Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Heny Widyawati
"Masalah perlindungan hukum bagi pekerja di Indonesia selalu menjadi masalah yang belum terpecahkan sampai saat ini. demontrasi yang dilakukan oleh para pekerja akhir-akhir ini membuktikan bahwa masih banyaknya permasalahan yang belum terpecahkan. Pengusaha menginginkan kegiatan usaha yang efektif, efisien dan produktif. Dengan alasan ini pengusaha sering kali melanggar hak-hak normatif pekerja.
Pemerintah berusaha menengahi dengan dikeluarkannya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam pasal 59 mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu yang bertujuan agar tidak terjadi pengangkatan pekerja secara PKWT untuk pekerjaan yang suatu usaha. Namun dalam kenyataannya perjanjian kerja dengan PKWT sangatlah melindungi pengusaha dan sebaliknya sangat merugikan pihak pekerja karena sesungguhnya dengan PKWT pihak pekerja tidak mempunyai jaminan karier, upah dibawah upah minimum, dan seringkali tidak ada jaminan sosial.
Oleh kerena itu penulis mencoba untuk memperoleh gambaran serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor apa yang memungkinkan diadakan perjanjian kerja waktu tertentu, adanya kaitan perjanjian antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pemberi kerja terhadap kelangsungan hubungan kerja untuk waktu tertentu dan adakah perlindungan hukum bagi pekerja kebersihan yang bekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu.
Dalam hal ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mempergunakan data sekunder, data primer, dan data tersier. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tidak tetap dan pekerja kebersihan merupakan pekerjaan yang termasuk kriteria perjanjian yang dapat diadakan untuk waktu tertentu karena dikaitkan dengan permintaan pengguna jasa pekerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja yang dibuat untuk waktu tertentu. Selama ini pekerja kebersihan belum memperoleh perlindungan yang seharusnya diperoleh sebagai pekerja."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukamta
"Hak Asasi Manusia yang telah manjadi komitmen pemerintah untuk dihormati, dipenuhi, dimajukan dan dilindungi guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera, pelaksanaannya memerlukan mekanisme kerja yang melibatkan semua elemen dalam bentuk Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Rencana Aksi NasionaI Hak Asasi Manusia merupakan panduan dan rencana umum untuk meningkatkan penghormatan, pernenuhan, pemajuan dan perlindungan HAM. Kekurangberhasilan RANHAM I tahun 1998-2003 yang antara lain dibebabkan oleh tidak adanya kepanitiaan didaerah telah disempurnakan dengan RANHAM lanjutan tahun 2004-2009. Kepanitiaan tingkat Nasional RANHAM tahun 2004-2009 yang dibentuk dengan Keppres No.40 tahun 2004 pada 11 Mei 2004, telah ditindaklanjuti dengan pembentukan kepanitiaan pelaksanaan didaerah pada tingkat Provinsi dan seluruh Kab/Kota di Provinsi Banten pada tahun 2005. Masing-masing panitia pelaksana di daerah telah dibekali dengan 5 (lima) tugas pokok yang meliputi: 1. Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM, 2. Persiapan harmonisasi peraturan daerah, 3. Diseminasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia, 4, Penerapan norma dan standar Hak Asasi Manusia, dan 5. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Pelaksanaan kegiatan di daerah baik oleh panitia Provinsi maupun panitia Kabupaten/Kota dibebankan pembiayaannya kepada masing-masing daerah (pasal 6 ayat 3 Keppres). Adapun pemerintah daerah dalam melakukan pembiayaan suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi dari satuan kerja maing-masing. Pada Pemerintah Daerah provinsi tugas dan fungsi tersebut telah terdapat pada Bagian Hukum dan HAM, yaitu jabatan eselon III dibawah Biro Hukum, Berdasarkan struktur yang ada tersebut usulan anggaran biaya yang diajukan untuk kegiatan HAM di tingkat Provinsi telah disetujui pengalokasiaannya pada tahun 2005-2006. Tetapi seluruh pemerintah kabupaten/kota dalam Provinsi Banten belum memiliki uraian tugas dan fungsi dibidang HAM, namun pelaksanaan tugasnya berada pada Bagian Hukum masing-masing. Ketiadaan uraian tugas mengenai HAM tersebut menjadi kendala besar dalam mencari dasar pengalokasian dana kegiatan di bidang HAM. Sehingga dari 6 (enam) kabupaten/kota baru 1 (satu) kabupaten yang telah dapat menyediakan anggaran untuk kegiatan RANHAM yaitu Kab. Tangerang. Keberhasilan Kab. Tangerang tersebut lebih ditentukan oleh wawasan dan pemahaman pejabat Bagian Hukum di bidang HAM sehingga mmpu meyakinkan para penentu kebijakan untuk mendukung kegiatan RANHAM melalui pengalokasian biaya. Kanwil Dep. Hukum dan HAM Banten sebagai instansi tingkat vertikal yang secara kelembagaan bertanggungjawab di bidang Hukum dan HAM menjadi tumpuan dari masing-masing Kab/Kota baik dalam pembiayaan maupun dalam melakukan memobilisasi pelaksanaan program RANHAM di daerah. Padahal uraian jabatan yang didukung tugas dan fungsi di bidang HAM juga baru ada pada tahun 2005, sedang anggaran yang sangat terbatas baru tersedia pada tahun 2006. Melalui penulisan tesis yang berjudul "Implementasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia di Daerah" ini, kiranya dapat menjadi gambaran bahwa keberhasilan pelaksanaan RANHAM di daerah masih membutuhkan kerja keras yang saling bersinergi dari para pemegang kebijakan untuk membuat dasar pijakan yang lebih kuat bagi para pelaksana di lapangan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilia Witri Budi Utami
"Indonesia sebagai negara yang mempunyai cita negara hukum harus memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya dan bila terjadi pelanggaran atas hak asasi manusia tersebut, harus disediakan lembaga yang mampu memberikan keadilan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dalam suatu negara hukum. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara serta penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Terdapat beberapa alasan perlindungan saksi dan korban antara lain: keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan, memberikan keterangan membuang waktu dan biaya, aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang tersangka/terdakwa dan bagi saksi (apalagi yang awam hukum) memberikan keterangan bukanlah suatu hal yang mudah. Pada pelanggaran HAM yang berat dapat dikatakan telah ada peraturan yang memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Adapun perlindungan terhadap saksi dan korban secara umum baik di dalam kasus pelanggaran HAM berat ataupun di luar kasus pelangggaran HAM berat, belum ada peraturan yang mengaturnya. Padahal, perlindungan saksi dan korban mutlak diperlukan bukan hanya pada kasus tertentu (dalam hal ini kasus pelanggaran HAM berat) melainkan pada semua kasus. Selain itu terdapat pula aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yang tersebar di antaranya pada kasus tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan sebagainya. Perlindungan saksi dan korban yang diatur tersebar dan berupa peraturan pemerintah masih kurang memadai, dan seharusnya diatur dalam undang-undang tersendiri. Kemudian Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemeberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengamanatkan perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tanggal 27 Juni 2002. RUU Perlindungan Saksi dan Korban ditetapkan sebagai salah satu dari 55 RUU prioritas yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hingga saat ini, RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih dalam tingkat pembahasan di DPR. Selanjutnya, sebagai perbandingan dapat kita lihat pelaksanaan perlindungan saksi dan korban di Amerika Serikat, Inggris dan Jerman. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya ada antara lain hak atas kemanan fisik dan mental, hak atas pendampingan, hak atas penerjemah, hak atas informasi, hak atas perlindungan bagi saksi yang renatan, hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Selain itu terdapat pula perlindungan saksi dan korban yang berupa relokasi. Hak-hak saksi dan korban yang seharusnya dilindungi oleh negara sebagai pelaksanaan hak asai manusia di dalam wadah negara hukum, membawa keharusan untuk menyediakan legislasi, lembaga yang berwenang dan juga pembiayaan serta sumber pembiayaan yang diperlukan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riyanto
"Eksistensi profesi Advokat secara praktek telah dikenal dari sejak jaman pemerintah Hindia Belanda sampai masa kemerdekaan hingga pemerintah Orde Baru berkuasa. Akan tetapi eksistensi profesi Advokat tersebut tidak diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri melainkan hanya terdapat pada pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang bantuan hukum. Tidak seperti profesi hukum lain Polisi, Jaksa dan Hakim dimana ketiga profesi hukum tersebut keberadaannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Memasuki masa reformasi, Indonesia telah mengalami 4 (empat) tahap perubahan UUD 1945. Perubahan secara signifikan adalah dianutnya secara tegas prinsip negara berdasar atas hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip negara hukum, peran serta fungsi Advokat merupakan hal yang sangat penting dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat serta turut serta menciptakan lembaga peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain.
Sejalan dengan usaha mewujudkan prinsip negara hukum maka telah disahkan Undang-undang Nomor 1B Tahun. 2003 tentang Advokat, yang memberikan legitimasi bagi Advokat dalam menjalankan profesinya sekaligus menjadikan profesi Advokat sejajar dengan penegak hukum lain. Advokat mempunyai fungsi memberikan jasa hukum di bidang litigasi dan non litigasi. Dibidang litigasi khususnya dalam perkara pidana, Advokat dapat mewakili klien sebagai kuasa di Pengadilan untuk memberikan keterangan dan kejelasan hukum dalam persidangan dari tahap pemeriksaan Polisi sampai pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam perkara perdata Advokat dapat mewakili pihak yang berperkara, tetapi hal yang sangat penting adalah Advokat dapat mendamaikan pihak yang berperkara sebelum perkara dibawa ke pengadilan.
Di bidang non litigasi Advokat dapat memberikan konsultansi kepada perseorangan atau badan hukum swasta lainnya. Advokat Asing yang bekerja pada Kantor Advokat Indonesia, berstatus sebagai karyawan atau tenaga ahli bidang hukum asing, dan hanya dapat memberikan jasa hukum dibidang non litigasi dan wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan, penelitian hukum selama 120 jam setiap tahun. Dengan diberlakukan Undang-Undang Advokat, menjadikan peran negara atau pemerintah bersifat statis, karena seluruh penyelenggaraan kepentingan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Karena itu Undang-Undang Advokat perlu direvisi dan dibentuk Komisi Independen yang bertugas untuk rekruitmen dan pengawasan terhadap Advokat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baby Mariaty
"Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pengakuan perlindungan Paten dan Hak Kekayaan Intelektual umumnya di Indionesia didasarkan pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, walaupun ketentuan tersebut belum dijadikan dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, namun jelas hak tersebut dijamin perlindungannya oleh Negara. Keberadaan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual umumnya dan Paten khususnya diperlukan dalam rangka pengembangan industri yang dapat menunjang perekonomian nasional, namun disisi lain perlindungan Paten dapat menyebabkan harga produk yang dilindungi Paten menjadi mahal. Demikian juga untuk obat antiretroviral yang dibutuhkan pasien penderita penyakit HIV/AIDS (Odha=orang dengan HIV/AIDS) harganya sangat mahal karena obat antiretroviral dilindungi Paten. Penyakit HIV/AIDS semakin lama tersebar diseluruh Indonesia. Jika pada mulanya penyakit HIVIAIDS disebabkan oleh hubungan seks sejenis dan seks bebas, lama kelamaan penderita HIVIAIDS di Indonesia banyak disebabkan oleh pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak streril. Penggunaan jarum suntik beramai-ramai menyebabkan ketidaksterilan jarum suntik. Biasanya penggunaan jarum suntuk beramai-ramai ini karena pengguna berasal dari kalangan ekonomi lemah. Maka saat ini banyak penderita HIV/AIDS di Indonesia berasal dari kalangan ekonomi lemah yang tidak mampu membeli obat antiretroviral yang harganya mahal. Obat antiretroviral tidak menyembuhkan penyakit HIV/AIDS, tetapi menyebabkan tubuh Odha menjadi lebih baik sehingga Odha tidak mudah diserang penyakit. Odha harus minum obat antiretroviral seumur hidup. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, obat antiretroviral diberikan gratis kepada Odha melalui ruimah sakit rujukan yang ditunjuk. Saat ini ada 25 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah nyata telah melindungi Hak Asasi Manusia dibidang Pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Saat ini obat antiretroviral yang dilaksanakan Patennya dari jenis Nevirapin dan Lamivudin. Untuk selanjutnya Pemerintah harus mengupayakan akses obat antiretroviral jenis lain kepada Odha karena biasanya dokter memberikan lebih dari satu macam obat antiretroviral untuk mencegah resistensi obat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16633
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Nugraha
"Perlindungan indikasi geografis diatur dalam Persetujuan TRIPs Pasal 22, 23, dan 24 yang mewajibkan negara-negara anggota untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis guna memberikan perlindungan hukum bagi produk-produk indikasi geografis dari praktek atau tindakan persaingan curang. Semenjak Indonesia meratifikasi Persetujuan TRIPs tersebut maka hal tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Ketentuan Indikasi Geografis di Indonesia belum berlaku efektif karena adanya pemahaman yang keliru mengenai indikasi Geografis dan Indikasi Asal dalam Undang-undang Merek di Indonesia dengan Persetujuan TRIPs dan WIPO, sehingga mengakibatkan sistem yang digunakan dalam mengatur indikasi geografis sama dengan sistem merek baik dari segi pemahaman maupun pendaftaran serta pengumuman.
Kekeliruan pemahaman ini pula yang mengakibatkan sulitnya membuat Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana undang-undang. Bahwa kebutuhan akan perlindungan indikasi geografis di Indonesia sangat mendesak mengingat Indonesia mempunyai potensi penghasil produk-produk indikasi geografis seperti kopi Toraja, Marquisan Medan dan Iainnya. Dan karena belum efektifnya pengaturan tentang Indikasi Geografis di Indonesia, maka permasalahan-permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan indikasi geografis tidak dapat ditangani secara baik yaitu seperti kopi toraja didaftarkan sebagai merek di Amerika oleh Key Coffee dengan menggunakan logo rumah toraja. Kasus ini tidak dapat diselesaikan karena pengaturan indikasi geografis belum berlaku efektif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Rochmansyah
"Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) 1945, yang diawali dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat, secara fundamental telah mengubah format kelembagaan negara dan pergeseran kekuasaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Perubahan yang mendasar juga menandakan terjadinya perubahan sistem kekuasaan negara yang dianut dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu dari paradigma dengan sistem pembagian kekuasaan (distribution/division of powers) secara vertikal sebelum perubahan UUD 1945, menjadi sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara horizontal setelah perubahan UUD 1945. Dianutnya sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang bersifat horizontal ini sebagaimana yang tercermin dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, ialah mempertegas kedudukan dan fungsi kekuasaan negara yang dipisah dengan menganut prinsip checks and balances yang diwujudkan ke dalam tiga cabang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legilatif dipegang oleh DPR, kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan kekuasaan kehakiman dipegang oleh lembaga peradilan.
Pergeseran kekuasaan legislasi merupakan implikasi dari Perubahan UUD 1945. Pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 naskah asli mengamanatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan DPR sebagai lembaga legislatif hanya diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang. Berdasarkan UUD 1945 ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sekaligus juga memegang kekuasaan legislatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem yang dianut UUD 1945 ini adalah pembagian kekuasaan dan tidak menganut prinsip check and balances, karena kekuasaan Presiden sangat dominan dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan, baik dalam kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif.
Perubahan UUD 1945 telah menganut sistem pemisahan kekuasaan secara horizontal dengan prinsip check and balances, yang mendorong terjadinya pergeseran kekuasaan legislasi dari Presiden beralih kepada DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Perubahan) mengamanatkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang sedangkan pada Pasal 5 ayat (1) mengamanatkan bahwa Presiden mempunyai hak mengajukan Rancangan Undang-Undang. Pergeseran kekuasaan legislasi tersebut menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan negara secara horizontal menjadi cabang kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden. Pemisahan kekuasaan negara dengan menganut prinsip check and balances menandakan adanya keseimbangan peran DPR sebagai lembaga legislatif dan Presiden pemegang kekuasaan eksekutif, sebagai lembaga negara dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Indra Jaya
"Maraknya permasalahan hukum dalam perdagangan khususnya tentang pelanggaran merek, mendorong Pemerinlah untuk melakukan pengaturan merek dalam hubungannya dengan penegakan hukum di Indonesia. Salah satu upaya Pemerinlah tersebut dituangkan dalam Undang-Undang RI Nomor.15 tahun 2001 tentang Merek. Undang - Undang RI Nomor.15 tahun 2001 tentang Merek, ini diperlukan sebagai pengaturan yang memadai tentang merek guna memberikan perlindungan bagi pemegang merek dagang maupun merek jasa.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; kriteria apakah yang dipakai untuk menentukan terjadinya penggunaan merek tanpa hak/pemalsuan merek, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh Dit.Jen Hak Kekayaan Intektual Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Merek terhadap merek terkenal, bagaimana proses pembuktian terjadinya penggunaan merek tanpa hak di Indonesia.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dan pendekatan deskTiptif kualitatif. Pendekatan yuridif normati dipergunakan dalam usaha menganalisis data dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat.dalam Persetujuan TRIPs, Konvensi Paris khususnya yang berkaitan dengan merek atau trademark dan Peraturan Undang-undang tentang Merek yang berlaku di Indonesia yang dimulai sejak lahimya Undang-Undang RI Nomor.21 tahun 1961 sampai dengan Undang-Undang RI Nomor.I5 tahun 2001, dokumen lainnya seperti buku, majalah, jurnal dan basil penelitian lain dengan pembaca dan mengkaji literature yang relevan dengan materi penelitian.
Penelitian kualitatif yaitu melakukan penelitian langsung ke obyek yang dapat memberikan informasi dan data, dengan mewawancarai respon dart masyarakat yang meliputi unsur Penyidik POLRI; Penitera Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, dalam hal ini Direktorat Merek.
Berdasarkan pembahasan dapat diperoleh basil sebagai berikut:
1. Kriteria terjadinya penggunaan merek tanpa hal/pemalsuan karena adanya unsur
a. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak Iain untuk barang dan/jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.
b. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang danlatau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
2. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal dilakukan dengan penerapan Undang-Undang RI Nomor.i5 Tahun 2001 tentang Merek yang menyalakan bahwa merek tidak dapat terdaftar pada Direktorat Merek apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur :
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum.
b. Tidak memiliki daya pembeda
c. Teiah menjadi milik umum
d. Merupakan kelerangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
3. Proses pembuktian terjadinya penggunaan merek tanpa hak didasarkan pada ketentuan Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam hal ini Pasal 90, dan 91, yakni Pasal 90 mengatur tentang pelanggaran penggunaan merek tanpa hak pada keseluruhannya dan Pasal 91 mengatur tentang penggunaan merek tanpa hak pada pokoknya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19188
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Pratiwi
"ABSTRAK
Administrasi Negara dalam arti aparatur mempunyai tugas yang semakin berat dalam menyelenggarakan pelayanan publik, terutama pada era otonomi daerah. Pelaksanaan tugas-tugas Administrasi Negara harus sesuai dengan norma dan ketentuan yang diatur dalam Hukum Administrasi Negara, termasuk di dalamnya Hukum Kepegawaian dan berbagai produk peraturan perundang-undangan lainnya serta sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sayangnya karakter birokrasi yang hirarkis, formalistis dan terspesialisasi seringkali menjadi kendala bagi Administrasi Negara untuk melaksanakan tugas dengan efektif dan efisien, bahkan rentannya organisasi birokrasi dari pengaruh politik seringkali memperburuk citra kinerja birokrasi yang berujung pada rendahnya kualitas pelayanan publik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki hal tersebut adalah melalui peningkatan kapasitas sumber daya aparatur birokrasi, baik melalui jalur-jalur yang sudah disediakan dalam aturan kepegawaian maupun melalui inisiatif aparatur untuk meningkatkan motivasi, cara kerja, pendidikan dan sebagainya secara personal. Meski memiliki beberapa kelemahan, kebijakan pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) mulai tahun 2005 sampai 2009 perlu dipandang sebagai peluang untuk memperbaiki kondisi Administrasi Negara di Indonesia, tentunya jika diimbangi dengan berbagai upaya strategis peningkatan kapasitas aparatur, sehingga nantinya akan membentuk Administrasi Negara dengan kapasitas memadai dan mampu mengakomodasikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, memberikan pelayanan yang cepat, terjangkau, tidak berbelit-belit dan bersahabat, sehingga akan membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Administrasi Negara. Otonomi Daerah juga memberikan peluang bagi peningkatan kapasitas Administrasi Negara melalui penerapan kebijakan-kebijakan yang dianggap penting bagi aparatur di daerah, sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah. Tulisan ini merupakan hasil penelitian normatif yang didukung oleh data bahan-bahan kepustakaan sebagai data sekunder. Analisis terhadap kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dilakukan untuk membuat kajian mengenai kapasitas sumber daya aparatur birokrasi menjadi lebih komprehensif."
2007
T 19588
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>