Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aswaldi Ahmad
"Otomikosis telah lama diketahui sebagai salah satu penyakit infeksi liang telinga yang disebabkan jamur. Penyakit ini umumnya dijumpai di daerah tropik atau sub tropik oleh sebab itu penelitian tidak banyak dilakukan di negara barat . Suatu survey pada kepustakaan di Inggris menunjukkan bahwa otomikosis tidak pernah menempati urutan terdepan diantara penyakit-penyakit telinga lainnya di negara tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena kebanyakan para ahli beranggapan bahwa disamping jarang didapati, penyakit ini juga dapat diobati dengan Cara sederhana menggunakan beberapa preparat yang telah tersedia.
Sebaliknya penelitian penyakit ini banyak dilakukan oleh para ahli di daerah tropik seperti Mesir, India, Birma, Pakistan, Bahrain dan Israel disamping penelitian oleh beberapa ahli di Indonesia. Para peneliti Amerika baru tertarik akan penyakit ini setelah banyak diantara prajurit Amerika yang baru pulang dari daerah tropik menderita otomikosis.
Di Indonesia yang beriklim tropik, penyakit ini juga sering ditemukan tetapi penelitian yang dilakukan belum banyak. Para peneliti dalam dan luar negeri mendapatkan infeksi jamur di liang telinga sering bersamaan dengan infeksi bakteri tetapi sampai sekarang belum didapat kata sepakat apakah kuman atau jamur yang merupakan penyebab primer.
Faktor-faktor yang disebutkan berperanan dalam timbulnya otomikosis antara lain : kontaminasi jamur, suhu dan kelembaban?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inis Sumiati
"Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%. Rinitis alergi adalah kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung yang diperantarai oleh Ig E, dengan gejala khas berupa hidung tersumbat, rinore, hidung gatal dan bersin.
Sumbatan hidung merupakan gejala yang umum dan penting serta merupakan keluhan yang sangat mengganggu pada pasien rinitis alergi dan sulit untuk mengevaluasinya. Sebenamya gejala sumbatan hidung ini dapat diukur secara obyektif dengan menggunakan rinomanometri.
Efek vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah akibat proses inflamasi dan pembengkakan mukosa menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien rinitis alergi. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu parameter untuk menilai derajat sumbatan hidung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan THT yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan hidung. Salah satu pemeriksaan obyektif untuk mengukur nilai tahanan hidung adalah dengan pemeriksaan rinomanometri.
Rinomanometri adalah suatu teknik mengukur tahanan jalan napas hidung, sebagai alat diagnostik adanya sumbatan hidung, mengevaluasi fungsi jalan napas, dan mengevaluasi efektifitas pengobatan.
Di luar negeri telah banyak dilakukan penelitian tentang penilaian sumbatan hidung dan tahanan hidung dengan menggunakan rinomanometri. Penelitian pads pasien rinitis alergi dengan menggunakan rinomanometri dilakukan oleh Ciprandi (2406) dengan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi nilai tahanan hidung sebelum dan sesudah pemberian dekongestan pada pasien rinitis alergi. Huang (2006)12 melakukan penelitian untuk menentukan secara obyektif dan subyektif perubahan nilai tahanan hidung dan kualitas hidup pada pasien rinitis alergi perenial setelah dilakukan turbinoplasti inferior. Gosepath (2005)13 melakukan penelitian tes provokasi hidung untuk mengevaluasi pasien rinitis alergi dan non alergi rinitis. Shusterman (2003)14 meneliti tentang efek klorin inhalasi yang rnenyebabkan sumbatan hidung pada pasien rinitis alergi tanpa pemecahan sel mastosit. Kohan (1998) yang membandingkan efektifitas dua macam kortikosteroid semprot hidung pada pengobatan sumbatan hidung penderita rinitis alergi. HasiI penelitiannya menunjukkan bahwa rinomanometri anterior merupakan parameter objektif yang dipercaya berhubungan dengan perbaikan gejala sumbatan hidung yang dirasakan terhadap tahanan jalan napas. Meltzer (1998) meneliti tentang efektifitas pemberian kortikostemid topikal yang diukur dengan rinomanometri anterior. Ditemukan hubungan yang bermakna antara nilai tahanan hidung dengan sumbatan hidung. AIat rinomanometri NR6 pertama kali digunakan di Indonesia untuk penelitian tahun 1995 oleh Trimartani yang dilakukan pada pasien orang normal untuk mendapatkan nilai tahanan hidung orang normal, yaitu sebesar 0,24 Pa/cm3/det dengan standar deviasi 0,09 Pa/cm3/det pada tekanan standar 75 Pa. Pasien dengan keluhan sumbatan hidung belum terbukti bahwa nilai tahanan hidung berhubungan dengan derajat sumbatan.
Di Indonesia, penelitian pada pasien rinitis alergi dengan sumbatan hidung menggunakan rinomanometri belum pernah dilakukan, sehingga belum didapatkan gambaran nilai tahanan hidung pada pasien rinitis alergi, khususnya pasien rinitis alergi persisten sedang berat.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang nilai tahanan hidung pada pasien rinitis alergi persisten sedang berat.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18034
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heditya D. I.
"Rencana penelitian mengenai gambaran analisis suara pada kelompok pascastroke iskemik ini diajukan dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Di Indonesia sendiri saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis gambaran analisis suara pada pasca-stroke iskemik dengan menggunakan alat analisis suara MDVP.
Masalah penelitian
1. Apakah terdapat perbedaan gambaran kualitas suara berupa peningkatan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pasta-stroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan dengan kelompok kontrol?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi gambaran analisis suara pada pasien pascastroke iskemik?
Tujuan penelitian
Umum : Mengetahui adanya peningkatan parameter akustik berdasarkan pemeriksaan analisis suara, sehingga diharapkan dapat mencegah adanya gangguan suara yang lebih progresif.
Khusus :
1. Mengetahui perbedaan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pascastroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan kelompok control.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran kualitas suara pada penderita pasca-stroke iskemik seperti usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan suara dalam bekerja, derajat deficit neurologik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doddy Widodo
"Dari penelitan oleh Suckfull dkk terhadap 52 kasus tuli mendadak yang disertai atau tanpa vertigo, didapatkan peningkatan kadar fibrinogen bila dibandingkan pasien normal. Keartaan ini dapat menyebabkan peningkatan viskositas plasma darah, sehingga terjadi gangguan perfusi ke jaringan, balk oleh karena gangguan aliran darah atau karena keadaan trombosis. Menurut Silverstein dick seperti dikutip Brandt, insiders vertigo pada keadaan hiperviskositas karena polisitemi dapat mencapai 40%. Dan menurut Andrew dick seperti dikutip Brandt melaporkan 3 kasus dengan serangan vertigo yang episodik, secara langsung berhubungan dengan keadaan hiperviskositas.
Masalah Penelitian
Dan kajian di atas, dapat dikemukakan pertanyaan penelitian yang perlu dicarikan jawabannya, yaitu :
1. Apakah keadaan hiperkoagulasi dapat mempengaruhi terjadinya vertigo
2. Berapa proporsi percontoh vertigo yang mengalami keadaan hiperkoagulasi
3. Apakah terdapat perbedaan keadaan hemostasis pada orang dengan dan tanpa
vertigo
Tujuan Penatian
1. Tujuan Umum
Peningkatan penatalaksanaan pasien gangguan keseimbangan dengan keadaan hiperkoagulasi
2 Tujuan Khusus
I. Mengetahui prevalensi dan gambaran keadaan hiperkoagulasi di kalangan pasien vertigo di sub bagian neurotologi bagian THT FKUIIRSUPNCM Jakarta
2. Mengetahui apakah terdapat hubungan antara keadaan hiperkoagulasi dengan resiko terjadinya vertigo."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanekung Titisari
"Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit yang banyak diderita anak-anak. Sedikitnya 70% anak usia kurang dari I5 tahun pernah mengalami I episode. Kecenderungan menderita OMA berhubungan dengan belum matangnya (Immature) sistem imun dan rnudahnya bakteri masuk ke telinga tengah, karena anatomi tuba eustachius yang masih relatif pendek dari meadataur. Beberapa faktor risiko terjadinya otitis media pada anak-anak adalah lingkungan perokok, anak yang dititipkan ke penitipan anak-anak, penggunaan dot (kempengan) dan minurn susu botol.
Beberapa penelitian melaporkan sebagian besar anak-anak sekurang-kurangnya mengalami satu episode OMA pada masa kanak-kanak. Antara 19-62 % anak mengalami paling sedikit 1 episode pada usia I tahun. Pada usia 3 tahun sekitar 50-84% anak mengalami paling sedikit 1 episode OMA Di Amerika, insiders OMA tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada waktu berumur 5 tahun, bersamaan dengan anak mulai masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami OMA didapatkan pada pertengahan tahun pertama sekolah, kemudian angka kejadian menurun pada anak usia 7 tahun. Ingvarsson dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahun 1971-1983 di Swedia mendapatkan 16.611 anak menderita OMA, dengan kejadian OMA terbanyak pada usia 7 tahun. Alho dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahua 1985-1986 di Finlandia Utara mendapatkan 2431 dan berapa subyek anak menderita OMA, dengan angka kejadian OMA terbanyak pada usia 3 tahun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
"Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit.
Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler.
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921.
Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk.
Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr.
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Adhim
"Indonesia sebagai negara berkembang banyak menggunakan pesawat sebagai alat transportasi maupun pertahanan udara. Kegiatan penerbangan oleh berbagai jenis pesawat, khususnya yang bermesin jet, menghasilkan bidding dengan intensitas tinggi. Hal ini merupakan bahaya potensial bagi orang yang berada di sekitarnya.
Menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration), batas aman pajanan bising tergantung pada lama pajanan, frekuensi dan intensitas bising serta kepekaan individu dan beberapa faktor lain. Pemerintah melalui Depnaker, di dalam Keppres no 2/1993, mencantumkan penurunan pendengaran sebagai salah satu jenis penyakit akibat kerja. Daerah kerja dengan basil pengukuran di atas 85 dBA merupakan daerah kerja yang menjadi prioritas di dalam program perlindungan pendengaran. Pemerintah Indonesia menentukan nilai ambang bising di dalam KepMenaker no 51/1999 sebesar 85 dBA, dengan waktu kerja selama 8 jam. Pajanan bising yang dianggap cukup aman adalah pajanan rata-rata sehari dengan intensitas bising tidak melebihi 85 dBA selama 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Gangguan pendengaran akibat pajanan bising, sering dijumpai pada pekerja industri penerbangan di negara maju maupun negara berkembang, terutama yang belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik. Penelitian tentang tuli akibat bising (TAB) di Indonesia telah banyak dilakukan sejak lama. Survey yang dilakukan Hendarmin pada tahun 1971 di Manufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta diperoleh adanya gangguan pendengaran pada 50% karyawan, disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB yang dialami karyawan yang telah bekerja terus menerus selama 5-10 tahun. Adenan melakukan penelitian pada 43 orang penduduk yang bertempat tinggal di sekitar lebih kurang 500 meter dari ujung landasan Bandara Polonia Medan, dengan lama hunian lebih dari 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun. Dari basil penelitian tersebut ditemukan sebanyak 50% menderita tuli sensorineural akibat bising pada penduduk dengan lama tinggal rata-rata 17 tahun dan waktu papar rata-rata 22 jamlhari. Hasil survei kebisingan di Lanud Halim Perdanakusuma tahun 2003, menunjukkan 23,8 % penerbang TNI Angkatan Udara menderita tuli akibat bising.
Pada penelitian TAB terdahulu, audiometer nada murni digunakan sebagai alat untuk mendeteksi gangguan pendengaran. Hall (2000) menyatakan bahwa audiometer nada murni ini memberikan gambaran abnormal setelah terjadi kerusakan koklea lebih dari 25 %. Karena gangguan pendengaran akibat bising ini bersifat irreversibel dan tidak dapat dilakukan operasi maupun pengobatan, program konservasi pendengaran terutama diagnosis dini sebelum terjadi gangguan pendengaran menjadi sangat penting.
Sejak ditemukan emisi otoakustik (OAE) oleh Kemp, banyak penelitian dilakukan untuk mendeteksi kerusakan sel rambut luar koklea akibat pajanan bising. Dari berbagai penelitian, temyata alat ini mampu mendeteksi kerusakan tersebut yang tidak tampak pada gambaran audiometer nada murni 56 . Lutman. et al, menggunakan OAE untuk memilah (screening) pendengaran pada pasien dengan risiko tinggi terpajan bising. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TEOAE (Transient Evoked Ottoacouslic Emission) and DPOAE (Distorsion Product Otoacoustic Emission) mempunyai sensitivitas dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan audiometer nada murni untuk mendeteksi kelainan koklea.
Audiometer nada murni dapat menilai ambang dengar secara umum tetapi tidak spesifik menunjukkan letak kerusakan. OAE dapat memeriksa fungsi sel rambut luar dari koklea yang mudah mengalami kerusakan bila terpajan bising, tetapi tidak dapat menilai ambang dengar seseorang. Pemeriksaan dengan OAE, dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, mudah, tidak invasif dan obyektif bila dibandingkan dengan pemeriksaan audiometer nada murni.
Di Indonesia, penelitian mengenai OAE pada gangguan pendengaran akibat terpajan bising belum pernah dilakukan, padahal alat ini mempunyai sejumlah keuntungan sebagai alat deteksi dini kerusakan sel rambut luar koklea. Dalam penelitian ini diperkenalkan OAE sebagai alat untuk mendeteksi kerusakan sel rambut luar koklea pada penerbang yang terpajan bising dengan harapan dapat digunakan secara luas di bidang kesehatan kerja, serta menambah wawasan dan perhatian terhadap gangguan pendengaran akibat bising yang selama ini belum disosialisasikan secara luas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Trimartani Koento, supervisor
"ABSTRACT
Total auricular reconstruction of microtia with autogenous costal cartilage is one of the most demanding challenges in plastic and reconstructive surgery because of the complex three-dimensional shape of the auricle. An ideal result of the constructed ear depends primarily on the fabricated cartilaginous ear framework. As the cartilage framework used for reconstruction is always insufficient for the fabrication of anatomical structures, especially the tragus and the conchal bowl, individualized framework grafting based on different patient age groups and different degrees of strength and thickness of the rib cartilages have been devised accordingly. For a configuration of the concha that is definitely anatomical, we constructed the conchal bowl element in one of three patterns according to the amount of available cartilages: one block, two-pieces, or a cymba bowl element only.
The patients were followed up for more than 1 year. The aesthetic results were scored by evaluating characteristics involving the stability of the crus helicis, the conchal definition, and the smoothness of the helical curve.The ears reconstructed early without a conchal bowl element and ears reconstructed later with the concha bowl element showed a definite crus helicis, deep cymba conchal space, and smooth helical curve. The construction of the conchal bowl element is simple dan not time-consuming procedure. It is suggested that the conchal bowl element must be constructed and attached to the main framework for natural configuration of the reconstructed ear. "
2017
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2   >>