Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nirsam
Abstrak :
Pembiayaan murabahah adalah pembiayaan yang mengharuskan adanya transparansi harga beli barang (modal beli barang) dan berapa margin keuntungan yang diinginkan Bank selaku penjual kepada Nasabah selaku pembeli sebagai tambahan harga. Hal yang terpenting untuk menilai apakah dalam kegiatan perbankan Syariah, khususnya PT. Bank Muamalat Indonesia, telah benarbenar menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam melakukan pembiayaan dengan menggunakan akad murabahah adalah dengan cara mengkaji dan meneliti bagaimana penerapan pembiayaan akad muarabahah (khususnya menyangkut penentuan profit margin) pada perbankan Syari'ah. Dani hasil penelitian yang telah dilakukan, dihasilkan sebuah kesimpulan bahwa penentuan profit margin pada pembiayaan akad murabahah masih mengandung unsur-unsur yang seharusnya tidak dijadikan patokan dalam menentukan margin keuntungan. Seperti masih dimasukkannya hal-hal yang tidak terkait langsung dengan transaksi pembiayaan murabahah sebagai harga bell barang yang menurut jumhur ulama tidak dapat dibebankan kepada Nasabah Pembeli. Sebagai contoh adalah biaya tenaga kerja dan biaya-biaya yang semestinya dibebankan kepada Bank selaku penjual. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap mekanisme penentuan profit margin tersebut sehingga benar-benar telah sesuai dengan prinsip-prinsip Syari'ah, khususnya mencegah adanya unsur riba yang diharamkan Islam dalam melakukan transaksi pembiayaan murabahah.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T20165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Azzahra Hanifah
Abstrak :
Penyelesaian sengketa perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sempat menimbulkan dualisme antara kewenangan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Agama, khususnya dalam perkara kepailitan yang melibatkan perbankan syariah. Undang-undang tersebut membolehkan bank syariah untuk memilih Pengadilan Niaga sebagai forum penyelesaian sengketanya. Padahal sengketa perbankan syariah yang timbul berdasarkan suatu akad syariah tentulah harus diselesaikan dengan ketentuan syariah pula demi melindungi tujuan hukum Islam maupun hak-hak umat Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 kemudian menegaskan bahwa kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama, sekaligus mencabut kewenangan Pengadilan Niaga untuk menangani sengketa perbankan syariah karena mengandung ketidaksesuaian antara perjanjian yang mendasari sengketa dengan mekanisme penyelesaian sengketanya. Penelitian yang dilakukan dengan metode yuridis-normatif ini berfokus untuk menganalisis kesesuaian antara akad dan penyelesaian sengketa dalam Putusan Nomor 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. Putusan tersebut menunjukkan bahwa terdapat prinsip dasar hukum Islam dan perbankan syariah yang terpaksa disimpangi karena penggunaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu hubungan antara bank syariah dan nasabah yang menurut hukum Islam merupakan hubungan kemitraan menjadi hubungan kreditor-debitor. Hal ini berimplikasi pada perubahan kedudukan para pihak dan juga paradigma dalam memandang perikatan berdasarkan akad syariah yang dalam kasus ini merupakan Akad Pembiayaan Murabahah. Oleh karena itu, sengketa pembiayaan syariah haruslah diselesaikan di Pengadilan Agama apabila para pihak memang hendak menempuh jalur litigasi.
Sharia banking dispute resolution stipulated in Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking has created a dualism between the authority of the Commercial Court and the Religious Court, especially in bankruptcy cases involving Islamic banks. The law allows Islamic banks to choose the Commercial Court as a forum for resolving their disputes. Whereas sharia banking disputes that arise based on a sharia contract must be settled with sharia provisions as well to protect the objectives of Islamic law and the rights of Muslims. The decision of the Constitutional Court Number 93/PUU-X/2012 then confirmed that resolving sharia banking disputes was the authority of the Religious Court. The decision revoked the authority of the Commercial Court to handle sharia banking disputes because it contained a discrepancy between the agreements underlying the dispute and the dispute settlement mechanism. This juridical-normative research focuses on analyzing the suitability between the contract and settlement of disputes in Decision Number 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. The verdict shows that there are basic principles of Islamic law and Islamic banking which are forced to be deviated because of the use of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy, namely the relationship between Islamic banks and customers which according to Islamic law is a partnership relationship into a creditor-debtor relationship. This has implications for changes in the position of the parties and also the paradigm of looking at the engagement based on the sharia contract which in this case is the Murabahah Financing Agreement. Therefore, sharia financing disputes must be resolved in the Religious Courts if the parties really want to take the litigation path.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin
Abstrak :
Harta bersama merupakan salah satu bentuk sumber kekayaan yang diusahakan suami isteri dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat (BW) mempunyai perbedaan dalam mengatur sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan kehidupan keluarga. Perbedaan ini menyangkut tentang ada tidaknya harta bersama, proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur yang membentuk harta bersama, pola pengelolaan harta bersama dan pembagian harta bersama karena perceraian. Para ahli Hukum Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum harta bersama ini. Kelompok pertama berpendapat bahwa pada asasnya dalam Hukum Islam tidak ada harta bersama. Seluruh biaya pemenuhan penyelenggaraan kehidupan rumah tangga menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Walaupun isteri memiliki harta baik berasal dari warisan, hibah maupun hasil usahanya sendiri, ia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penggunaan harta benda isteri oleh suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hukumnya sebagai pinjaman/hutang yang harus dikembalikan. Kelompok kedua, yang umumnya terdiri dari ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa suami dan isteri dapat membentuk harta bersama guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, apabila pasangan suami isteri tersebut sepakat untuk membentuknya. Kebolehan pembentukan harta bersama ini mereka kiaskan dengan diperkenankannya membentuk usaha dagang bersama (syarikat 'inan). Menurut pendapat kedua ini, bila suami dan isteri sepakat, mereka dapat membentuk harta bersama. Kesepakatan tersebut tidak harus berupa perjanjian. Jika dalam kehidupan keseharian menun.jukkan adanya harta bersama, secara hukum dapat ditafsirkan sebagai adanya kesepak.atan suami isteri untuk membentuk harta bersama. Secara tersurat, Pasal 85 sampai dengan 97 Bab XIII Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang merupakan produk fikih Indonesia, mengatur kemungkinan bagi para pihak suami isteri untuk membentuk harta bersama dalam keluarga. Pasal 65 Kompilasi tersebut menyatakan pula bahwa adanya harta bersama dalam keluarga itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik pribadi masing-masing suami dan isteri. Sedang menurut Hukum Adat, harta bersama dalam perkawinan adalah harta lepasan atau pecahan dari harta kerabat yang mengurung keluarga baru tersebut. Harta bersama ini berada di antara dua tarikan kutub, kutub kerabat dan kutub keluarga. Pada suatu ketika tarikan kutub keluarga lebih kuat, dan pada ketika yang lain tarikan kutub kerabat lebih kuat. Unsur-unsur harta dari harta bersama menurut Hukum Adat adalah semua harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama perkawinan dan harta yang diberikan kepada keduanya ketika menikah. Berkenaan dengan harta bersama, Hukum Perdata Barat (BW) menetapkan bahwa apabila tiada perjanjian khusus dalam perkawinanq maka semua harta yang dibawa oleh suami dan isteri, harta yang diperoleh selama perkawinan, semuanya menjadi harta bersama. Baik Hukum Adat maupun Hukum Perdata Barat (BW) menganut asas persatuan bulat. Kompilasi Hukum Islam secara tegas menyatakan bahwa suami bertanggungjawab menjaga harta bersama, harta pribadi isteri dan harta pribadi suami sendiri. isteri ikut bertanggungiawab meniaga harta bersama maupun harta pribadi suami yang ada padanya. Tanpa persetujuan pihak, lain, suami atau isteri tidak boleh menjual atau memindahtangankan harta bersama. Bagaimana prosedur pembagian harta bersama j ika terjadi perceraian, dimana pembagian dilakukan dan berapa bagian masing-masing suami isteri. Kenyataan dalam masyarakat diperkirakan sangat bermacam ragam. Kemungkinan pembagian itu dilakukan dirumah, sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan, kemungkinan kesepakatan pembagian tercapai di Pengadilan, kemungkinan pembagian dilakukan di bawah wibawa keputusan pengadilan, atau kemungkinan harta tersebut tidak pernah dilakukan pembagian sehingga harta bersama tetap dikuasai oleh salah satu pihak. Kemungkinan pihak laki-laki yang menguasai harta bersama itu, kemungkinan pula pihak laki-1aki memperoleh bagian terbesar dari harta bersama itu atau mungkin pula sebaliknya. Besar kecilnya bagian masing-masing ini dipengaruhi oleh hukum yang dianut, kesadaran hukum dan lingkungan masyarakatnya. Pengetahuan tentang proses pembentukan harta bersama, unsur-unsur harta, pengelolaan dan pembagian harta bersama akibat perceraian masih sangat kurang. Hal ini dapat dipenuhi melalui kegiatan penelitian yang secara makro akan memberikan gambaran tentang seberapa jauh perjuangan perbaikan nasib kaum wanita, khususnya wanita yang telah dicerai. Selain itu, informasi tersebut diharapkan juga akan bermanfaat sebagai penilaian dan evaluasi pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library