Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andreas Kurniawan
Abstrak :
Latar Belakang: Perilaku non-suicidal self injury NSSI adalah tindakan menyakiti diri yang tidak bertujuan untuk mengakhiri hidup. Beberapa studi menemukan bahwa angka NSSI cukup tinggi pada remaja SMA, dilakukan oleh 1 dari 4 remaja usia 16-17 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mencari angka perilaku menyakiti diri pada siswa SMA di Jakarta, mencari motivasi dan faktor risiko perilaku tersebut. Metode: Peneliti menghubungi tiga sekolah yang bersedia menjadi lokasi penelitian. Dilakukan pengacakan untuk menentukan masing-masing satu kelas IPA dan IPS dari tiap sekolah yang akan menjadi subyek penelitian. Peneliti menggunakan Self Harm Behavior Questionnaire versi bahasa Indonesia untuk menilai perilaku menyakiti diri, SCL-90 versi bahasa Indonesia untuk menilai psikopatologi, dan mengadaptasi Child and Adolescent Self-Harm in Europe untuk menilai motivasi dan stresor sosial. Uji ?2 dan Pearson dilakukan untuk menilai hubungan faktor risiko dan perilaku menyakiti diri. Hasil: Sebanyak 34,3 subyek penelitian pernah melakukan tindakan menyakiti diri dalam masa remaja mereka dan tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Laki-laki lebih banyak melakukan perilaku menyakiti diri dengan memukul tembok atau lemari 44,4 sedangkan perempuan lebih banyak melakukan cutting 41,5 . Motivasi terbanyak dalam melakukan tindakan menyakiti diri adalah keinginan untuk melegakan pikiran yang tidak menyenangkan. Terdapat beberapa faktor risiko sosial yang berhubungan dengan perilaku menyakiti diri yaitu kesulitan berteman RR 1,985 , riwayat teman dengan perilaku menyakiti diri RR 1,648 , dan mengalami perundungan RR 1,593 . Psikopatologi yang memerlukan perhatian khusus adalah depresi RR 1,618 , ansietas RR 1,673 , somatisasi RR 1,816 , dan psikositisme RR 1,703 . Simpulan: Angka perilaku menyakiti diri pada remaja SMA cukup tinggi. Hal ini berhubungan dengan faktor risiko stresor sosial yang berhubungan dengan relasi remaja dengan sebayanya. Pada setiap perilaku menyakiti diri, perlu dicari kemungkinan adanya gangguan mental emosional yang mendasarinya. ......Background Non suicidal self injury NSSI is an act with non fatal intention. Several studies discovered high number of NSSI in adolescents, which is found in 1 every 4 adolescent aged 16 17 years old. This research aims to find the number of NSSI in high school student in Jakarta, finding the overlying motivation, and the risk factor of such acts. Methods Three schools are willing to participate in the study. A randomization is performed to determine one of the social science class and one fo the math and physics science class from each school to be the research subject. The questionnaires used are Self Harm Behavior Questionnaire to evaluate self harm act, SCL 90 to evaluate psychopathology, and Child and Adolescent Self Harm in Europe to evaluate motivation and social stressor. Pearson and 2 test is performed to find the relationship between risk factors and self harm acts. Result Among the respondents, 34.3 has performed self harm behavior during their adolescent period. There is no significant difference between the number of male and female subjects. Male subjects report high number of aggressive acts such as hitting wall or cupboard 44.4 while female subjects report high number of self cutting 41.5 . The main motive for self harm was to lsquo get relief from a terrible state of mind rdquo . Several risk factors are associated with self harm acts, such as difficulties with peer relationships RR 1,985 , self harm behaviour in close friend RR 1.618 , and bullying RR 1.593 . Notable psychopathologies are depression RR 1.618 , anxiety RR 1.673 , somatization RR 1.816 , and psychoticism RR 1.703 . Conclusion The number of self harm acts in high school student is quite high. This condition is related to social stressor risk factor, which is related to adolescent relationship with peer group. In every self harm act, it is important to find the possibility of underlying mental emotional disorder.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrial
Abstrak :
Pengunaan internet saat ini sangat diminati semua kalangan karena bisa diakses kapanpun dan dimanapun. Internet saat ini penting untuk bidang pendidikan, komunikasi, informasi, bahkan mencari hiburan. Dampak negatif berupa gangguan adiksi pada internet dapat terjadi apabila salah dari cara penggunaan internet. Sebanyak 2% orang dewasa di dunia mengalami gangguan adiksi terhadap internet sedangkan 8,4% remaja laki-laki dan 4,5% remaja perempuan Asia telah mengalami adanya gangguan prilaku akibat adiksi internet. Mahasiswa juga tidak luput dari gangguan ini, terdapat 9,8% mahasiswa yang mengalami adiksi terhadap internet mengalami masalah kognitif, juga 12% mahasiswa kedokteran yang mengalami adiksi internet menunjukan performa akademik dibawah rata-rata. Masalah ini menjadi perhatian diseluruh dunia, namun tidak ada penelitian di Indonesia yang mennjelaskan mengenai kasus adiksi ini. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di tiga fakultas kedokteran di Jakarta. Subjek penelitian adalah mahasiswa pre-klinik sebanyak 189 orang yang dipilih secara acak, kemudian digunakan kuesioner IAT, RSES, SCL-90. Dikelompokan menjadi empat kelompok adiksi lalu diuji RAVLT untuk menilai tingkat kognitif. Dari total responden 56,6% mengalami adiksi ringan, 20,1% adiksi sedang dan mayoritas adalah perempuan, umumnya mengakses media sosial dengan durasi sehari lebih dari enam jam. Didapatkan hubungan yang bermakna antara adiksi internet dengan gangguan kognitif (p=0,00), adiksi internet dengan gejala psikopatologi (p=0,007), dan adiksi internet dengan self-esteem (p=0,002). Sehingga dapat disimpulkan bahwab terdapat hubungan adiksi internet dengan adanya gangguan kognitif, gejala psikopatologi, dan penurunan self-esteem. Screening test dan edukasi mengenai penggunaan internet dibutuhkan untuk mencegah mahasiswa menjadi adiksi.   ......The use of the internet is currently very popular among all people because it can be accessed anytime and anywhere. The internet is currently important in the fields of education, communication, information, even entertainment. But the negative impact of addiction disorders on the internet often occur. As many as 2% of adults in the world experience addiction disorders to the internet while in Asia 8.4% male and 4.5% female adolescents have experienced behavioral disorders due to internet addiction. As students there are 9.8% who experience addiction to the internet experiencing cognitive problems, also 12% of medical students who experience internet addiction show academic performance below the average. Its become a worldwide problem but no reasearch in Indonesia describe the followed cases.  This cross-sectional study was conducted in three medical faculties in Jakarta. The research subjects were 189 pre-clinic students randomly selected, then IAT, RSES, SCL-90 questionnaires were used. Grouped into four addiction groups then tested RAVLT to assess cognitive levels. Of the total respondents 56.6% experienced mild addiction, 20.1% were moderate addiction and the majority were women, generally accessing social media with a duration of more than six hours a day. Significant correlation was found between internet addiction and cognitive impairment (p=0.00), internet addiction with psychopathological symptoms (p=0.007), and internet addiction with self-esteem (p=0.002). It can be concluded that there is a correlation between internet addiction and cognitive impairment, psychopathological symptoms, and a decrease in self-esteem. Screening test and education about using of internet are needed to prevent student becoming addicted.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldien Noiscelly
Abstrak :
Latar Belakang: Disabilitas fungsi sosial perlu menjadi perhatian dalam tatalaksana orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen yang dapat menilai fungsi sosial dan masalah kesehatan ODGJ, yaitu instrumen Health of the Nation Outcome Scale (HoNOS) versi Bahasa Indonesia serta melakukan uji validitas dan reliabilitas intrumen tersebut. Metode: Penelitian potong lintang pada 100 pasien gangguan jiwa berat, berusia 18 hingga 59 tahun, di unit rawat inap psikiatri Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi dan Rumah Sakit Khusus Daerah Duren Sawit, dengan pengambilan subjek penelitian menggunakan metode konsekutif, melakukan penerjemahan disesuaikan dengan budaya Indonesia, penerjemahan balik, uji validitas isi, konstruk dan reliabilitas konsistensi internal, test-retest instrumen HoNOS versi Bahasa Indonesia. Hasil: Uji validitas isi memperoleh I-CVI sebesar 0,98, S-CVI sebesar 0,83 dan CVR sebesar 0,96. Pada uji validitas konstruk, Exploratory Factor Analysis menghasilkan HoNOS dengan 11 butir yang dikelompokkan pada 4 faktor baru. Confirmatory Factor Analysis mengonfirmasi kecocokan model tersebut, dengan RMSEA 0,00, GFI 0,94, dan CFI 1,00. Uji reliabilitas konsistensi internal menghasilkan nilai Cronbachs Alpha sebesar 0,175. Simpulan: HoNOS versi Bahasa Indonesia memiliki validitas yang sangat baik namun dengan reliabilitas yang kurang baik.
Background: Disability of social functioning needs to be attention in the management of people with mental disorders. This study aims to obtain an instrument to assess social function and health problems in people with mental disorders, Health of the Nation Outcome Scale (HoNOS) Indonesian version, and to evaluate the validity and reliability of the instrument. Methods: This is a cross-sectional study on 100 severely mental illness patients, aged 18 to 59 years old, in the psychiatric inpatient unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital and Duren Sawit Hospital. The instrument was translated, adapted to Indonesian culture and back-translated. Content validity, construct validity, internal consistency and test-retest reliability of HoNOS Indonesian version were evaluated. Results: I-CVI is 0.98, S-CVI is 0.83 and CVR is 0.96. Exploratory Factor Analysis modelled HoNOS with 11 items grouped into 4 new factors. Confirmatory Factor Analysis confirms the suitability of the model, with RMSEA 0.00, GFI 0.94, and CFI 1.00. For reliability test, Cronbachs Alpha is 0.175. Conclusion: Indonesian version of HoNOS has very good validity but with poor reliability.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwaningsih
Abstrak :
Latar Belakang: Perilaku abberant sering terdapat pada pasien GSA. Salah satu kuesioner yang bisa digunakan untuk menilai perilaku abberant adalah kuesioner ABC-C 2017. Kuesioner ABC-C 2017 mengukur 5 domain perilaku abberant (iritabilitas, penarikan diri secara sosial, perilaku stereotipik, hiperaktivitas/ ketidakpatuhan dan pola bicara yang tidak tepat) pada anak dan remaja dengan diagnosis GSA, saat ini belum ada versi Bahasa Indonesia. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai kesahihan dan keandalan kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia. Kesahihan isi dihitung menggunakan Content Validity Index for Items (I-CVI) dan Content Validity Index for Scales (S-CVI). Uji keandalan konsistensi internal dihitung menggunakan Cronbach alpha. Penelitian ini juga menilai proporsi perilaku abberant berdasarkan 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM. Hasil: Hasil analisis menunjukkan nilai I-CVI dan S-CVI kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia sebesar 0,917, sehingga kesahihan isi kuesioner ini dinilai baik. Hasil keandalan konsistensi internal baik sampai excellent dengan nilai Cronbach’s alpha untuk masing-masing domain iritabilitas 0,938; penarikan diri secara sosial 0,936; perilaku stereotipik 0,930; hiperaktivitas, ketidakpatuhan 0,949 dan domain pola bicara yang tidak tepat 0,869. Proporsi perilaku abberant berdasarkan penilaian 5 domain kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia, pada anak dan remaja dengan GSA di Poliklinik Jiwa Anak dan Remaja RSCM, didapatkan hasil, domain iritabilitas derajat ringan sebesar 70,6%; penarikan diri secara sosial derajat ringan 72,5%; perilaku stereotipik 100% derajat ringan; hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang 47,1%, dan pola bicara yang tidak tepat 100% derajat ringan. Proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin juga didominasi derajat ringan, kecuali domain hiperaktivitas/ketidakpatuhan derajat sedang. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik, proporsi perilaku abberant berdasarkan usia dan jenis kelamin anak. Kesimpulan: Kuesioner ABC-C 2017 versi Bahasa Indonesia dapat dipakai di Indonesia untuk penelitian selanjutnya, mendeteksi 5 domain perilaku abberant pada pasien GSA dan sebagai modul pendidikan bagi tenaga kesehatan. ......Background: Abberant behavior is often found in ASD patients. One of the questionnaires that can be used to assess abusive behavior is the 2017 ABC-C questionnaire. The 2017 ABC-C questionnaire measures 5 domains of abberant behavior (irritability, social withdrawal, stereotypic behavior, hyperactivity/non-compliance and inappropriate speech patterns) in children. and adolescents with a diagnosis of ASD, currently there is no Indonesian version. Methods: This study used a cross-sectional design to assess the validity and reliability of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire. Content validity was calculated using the Content Validity Index for Items (I-CVI) and the Content Validity Index for Scales (S-CVI). Internal consistency reliability test was calculated using Cronbach alpha. This study also assessed the proportion of abusive behavior based on the 5 domains of the Indonesian version of the 2017 ABC-C questionnaire, in children and adolescents with ASD at the Children and Adolescent Mental Polyclinic RSCM. Results: The results of the analysis show that the I-CVI and S-CVI scores of the 2017 ABC-C Indonesian version of the questionnaire are 0.917, so the validity of the contents of this questionnaire is considered good. The results of the reliability of internal consistency are good to excellent with Cronbach's alpha value for each irritability domain 0.938; social withdrawal 0.936; stereotypic behavior 0.930; hyperactivity, non-compliance 0.949 and inappropriate speech pattern domain 0.869. The proportion of abnormal behavior based on the assessment of the 5 domains of the 2017 ABC-C questionnaire in Indonesian version, in children and adolescents with ASD at the Child and Adolescent Mental Polyclinic RSCM, the results obtained, the domain of mild irritability was 70.6%; mild social withdrawal 72.5%; 100% mild stereotypic behavior; moderate degree of hyperactivity/non-compliance is 47.1%, and inappropriate speech is 100% mild. The proportion of abberant behavior based on age and gender was also dominated by mild degrees, except for the moderate degree of hyperactivity/non-compliance domain. There was no statistically significant difference, the proportion of abusive behavior based on the age and sex of the child. Conclusion: The Indonesian version of the ABC-C 2017 Questionnaire can be used in Indonesia for further research, detecting 5 domains of abnormal behavior in ASD patients and as an education module for health workers.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Joy Reverger
Abstrak :
Latar Belakang : Tujuan terapi skizofrenia saat ini adalah untuk mengembalikan fungsi pasien kepada fungsi sebelum menderita skizofrenia atau paling tidak mendekati fungsi sebelum menderita skizofrenia. Pengobatan skizofrenia dengan antipsikotika saat ini dianjurkan dengan pemberian tunggal, namun akhir-akhir ini terjadi peningkatan pemberian antipsikotika secara kombinasi baik di Indonesia maupun di dunia. Pemberian antipsikotika secara kombinasi diperkirakan pada akhirnya mempengaruhi performa fungsi pasien skizofrenia. Penilaian performa fungsi pasien dapat dilakukan melalui penilaian dengan Personal and Social Performance Scale (PSP). Tujuan : Menilai performa fungsi pasien skizofenia dengan terapi tunggal dan kombinasi antipsikotika, serta membandingkan performa fungsi di antara kedua kelompok tersebut. Metode: Dua ratus lima pasien dengan diagnosis skizofrenia berusia 18-59 tahun yang berobat jalan didampingi keluarga/care giver di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM pada Desember 2011 sampai Mei 2012, pria maupun wanita, tanpa membedakan jenis skizofrenianya, disertakan dalam penelitian dengan simple random sampling, dan dikelompokkan menjadi dua menurut jumlah antipsikotika yang diterima, tunggal dan kombinasi. Dilakukan pengumpulan data dan penilaian pasien menurut Personal and Social Performance Scale (PSP) yang sudah divalidasi kedalam bahasa Indonesia. Hipotesis penelitian adalah performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi tunggal antipsikotika lebih baik dibandingkan yang mendapatkan terapi kombinasi antipsikotika. Dilakukan analisis non parametrik untuk membandingkan nilai PSP antara kedua kelompok tersebut, serta analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling berperan terhadap performa fungsi pasien. Hasil : Hasil analisis non parametrik dengan uji Mann-Whitney memberikan hasil p<0.005, yang artinya performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi tunggal lebih baik daripada yang mendapatkan terapi kombinasi. Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling bermakna dalam memberikan performa fungsi yang baik adalah tingkat pendidikan pasien, apabila dibandingkan dengan faktor lainnya. Performa fungsi menjadi salah satu faktor dalam menentukan pemilihan antipsikotika. Dalam penelitian ini tidak dianalisis hubungan antara awitan, lama penyakit, jenis skizofrenia, frekuensi kekambuhan, serta faktor sosial ekonomi pasien terhadap baik atau buruknya performa fungsi. Kesimpulan : Performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapatkan terapi tunggal antipsikotika lebih baik daripada yang mendapatkan terapi kombinasi antipsikotika. ......Background : The goal of therapy for schizophrenia nowadays is to restore patient?s function to their premorbid level, or at least near that original capability. Single drug therapy, or monotherapy for schizophrenia is recommended, but there are evidences that the use of combination therapy with antipsychotic or polypharmacy is frequent, this is true in Indonesia and also in the rest of the world. The use of the combination therapy is believed to affect performance and function of the patients. Measurement of performance and function can be done with the Personal and Social Performance Scale (PSP),for the clinical assessment. Objectives : To assess the functioning performance in patients with schizophrenia who have been given monotherapy and poltpharmacy of antipsychotics, followed by a comparison analysis between both groups. Method: Two hundred and five patients who have been diagnosed withschizophrenia between the ages of 18-59 years and accompanied by a family member or their caregivers coming to the Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM in December 2011 to April 2012, were assessed. Both male and female patients were studied and no differentiation of schizophrenia type was done in this study. Simple random sampling was used and they were then listed in two groups, one group receiving single drug and the other getting combination therapy. Data collection conducted by researcher and the assessment is according to the protocol of the Personal and Social Performance Scale (PSP), Indonesian validated translation. Research hypothesis is that the performance of the functions of patients with schizophrenia who received single therapy is better compared to those receiving combination antipsychotic therapy. Non-parametric analysis was performed to compare values between groups, as well as multivariate analysis to determine the factors that most contribute to the performance of the functions of the patient. Results : The result of non-parametric analysis with Mann-Whitney test is p <0.005, which means that the performance of the functions of patients with schizophrenia who received single therapy was better than the group who received combination therapy. The results of multivariate analysis showed that the most significant factor in delivering good performance is the educational level of the patients, when compared with other factors. Conclusions : Performance of the functions of patients with schizophrenia who received single therapy antipsychotics was found to be better than the group who were given combination antipsychotic therapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31168
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Rutmalem Bangun
Abstrak :
Gangguan memori kerja merupakan salah satu faktor risiko yang signifikan dalam mempengaruhi kemampuan belajar anak. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan proporsi anak dengan gangguan memori kerja dan kesulitan belajar serta untuk menelusuri hubungan keduanya. Penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah 184 siswa/i kelas 1-6 SD di salah satu Sekolah Dasar Negeri Jakarta Pusat. Memori kerja dinilai berdasarkan kuesioner Working Memory Rating Scale (WMRS) versi Bahasa Indonesia yang diisi oleh guru sekolah. Kesulitan belajar ditentukan berdasarkan nilai akademik pada satu semester terakhir yang berada di bawah nilai rerata kelasnya. Hasil penelitian menunjukkan 21 (11,41%) mengalami gangguan memori kerja. Sementara itu, 92 anak (47,30%) mengalami kesulitan belajar Bahasa Indonesia, 96 anak (52,20%) mengalami kesulitan belajar matematika, dan 65 anak (51,58%) mengalami kesulitan belajar Ilmu Pengetahuan Alam. Anak dengan defisit memori kerja berisiko 4,8 kali lebih besar mengalami kesulitan belajar dibandingkan anak tanpa defisit memori kerja, perbedaan ini bermakna secara statistik OR (p<0,05) memori kerja dengan kesulitan belajar pada pelajaran matematika (OR=4,935), dan Ilmu Pengetahuan Alam (OR=3,075) dan bahasa Indonesia (OR=3,373). Kesimpulan: Perlu deteksi dini gangguan memori kerja pada anak sekolah dasar terutama di sekolah dasar untuk menghindari kesulitan belajar dikemudian hari.
Working memory deficit is one of the significant risk factors that affect children's learning ability. This study aims to obtain the proportion of children with working memory deficit and learning difficulties as well as for tracing the relationship between both of them . Quantitative research with cross sectional design. Subjects of this study were 184 students of 1st-6th grade in A State Elementary School at Central Jakarta. Working memory was assessed based on Indonesian version of Working Memory Rating Scale questionnaire (WMRS) filled by their hometeacher. Learning difficulty determined based on student's last semester academic achievement that below class average. The results showed 21 (11.41%) students had working memory deficit. Meanwhile, 92 (47.30%) students had Indonesian language learning difficulty, 96 (52.20%) students had mathematics learning difficulty, and 65 (51.58%) students had science learning difficulty. Children with working memory deficit have 4.8 times greater risk of learning difficulties than children without working memory deficit, this difference is also statistically significant OR (p <0.05) in working memory deficit status with learning difficulty in mathematics (OR = 4,935), and science (OR = 3.075) and Indonesian language subject (OR = 3,373). Conclusions: It is needed early detection of working memory deficit in primary school students especially in inclusion primary school to avoid future learning difficulties.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Leslie Melisa
Abstrak :
Latar Belakang: Emosi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai dorongan untuk beraksi dan bentuk komunikasi. Dalam dunia profesional, emosi penting karena dapat mempengaruhi fungsi kognitif berupa memori, persepsi, judgment, dan pengambilan keputusan. Psikiater sebagai tenaga medis yang paling sering menghadapi kasus-kasus yang memunculkan beragam emosi perlu memiliki kesadaran terhadap emosi dalam diri dan kemampuan regulasi emosi yang baik agar dapat terhindarkan dari bias dan burnout. Instrumen MEQ dapat menilai reaktivitas dan regulasi emosi individu. Penelitian ini bertujuan untuk menilai validitas dan reliabilitas instrumen tersebut pada psikiater di Indonesia. Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan dengan pengumpulan kuesioner secara daring (dalam jaringan) pada psikiater di seluruh Indonesia dari bulan Desember 2022 hingga Januari 2023. Rekrutmen responden menggunakan teknik stratified random sampling (N=227). Sebanyak 2 responden dieksklusi karena tidak aktif praktik saat ini. Penerjemahan instrumen dilakukan oleh dua pasang penerjemah tersumpah dan penerjemah dari bidang psikiatri. Validitas isi dinilai oleh 3 ahli di bidang psikiatri sementara validitas konstruk dinilai menggunakan teknik CFA (confirmatory factor analysis) terhadap model yang telah ditetapkan sebelumnya. Reliabilitas konsistensi internal dinilai menggunakan nilai Cronbach alpha sementara reliabilitas test-retest dinilai menggunakan analisis korelasi Pearson. Hasil: Validitas isi instrumen MEQ versi bahasa Indonesia mendapatkan nilai rerata I-CVI dan rerata S-CVI sebesar 0,99, dan S-CVI/UA sebesar 0,975. Validitas konstruk mendapatkan hanya dua model yang cocok, yaitu skala reaktivitas emosi positif dan skala reaktivitas emosi negatif, dengan nilai CMIN/df berturut-turut 3,120 dan 3,442. Nilai Cronbach alpha untuk konsistensi internal adalah 0,821 (diskret emosi positif) dan 0,850 (diskret emosi negatif). Nilai korelasi Pearson berkisar antara 0,547 (diskret emosi senang) hingga 0,933 (diskret emosi cemas). Simpulan: Instrumen MEQ versi bahasa Indonesia, meskipun reliabel, dinilai belum cukup valid untuk menggambarkan reaktivitas emosi psikiater di Indonesia. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti emosi positif dan negatif yang paling sering dirasakan psikiater di Indonesia. ......Background: Emotion holds important roles in human lives, e.g as motivators for action and forms of communication. In professional world, emotions are vital because they could influence memory, perception, judgment, and decision-making processes. Psychiatrists encounter various cases which would elicit a range of emotions in their daily practice. Thus, they need to be aware of their emotions and have a good emotion regulation capacity in order to prevent biases and burnout. The instrument MEQ is able to assess an individual’s emotion reactivity and emotion regulation. This study aims to evaluate the validity and reliability of the instrument in psychiatrists in Indonesia. Method: This cross-sectional study was conducted using online surveys distributed among psychiatrists throughout Indonesia from December 2022 to January 2023. The recruitment of respondents used stratified random sampling technique (N=227). There were 2 inactive respondents and thus were excluded from the analysis. The translations of the instrument were done by 2 pairs of sworn language translator and translator from psychiatry background. Content validity was assessed by 3 experts from psychiatry while construct validity was evaluated using CFA (confirmatory factor analysis) method on hypothesized models. Internal consistency was assessed using Cronbach alpha and test and retest reliability was assessed using Pearson correlation analysis. Results: Content validity of MEQ Bahasa version obtained mean I-CVI and mean S-CVI scores of 0.99, and S-CVI/UA score of 0.975. Construct validity using CFA found that only two models fitted the data, i.e. positive reactivity scale and negative reactivity scale, with CMIN/df values 3.120 and 3.442 respectively. For internal consistency, the Cronbach alpha values were 0.821 for discrete positive emotion and 0.850 for discrete negative emotion. Whereas for test and retest reliability, the Pearson correlation values ranged from 0.547 (discrete happy emotion) to 0.933 (discrete anxious emotion). Conclusion: MEQ Bahasa version, although reliable, was assessed to be not valid enough to represent Indonesian psychiatrists’ discrete emotions. Further studies need to be done to explore which positive and negative emotions often experienced by psychiatrists in Indonesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emilya Kusnaidi
Abstrak :
Dewasa ini, prevalensi penderita gangguan kepribadian ambang diperkirakan terus meningkat pada populasi orang dengan gangguan jiwa. Individu dengan gangguan kepribadian ambang memiliki ketidakstabilan citra diri yang berdampak pada hubungan interpersonal. Hal ini membuat pasien dengan gangguan kepribadian ambang memiliki komorbiditas dengan gangguan jiwa lain, dan diasosiasikan dengan peningkatan risiko bunuh diri, gangguan fungsi menetap, hingga pengobatan intensif jangka panjang yang membebankan masyarakat. Hingga saat ini di Indonesia belum ada penelitian yang membahas tentang gambaran citra diri pada pasien dengan gangguan kepribadian ambang. Penelitian ini merupakan studi kualitatif. Subjek yang dilibatkan adalah pasien dengan gangguan kepribadian ambang yang berobat jalan di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM. Subjek dipilih dengan cara purposive sampling. Dari hasil wawancara mendalam pada 4 subjek didapatkan adanya gambaran citra diri yang berangkat dari citra diri yang kurang baik. Seluruh subjek mengatakan bahwa citra diri mereka saat ini berhubungan dengan pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan, dan dapat menjelaskan hubungannya dengan sudut pandang subjek. Sebagian subjek mengatakan ada faktor lain yang berkontribusi dalam konstruksi citra diri yang mereka rasakan, yakni terapi dan pandangan orang lain terhadap diri subjek. Pengalaman yang tidak menyenangkan masa kecil tersebut merupakan pencetus dan dikorelasikan dengan kondisi gangguan saat ini serta kekurangan pribadi yang mereka rasakan. Sebagian besar subjek mengatakan bahwa pengalaman tersebut memilki dampak positif dan negatif terhadap mereka yang membuat adanya perubahan pada citra diri. ......Nowadays the prevalence of people with mental disorders is estimated to continue to increase in the population of individuals with mental illnesses. Individuals with borderline personality disorder have an unstable self-image which impacted interpersonal relationship. This makes patients with the disorders have comorbidities with other mental disorders such and is associated with an increased risk of suicide, permanent dysfunction, to intensive treatment that burdens society. Up to now, in Indonesia, there has been no research that discusses the picture of self-image in patients with borderline personality disorder. Therefore, researchers will look for a description of childhood experiences and self-image in patients with borderline personality disorder. This research is a qualitative study. The subjects involved were patients with borderline personality disorder who were in an outpatient clinic at RSCM. Subjects were selected by purposive sampling. From the results of in-depth interviews on 4 subjects, it was found that their self-image departed from a bad self-image. All subjects said that their current self-image was related to unpleasant childhood experiences, and could explain the relationship with each subject's point of view. Some of the subjects said that other factors contributed to the construction of the self-image they felt, namely therapy and other people's views of the subject. These adverse childhood experiences were the triggers and correlated with the current state of the disorder and the personal shortcomings they felt. Most of the subjects said that the experience had both positive and negative impacts on those who made changes to their self-image.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faradila Keiko
Abstrak :
Latar Belakang: Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan Jiwa, salah satunya untuk menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan atau competence to stand trial (CST). Prinsip CST adalah pelaku kriminal harus memahami tuntutan terhadapnya dalam pengadilan dan membantu pengacaranya dalam pembelaan terhadap dirinya. Instrumen MacCAT-CA merupakan alat bantu pemeriksaan CST yang dapat memastikan psikiater mencakup area topik yang relevan secara konsisten serta memiliki sistem skoring yang terstandardisasi sehingga dapat membandingkan performa tersangka. Hingga saat ini, belum ada instrumen yang dapat menjadi alat bantu pemeriksaan CST di Indonesia sehingga perlu dilakukan adaptasi instrumen MacCAT-CA versi Bahasa Indonesia. Metode: Studi ini merupakan uji kesahihan isi serta studi kualitatif yang melibatkan lima pakar hukum dan empat pakar psikiater forensik. Pengukuran kesahihan isi dilakukan dengan menggunakan item content validity index (I-CVI) dan scale content validity index (S-CVI). Data kualitatif penelitian ini adalah berupa pernyataan pakar yang disampaikan melalui focused group discussion (FGD) dan secara tertulis mengenai adaptasi butir-butir instrumen MacCAT-CA agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum, latar belakang, serta budaya Indonesia. Pemadatan fakta dilakukan pada pernyataan pakar, kemudian diproses menjadi satu interpretasi (coding). Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan fakta dan interpretasi yang sejenis. Hasil: Sembilan butir instrumen MacCAT-CA memiliki nilai I-CVI 0,78 atau lebih, sementara 13 butir memiliki nilai I-CVI di bawah 0,78. Nilai S-CVI/UA dan S-CVI/Ave berturut-turut adalah 0,14 dan 0, 56. Berdasarkan analisis data kualitatif, diperlukan penyesuaian instrumen MacCAT-CA pada aspek hukum, tingkat kerumitan pertanyaan, serta penyesuaian nama serta situasi pada contoh kasus. Usulan pertanyaan untuk instrumen MacCAT-CA versi bahasa Indonesia mencakup profesi hukum, proses atau tahapan hukum, istilah hukum, pemahaman seseorang  mengenai tindakannya dan bahwa mereka bersalah, barang bukti maupun saksi, fakta-fakta yang dapat disampaikan di persidangan, dan pemahaman mengenai hal-hal yang dapat meringankan maupun memberatkan seseorang dalam pengadilan. Kesimpulan: Hasil uji kesahihan isi menunjukkan bahwa perlu dilakukan modifikasi pada butir-butir instrumen MacCAT-CA agar sesuai dengan populasi di Indonesia. Modifikasi butir dapat dilakukan sesuai masukan yang diberikan oleh pakar pada penelitian selanjutnya. ......Background: According to Law of The Republic of Indonesia Number 18 of 2014 on Mental Health, people with mental disorders who commit criminal acts must undergo a mental health examination, one of which is to determine competence to stand trial (CST). The principle of CST is the criminal must understand his charge and assist his legal counsel in defending him. The MacCAT-CA is a CST examination tool that can ensure psychiatrists to consistently cover relevant topics and have a standardized scoring system so that they can compare the performance of suspects. Until now, there is no instrument that can be used as a tool for CST examination in Indonesia. Thus, an adaptation of the MacCAT-CA for the Indonesian population is necessary. Methods: This study involved five legal experts and four forensic psychiatrists. We evaluated the content validity of the MacCAT-CA using item content validity index (I-CVI) and scale content validity index (S-CVI). We also collected qualitative data through focused group discussions (FGD) and in writing regarding the adaptation of the MacCAT-CA items so that it can be adapted according to the legal system, background, and culture in Indonesia. Condensation of facts was carried out on expert statements, then processed into one interpretation (coding). Then, we collected facts and similar interpretations. Results: Nine items have an I-CVI value of 0.78 or more, while 13 items have an I-CVI value below 0.78. The values of S-CVI/UA and S-CVI/Ave are 0.14 and 0.56, respectively. Based on qualitative data analysis, it is necessary to adjust the MacCAT-CA instrument on legal aspects, the level of complexity of the questions, as well as adjustments to the names and situations in the case example. The proposed questions for the Indonesian version of the MacCAT-CA instrument cover the legal professions, legal processes or stages, legal terms, a person's understanding of their actions and whether they are guilty or not, evidence and witnesses, facts that can be presented at trial, and understanding of things that can relieve or incriminate someone in court. Conclusion: The results of the validity test indicate that it is necessary to modify the MacCAT-CA instrument to suit the Indonesian population. The experts’ input in this research can guide the adaptation of this instrument in further research.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Saputra
Abstrak :
Latar Belakang: Pemulihan kesehatan mental orang dengan gangguan spektrum skizofrenia merupakan faktor penting dalam tatalaksana. Pemulihan kesehatan mental menekankan nilai-nilai humanistik dan pengalaman subjektif, sehingga bersifat sangat individual dan dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Salah satu instrumen yang mengukur pemulihan kesehatan mental adalah Recovery Assessment Scale – Domains and Stages (RAS-DS) yang telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia. Namun, pengembangan RAS-DS dilakukan di Australia sesuai dengan persepsi pemulihan kesehatan mental di Australia. Hingga saat ini, belum ada instrumen yang mengukur pemulihan kesehatan mental pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia yang dikembangkan sesuai dengan persepsi pemulihan kesehatan mental di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan studi kualitatif untuk mendapatkan makna pemulihan kesehatan mental menurut persepsi orang dengan gangguan spektrum skizofrenia di Indonesia, mengembangkan butir-butir SPPS, dan menentukan kesahihan isi SPPS. Pengambilan data kualitatif menggunakan metode focus group discussion (FGD) bersama orang dengan gangguan spektrum skizofrenia (n = 11). Data kualitatif dianalisis menggunakan pendekatan conventional content analysis dengan tipologi thematic survey. Pembentukan butir-butir SPPS dilakukan dengan metode induktif berdasarkan hasil analisis data kualitatif. Uji kesahihan isi dihitung dengan menggunakan content validity index for items (I-CVI) dan content validity index for scales (S-CVI). Uji coba dilakukan kepada subjek (n = 10) untuk menilai durasi pengisian SPPS, tingkat kesulitan SPPS secara keseluruhan, dan butir-butir sulit dalam SPPS. Hasil: Persepsi orang dengan gangguan spektrum skizofrenia di Indonesia mengenai pemulihan kesehatan mental meliputi dimensi sosial, eksistensial, klinis, fungsional, dan fisik. Beberapa persepsi yang unik sesuai dengan situasi sosiokultural di Indonesia adalah aspek keluarga, religi dan spiritualitas, serta stigma. Butir-butir SPPS terdiri dari 40 butir pernyataan yang mencerminkan berbagai dimensi tersebut. SPPS memiliki kesahihan isi yang baik dengan rerata I-CVI sebesar 0,99 dan S-CVI sebesar 0,93. SPPS memiliki tingkat kesulitan mudah dengan rerata durasi waktu pengisian adalah 5,4 menit (rentang 3 – 10 menit). Simpulan: Pemberian layanan pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia perlu mempertimbangkan berbagai dimensi pemulihan kesehatan mental. SPPS dapat digunakan secara rutin sebagai alat bantu untuk mengukur dan memantau pemulihan kesehatan mental secara holistik pada orang dengan gangguan spektrum skizofrenia. ......Background: Mental health recovery of people with schizophrenia spectrum disorders is an essential factor in therapy. Mental health recovery emphasizes humanistic values and subjective experiences, so it is highly individualized and influenced by cultural background. One instrument that measures mental health recovery is the Recovery Assessment Scale – Domains and Stages (RAS-DS), validated in Indonesian. However, the development of RAS-DS in Australia is consistent with the perception of mental health recovery in Australia. To date, no instrument measures mental health recovery in people with schizophrenia spectrum disorders, which has been developed based on the perception of mental health recovery in Indonesia. Therefore, Indonesian Recovery Scale for Patients with Schizophrenia/Skala Pemulihan Pasien Skizofrenia (SPPS) is needed. Methods: This study is a qualitative study to assess the meaning of mental health recovery according to the perceptions of people with schizophrenia spectrum disorders in Indonesia, develop SPPS items, and determine the content validity of SPPS. Qualitative data was collected through focus group discussion (FGD) with people with schizophrenia spectrum disorders (n = 11). Qualitative data were analyzed using a conventional content analysis approach with thematic survey typology. The formation of SPPS items was carried out using an inductive method based on the results of qualitative data analysis. The content validity test is calculated using the content validity index for items (I-CVI) and the content validity index for scales (S-CVI). Trials were conducted on subjects (n = 10) to assess the duration of filling out the SPPS, the overall difficulty level of the SPPS, and the difficult items in the SPPS. Results: Perceptions of mental health recovery of people with schizophrenia spectrum disorders in Indonesia include social, existential, clinical, functional, and physical dimensions. Some perceptions of family, religion, spirituality, and stigma are unique to Indonesia's socio-cultural situation. The SPPS items consist of 40 statements that reflect these various dimensions. SPPS has good content validity with an average I-CVI of 0.99 and an S-CVI of 0.93. SPPS was rated easy to use, with the average duration required to complete the instrument was 5.4 minutes, with a range of 3 – 10 minutes. Conclusion: The provision of services to people with schizophrenia spectrum disorders needs to consider the various dimensions of mental health recovery. SPPS can be used routinely as a tool to measure and monitor holistically mental health recovery in people with schizophrenia spectrum disorders.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>