Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurul Qomariyah
Abstrak :
ABSTRAK Dalam upaya penatalaksanaan penderita penyakit kelenjar tiroid, harus dibuat diagnosis anatomik atau etiologik untuk mengetahui penyebab yang mendasari penyakit dan diagnosis fungsional untuk mengetahui status produksi hormon tiroid. Pemeriksaan laboratorium sangat berguna dalam membedakan fungsi kelenjar tiroid tersebut termasuk hipotiroid, eutiroid atau hipertiroid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemeriksaan TSH-sensitif metode IRMA dan ICMA dapat membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dengan kata lain apakah pemeriksaan tersebut dapat dipakai sebagai uji saring untuk hipertiroidisme. Disamping itu ingin mendapatkan nilai rujukan TSH-IRMA dan ICMA yang dapat dipakai di UPF Patologi Klinik FKUI/RSCM. Subyek penelitian adalah 35 penderita hipertiroidisme, terdiri atas 25 orang wanita dan 10 orang laki-laki, berusia 21-59 {30,2) tahun. Sebagai kontrol adalah 70 orang yang mempunyai fungsi kelenjar tiroid eutiroid, terdiri atas 40 laki-laki dan 29 perempuan, berusia 15-73 (37) tahun. Kriteria diagnostik didasarkan pada temuan klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium FT4I. Terhadap subyek penelitian dan kontrol dilakukan pemeriksaan T4 total, T3U, TSH-IRMA (DPC) dan TSH-ICMA (Amerlite). Hasil pemeriksaan kontrol: T4=4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I=0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA=O,25-3,60 (1,38) mIU/L dan TSH-ICMA=0,54-3,12 (1,34) mIU/L. Terdapat korelasi terbalik antara nilai T4 total, T3U dan FT4I dengan TSH-IRMA maupun TSH-ICMA. Tidak terdapat perbedaan nilai TSH kontrol laki-laki dan perempuan. Tidak terdapat hubungan antara umur dan nilai TSH. Nilai rujukan TSH-IRMA = 0,39-3,63 mIU/L, dan TSH-ICMA = 0,49-2,97 mIU/L.Hasil pemeriksaan penderita hipertiroid: T4 = 16,0->24 ng/dL; T3U=30,3-43,7 (38,3)7.; FT4I = 5,36->10,49; 31 (88,51.) orang mempunyai nilai TSH-IRMA dan ICMA tidak terukur dan, 4 Orang mempunyai nilai TSH-IRMA 0,09; 0,12; 0,16; 0,18 dan TSH-ICMA 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. Nilai TSH-IRMA dan TSH-ICMA penderita hipertiroid berbeda bermakna dengan kontrol eutiroid. Terdapat korelasi antara nilai TSH-IRMA dengan TSH-ICMA (r = 0,9922). Nilai TSH-ICMA lebih rendah 6,6% dibanding TSH-IRMA. Nilai batas deteksi TSH-IRMA = 0,09 mIU/L dan TSH-ICMA = 0,04 mIU/L. Biaya per tes TSH-IRMA lebih mahal dibanding TSH-ICMA, karena pemeriksaan TSH-IRMA harus dilakukan in duplo. Pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH-ICMA sensitif secara analitik dan klinik untuk diagnosis hipertiroidisme. Kesimpulan penelitian ialah pemeriksaan TSH-IRMA dan TSH﷓ICMA mampu membedakan dengan jelas penderita hipertiroidisme dan kontrol eutiroid, dan dapat dipakai sebagai uji saring hipertiroidisme. Batas deteksi pemeriksaan TSH-ICMA lebih rendah dari pada TSH-IRMA. Nilai rujukan TSH-IRMA berbeda dengan TSH-ICMA. Disarankan untuk melakukan penelitian serupa dengan subyek penelitian dan kontrol (penderita rawat tinggal dan rawat jalan) yang lebih banyak agar dapat ditentukan nilai batas TSH untuk diagnosis hipertiroidisme, dan mendapatkan nilai rujukan yang lebih memenuhi syarat. Disarankan pula untuk menilai kemampuan pemeriksaan TSH untuk memantau pengobatan hipertiroidisme dan pengobatan hormon tiroid.
In managing patients with thyroid diseases, an anatomical or etiological diagnosis should be made for knowing the basic causes, and functional diagnosis for knowing the thyroid hormone production. Laboratory tests are necessary to differentiate whether the condition is hypothyroid, euthyroid or hyperthyroid. The goal of this study was to know whether TSH-IRMA and ICMA tests can clearly differentiate hyperthyroid patients from euthyroid, and whether this test can be used as the first test for hyperthyroidism. More over, to determine the reference range of TSH-IRMA and ICMA which can be used in the Departement of Clinical Pathology, Dr Cipto Mangunkusumo hospital / Faculty of Medicine University of Indonesia. The subjects of this study were 35 patients with hyperthyroidism. They consist of 25 women and 10 men, who were 21-59 (30,2) years old. We took 70 people who were in euthyroid condition, about 15-73 (37) years old as controls. The criteria of diagnosis were based on clinical finding and FT4I test. Subjects and controls were examined for total T4, T3U, TSH-IRMA (DPC) and TSH-ICMA (Amerlite) levels. Values of the controls were T4 = 4,1-15,1 (9,28) ug/dL; T3U = 19,3-33,0 (27,3)%; FT4I = 0,81-3,59 (2,53); TSH-IRMA = 0,25-3,60 (1,3B) mIU/L and TSH-ICMA = 0,54-3,12 (1,34) mIU/L. There was negative correlation between total T4, T3U or FT4I level and TSH-IRMA or TSH-ICMA. There was no difference between TSH level in male and female controls. No correlation was found between age and TSH level. The reference value of TSH-IRMA was 0,39-3,63 mIU/L and TSH-ICMA was 0,49-2,97 mIU/L. The level of total T4, T3U and FT4I in hyperthyroid were 16,0->24 ng/dL, 30,3-43,7 (38,3)7 and 5,36-7.10,49 respectively. TSH-IRMA and TSH-ICMA value were undetectable in 31(88,5%) persons, and 4 persons have TSH-IRMA level of 0,09; 0,12; 0,16; 0,1B and TSH-ICMA level of 0,06; 0,12; 0,13; 0,14. TSH﷓IRMA and TSH-ICMA level in hyperthyroid were significantly lower than in euthyroid. There was a good correlation between TSH-IRMA and TSH-ICMA (r = 0,9922). T5H-ICMA was 6,6% lower than TSH-IRMA. The detection limit of TSH-IRMA was 0,09 mIU/L and TSH-ICMA was 0,04 mIU/L. One TSH-IRMA test was more expensive than one TSH-ICMA test, because TSH-IRMA test must be performed in duplicate. TSH-IRMA and TSH-ICMA assays were analytically and clinically sensitive and specific for diagnosing hyperthyroidism. In conclusion, TSH-IRMA and TSH-ICMA assays could clearly differentiate hyperthyroid from euthyroid patients, and suitable as screening tests for hyperthyroidism. The detection limit of TSH-ICMA was lower than T5H-IRMA. The reference range of TSH-IRMA was different from TSH-ICMA. Further study with more subjects is still needed to determine TSH lower limit value for diagnosing hyperthyroidism and a more acceptable reference value. We suggest another study to evaluate TSH values in controlling treatment of hyperthyroidism and thyroid hormones supplementation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurul Qomariyah
Abstrak :
Penentuan pengobatan untuk trikomoniasis yang merupakan IMS yang cukup prevalen pada perempuan di Indonesia dengan pendekatan sindrom (seperti tertera dalam Pedoman Penatalaksanaan PMS Berdasarkan Pendekatan Sindrom, Fasilitas Laboratorium Sederhana dan Laboratorium Khusus yang dikeluarkan oleh Depkes tahun 1996) maupun pendekatan sindrom yang dilengkapi perneriksaan spekulum melalui alur gejala adanya duh tubuh vagina dianggap tidak cukup baik dilihat dari segi sensitivitas dan spesifisitas. Informasi tentang validitas kedua pendekatan ini belum tersedia di Indonesia. Penerapan suatu pendekatan dengan validitas rendah akan menyebabkan terjadinya overtrealment atau tidak terobatinya pasien. Tujuan utama dari penelitian dengan desain potong lintang ini adalah diketahuinya perbandingan validitas pendekatan sindrom dan pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum dalam penegakan diagnosis trikomoniasis pada perempuan pengunjung klinik mobil keliling Yayasan Sehati di Bali dengan gold standard pemeriksaan wet mount. Dari 409 perempuan yang dilibatkan dalam penelitian ini didapatkan prevalensi trikomoniasis (lab wet mount) adalah 17,1% rnenderita. Sementara pendekatan sindrom menemukan 57,9% pasien menderita trikomoniasis dan pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum 42,8%. Pada total sampel, spesifisitas pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum (62,8%) secara statistik (P-vaIue:0,000) lebih tinggi dibanding pendekatan sindrom murni (46,6%). Sebaliknya, nilai sensitivitasnya lebih rendah, namun perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna. Nilai kecocokan kedua pendekatan terhadap pemeriksaan lab wet mount berada pada kategori ?kecocokan buruk" (Kappa pendekatan sindrom murni: 0,137 dan pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan speculum: 0,206). Pada seluruh strata dari berbagai variabel, nilai spesifisitas pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum lebih tinggi dibanding nilai spesifisitas pendekatan sindrom murni dan perbandingan tersebut hampir selumhnya bermakna secara statistik. Hampir pada seluruh strata dari berbagai variabel sensitivitas pendekatan sindrom mumi lebih tinggi dibanding sensitivitas pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum, namun seluruh perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Nilai Kappa pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum umumnya lebih tinggi dari nilai Kappa pendekatan sindrom murni. Analisis multivariat akhir mendapatkan enam variabel yang berhubungan dengan infeksi trikomoniasis sebagai berikut: 1) pemakaian kontrasepsi IUD (OR 3,925, 95% CI 1,693-9,097), 2) gejala duh tubuh vagina abnormal (OR 5,054, 95% CI 2,142-11,92l), 3) duh vagina berbusa (OR 4O,60I, 95% CI: 11,877-l38,790), 4) duh vagina banyak encer (OR 6,985, 95% Cl:2, 932-I6,642), 5) eritema vagina (OR 19,806, 95% CI 7,601- 51,61 1), dan 6) tes amine (OR 3,856, 95% C1 1,503-9,890). Validitas hasil pemeriksaan spekulum sebagai satu-satunya kriteria diagnosis menunjukkan spesisifitas dan angka kecocokan (Kappa) yang lebih tinggi dari pendekatan sindrom maupun pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum, namun angka sensitivitasnya rendah. Penggabungan hasil pemeriksaan spekulum dengan faktor risiko perilaku pasangan/pasien memiliki pasangan lebih dari satu justru menurunkan angka kecocokannya dalam diagnosis trikomoniasis. Kesimpulan utama yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa spesifisitas pendekatan sindrom yang dilengkapi pemeriksaan spekulum lebih tinggi dari spesifisitas pendekatan sindrom murni. Nilai kecocokan kedua pendekatan tersebut terhadap pemeriksaan lab wet mount berada pada kategori kecocokan buruk. Saran yang diajukan adalah perlunya pengkajian kembali kebijakan penanganan IMS melalui pendekatan sindrom. Pedoman perlu dibuat sesuai dengan kelompok risiko perilaku: pada kelompok risiko rendah, penerapan pendekatan sindrom khususnya untuk trikomoniasis seharusnya dibatasi hanya pada sarana-sarana yang tidak memiliki fasilitas Iaboratorium sederhana atau pemeriksaan spekulum karena akan mernberi nilai false positive tinggi. Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan merancang penelitian yang khusus dibuat untuk menilai pendekatan sindrom ini secara menyeluruh (tidak hanya untuk trikomoniasis), dengan data yang bersifat prospektif, memasukkan semua variabel yang diperlukan dan dengan sampel yang mencukupi. Selain itu perlu juga dilakukan perbandingan validitas kedua pendekatan pada kelompok perilaku berisiko yang berbeda.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurul Qomariyah
Jakarta: Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Jender, 2002
613.024 44 SIT i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library