istri yang anak pertamanya usia prasekolah, menurun dengan
tajam pada pasangan suami istri yang anak pertamanya usia
remaja, kemudian meningkat kambali pada pasangan suami istri
yang anak pertamanya telah keluar rumah/mandiri. Selain itu
juga ditemukan bahwa kepuasan parkawinan suami lebih besar
daripada kepuasan perkawinan istri, dan cara pasangan dalam
memecahkan masalah sehari-hari di antara mereka berpengaruh
terhadap kepuasan perkawinan dan intimacy mereka.
Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut, maka beberapa
saran diajukan untuk mempebaiki penelitian lebih lanjut, yaitu: ditambahkan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran
yang mendalam dan menyeluruh dari kepuasan perkawinan dan
intimacy; penelitian melibatkan seluruh tahapan perkembangan
keluarga untuk melihat apakah kepuasan perkawinan dan intimacy
di Indonesia memang mengikuti curvelinear path (arah garis
lengkung); skala kepuasan perkawinan yang dipakai adalah hasil
analisa faktor karena diperkirakan sesuai dengan keadaan yang
ada di Indnesia. Sedangkan saran tambahan adalah sebaiknya
bila Iembaga-lembaga dan para ahli yang kompeten dalam hal
komunikasi orang tua dan remaja melakukan pelatihan tentang
bagaimana menjadi orang tua dan remaja yang efektif.

"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
"Terdapat pandangan negatif dan juga positif mengenai orang lanjut usia (lansia). Sejalan dengan hal itu jumlah lansia di dunia, terutama di Indonesia, semakin meningkat sehingga patut kiranya dipertanyakan mengenai kualitas para lansia itu sendiri. Apalagi di era globalisasi dan komputerisasi seperti saat ini yang membuat perubahan semakin cepat namun juga. tidak pasti. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan kemampuan untuk menyesuaikan diri agar dapat memecahkan masalah secara bijak, terutama pada para lansia yang diharapkan bisa memberikan nasehat dan panutan bagi generasi muda.
Agar dapat memahami, menilai suatu masalah, dan kemudian mengambil suatu keputusan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, dibutuhkan pengetahuan yang memadai. Pengetahuan ini disebut sebagai ‘pengetahuan yang berhubungan dengan kebijaksanaan’ (wisdom-related knowledge). Wisdom-related knowledge adalah pengetahuan yang meliputi lima kriteria wisdom, yaitu mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai masalah-masalah kehidupan (factual knowledge of life); punya strategi dalam pengambilan keputusan dan mengetahui untung-ruginya dari setiap strategi tersebut (procedural knowledge of life); mempertimbangkan konteks kehidupan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang (life span contextualism); mempertimbangkan keanekaragaman nilai dan prioritas dalam kehidupan (value relativism); dan juga mempertimbangkan adanya ketidakpastian dalam kehidupan (recognition and management of uncertainty).
Orang yang memiliki pengetahuan yang relatif baik pada dua kriteria pertama dapat dikatakan mempunyai tingkat pemerolehan dasar (basic level) wisdom, sedangkan orang yang mempunyai pengetahuan yang melampaui dua hal pertama (kriteria tiga, empat, dan lima) dapat dikatakan sudah mencapai meta level pemerolehan wisdom. Ada dua pandangan yang berbeda mengenai siapa orang yang bisa dikatakan bijaksana (wise). Pandangan lama mengatakan bahwa wisdom adalah area lansia karena lansia sudah lebih banyak pengalaman sehingga bisa memberikan nasehat yang berguna Namun pandangan terbaru menyatakan bahwa wisdom tersebut bisa diperoleh siapa saja, bahkan remaja, karena wisdom adalah suatu kemampuan yang dapat dipelajari dan merupakan gabungan dari aspek intelegensi, sosial, emosi, dan motivasi.
Adanya hasil-hasil penelitian tersebut dan juga keadaan nyata di lapangan membuat penulis ingin mengetahui wisdom-related knowledge pada lansia, dengan memperhatikan perkembangan wisdom-related knowledge mulai dari masa dewasa muda, dewasa madya, dan lansia secara cross sectional. Sehingga dengan demikian permasalahan yang ingin diteliti adalah apakah ada perbedaan pemerolehan wisdom-related knowledge pada tiga tahap perkembangan, yaitu pada orang dewasa muda (usia 22-45 tahun); dewasa madya (usia 45-65 tahun); dan lansia (usia 65 tahun keatas).
Responden penelitian ini berjumlah 197 orang yang terdiri dan ketiga tahapan perkembangan dan berjenis kelamin laki-laki serta perempuan. Alat yang dipergunakan adalah alat wisdom-related knowledge, yang dibuat oleh Baltes dan para peneliti dari Max Planck Institute Jarman. Penulis dalam hal ini memakai empat soal wisdom-related knowledge yang terdiri dari persoalan life planning normative, life planning non normative, life management, dan life review. Keempat soal ini diberikan kepada responden dalam bentuk tertulis dan kemudian jawaban-jawaban tersebut dinilai oleh tiga orang rater. Penelitian ini bersifat kuantitatif dan memakai metode statistik anova untuk melihat perbedaan yang ada.
Hasil utama yang didapat dari penelitian ini adalah ada perbedaan pemerolehan wisdom-related knowledge pada tiga tahap perkembangan, yaitu antara orang dewasa muda, orang dewasa madya, dan orang lanjut usia. Kemudian, orang dewasa muda memperoleh nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan orang dewasa madya dan orang lanjut usia. Di sisi lain, orang lanjut usia mendapatkan nilai yang paling rendah dibandingkan kedua tahapan usia sebelumnya. Orang dewasa muda perempuan mendapatkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan responden lainnya. Para responden secara keseluruhan mendapatkan nilai yang paling tinggi bila mengerjakan persoalan life planning daripada life management dan life review, sedangkan persoalan life review merupakan persoalan yang paling sulit dikerjakan. Pada orang lanjut usia didapatkan bahwa mereka mendapatkan nilai yang lebih tinggi dalam mengerjakan persoalan life planning non normative daripada persoalan life planning normative. Pendidikan dan pekerjaan (profesi) antara lain juga memfasilitasi perolehan wisdom-related knowledge.
Saran yang dapat dikemukakan antara lain adalah bagi yang berminat untuk meneliti lebih lanjut sebaiknya dilengkapi dengan metode observasi dan wawancara, melakukan tes kecerdasan sebelumnya (guna mengetahui fluid intelligence), dan mengontrol faktor kesehatan responden."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan refleksi, strategi refleksi, kesulitan hidup, dan usia terhadap kebijaksanaan. Penelitian ini menggunakan kuesioner dan wawancara. Kuesioner yang digunakan adalah Kuesioner Karakteristik Orang yang Bijaksana, Kuesioner Kebijaksanaan, Kuesioner Refleksi, Kuesioner Strategi Refleksi, dan Kuesioner Pengalaman Hidup Sulit. Partisipan terdiri dari 29 nominator, 30 orang yang dipilih oleh nominator (terdiri dari 18 orang yang dinominasi sebagai orang yang bijaksana dan 12 orang yang kurang dinominasikan), dan 110 orang yang dipilih secara accidental. Hasil analisis menunjukkan bahwa, refleksi kesulitan hidup memiliki peranan yang signifikan dalam pencapaian kebijaksanaan seseorang. Kebijaksanaan dan refleksi meningkat sejalan usia, pada orang yang dinominasi sebagai orang yang bijaksana. Demikian pula pada orang awam yang memperoleh nilai tinggi di kuesioner. Selanjutnya, pada orang yang dinominasi sebagai orang yang bijaksana, ditemukan bahwa mereka menerapkan strategi refleksi self-distanced, mempunyai sifat positif, melakukan refleksi diri, bersyukur, ada orang yang mendukung, dan punya tokoh panutan. Sementara pada orang yang kurang dinominasi sebagai orang yang bijaksana, mereka menerapkan strategi refleksi self-immersed, cenderung kurang mampu mengatasi masalah, fokus pada sifat negatif, kurang merefleksi diri, dan menyesali diri.

The goal of this research was to find out the role of reflection, reflection strategy, difficult life experiences, and age towards wisdom attainment. It used questionnaires and interviews. The questionnaires used were Wisdom, Reflection, Reflection Strategy, and Difficult Life Experience Questionnaire. Participants consisted of 29 nominators, 30 nominees (18 wisdom nominees and 12 lessnominated), and 110 laypersons. Results revealed that the reflection of difficult life experience has significant role in achieving one’s wisdom. Wisdom and reflection increase with age on people nominated as wise. As well as lay persons who got high score on the questionnaires. People nominated as wise used selfdistanced reflection strategy, showed positive characteristics, do self-reflection, be grateful, supported, dan have role models. While non wise people used selfimmersed reflection strategy, tended to be less able to overcome problems, focus on negativity, less in self-reflection, and regrets.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
D2134
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Sahrani
"Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa budaya mempengaruhi bagaimana individu mendefinisikan kebijaksanaan. Penelitian sebelumnya juga sudah berupaya memahami kebijaksanaan berdasarkan konteks Baratdan beberapa di negara Timur, tapi belum ada yang mencoba memahaminya di konteks Indonesia. Penelitian ini berupaya mengisi kekosongan tersebut. Secara spesifik, kami berupaya untuk mengembangkan skala kebijaksanaan pada remaja. Kami melakukan penelitian ini dalam dua tahap. Pada tahap pertama, partisipan kami adalah 349 remaja berusia 15 hingga 21 tahun. Kami menanyakan partisipan untuk mengindikasikan karakteristik kebijaksanaan menurut mereka. Dari tahapan ini, kami memperoleh 52 karakteristik kebijaksanaan. Pada tahapan kedua, kami mengembangkan kuesioner berdasarkan respon jawaban yang muncul pada tahapan pertama. Total terdapat 52 item dalam kuesioner ini. Kami menganalisis data pada tahapan kedua ini dengan menggunakan Exploratory Factor Analisis (EFA). Berdasarkan hasil analisis diperoleh 44 butir karakteristik kebijaksanaan. Butir butir tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 3 faktor, yaitu faktor: (1) berpikir Cerdas, (2) kepribadianpositif, (3) keterandalan dalam bertindak. Butir yang paling berkontribusi dari faktor berpikir cerdas adalah hati hati dalam bertindak (0,790), selanjutnya butir yang paling berkontribusi dari faktor kepribadian positif adalah setia (0,701), terakhir butir yang paling berkontribusi dari faktor keterandalan dalam bertindak adalah mampu mengemukakan pendapat dan berkomunikasi (0,731)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI, 2019
150 JPS 17:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library