Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendro Darmawan
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai perubahan area katup mitral (AKM) dan respon hemodinamik dengan Doppler ekokardiografi (DE) pada stenosis katup mitral (SKM) yang dilakukan uji latih baring. Menilai perubahan gradien tekanan (MVPG) dan aliran katup mitral (MVF) dalam penerapannya terhadap rumus Gorlin. Perekaman dilakukan pada istirahat dan akhir uji latih. Penelitian dilakukan pada 20 penderita SKM (18 SKM murni dan 2 SKM+Insufisiensi katup mitral). Parameter hemodinamik yang dinilai adalah AKM, dimensi atrium kiri, denyut jantung (DJ), curah jantung (CJ), isi sekuncup (IS); MVPG, MVF dan rasio ∆ MVPG/∆ MVF. Berdasarkan derajat stenosis penderita dibagi atas SKM ringan (AKM >1,5 cm2), SKM sedang (AKM 1-1,5 cm2) dan berat (AKM <1,0 cm2). Membuat korelasi AKM Doppler dengan kateterisasi, menilai perubahan AKM dengan uji latih dan menilai berbagai respon hemodinamik dengan AKM. Ada 8 penderita yang mempunyai data kateterisasi. Penilaian AKM dari Doppler dengan kateterisasi mempunyai korelasi yang balk (r=0,7365,p=O,04). Hanya 12 penderita yang dapat dinilai AKM dengan uji latih. Tidak didapatkan perubahan AKM dengan uji latih (p >0,05). Terdapat korelasi antara AKM dengan delta CJ (r=0,7552,p=0,0001) dan dengan delta IS (r=0,52,p=0,02), tetapi tidak mempunyai korelasi dengan delta DJ (selisih DJ puncak uji latih dengan istirahat) dengan r=0,09 maupun dengan delta DJ yang diperoleh dari selisih DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih dengan DJ istirahat (r=-0,05). Nilai DJ pada puncak uji latih (dari EKG) tidak sama dengan DJ pada saat rekaman Doppler pada akhir uji latih (136 ± 13 dan 108 T 19). Terdapat keterbatasan DE untuk mendapatkan rekaman pola pada puncak uji latih, disamping penentuan "slope" dari pola mempunyai pengaruh terhadap perhitungan AKM. Perubahan gradien tekanan rata-rata {delta mMVPG) tidak mempunyai korelasi dengan AKM (r=0,01). Terdapat korelasi antara MVF dengan AKM (r=0,6692,p=0,001) begitu jugs pada rasio ∆MVPG/∆ MVF mempunyai korelasi terbalik dengan AKM (r=- 0,8247, p=0,00001). Perubahan hemodinamik ini mengikuti rumus Gorlin. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan Doppler ekokardiografi dapat dipakai untuk menilai perubahan hemodinamik pada penderita SKM yang dilakukan uji latih.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Aspar Mappahya
Abstrak :
Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.

Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.

Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
Abstrak :
ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.

Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara

retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.

Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.

Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.

Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.

Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .

Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gardjito Hardjosukarso
Abstrak :
Penelition ini bertuiuan untuk menilai derajat Hipertensi Pulmonal (HP) secora kwantitatif dengan pemeriksaan "Pulsed Doppler Echocardiography" (PDE). Penelition dilakukan terhadap 60 penderita HP, semua menialani kateterisasi jantung. Kelompok kelola terdiri dari 15 orang normal. Parameter PDE dilakukan pengukuran "right ventricel pre ejection period" (RPEP), "acceleration time" (ACT), "right Ventricel ejection time" (RVEP) serta rosio RPEP/ACT, RPEP/RVET don AcT/RVET. BerdosarKan panjang fase AcT. penderita dibagi dalom 2 kelompok, yaitu kelompok ACT < 80 ms (kelompok A) dan ACT = 80-120 ms (kelompok B). Berdasarkan "mean pulmonary artery pressure" (MPA) dari kateterisasi jantung, penderita dikelompokkan menjadi kelompok 20-40 mmHg (HP-1), 41-60 mmHg (HP-2) don >60 mmHg C HP-3 ), berturut-turut sesuai dengan deraiat ringan, sedang dan berat. Berdasarkan "pulmonary arterial resintance" ( PAR ) penderita HP karena pirau intrakardial dibagi 2, yaitu kelompok < 5HRU (PAR-1) dan > 5 HRU (PAR-2). Nilai Parameter PDE dari tiap kelompok dibandingkan dengan nilai MPA dan PAR dari hasil pemeriksaan kateterisasi jantung. penderita dibagi 2 golongan, yaitu HP hiperkinetiK don HP pasif, selonjutnya parameter PDE kedua golongon tersebut dibandingkan. Didapatkon korelasi kuat antara AmPA masing-masing dengan RPEP ( MPA = 5.14 + 0.44 RPEP, r = 0.76, SEE = 9.34, X0.01), ACT ( MPA = 84.69 + 0.55 ACT, r =-0.78, SEE=8.99, p<0.01), dan RPEP/ACT (MPA= 18.93 + 15.90 RPEP/ACT, r=0.87, SEE= 7.07, P<0.01). Juga didapatkan korelasi kuat antara PAR dengan RPEP (PAR = -7.93 + 0.12 RPEP, r = 0.82, SEE = 2-055, P<0-01), ACT ( PAR = 17.44 - 0.15 ACT, r = -0.84, SEE = 1.89, P<0.01) dan RPEP/ACT (PAR= -1.16 + 4-24 RPEP/Ac75 r = 11.90, SEE=1.56, P<0-01). Rasio RPEP/ACT dapat membedakon kelcmpoK HP-1, HP-2 don HP-3 secara bermakna (HP-13 1.03-+0.27, dibanding HP-2, 2-02 (0.36, P<0.05 ; HP-2 dibanding HP-3, 2.82±0.423 p<0.05). Rasio RPEP/ACT 1.61 atau kurang sesuai dengan HP ringan, rasio 2.22 atau lebih sesuai dengan HP berat, rasio antara 1.61 - 2.22 sesuai dengan HP sedang. Parameter tersebut juga dapat menentukan tingginya PAR. Parameter PDE golongan HP hiperkinetik tidak berbeda bermakna dibanding HP pasif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa RPEP, ACT don RPEP/ACT merupakan Parameter PDE yang dapat dipokai untuk menilai secora kwanitatif don kwanitatif dero,iat HP. Rasio RPEP/ACT merupakan satu-satunya parameter sensitif yang dapat digunakan untuk menentukan HP ringan, sedang dan berat. Golongan HP hiperkinetik dan HP pasif mempunyai parameter PDE soma.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudjo Abdulgani
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas hasil uji Iatih jantung dengan beban (ULJB ), beberapa peneliti menghitung kemiringan ST/laju jantung (LJ) maksimal ('maximal ST/HR slope'), yaitu nilai B dari persamaan Y = B (X - Xo). Y : depresi segmen ST, X = laju jantung dan Xo : laju jantung saat mulai akan timbul depresi segmen ST. Tujuan penelitian ini yaitu meneliti peranan kemiringan ST/LJ maksimal (SLOPE) Serta meneliti adakah peranan Xo dalafn memprediksi berat penyakit jantung koroner(PJK). Penelitian bersifat prospektif pads 23 sukarelawan, yang diIakukan angiografi koroner dan ULJB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, antara 1 Desembar 1988 sampai dengan 28 Februari 1989. Sebagian penderita dilakukan ULJB dengan metode Bruce (n=7), sedang sisanya dengan modifikasi Bruce (n=16). Semua penderita adalah laki-laki, berumur 38-55 (rata-rata 52, 1_+6,4) tahun. Dua pulun penderita dengan riwayat infark, 2 dengan angina pektoris dan 1 asimtomatis. Bila penderita minum obat (antagonis kalsium, penghambat reseptor beta) pada saat ULJB, obat tidak dihentikan. Penghitungan SLOPE dilakukan menurut Cara Kligfield. Derajat iskemi miokard diukur menurut skor dari Green Land Hospital (GLH). Tiga penderita tidak dapat dihitung nilai SLOPEnya (13%). Ditemukan korelasi positif antara nilai SLOPE dengan skar GLH(r=0,83 : p<0,00001),yang dapat dinyatakan dengan persamaan : skor GLH = 2,28 + 0,8 SLOPE. Rata-rata nilai SLOPE pada ke empat kelompok penderita (?normal', 1, 2, 3 penyakit pembuluh darah), berturut-turut adalah 1,04 _+ 0,63 uV/denyut/menit; 2,84 _+ 1,27 UV/denyut/menit; 5, 46 _+ 3,76 uV/denyut/menit; dan 10,62 _+ 2,60 UV/denyut/menit. Secara statistik perbedaan rata-rata dari ke 4 kelompok ini bermakna (p < 0,0005). Sedangkan nilai Xo tidak mempunyai korelasi dengan skor GLH. Dari penelitian ini kami menyimpulkan bahwa nilai SLOPE mempunyai nilai prediksi terhadap berat ringan PJK, sedangkan nilai Xo tidak.
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Purcahyo
Abstrak :
Tujuan akhir yang diharapkan dari pemberian trombolitik adalah terbukanya arteri koroner penyebab infark (Patency Infarc Related Artery), perbaikan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan penurunan angka kematian. Pada saat pemberian trombolitik yaitu dengan streptokinase terjadi defibrinasi awal yang hebat yang dapat dievaluasi dengan pemeriksaan waktu trombin dan kadar fibrinogen. Defibrinasi awal yang hebat setelah pemberian streptokinase yang ditunjukkan dengan adanya perpanjangan waktu trombin merupakan jaminan lebih efektifnya trombolisis dan lebih besar terbukanya arteri koroner penyebab Infark (Patency Infarc Related Artery) sehingga dengan demikian lebih baik menjaga fungsi ventrikel kiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara waktu trombin dan kadar fibrinogen dengan fungsi ventrikel kiri pada infark miokard akut yang diberikan streptokinase. Dilakukan penelitian pada 24 pasien penderita IMA yang diberikan streptokinase dengan onset kurang dari 12 jam, terdiri dari laki-laki 22 orang (91, 8%) dan wanita 2 orang (8,28) dengan umur rata-rata 57,7 (SD 9,89) tahun. Pemeriksaan dilakukan terhadap waktu trombin dan kadar fibrinogen sebelum pemberian streptokinase dan 1 jam setelah selesai pemberian streptokinase. Didapatkan penurunan yang bermakna kadar fibrinogen dari 360,4 (SD 100,5) mg/dl menjadi 32, 10 (SD 7,52) Mg/d1 setelah pemberian dengan p < 0,001. Waktu trombin memanjang secara bermakna dari 12,95 (SD 1, 11) detik menjadi 51,5 (SD 23,9) detik setelah pemberian (p < 0,001) Terdapat hubungan antara waktu trombin setelah pemberian streptokinase dengan FEVK pada seluruh pasien infark, dengan r = 0, 42 dengan nilai kemaknaan p = 0,04 dan lebih bermakna pada pasien infark anterior, r = 0,59 p = 0,023. Berarti bahwa perpanjangan waktu trombin berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai FEVK walaupun hubungan tersebut tidak kuat. Sedangka untuk infark inferior hubungan tersebut r = 0,48 lemah namun p = 0,1 tidak bermakna. Terdapat hubungan lemah tidak bermakna antara variabel fibinogen dengan FEVK, dengan r = -0,18, p = 0,39. Tidak terdapat hubungan bermakna antara onset dengan perpanjangan waktu trombin (p=0, 36) dan tingginya nilai FEVK (p = 0,24). Kesimpulan: Perpanjangan waktu trombin 1 jam setelah pemberian streptokinase berhubungan secara bermakna dengan tingginya nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57274
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahayu Ningrum
Abstrak :
Latar belakang Contrast media induced nephropathy (CIN) adalah komplikasi klinis akibat pemakaian media kontras. CIN menjadi semakin penting dengan makin banyaknya pemakaian media kontras pada prosedur diagnostik atau terapi intervensi, khususnya di bagian kardiologi. Penelitian tentang CIN yang sudah ada dilakukan di Eropa dan Amerika. Sedangkan di Indonesia data CIN belum ada dan faktor risiko untuk terjadinya CIN dijumpai pada pasien di bagian diagnostik invasif dan intervensi non bedah. Tujuan penelitian Mengetahui insidens CIN pada pasien yang dilakukan koroner-angiografi danlatau intervensi koroner perkutan, dan mengetahui faktor risiko yang berperanan. Hipotesis dan manfaat penelitian Pemakaian media kontras berhubungan dengan insidens CIN dan faktor risiko umur, jenis kelamin, DM, hipertensi, disfungsi ginjal, gagal jantung, anemia, status hidrasi yang kurang, infark miokard, media kontras, jenis tindakan berhubungan dengan terjadinya CIN. Metodologi Penelitian ini berupa quasi experimental (pre and post study), yang dilakukan pada 312 pasien di bagian invasif dan intervensi non bedah (laboratorium kateterisasi) RS Jantung dan PembuIuh darah Harapan Kita/Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK.UI yang menjalani koroner angiografi dan/atau intervensi koroner perkutan. Hasil yang dinilai adalah terjadinya kenaikan kreatinin serum sama dengan atau lebih dari 0,5 mg/dl pada hari ketiga setelah terpapar media kontras. Hasil Insidens CIN adalah 25% (79/312 orang) dengan insidens pada kelompok dengan faktor risiko 33% (51/156 orang) dan insidens pada kelompok tanpa faktor risiko 18% (28/156 orang). Hasil analisa univariat menunjukkan umur lanjut, hipertensi,lama hipertensi, DM, lama DM, anemia, status hidrasi, disfungsi ginjal, jenis kontras menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) dan hasil analisa multivariat menunjukkan umur lebih dari 60 tahun, hipertensi yang sudah berlangsung 5,5 tahun dan DM yang sudah terjadi 4,5 tahun bermakna untuk terjadinya CIN Simpulan Insidens CIN cukup tinggi di bagian invasif dan intervensi non bedah RSJPDHKIDepartemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dengan faktor risiko yang paling berperanan adalah DM yang sudah terjadi 4,5 tahun, hipertensi yang sudah berlangsung 5,5 tahun dan usia lanjut lebih dari 60 tahun. Makin banyak faktor risiko yang dimiliki seseorang makin besar prediksi untuk terjadinya CIN.
Background Contrast media induced nephropathy (CIN) is a clinical complication due to the use of contrast media. With the increasing role of contrast media in diagnostic and intervention procedures, especially in the field of cardiology, CIN has become more important. Most studies a CIN were performed in Europe and US; currently in Indonesia data on this matter is limited while patients who undergo procedures in the Department of invasive diagnostic and non-surgical intervention are constantly at risk for this complication. Aim of study To investigate the incidence of CIN in patients who undergo coronary angiography and/or percutaneous coronary intervention, and to know the contributing risk factors. Hypothesis and benefit of the study The use of contrast media is related to the incidence of CIN. Age, sex, diabetes mellitus, hypertension, kidney dysfunction, heart failure, anemia, insufficient hydration level, myocardial infarction, the type of contrast media and the type of the procedure are the risk factors contributing to the incidence of CIN Methods This is a longitudinal prospective Cohort study on 312 patients in the Department of invasive diagnostic and non-surgical intervention of National Cardiovascular Center Harapan Kita/Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia, March-May 2006 who undergo coronary angiography and/or percutaneous coronary intervention. We define CIN as an increase of plasma creatinine level of 0.5 mg/dl or more on the first three days after exposure to contrast media. Results Incidence of CIN was 25% (79 of 312 patients), with the incidence in the risk factor group was 33% (51 of 156 patients) and in the non risk factor group was 18% (28 of 156 patients). Uni variate analysis showed that advanced age, hypertension, duration of hypertension, diabetes mellitus, duration of diabetes mellitus, anemia, hydration status, underlying kidney dysfunction, and type of contrast media are significant risk factors for CIN While in the multivariate analysis the significant risk factors are advanced age (more than 60 years), 5.5 years hypertension, and diabetes mellitus that last 4, 5 years. Conclusion Incidence of CIN is relatively high in the Department of invasive diagnostic and non-surgical intervention of National Cardiovascular Center Harapan Kita/Department of Cardiology and Vascular Medicine, University of Indonesia. The contributing risk factors are advanced age more than 60 yearse,4.5 years hypertension, and diabetes mellitus that last 4.5 years. CIN is more likely to occur with an increasing number of risk factors.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achyar
Abstrak :
Latar belakang Meskipun intervensi non-bedah dengan balon (percutaneous balloon mitral valvulotomy) merupakan pilihan utama pada stenosis mitral (MS), tetapi pada kasus-kasus tingkat lanjut, bedah ganti katup mekanis merupakan salah satu pilihan. Penelitian khusus tentang bedah ganti katup mekanis pada MS di Indonesia masih sedikit. Rumahsakit Jantung Harapan Kita Jakarta, dalam kurun waktu 1985-1995 telah melakukan penggantian katup mekanis pada 566 penderita, 348 diantaranya dilakukan penggantian pada katup mitral. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keberhasilan awal dan lambat dari bedah ganti katup mekanis pada stenosis mitral, dan variabel prediktor kematian dari tindakan bedah ganti katup tersebut di Rumahsakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Metode penelitian : Penelitian dilakukan secara retrospektrif dan observasional, terhadap penderita MS yang dilakukan bedah ganti katup mekanis di Rumahsakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) Jakarta selama kurun waktu 1985-1995. Pengamatan dilakukan mulai Desember 1985-Juni 1997. Pengumpulan data pra, intra dan pasca-bedah, serta data pada saat kontrol rutin dipoliklinik, didapat melalui catatan rekam medik penderita. Penderita yang tidak kontrol rutin, dihubungi dengan surat, telepon, atau kunjungan rumah. Analisis ketahanan hidup dilakukan dengan metode Kaplan-Meier. Variabel prediktor untuk kematian awal dilakuan dengan uji regresi logistik, sedang untuk kematian lambat dilakukan dengan regresi Cox. Hasil: Terdapat 51 penderita, 24 pria (47,1%), dan 27 wanita (52,9%), berumur antara 15-63 tahun (37,8 ± 8). MS murni 37 penderita (72,5%), 11 penderita disertai regurgitasi mitral ringan (21,5%), dan 3 penderita disertai regurgitasi aorta ringan (6%). MS berat 38 penderita (75%), MS sedang 13 penderita (25%). Kematian awal 13,7% (7 penderita), penderita yang dapat diikuti sampai akhir penelitian 95% (36 penderita). Lama pengamatan 228,8 tahun-orang. Ketahanan hidup 5 tahun adalah 85,6 ± 6 %, sedang untuk 10 tahun 79 ± 8,4 %. Komplikasi yang terjadi selama pengamatan, perdarahan oleh karena anti-koagulan 0,5%/penderita-pertahun, emboli 0,5%/penderita pertahun, gagal jantung 2,5%/penderita-pertahun, gagal fungsi katup 0,9%/penderita-pertahun, endokarditis 1%/penderita-pertahun, ganti katup 0,5%/penderita-pertahun, kematian mendadak 0,5%/penderita-pertahun. Variabel prediktor terhadap kematian awal adalah lama pemakaian mesin by-pass (rasio odds 1,02, interval keyakinan 95% 1,00-1,04, p=0,049). Tidak ditemukan variabel prediktor kematian lambat. Kesimpulan : Angka kematian awal 13,7%. Ketahanan hidup 5 tahun dan 10 tahun masing-masing 85,6 ± 6%, dan 79 ± 8,4%. Variabel prediktor terhadap kematian awal adalah lama pemakaian mesin by-pass. Tidak ditemukan variabel prediktor terhadap kematian lambat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57273
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Rina
Abstrak :
Latarbelakang. Enhanced External Counterpulsation (EECP) dilaporkan oleh beberapa peneliti dapat meningkatkan aliran darah perifer yang selanjutnya menimbulkan shear stress tinggi dan pada gilirannya mempengaruhi fungsi sel sel endotel yang berperan langsung didalam penurunan resistensi pembuluh darah, melalui peningkatan pembentukan substrat vasodilatasi NO (nitrogen monoksida). Secara teori peningkatan NO menginduksi terjadinya dilatasi pembuluh darah, dikenal sebagai flow mediated dilation (FMD). Sampai saat ini belum ada laporan tentang perubahan FMD pasca EECP. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan apakah FMD arteri brakhialis mengalami perubahan pada penderita PJK yang menjalani EECP. Metodologi. Dilakukan penelitian prospektif eksperimental dengan desain pra pasca pada 20 penderita PJK laki-laki, umur 42 - 71 th di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Semua penderita telah menjalani pemeriksaan angiografi koroner. Lima penderita dengan satu penyempitan pembuluh koroner utama (1-VD), 5 penderita dengan 2-VD, 9 penderita dengan 3-VD. Satu penderita dikeluarkan dari penelitian karena operasi tumor paru Seluruh penderita mendapat perlakuan EECP selama 1 jam sekali perhari selama 36 kali, minimal 5 kali seminggu. Pada semua penderita dilakukan pengukuran diameter arteri brakhialis memakai scan Duplex ultrasonografi perifer, sebelum dan sesudah perlakuan EECP. Untuk menilai FMD, diukur diameter (mm) baseline arteri dan saat hiperemia. FMD adalah persentase perubahan diameter akibat induksi peningkatan aliran darah. Analisa statistik Data disajikan dalam nilai rerata + SD. FMD pra dan pasca disajikan dalam satuan persen (%). Analisa perubahan variabel pra dan pasca EECP dilakukan dengan pair-t test. Nilai bermakna bila p<0,05. Hasil penelitian. Usia rerata 58,1±7,72 thn. Peningkatan FMD pra (4.57±7,72%) dan pasca EECP (5,96±5,49%) pada penderita PJK secara statistik tidak bermakna (p>0,05). Uji statistik yang dilakukan pada 3 subkelompok VD dan 2 subkelompok umur (dibawah 60 th dan > 60 th), secara statistik tidak bermakna. Pada kelompok pra EECP (6 penderita) yang dengan kegagalan FMD (0%), pasca EECP terjadi peningkatan bermakna (p<0,05). Pada 2 penderita subkelompok usia lanjut (umur 60 th) FMD pasca EECP masih tetap menunjukkan penurunan, hal ini mungkin terjadi disfungsi endotel berat. Pembahasan. FMD adalah salah satu parameter untuk menilai perubahan biologis fungsi endotel pembuluh darah. Semakin tinggi respon FMD menunjukkan fungsi endotel semakin baik. Pada penelitian ini, FMD menunjukan peningkatan tidak bermakna, mungkin shear stress yang dihasilkan EECP secara mekano hemodinamik tidak cukup untuk merangsang pelepasan NO, walaupun D/S ratio yang optimal. Penderita dengan gangguan fungsi endotel berat, pelepasan NO kedalam darah sangat menurun, sehingga sehingga terjadi peningkatan rasio ET-1/NO atau terjadi pelepasan ET-1 dari smooth muscle cell (SMC) yang selanjutnya menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa: 1. Peningkatan FMD pada penderita lelaki dengan PJK yang menjalani EECP secara statistik tidak bermakna. 2. Subkelompok penderita lelaki usia lanjut dengan PJK kemungkinan EECP menyebabkan kecendrungan penurunan FMD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Fauzi Shibly
Abstrak :
Sejak lebih dari 25 tahun yang lalu muncul bukti-bukti yang menunjang hipotesis bahwa meningkatnya homosistein plasma merupakan faktor risiko aterosklerosis, Berbagai studi kasus kontrol retrospektif, prospektif maupun intervensi telah dilakukan dan membuktikan bahwa hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko independen PJK. Pada satu meta-analisis dari 15 studi, rasio odds untuk PJK pada subjek dengan hiperhomosisteinemia adalah 1,7. Salah satu risiko penting terjadinya hiperhomosisteinemia adalah rendahnya asupan vitamin yang berperan pada metabolisme homosistein yaitu asam folat, vitamin B12 dan vitamin B6. Telah dilakukan penelitian deskriptif analisis terhadap 70 subyek PJK sebagai kasus dan 36 subyek sebagai kontrol di RS Jantung Harapan Kita dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kadar homosistein plasma pada penderita PJK dan kontrol serta hubungannya dengan asam folat dan vitamin B12 yang diketahui berperan mempengaruhi kadar homosistein plasma. Hasil pemeriksaan homosistein plasma, didapatkan rerata kadar homosistein plasma pada kelompok kasus maupun kontrol diatas normal (12,2 6,9 dan 13,1 + 3,6 Umol/L) dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok ini. Frekuensi defisiensi vitamin B12 masing-masing didapatkan 30% pada kelompok PJK dan kelompok tanpa PJK. Hal yang sangat menyolok didapatkan pada penelitian ini adalah defisiensi asam folat yang mencapai 82% pada kasus dan 83% pada kelompok kontrol. Korelasi antara homosistein plasma dengan vitamin B12 dan asam folat, didapatkan adanya korelasi negatif lemah yakni masing-masing r=-0,3 (p= 0,0004) dan r= -0,25 (p= 0,0095). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan. 1. Pada subyek PJK 61% kadar homosistein plasmanya diatas normal dan 80% pada subyek tanpa PJK. 2. Terdapat korelasi negatif lemah antara homosistein plasma dengan vitamin B12 serum dan asam folat. 3. Hal yang menyolok dari hasil penelitian ini adalah tingginya angka defisiensi asam folat pada kelompok PJK (82%) dan 83% pada kelompok tanpa PJK. 4. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kadar homosistein antara kasus dengan kelompok kontrol.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>