Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wigati Kristina Tri
"Telah dilakukan investigasi akurasi kinerja sistem jejaring CT scan Siemens Somatom Sensation 4, TPS Philips Pinnacle3, dan Linac Siemens PRIMUS 2D Plus milik Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Untuk investigasi ml, telah dibuat fantom khusus untuk mengukur akurasi jarak, ukuran penampang, dan densitas massa obyek path citra tampilan CT dan TPS. Khusus untuk memperoleh hubungan antara bilangan CT (HU) dan densitas massa obyek digunakan material fantom air, udara, akrilik, nilon, teflon, gliserin, dan aluminium. Pengambilan data dilakukan dengan 2 metode scanning, metode I dengan kondisi 120 kVp, tebal irisan 10 mm dan kolimasi 1 mm, serta metode II dengan kondisi 120 kVp, tebal irisan 10 mm dan kolimasi 2.5 mm. Hasil pengukuran jarak menunjukkan deviasi dalàm rentang 0.00% - 0.19% untuk metode I yang diperoleh dan 50% data, dan rentang 0.20% - 0.39% untuk metode II yang diperoleh dan 40% data. Tampilan penampang obyek memiliki ukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan penampang sebenarnya dengan rentang deviasi 0,38% sampai dengan 8.3 7%. Perbedaan tertinggi terjadi path material aluminium dengan densitas 2.7 g/cm3. Penentuan deviasi densitas massa diperoleh setelah dilakukan kalibrasi nilal bilangan CT menjadi data densitas massa path sistem TPS. Berdasarkan observasi dan 40% dan 77.8% data pada metode I dan II, diperoleh deviasi densitas massa kurang dan 1%. Dalam penelitian mi juga dilakukan investigasi terhadap akurasi sistem laser untuk penentuan variasi posisi. Sistem laser memiliki akurasi yang sangat tinggi yaitu mendekati 100% path ruang CT simulator dan 99% pada ruang linac.

Performance accuracy of a network system, which is consists of CT Scanner Siemens Somatom Sensation 4, Treatment Planning System Philips Pinnacle 3, and Linac Siemens PRIMUS 2D at Pertamina Central Hospital, Jakarta has been investigated A special phantom has been made for measurement in this work With this phantom, the accuracy of distance, diameter, and mass density of object were measured through the CT image and DRR as well. Data was collected by using 2 scanning method with operation condition 120 kVp, 10 mm slice thickness, 1 mm collimation for scanning method I, and 120 kVp, 10 mm slice thickness, 2.5 mm collimation for scanning method H. The measurement result indicated that the inaccuracy of reconstruction with scanning method! and II, for distance respectively in the range 0.00% - 0.19% and 0.20% - 0.39%, for diameter and mass density of both method respectively in the range 0,38% - 8.37% and less than 1016. Furthermore, the accuracy of laser system of CT and linac were also observea and the result of both laser systems were in a good accuracy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
T23031
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elvan Yuniarti
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T39683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin
"Halcyon 2.0 memiliki EPID yang dapat digunakan untuk Patient-Specific Quality Assurance (PSQA) dan selalu merekam dosis transit selama penyinaran. PSQA merupakan metode untuk menilai kesesuaian hasil perencanaan radioterapi dengan pengukuran, sedangkan dosis transit memiliki kaitan terhadap distribusi dosis pasien. Penelitian ini menganalisis hasil PSQA pada Halcyon 2.0 dan dosis transit setiap fraksi pada kasus nasofaring, servik, dan payudara. Analisis dilakukan berdasarkan metode pengukuran dan evaluasi yang direkomendasikan TG-218. Selain itu, analisis dosis transit dilakukan pada setiap fraksi dan fluence map fraksi pertama dijadikan sebagai baseline. Nilai tolerance limit dan action limit Halcyon 2.0 memenuhi kriteria dari TG-218. Metode dan kriteria gamma index yang direkomendasikan TG-218 memiliki performa baik. Berbeda hal, nilai GPR dosis transit kasus nasofaring terjadi penurunan lebih curam dibandingkan kasus servik dan payudara, hal yang sama untuk korelasi berat badan dengan GPR. Penurunan GPR dari memiliki korelasi dengan berat badan, terutama untuk kasus nasofaring. Selain itu, kasus payudara tidak memiliki subjek dengan korelasi signifikan (p < 0,05) antara GPR dengan berat badan. Kesimpulan dari penelitian ini, berdasarkan metode TG-218 Halcyon 2.0 memiliki hasil PSQA yang baik. Nilai GPR untuk ketiga kasus mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu dan memiliki kaitan terhadap berat badan.

Halcyon 2.0 has an EPID that can be used for Patient-Specific Quality Assurance (PSQA) and continuously records transit doses during irradiation. PSQA is a method for assessing the suitability of the results of radiotherapy planning with measurements, while the transit dose has a bearing on the patient's dose distribution. This study analyzed PSQA results on Halcyon 2.0 and transit doses for each fraction in the nasopharynx, cervix, and breast cases. The analysis was carried out based on the measurement and evaluation methods recommended by TG-218. In addition, transit dose analysis was carried out for each fraction, and the fluence map of the first fraction was used as a baseline. The tolerance limit and action limit values of Halcyon 2.0 meet the criteria of TG-218. The method and gamma index criteria recommended by TG-218 have good performance. In contrast, the transit dose GPR values for nasopharyngeal cases decreased more steeply than cervical and breast cases, the same for the correlation of body weight with GPR. The decrease in GPR correlates with body weight, especially for nasopharyngeal cases. In addition, no breast cases had a significant correlation (p <0.05) between GPR and body weight. The conclusion of this study, based on the TG-218 Halcyon 2.0 method, has good PSQA results. The GPR values for the three cases decreased over time and were related to body weight."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meirisa Ambalinggi
"Intensity modulated radiation therapy (IMRT) memberikan peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan distribusi isodose dengan bentuk target sehingga mengurangi dosis ke organ-at risk. Namun kemampuan IMRT ini disertai oleh kompleksitas lapangan penyinaan IMRT sehingga direkomendasikan untuk melakukan patient-spesific pretreatment quality assurance. QA yang umum digunakan adalah QA berbasis pengukuran, tetapi ini merupakan prosedur yang memakan waktu. Sehingga dibuat suatu alat ukur dari proses jaminan kualitas yang disebut metrik kompleksitas. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi metrik kompleksitas berbasis bukaan pada bukaan multileaf collimator (MLC) yang digunakan dalam klinis dan menganalisis korelasinya dengan gamma pass rate (GPR). Nilai metrik kompleksitas dihitung menggunakan Matlab. Ionization chamber 2D array MatriXX Evolution digunakan untuk verifikasi dosis. Distribusi dosis 2D dianalisis dengan software OmniPro-I'mRT dan dibandingkan menggunakan kriteria indeks gamma 3%/3mm dan 3%/2mm dengan low dose threshold 10%. Hasil uji korelasi metrik kompleksitas dan GPR menunjukkan EAM memiliki korelasi yang baik dengan GPR untuk kedua kasus. Nilai koefisien korelasi untuk kasus CNS adalah –0,918 (3%/3mm) dan –0,864 (3%/2mm), sedangkan untuk kasus payudara nilai koefisien korelasinya adalah –0,983 (3%/3mm) dan –0,961 (3%/2mm). Sedangkan untuk MCS, CAM, CPA, dan MU/Gy memiliki korelasi yang lemah dengan nilai GPR.

Intensity-modulated radiation therapy (IMRT) provides an increased ability to adjust the isodose distribution to the target shape, thereby reducing the dose to organ-at-risk. However, IMRT’s capabilities come with the complexity of IMRT’s treatment field, so it is recommended to carry out patient-specific pretreatment quality assurance. The commonly used QA is measurement-based; however, it is time-consuming. So that made a measuring instrument of the quality assurance process called the complexity metric. This study aims to evaluate aperture-based complexity metrics for multileaf collimator (MLC) apertures used in clinical practice and analyze its correlation with gamma pass rate (GPR). Complexity metric are calculated using Matlab. A 2D array MatriXX Evolution ionization chamber was used for dose verification. The 2D dose distributions were analyzed using OmniPro-I'mRT software and compared using the gamma index criteria of 3%/3mm and 3%/2mm with a low dose threshold of 10%. The correlation test results of complexity metrics and GPR show that the EAM correlates well with GPR for both cases. The correlation coefficient values for CNS cases are –0.918 (3%/3mm) and –0.864 (3%/2mm), while for breast cases the correlation coefficient values are –0.983 (3%/3mm) and –0.961 (3%/2mm). The MCS, CAM, CPA, and MU/Gy have a weak correlation with the value of the GPR."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rahma Apriani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemodelan physiologically-based pharmacokinetic (PBPK) yang mampu menggambarkan biodistribusi dan sifat farmokinetis dari pembrolizumab dan nivolumab dalam tubuh, dengan menggunakan data biodistribusi dari 89Zr-pembrolizumab dan 89Zr-nivolumab  pada Mencit yang telah dicangkokan periferal limfosit manusia (hu-PBL-SCID) (PMID: 27493273 & PMCID: PMC5700850)serta data biodistribusi 89Zr-pembrolizumab pada pasien Non-small cell lung cancer (NSCLC) (PMID: 34272316). Pemodelan PBPK mencakup kompartmen organ dan jaringan seperti, paru-paru, hati, limpa, ginjal, otak, sumsum tulang, kelenjar ludah, yang secara anatomis dihubungkan melalui aliran darah dan aliran limfatik. Kompartemen organ akan dibagi menjadi tiga sub-kompartemen, yaitu ruang vaskular, ruang interstisial dan ruang endosomal, dengan mempertimbangkan adanya ikatan antara pembrolizumab dengan FcRn pada ruang endosomal. Parameter yang diestimasi dalam pemodelan PBPK merupakan parameter drug-dependent, diantaranya adalah faktor modulasi endositosis (F2) dan modulasi eksositosis (F3) pada ruang endosomal, serta faktor modulasi dari aliran transkapiler antara ruang vaskular dan ruang interstisial (MK). Pemodelan akan dievaluasi menggunakan metode Goodness of Fit, yaitu melalui evaluasi visual grafik pemodelan dan nilai coefficient of variation (CV) dari parameter yang diestimasi (%CV < 50%). Nilai estimasi parameter F2 [%CV] didapatkan untuk pembrolizumab sebesar 0,021 [6,10] dan untuk nivolumab bernilai 0,034 [9,44], sedangkan faktor modulasi eksositosis (F3) tidak mempengaruhi kurva akumulasi konsentrasi hasil pemodelan sehingga nilainya di fiksasi pada angka 1. Meskipun MK merupakan parameter drug-dependent, sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa besar aliran transkapiler pada organ hati dan limpa kemungkinan berbeda dengan organ lainnya, sehingga dalam penelitian didapatkan estimasi nilai MK yang sama untuk hati dan Limpa namun berbeda dengan organ lainnya, untuk pembrolizumab nilai MK [%CV] berada dalam rentang 18,76-28,77 [1,82-4,89], sedangkan untuk nivolumab berada dalam rentang 27,46-30,69 [4,99-5,61]. Untuk menganalisa efek radiofarmaka antibodi pada organ at risk, diperlukan informasi nilai Area under curve (AUC) yang didapatkan melalui pemodelan PBPK final. Dari hasil perbandingan nilai AUC akumulasi nivolumab lebih tinggi  dibandingkan dengan pembrolizumab.

This study aims to develop a physiologically-based pharmacokinetic (PBPK) model to describe the biodistribution and pharmacokinetic properties of pembrolizumab and nivolumab in the body. The biodistribution data of 89Zr-pembrolizumab and 89Zr-nivolumab in mice that have been grafted with human’s peripheral lymphocytes (hu- PBL-SCID) (PMID: 27493273 & PMCID: PMC5700850) and the 89Zr-pembrolizumab biodistribution data in Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) patients (PMID: 34272316) were used for PBPK modeling. This modeling was done through the organ and tissue compartments, such as the lung, liver, spleen, kidney, brain, bone marrow, and salivary glands, which were anatomically connected through blood flow and lymphatic flow. The organ compartment was divided into three sub-compartments, namely the vascular space, the interstitial space, and the endosomal space, while considering the binding between the monoclonal antibody (mAb) and FcRn occurred in the endosomal space. The drug-dependent parameters, such as modulation factors of endocytosis (F2) and modulation of exocytosis (F3) in the endosomal space, as well as modulation factors of transcapillary flow between the vascular space and the interstitial space (MK), were estimated in the model. Modeling will be evaluated using the Goodness of Fit method, through visual evaluation of the modeling graph and the coefficient of variation (CV) value of the estimated parameters (%CV <50%). The estimated value of the F2 parameter [%CV] obtained for pembrolizumab was 0.021 [6.10] and nivolumab was 0.034 [9.44], while the exocytosis modulation factor (F3) did not affect the concentration accumulation curve modeled, so its value was fixed at number 1. Even though MK is a drug-dependent parameter, a literature states that the amount of transcapillary flow in the liver and spleen may be different from other organs, so this study also found that the estimated MK value was the same for the liver and spleen but different from other organs. for pembrolizumab the value of MK [%CV] was in the range of 18.76-28.77 [1.82-4.89], while for nivolumab it was in the range of 27.46-30.69 [4.99-5.61]. To analyze the effects of antibody radiopharmaceuticals on Organs at Risk (OARs), the information on the value of the Area Under the Curve (AUC) obtained through the final PBPK modeling is needed. From the comparison results, the accumulated AUC value of nivolumab was higher than that of pembrolizumab."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitha Dwinesti
"Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) adalah teknik radioterapi yang kompleks, sehingga verifikasi independen atau audit dosimetri harus dilakukan untuk memastikan bahwa dosis yang akurat diberikan kepada pasien. Penelitian ini melakukan audit multicenter dengan menggunakan metode audit dosimetri yang dikembangkan dari audit dosimetri IAEA untuk IMRT/VMAT. Fantom dalam penelitian ini terbuat dari bahan akrilik dengan dua struktur insert: planning target volume (PTV) berbentuk C dan organ at risk (OAR). Citra fantom diambil dengan CT simulator milik centre, kemudian perencanaan radiasi dibuat dengan dosis PTV 4 Gy/2 fraksi (D95% = 95%, D2% < 107%, dan Dmax < 110%) dan dosis OAR maksimum 2,8 Gy. Evaluasi dosis pada penelitian ini menggunakan TLD-rod untuk dosis titik dan Gafchromic Film EBT3 untuk distribusi dosis 2D. Evaluasi gamma dilakukan untuk distribusi dosis film dengan kriteria 3%/3mm dan 3%/2mm. Audit dosimetri IMRT menggunakan fantom C-shape dilakukan di tujuh linac (dynamic MLC dan static MLC) dari enam centre di Jakarta. Hasil TLD untuk dosis poin PTV dan OAR menunjukkan bahwa semua 12 IMRT plan memenuhi toleransi deviasi ±5%. Evaluasi EBT3 film mengidentifikasi bahwa hampir semua plan memiliki pass rate diatas 95% untuk kriteria 3%/3mm dan diatas 90% untuk 3%/2mm. Tiga rencana dari tiga centre juga dibandingkan dengan data studi sebelumnya dari pusat yang sama.

Intensity Modulation Radiation Therapy (IMRT) is a complex radiotherapy technique, so independent verification or dosimetry audits must be performed to ensure that accurate dosing is delivered to patients. This study conducted a multicenter audit using a dosimetry audit method developed from the IAEA dosimetry audit for IMRT/VMAT. The phantom in this study is made of acrylic material with two insert structures: planning target volume (PTV) and organ at risk (OAR). Phantom was scanned with a CT simulator at each hospital, and dose distribution was simulated with a PTV prescription dose of 4 Gy/2 fraction (D95% = 95%, D2% < 107%, and Dmax < 110%) and a maximum OAR dose of 2.8 Gy. Dose evaluation in this study used TLD-rod for point dose and Gafchromic Film EBT3 for 2D dose distribution. Gamma evaluation was performed for film dose distribution with 3%/3mm and 3%/2mm criteria. The IMRT dosimetry audit using a C-shape phantom was tested in seven linacs (dynamic and static MLC) from six centres in Jakarta. The TLD results for PTV and OAR point dose show that all 14 IMRT plans meet deviation tolerance within ±5%. The film EBT3 evaluation identified that almost all plans pass the minimum 95% gamma passing rate for 3%/3mm criteria and the minimum of 90% for 3%/2mm. Three plans from three centres were also compared to the previous study data from the same centres."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hning Mutiara Gita Saraswati
"Pedoman AAPM TG-238 memberikan rekomendasi mengenai prosedur kajian mutu dalam menjaga kualitas citra angiografi rotasi tiga dimensi (3DRA). Dalam pedoman tersebut, uji uniformitas masih dilakukan menggunakan metode sampling sehingga belum dapat memberikan hasil informasi secara menyeluruh serta kurang akurat dalam mendeteksi masalah kualitas citra yang dapat diamati secara klinis. Meskipun demikian, banyak perangkat lunak yang telah dikembangkan menggunakan metode evaluasi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengusulkan metode evaluasi uji uniformitas yang baru serta mengembangkan perangkat lunak guna memberikan hasil evaluasi uji uniformitas citra 3DRA yang lebih komprehensif. Metode evaluasi uji uniformitas yang dikembangkan diadaptasi dari pedoman AAPM TG-238 dan pedoman EUREF. Parameter untuk menilai uniformitas dilakukan berdasarkan perhitungan mean pixel value (MPV) dan signal-to-noise ratio (SNR) yang sesuai dengan rekomendasi EUREF, namun dengan nilai limitasi yang direkomendasikan oleh AAPM-TG-238. Nilai limitasi yang digunakan dalam menilai keberhasilan pengujian ditemukan kurang relevan dengan metode pengujian yang dikembangkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, rekomendasi metode pengujian uniformitas dilakukan berdasarkan tingkat sensitivitas dalam mendeteksi dan menampilkan ketidakseragaman yang terjadi. Metode evaluasi yang dikembangkan mampu memberikan hasil evaluasi uji uniformitas citra 3DRA yang lebih komprehensif, namun diperlukan studi lebih lanjut mengenai nilai limitasi yang digunakan dalam menentukan kelayakan lolos uji uniformitas.

AAPM TG-238 provides guidance on quality control procedures to ensuring optimal three-dimensional rotational angiography (3DRA) image quality. The uniformity test outlined in this guideline utilizes a sampling method, which provide limited information on image uniformity and has been found to be a sub-optimum predictor of human-observable image quality issues. Despite this limitation, numerous automated quality control software solutions have been developed using the available method. Therefore, this study was aimed to propose new methods and develop an in-house software to generate more comprehensive uniformity testing of 3DRA images. The uniformity evaluation techniques are adopted from both AAPM TG 238 and EUREF guidelines. The parameters assesses included mean pixel value (MPV) and signal to noise ratio (SNR) following EUREF recommendations with limiting values adapted from AAPM TG-238. In new evaluation methods, the previously established limiting values could not be employed as a reference for determining image uniformity. Therefore, the selection of the optimal uniformity testing method will be based on its sensitivity in detecting and visually displaying non-uniformities. The new evaluation techniques provide a more comprehensive assessment of 3DRA image uniformity. However, further investigation is reserved to refine the limitation values used in determining the pass/fail criteria for the uniformity test."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Fikri Mushaddaq
"Kanker serviks tetap menjadi penyebab utama kematian terkait kanker di kalangan perempuan secara global, dengan kebutuhan yang terus meningkat akan pengobatan yang lebih efektif. Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) memberikan distribusi dosis yang presisi, namun membutuhkan waktu perencanaan yang lama. Penelitian ini mengembangkan model prediksi distribusi dosis menggunakan Support Vector Regression (SVR) untuk mempercepat perencanaan radiasi pada kanker serviks. Model ini dilatih dengan dataset 102 pasien yang memiliki stadium kanker konsisten dan diuji pada dataset baru dengan 71 pasien dengan stadium acak. Metode yang digunakan melibatkan pre-processing data DICOM, ekstraksi fitur radiomic dan dosiomic, normalisasi, serta training model dengan GridSearchCV dan k-fold cross-validation untuk optimisasi parameter. Hasil menunjukkan bahwa SVR dapat memprediksi dosis dengan Mean Absolute Error (MAE) yang mendekati nilai klinis, dengan MAE rata-rata 0,08 untuk prediksi dosis pada organ risiko seperti kandung kemih dan rektum. Prediksi Homogeneity Index (HI) dan Conformity Index (CI) juga menunjukkan akurasi tinggi, dengan nilai prediksi HI sebesar 0,100 dan CI sebesar 0,954 dibandingkan nilai klinis HI 0,113 dan CI 0,953. Analisis statistik menunjukkan bahwa model ini dapat mengurangi waktu perencanaan tanpa mengorbankan akurasi dosis, meskipun perbaikan diperlukan untuk beberapa prediksi organ seperti femur. Temuan ini menegaskan pentingnya ukuran dataset dan konsistensi stadium dalam meningkatkan kinerja model prediksi dosis radiasi dan menunjukkan potensi SVR sebagai alat bantu dalam perencanaan radioterapi.

Cervical cancer remains a leading cause of cancer-related deaths among women worldwide, highlighting the need for more effective treatments. Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) provides precise dose distribution but involves lengthy planning times. This study develops a dose distribution prediction model using Support Vector Regression (SVR) to expedite radiotherapy planning for cervical cancer. The model was trained on a dataset of 102 patients with consistent cancer stages and tested on a new dataset of 71 patients with random stages. The methodology included pre-processing DICOM data, feature extraction for radiomic and dosiomic data, normalization, and training using GridSearchCV and k-fold cross-validation for parameter optimization. Results indicate that SVR can predict doses with a Mean Absolute Error (MAE) close to clinical values, with an average MAE of 0,08 for dose predictions in organs at risk such as the bladder and rectum. Predicted Homogeneity Index (HI) and Conformity Index (CI) also show high accuracy, with predicted HI at 0,100 and CI at 0,954 compared to clinical values of HI 0,113 and CI 0,953. Statistical analysis reveals that the model can reduce planning time without sacrificing dose accuracy, although improvements are needed for some organ predictions like the femur. These findings underscore the importance of dataset size and stage consistency in enhancing the performance of radiation dose prediction models and demonstrate the potential of SVR as a tool to assist in radiotherapy planning."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anika Kunthi Hutami
"Computed tomography dosis rendah telah menjadi pilihan yang efektif untuk skrining lesi kanker pada populasi berisiko tinggi. Namun, kekurangan dari dosis rendah CT menghasilkan noise pada gambar. Solusi yang diperkenalkan, seperti penggunaan tipe rekonstruksi, cenderung kurang efisien dalam waktu, rumit dan membutuhkan biaya tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimalisasi dengan membandingkan kemampuan deteksi lesi pada dosis standar dan dosis rendah menggunakan alat bantu fantom in-house yang dirancang khusus untuk mensimulasi lesi paru. Fantom in-house dibuat dari material ekuivalen organ atau jaringan, serta dilengkapi berbagai variasi nilai hounsfield unit (-500, -400, -300 dan -200 HU) dan ukuran diameter objek ( 2, 4, 6 dan 8 mm). Variasi tersebut diperoleh berdasarkan analisis 73 data pasien kontras untuk mendukung evaluasi performa pencitraan. Pemindaian dilakukan pada fantom in-house dengan menggunakan parameter protokol dosis standar (200 mAs) dan dosis rendah (10 mAs, 30 mAs, dan 50 mAs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa protokol dosis rendah dengan arus tabung 10 mAs mampu mengurangi dosis radiasi hingga 95% dan mampu mendeteksi lesi kecil berdiameter kurang dari 3 mm dengan nilai Hounsfield Unit rendah pada tingkat radiasi yang lebih rendah. Pada computed tomography dosis rendah (10 mAs), hasil yang memuaskan ditunjukkan dengan signal difference to noise (≥5) diberbagai variasi lesi. Selain itu, optimalisasi kualitas gambar melalui figure of merit yang konsisten tinggi ditunjukkan.

Low dose computed tomography has become an effective option for screening cancerous lesions in high-risk populations. However, the drawback of low-dose CT is that it generates noise in the images. Solutions introduced, such as the use of reconstruction techniques, tend to be time-inefficient, complex, and costly. This study aims to optimize and compare the lesion detection capability between standard dose and low dose CT using an in-house phantom specifically designed to simulate lung lesions. The in-house phantom was constructed from organ or tissue-equivalent materials and equipped with various Hounsfield Unit values (-500, -400, -300, and -200 HU) and object diameters (2 mm, 4 mm, 6 mm, and 8 mm). These variations were derived based on an analysis of 73 contrast-enhanced patient data to support imaging performance evaluation. Scanning was performed on the in-house phantom using standard-dose protocol parameters (200 mAs) and low-dose protocols (10 mAs, 30 mAs, and 50 mAs). The results showed that the low-dose protocol with a tube current of 10 mAs was able to reduce radiation exposure by up to 95% while still detecting small lesions with diameters of less than 3 mm and low Hounsfield Unit values at reduced radiation levels. In low-dose CT (10 mAs), satisfactory results were demonstrated with a signal difference to noise (≥5) across various lesion types. Additionally, optimization of image quality through consistently high figure-of-merit values was achieved."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldiman Bakhti
"Alzheimer’s Disease (AD) merupakan penyakit degeneratif pada organ otak yang dapat menyebabkan penurunan kognitif, sehingga mempengaruhi kualitas hidup dan perilaku penderita. Diagnosis secara dini dan akurat dari AD, termasuk mengindentifikasi tahap awal dari penyakit ini yang disebut sebagai mild cognitive impairment (MCI), merupakan hal yang penting untuk melakukan intervensi terhadap penyakit ini. Fluorodeoxyglucose Positrons Emission Tomography (FDG-PET) adalah modalitas pencitraan molekuler fungsional yang dapat digunakan untuk membantu memahami perubahan secara anatomis dan perubahan secara neural pada otak yang berhubungan dengan AD. Keberhasilan model Convolutional Neural Network (CNN) terutama dalam klasifikasi citra, kami mengembangkan sebual model CNN yang dilatih menggunakan data citra dari FDG-PET dari Alzheimer’s Disease Neuroimaging Initiative (ADNI) untuk dapat mengklasifikasikan antara citra dengan kondisi AD, MCI, dan Cognitive Normal (CN). Metode Gradient-weighted Class Activation Mapping (Grad-CAM) digunakan untuk meningkatkan interpretabiltas model, menunjukkan daerah-daerah penting dari prediksi dan membuat model menjadi lebih transparan dan dapat dijelaskan. Model multiclass yang dikembangkan memperoleh akurasi (97%), presisi (99%), recall (99%), dan F1-Score (99%). Heatmap yang dihasilkan dari Grad-CAM memberikan informasi visual terhadap proses pembuatan keputusan dari model, yang dapat membantu dalam memahami daerah-daerah penting pada citra yang diklasifikasi. Berdasarkan penelitan ini, model yang dikembangkan selain memiliki kapabilitas dalam melakukan klasifikasi penyakit Alzheimer serta tahap awal dari penyakit, model juga memberikan informasi visual yang berpotensi untuk memajukan perangkat diagnostik dalam bidang kesehatan.

Alzheimer’s disease (AD) is a brain degenerative disorder can cause cognitive decline, impacting daily life and behaviour of the patient. Early and accurate diagnosis of AD, including identifying its prodromal stage (mild cognitive impairment (MCI), is crucial for effective intervention of the disease. Fluorodeoxyglucose Positrons Emission Tomography (FDG-PET) is a functional molecular imaging modality, that can be used to help understand the anatomical and neural changes of brain related to AD. With the success of Convolutional Neural Network (CNN) especially in image classification, we develop a CNN model trained on FDG-PET images from Alzheimer’s Disease Neuroimaging Initiative (ADNI) dataset to discern between AD, MCI, and Cognitive Normal (CN) states. Incorporating Gradient-weighted Class Activation Mapping (Grad-CAM) enhances model interpretability, highlighting crucial image regions for disease prediction and to enhance our model interpretability and make our model more transparent and explainable. Our multiclass model achieves accuracy (97%), precision (99%), recall (99%), and F1 scores (99%). Grad-CAM-generated heatmaps give insight into the model’s decision-making process, aiding in understanding important classification regions within images. Based on our findings, not only demonstrate the model’s capability in classifying Alzheimer’s disease and its prodromal stage but it also provides visual insights that showcase its potential to advance diagnostic tools in healthcare."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>