Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriatna
Abstrak :
Sumber daya alam gambut banyak tersebar di daerah-daerah rawa di Indonesia. Jumlahnya mencapai 17 juta hektar atau sekitar 50 persen dari total sebaran gambut di dunia. Karena potensinya yang cukup besar para pakar menilai gambut dapat dijadikan salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi permasalahan berbagai sektor yang menghadapi kendala karena keterbatasan sumber daya. Namun penelitian yang dilakukan oleh para pakarpada umumnya terfokus kepada upaya pemanfaatan dan peningkatan produktivitas usaha di lahan gambut dan sedikit sekali perhatiannya terhadap segi pelestariannya. Dengan berbagai teknik tertentu usaha pemanfaatan gambut terus berkembang ke berbagai bidang usaha seperti pertanian, perkebunan, energi, dsb, sehingga makin mengancam ketestariannya. Di lain pihak, gambut memiliki fungsi konservasi terutama kaitannya sebagai penambat air. Sebagai kawasan yang terletak pada daerah dengan curah hujan yang sangat tinggi, lahan gambut merupakan kawasan tampung hujan yang sangat efektif. Dengan fungsi tersebut, gambut dapat mengendalikan siklus hidrologi pada wilayah yang bersangkutan. Penelitian untuk menyusun model perilaku hidrologi lahan gambut ini dilakukan dengan menganalisis data unsur-unsur meteorologi dan daerah aliran sungai pada suatu DAS. Lokasi penelitian terletak di DAS Silaut, Sumatra Barat yang memiliki sebaran gambut seluas 17.500 hektar yang sebagian sudah direkiamasi. Data mengenai curah hujan dan klimatologi diperoleh dari stasiun Lunang dan Tapan yang berjarak sekitar 5 km dan 30 km dari lokasi penelitian. Sedangkan untuk analisis DAS dilakukan pengumpulan data dan peta-peta dari berbagai instansi sehingga dapat dibuat peta Daerah Aliran Sungai dan sebaran gambut berdasarkan ketebalan dan tingkat dekomposisinya. Untuk mengetahui besarnya daya tambat gambut terhadap air, maka diambil sejumlah sampel gambut di lapangan untuk dianalisis di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 3 buah untuk masing-masing tingkat dekomposisi, yaitu saprik (matang), hemik (sedang), dan fibrik (mentah). Pengambilan sampel mewakili lahan gambut yang sudah maupun yang belum direklamasi. Analisis terhadap data dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan air dalam suatu DAS dengan menggunakan modifikasi dan beberapa asumsi sesuai dengan kondisi dan sifat-sifat khususyang dimiliki oleh lahan gambut. Dari analisis tersebut dapat diketahui sisa air yang tidak tertambat dan kelebihan daya tambat gambut dalam periode waktu tertentu. Dengan membandingkan keseimbangan air sebelum dan sesudah reklamasi dapat diketahui perubahan-perubahan yang terjadi pada sifat-sifat gambut kaitannya sebagai penambat air. Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan, diketahui bahwa jumlah air yang tidak tertambat pada lahan gambut sesudah reklamasi lebih kecil dibandingkan sebelum relkamasi. Sedangkan sisa daya tambatnya menjadi lebih besar. Di samping itu terdapat kecendrungan bahwa sisa daya tambat semakin besar dengan semakin mentahnya tingkat dekomposisi. Hal ini berarti reklamasi dapat mengendalikan jumlah air liar (berupa genangan dari limpasan) sehingga lahan dapat diusahakan untuk pertanian. Namun dengan bertambahnya sisa daya tambat berarti terjadi penurunan kelengasan lahan gambut. Penurunan kelengasan yang paling besar dialami oleh gambut dengan tingkat dekomposisi yang mentah (fibrik). Terjadinya peningkatan periode penurunan kelengasan lahan gambut disebabkan oleh penurunan muka air tanah akibat dilakukannya drainase. Karena itu periode penurunan kelengasan lahan gambut akibat reklamasi dapat dikendalikan dengan pengaturan penurunan muka air tanah. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa untuk dapat mempertahankan kelestariannya, reklamasi (penurunan muka air) pada gambut saprik maksimum dapat dilakukan sampai kedalaman 40 cm. Pada kondisi ini akan terjadi periode penurunan kelengasan selama 8 bulan. Hal ini berarti dalam satu tahun masih terdapat periode kelengasan yang lebih tinggi selama 4 bulan. Dengan kondisi yang demikian diharapkan sifat-sifat fisik tidak akan terganggu. Jika dikaitkan dengan periode tanam, maka selama periode 8 bulan tersebut lahan gambut dapat diusahakan untuk budi daya 2 musim tanam palawija dan 4 bulan untuk tanaman padi. Sedangkan untuk gambut hemik dan fibrik, untuk mencapai periode penurunan kelengasan selama 8 bulan, muka air maksimum dapat diturunkan masing-masing sedalam 30 cm dan 25 cm. Pada penurunan muka air yang lebih dalam akan menyebabkan terjadinya periode penurunan kelengasan yang lebih panjang, sehingga diperkirakan gambut akan mengalami hidrofobi atau peristiwa kering tak terbalikan yang menyebabkan terjadinya kerusakan sifat fisik gambut sehingga sulit menambat air. Karena itu upaya pemanfaatan gambut melalui reklamasi rawa hendaknya hanya terbatas pada gambut dengan tingkat dekomposisi saprik. Sedangkan gambut dengan tingkat dekomposisi yang belum matang (hemik dan fibrik), sesuai batas maksimum penurunan muka airnya, pengusahaannya hanya terbatas untuk tanaman padi sawah. Namun mengingat kedua jenis gambut ini pada umumnya adalah berupa gambut tebal (> 3 meter) dan produktivitasnya sangat rendah, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai daerah konservasi. Hasil pengujian model di lapangan menunjukkan bahwa model inidinilai cukup baik karena telah sesuai dengan pola dan jadwal tanam yang biasa dilakukan para petani setempat selama lebih dari 10 tahun dengan produktivitas pertanian yang cukup baik. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model pendugaan perilaku hidrologi lahan gambut yang menggunakan pendekatan daya tambat gambut terhadap air dapat diketahui pengaruh reklamasi lahan gambut terhadap sifat-sifat fisik gambut sehingga reklamasi yang dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan kelentingan lingkungannya. Dengan demikian model ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif kebijaksanaan pemanfaatan lahan gambut dari aspek lingkungan.
Peat natural resources was spread over on lowland areas in Indonesia. The total amount reaches about 17 million hectares or about 50 percent of the total existing peat land in the world. Then, the potency is big enough the experts have evaluate it as one of the alternative to solve problems of many sectors which faces lack of resources. Survey made by the experts has, however, generally focus on the efforts to utilize and enhance productivity of peat without or the little bit attention on the preservation. Through many particular techniques the effort to utilize peat have been ever expanding into several activities including agriculture, plantation, energy, etc., making its preservation more in crisis condition. On the other side, peat land has a conservation function in connection with the water retention. As an area with in an extremely high rainfall, peat land became the most effective cistern site, and thereby, peat land is able to control hydrological circle in the connecting area. investigation on peat land hydrological behavior model is made by analyzing data of meteorological elements and catchments river area. The research location is Silaut catchment area, West Sumatera, owning peat spread of 17,500 hectares which partially has been reclameted. Rainfall and climatological data are gained from Lunang and Tapan stations which are about 5 km and 30 km far away from research location. While catchments area analysis is done by several agencies is enable to make catchments area and peat spreading map based on the depth and decomposition degree. In order to recognize peat water retention capacity, a number of field peat samples should be taken to analyze in the Centre of Soil Research Laboratory and Agroclimate, Bogor. Three samples should be taken of each decomposition degree, namely, saprik (mature), hemik (sufficient), and fibrik (raw). The samples taken should be representing peat land both has already and has not ready in reclamation condition. Data analysis is taken by applying principles of water balance in a Catchments Area and used modifications and a variety of assumption according peat conditions and specific characteristic. According the analysis the rest of the water which are not retent and the exceding tide capacity is known. Comparing water balancing before and after a reclamation, are known the changes which occur on the peat characteristics concerning with the peat water retention character. Based on analysis and calculation result it is known that total untied-up water in peat lot after reclamation is smaller than before reclamation. While the rest capacity of becomes bigger. Besides, there is a tendency that the rest tether capacity becoming bigger due to the raw of decomposition degree. It means the reclamation is able to control wild water (puddle and run off) making the lot may be used for agriculture. However, the increasing capacity of tether will increase the degree and period of draught of peat lot. The most biggest draught faced by peat lot with a raw decomposition degree. The increasing degree and period of draught in peat lot is caused by the surface of ground water down turning resulted from drainage. It is, therefore, a draught of peat lot result from reclamation can be controlled by keeping down the ground water surface. The simulation results model indicate that preservation is sustainable, reclamation (keeping down the water surface) of a saprik peat could be done at a maximum depth of 40 cm. in such condition a draught period will take place about 8 months. That mean yearly there are draught period of 4 months. Within this period a peat lot can be utilized for second crop cultivation. While for hemik and fibrik peat to reach 8 months draught period, water surface can be dropped at maximum 30 cm and 25 cm depth respectively. If deeper would cause longer draught period and hence will damage peat physical character. That's why utilization of peat by swamp reclamation should be confined for peat with saprik decomposition degree. While for hemik and fibrik degree, according to a maximum limit of the decrease of water surface, can only be used for paddy. But considering both types of peat are generally peat in (> 3 meters) and very low productivity, to sustain it as a conservation area is highly appreciated. The result of the test in the field show that model is good enough, when it is already fit with the normal cultivation pattern and schedule which implemented by the local farmer for over 10 years with agood farm productivity. The result of the investigation conclude, implementing prediction model of peat hydrological attitude with a peat water retention approach on water can prove that there are influence of peat reclamation on the peat physical character. So that the reclamation fit with the environmental carrying capacity and density. Then this model can be used as one of the alternatives policy in utilizing peat land from the environment aspect.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriatna
Abstrak :
Perencanaan wilayah suatu daerah biasanya mengedepankan faktor ekonomi untuk pertumbuhan wilayahnya dibandingkan dengan faktor keseimbangan lingkungan termasuk keseimbangan ekosistem yang ada. Faktor bentang alam (lanskap) termasuk faktor yang kurang diperhatikan. Pengelolaan estuari tidak terlepas dari lanskap yang ada, sehingga diperlukan suatu lanskap yang berkelanjutan (sustainable landscape). Model lanskap yang berkelanjutan pada wilayah Estuari Cimandiri sangat diperlukan, dimana pada saat ini pada bagian utara Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimandiri merupakan wilayah terbangun (pabrik, permukiman, gudang, lahan terbuka). Pada wilayah selatannya masih didominasi lahan pertanian. Tujuan umum dari riset ini yaitu membuat suatu model lanskap berkelanjutan pada wilayah estuari sebagai alternatif kebijakan, sedangkan tujuan khusus dalam riset ini: (1) mengkarakteristikan lanskap dan batas wilayah Estuari Cimandiri, (2) menilai hubungan Estuari Cimandiri dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, dan (3) merumuskan model lanskap yang berkelanjutan pada wilayah Estuari Cimandiri. Pada riset ini variabel yang dipakai adalah batas estuari (salinitas perairan, fisik wilayah, batas administrasi, dan jarak muara sungai ke tempat tinggal masyarakat), karakteristik (tipologi) lanskap, dan sosial ekonomi masyarakat. Analisis menggunakan konsep analisis citra penginderaan jauh, analisis spasial, analisis dinamika spasial, analisis statistik, dan analisis deskripsi. Riset ini menghasilkan model lanskap berkelanjutan dengan peta zona wilayahnya yang potensial dibangun (terbangun) dan wilayah yang prioritas dikonservasi pada wilayah Estuari Cimandiri. ......Regional planning in one area usually prioritize economic factor compared to environmental factor, such as on its ecosystem balance. It can not be separated from the landscape characteristics. Estuarine management can not be separated from the existing landscape, so it require a sustainable landscape. Sustainable landscape model for Cimandiri Estuary is needed by northern part of the Cimandiri watershed where built up area (factories, warehouses, settlement, open space are very dominant), while the southern region is still dominated by agricultural land. The general purpose of the research is to create a model of sustainable landscape in the Cimandiri Estuary as an alternative policy. Special purpose in this research are: (1) to find analyze the characteristics of the landscape and boundary of Cimandiri Estuary, (2) to analyze the relationship between Cimandiri Estuary with social and economic conditions of its people, and (3) to create a formula model of sustainable landscapes in the region of Cimandiri Estuary. The variables used in this research are characteristic boundary (salinity waters, physical area, administration boundary, and distance from estuary to community residences), landscape characteristic (typology), and social and economic communities. The analysis used are the concept of remote sensing, spatial analysis, spatial dynamics, statistical analysis, and description analysis. This research created a model of sustainable landscapes with a map of potential built up area, and the priority area of conservation on the Cimandiri Estuaries.
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriatna
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia,
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jatna Supriatna
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016
599.8 JAT p
UI - Publikasi  Universitas Indonesia Library
cover
Ucu Supriatna
Abstrak :
Penyakit Campak merupakan penyakit akut dengan angka serangan tinggi. Penyebabnya adalah Virus. Menyerang kelompok umur di bawah 14 tahun. Hasil Penyelidikan Epidemiologi pada beberapa KLB campak menunjukan banyaknya ditemukan kasus campak dengan komplikasi. Sementara itu di dapat pula informasi bahwa terdapat perilaku/kebiasaan masyarakat yang memandikan penderita pada saat anak tersebut panas dengan keyakinan mereka akan mempercepat proses penyembuhan. Penelitian kasus kontrol ini bertujuan untuk hubungan perilaku orang tua memandikan penderita saat panas/demam dengan terjadinya komplikasi pada penderita campak usia 9 bulan sampai < 14 tahun di kabupaten Majalengka. Dari hasil penelitian terbukti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Juga didapat hubungan terjadinya komplikasi dengan karakteristik pemberi jasa pengobatan serta umur penderita. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengembangkan kerangka konsep faktor risiko terjadinya komplikasi pada penderita campak serta mekanisme perjalanan penyakit yang dapat digunakan dalam intervensi pencegahan mulai dari Primer sampai dengan Tersier. Diakhir penelitian ini beberapa saran diajukan guna perbaikan program serta peningkatan status kesehatan masyarakat dan agar diterapkan terutama di Iingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Daftar Pustaka; 21 (1986 - 2000)
Relationship of Parents Behaviour to Take a Bath the Patient when They were Fever and Complication in Measles Patient, 9 Month to < 14 Years Old in MajalengkaMeasles is acute disease with high attack value. The cause of this is virus. Attacks age group below 14 years old. Result of epidemiology research in few measles outbreak investigation shows that a lot of case with complication. Mean while there is an information that people behavior to take a bath the patient when they are fever with a conviction that it will speed up the recovery process. Research of this control case is for relationship. Parents behavior with the complication on the patient 9 month to < 14 years old in Majalengka. From the result of the research was proven that. There is a relationship between those two variables, and there is a relationship, between complication with the characteristic medical service and the age of patient. Based on research result, researcher build up the concept of framework in risk factor o complication on the patient and disease way make recharims that can be use in preventive intervention start from primer to terrier. In the end on this research a few advice was offered for program recovery and the raised of public health status and it will be use especially in Health Department in Majalengka. ( Literature : 21, 1986 - 2000 )
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T8379
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Piping Supriatna
Abstrak :
Biro Umum Sekretariat Negara selaku unit kerja pengelola anggaran rutin dan penyelenggara pelayanan umum di lingkungan Sekretariat Negara belum pernah melakukan pengukuran kinerja secara menyeluruh dari berbagai aspek pengukuran. Pengukuran yang dilakukan hanya menyangkut aspek finansial saja sedangkan untuk aspek yang lainnya belum tersentuh. Penelitian ini mencoba untuk melakukan pengukuran dengan pendekatan Balanced Scorecard, yang mengukur kinerja dari 4 perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Populasi penelitian adalah pegawai Biro Umum Sekretariat Negara selaku pengelola anggaran rutin dan penyelenggara pelayanan umum di lingkungan Sekretariat Negara (347 orang), dan pelanggan/penerima layanan yaitu pegawai dan seluruh unit kerja yang mendapatkan pelayanan dari Biro Umum Sekretariat Negara (520 orang). Sebagai sampel, dari pegawai Biro Umum diambil secara acak sebanyak 45 responden, dan dari penerima layanan sebanyak 72 responden terdiri dari pejabat (eselon II, III, dan IV) serta Staf. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kinerja Biro Umum Sekretariat Negara selaku pengelola anggaran rutin dan penyelenggara pelayanan umum di lingkungan Sekretariat Negara dengan menggunakan Balanced Scorecard adalah baik. Kinerja perspektif keuangan hanya diukur dengan menggunakan indikator tingkat penyerapan anggaran memperoleh skor sangat baik karena daya serap anggaran untuk setiap tahunnya rata-rata mencapai 98,25%. Kinerja perpektif pelanggan/penerima layanan yang diukur dengan menggunakan indikator tingkat kepuasan pelanggan memperoleh penilaian baik dari keseluruhan unsur yang dinilai yaitu tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Perspektif kinerja bisnis internal yang diukur dengan menggunakan indikator inovasi memperoleh nilai baik, sedangkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan secara keseluruhan memperoleh nilai cukup baik.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T8858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Supriatna
Abstrak :
Seiring dengan semakin banyaknya pilihan layanan telekomunikasi dan penurunan pendapatan layanan telepon, penyelenggara wartel mengalami masa sulit yang ditandai dengan berkurangnya pendapatan yang diperoleh. Sementara di sisi lain, kebutuhan layanan akses internet semakin tumbuh dari tahun ke tahun sehingga terdapat peluang bagi penyelenggara wartel untuk memberikan layanan akses internet pada wartel yang dikelolanya sebagal sumber pendapatan baru. Implementasi layanan intemet berbasis Speedy dapat menjadi solusi bagi penyelenggara wartel untuk tetap dapat bertahan dan mengembangkan bisnisnya sehingga perlu dilakukan analisa terhadap kelayakan investasinya. Dari aspek kelayakan teknis terdapat sejumlah 3.639 wartel (93% dari total jumlah wartel) yang tersebar di 850 wilayah RK (93% dari total jumlah RK) layak untuk mengimplementasikan layanan akses internet berbasis Speedy. Dengan pendanaan mempergunakan modal sendiri, implementasi layanan akses berbasis Speedy pada wartel layak untuk diimplementasikan pada 384 wartel yang tersebar pada 75 wilayah RK. Dengan pola pendanaan mempergunakan kredit investasi perbankan, implementasi layanan akses berbasis Speedy pada wartel layak untuk diimplementasikan pada 357 wartel yang tersebar pada 73 wilayah RK. Sedangkan dengan pola pendanaan mempergunakan Community Development Program PT TELKOM, implementasi layanan akses berbasis Speedy pada wartel layak untuk diimplementasikan pada 434 wartel yang tersebar pada 85 wilayah RK.
In line with the increasing choices of telecommunication services and the declining revenue of telephony service, wartel owners face a difficult period which is marked by wane of revenue. Whereas on the other side the need of internet access service is growing from year to year, so there is an opportunity for wartel owners to provide Internet access service at their operated wartel as a new source of revenue. Implementing internet access service based on Speedy could be a solution for wartel owners to survive and leverage their business, so it is necessary to analyze the feasibility of investment. From technical feasibility aspect there are 3.639 wartel (93% from total wartel) distributed at 850 Cross Connecting Point (CCP) area (93% from total CCP) feasible to implement intemet access service based on Speedy. By using self financing to implement internet access service based on Speedy at existing wartel, the implementation will be feasible to be implemented at 384 wartel distributed at 75 CCP area. By using loan investment from banking, the implementation will be feasible to be implemented at 357 wartels distributed at 73 CCP area. While using PT TELKOM Community Development Program, the implementation will be feasible to be implemented at 434 wartels distributed at 75 CCP area.
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Ade Supriatna
Abstrak :
Tingkat pertumbuhan penduduk sangat berpengaruh pada volume sampah hasil dari konsumsi penduduk. Tingkat pertumbuhan penduduk berkorelasi positif dengan tingkat konsumsi penduduk. Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700m3 per hari yang ditampung di TPA Bantar Gebang. Jika pertumbuhan sampah ini tidak dikendalikan maka, permasalahan seperti polusi udara, air, tanah dan lain sebagainya akan juga meningkat. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang sebaiknya diambil oleh pemerintah daerah DKI Jakarta dalam pengelolan sampah pengolahan sampah guna mengurangi timbunan sampah di TPA tersebut. Ada beberapa alternatif pengolahan sampah yang dapat dilakukan Pemda DKI Jakarta sebagai penghasil sampah, yaitu pengomposan, recycle/daur ulang, landfill dan incenerator. Dalam menentukan alternatif pengolahan sampah tersebut tentu saja tidak dapat hanya dengan efektifitas dalam mengurangi timbunan sampah, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek seperti sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi. Dengan kata lain penyelesaian sampah di DKI Jakarta harus dilihat secara sistem bukan hanya pada satu sisi saja. Dengan menggunakan system dynamics, faktor-faktor yang mempengaruhi volume timbunan sampah dapat digambarkan. Selain itu hasil simulasinya memberikan proyeksi sampah yang dihasilkan dan akan dibuang ke TPA Bantar Gebang. Dan dengan menggunakan expert choice dapat memberikan skala prioritas dari perbandingan alternatif-alternatif yang ada untuk memberikan pertimbangan alternatif yang mana yang sebaiknya dilakukan dalam pengolahan sampah untuk mengurangi timbunan di TPA Bantar Gebang. Dari hasil simulasi system dynamics, incenerator menurunkan timbunan sampah paling besar yaitu 64 % gabungan pengomposan dan incenerator, 66 %. Sedangkan berdasarkan analytic hierarchy process (AHP), skala prioritas pengolahan sampah dengan pengomposan (42.5%) lebih besar dibandingkan dengan yang lain, lalu diikuti pengolahan sampah dengan recycle 30,2%. Ditinjau dari kelayakan investasi, pengomposan dan incenerasi layak untuk dilaksanakan karena mempunyai rasio B/C lebih besar dari satu (1,406 dan 1,04) sedangkan recycle tidak layak untuk dilaksanakan karena mempunyai rasio B/C kurang dari satu (0,5). ......Level of resident growth is hardly impacted to volume of waste from resident consumption. Level of resident growth is positive correlation with level of resident consumption. Jakarta in 1985 yielding waste a number of 18500m3 per day and in the year 2000 increasing to become 25700m3 per day accomodated in TPA Bantar Gebang. If growth of this waste is not controlled hence, problems of like air pollution, water, soil and others would also increases. Therefore it's required policy by local government DKI Jakarta in processing waste to lessen midden in the TPA. There are some alternative of processing waste which can be done by Pemda DKI Jakarta, that is composting, recycle, landfill and incenerator. In determining alternative of processing of waste, of course no only with effectivity in lessening midden, but having to seen from various aspects like social, economics, environmental and technology. Equally solving of waste in DKI Jakarta must be seen in system is not merely by one sides only. By using system dynamics, factors influencing midden waste volume can be depicted. Besides result of the simulation giving projection of waste yielded and will thrown to TPA Bantar Gebang. And by using expert choice priority scale from comparison alternative to give consideration of which alternative is better to do in processing waste to lessen waste in TPA Bantar Gebang. From result of simulation system dynamics, incenerator reduces biggest midden that is 64 %, composting aliance and incenerator 66 %. While based on analytic hierarchy process ( AHP), processing priority scale of waste with composting ( 425%) bigger compared to other, last is followed by processing of waste with recycle 30,2%. And look from benefit-cost ratio, composting and inceneration feasible to implementation because have B/C > 1 but recycle, unfeasible to implementation because have B/C < 1
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
T41041
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>