Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tuti Purwani D. Azis
Abstrak :
Pertambahan penduduk di daerah perkotaan telah menimbulkan berbagai gejolak sosio-ekonomi, demografik dan psikologik, sehingga kota berkesan kurang ramah dan tidak humanis serta identik dengan kekerasan, polusi ,dll. Oleh sebab itu kota perlu direncanakan dan dikendalikan perkembangannya demi kepentingan semua pihak, karena kota bukan hanya sekedar bentuk fisik tetapi juga merupakan komunitas penghuni. Selain itu kota perlu memiliki identitas lingkungan yang dapat membedakannya dari kota lain karena banyak kota di dunia saat ini mengalami pemudaran identitas . Jakarta merupakan salah satu kota yang sedang berusaha menampilkan jati dirinya melalui kebijakan pemugaran benda, bangunan, kelompok bangunan dan kawasan. Salah satu obyek pemugaran tersebut adalah kawasan Kebayoran Baru yang memiliki penataan lingkungan yang unik. Kawasan hunian ini ditata menurut pola neighbourhood unit, suatu konsep perumahan yang dirancang agar menumbuhkan kerekatan sosial antar penghuni. Akibat pesatnya perkembangan Jakarta, Kebayoran Baru telah mengalami banyak perubahan fisik maupaun fungsi sosial. Bila kurang diwaspadai maka dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan berhuni dan pada gilirannya akan mengikis fungsi utama kawasan ini sebagai daerah hunian. Penelitian ini berusaha mengungkapkan apakah fungsi neighbourhood unit masih berjalan dengan baik. Cognitive map dan Neighbourhood Quotient merupakan indikator yang dapat menunjukkan bahwa kehidupan neighbourhood seperti penggunaan fasilitas sosial, hubungan dengan tetangga dan kepedulian terhadap kualitas lingkungan masih dimiliki oleh komunitas tersebut. Penelitian ini telah membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara variabel hubungan dengan tetangga dan penggunaan fasilitas lingkungan dengan Neighbourhood Quotient. Namun tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel tersebut dengan Cognitive map. Hal yang cukup mengkhawatirkan adalah hanya 25 % responden memiliki taraf community participation yang ideal. Hal ini merupakan pertanda bahwa kerukunan dan kebersamaan ( intimacy and innerness) dikalangan penghuni telah terkikis oleh pembangunan perkotaan. Hal ini perlu diwaspadai agar Kebayoran Baru tidak kehilangan jati dirinya sebagai daerah hunian.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T167
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Ningsih
Abstrak :
Wanita Indonesia pada masa sekarang ini, khususnya di Jakarta kebanyakan tidak lagi tinggal dirumah sebagai pengurus rumah tangga dan anak, tetapi ikut aktif bekerja diluar rumah untuk meningkatkan karir dan penghasilan mereka. Wanitapun banyak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Namun di dalam masyarakat Indonesia seorang wanita yang bekerja tetap diharapkan untuk berperan sesuai dengan fungsi utamanya di dalam keluarga yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai istri. Oleh karena itu jika wanita mengkombinasikan perannya didalam pekerjaan dan juga keluarga, hal ini seringkali menimbulkan stres. Salah satu bidang kerja yang seringkali terdapat banyak stafnya mengalami stres adalah perawat, oleh karena itu perawat sering dikatagorikan sebagai profesi yang menimbulkan stres. Dalam kondisi stres, dikhawatirkan perawat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal, oleh karena itu perawat diharapkan dapat mengatasi stres yang dialami. Hal ini menyebabkan ia melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini apabila ditujukan khusus pada keadaan atau situasi yang dirasakan menantang, mengancam, atau membebani sumber daya yang dimiliki seseorang serta menimbulkan emosi-emosi negatif maka penyesuaian diri ini disebut sebagai Coping. Coping merupakan usaha dalam bentuk kognisi dan perilaku untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai melebihi sumber daya penyesuaian yang dimiliki seseorang. Coping dibedakan menjadi dua yaitu Problem Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengatasi atau meyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengurangi ketegangan dan perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul dari kesulitan atau masalah yang sedang dihadapi. Dari penelitian selanjutnya Coping berhasil dikembangkan menjadi delapan strategi baru dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping yaitu tiga strategi yang tergolong dalam Probel Focused Coping adalah Tindakan berhati-hati, Tindakan Instrumental, dan Negosiasi, kemudian empat strategi yang tergolong dalam Emotion Focused Coping adalah Melarikan diri, Minimization, Menyalahkan diri sendiri, dan Mencari makna, serta satu strategi yang merupakan kombinasi dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping adalah Mobilisasi dukungan. Namun pemilihan jenis Strategi Coping yang dilakukan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan faktor Kontekstual. Penelitian ini dilakukan terhadap 155 orang perawat di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah, untuk mengetahui Bagaimana pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda, khususnya perawat di dua Rumah Sakit Jakarta, serta hubungannya dengan faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual, berhubungan secara signifikan dengan pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda. Namun yang memberi sumbangan terbesar dari ketiga faktor tersebut adalah Faktor sosio demografi yaitu penghasilan dan pendidikan, kemudian Faktor Kontekstual, baru Tipe Kepribadian. Selain itu penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilihan Strategi Coping yang ditampilkan wanita berperan ganda di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah. Responden di RS. Fatmawati umumnya cenderung menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna; serta kombinasi antara Problem Focused Coping (PFC) dan EFC yaitu melakukan dukungan mobilisasi. Sedangkan responden di RS. Pondok Indah cenderung menggunakan Strategi Problem Focused Coping (PFC) yaitu tindakan instrumen, tindakan berhati-hati, juga negosiasi; bahkan yang menarik di RS Pondok Indah cenderung pula menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna. Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka disarankan : (1) Sebaiknya dilihat pula gambaran stres yang dialami oleh wanita berperan ganda, agar diketahui jenis atau intensitas stressor yang dialaminya, sehingga pengukuran coping akan lebih terarah dan spesifik. (2) Bagi yang ingin melakukan penelitian yang sama disarankan untuk membuat alat ukur Strategi Coping yang lebih spesifik, dan mempertimbangkan karakteristik budaya masyarakat Indonesia. (3) bagi yang berminat melakukan penelitian lanjutan disarankan agar membandingkan dengan jenis pekerjaan lain sehingga terlihat variasi pemilihan Strategi Copingnya. (4) Bagi pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam hal rekruitmen karyawan, khususnya wanita berperan ganda perlu diperhatikan penghasilan yang tinggi dan pendidikan tinggi , agar mereka dapat langsung memecahkan masalahnya yang berkaitan dengan peran gandanya, sehingga akan mempengaruhi efektiftas dan produktifitas kerjanya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charismarita
Abstrak :
Penulisan ini dimulai dad suatu realitas kehidupan keseharian dalam keluarga. Perlakuan negatif orangtua dalam mengasuh anak memberikan pengalaman dan perasaan-perasaan negatif yang tersimpan dalam ingatan anak. Ingatan itu dapat tersimpan hingga dewasa dan menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk yang muncul pada dua aspek. Pada aspek intrapersonal, yakni munculnya emosi-emosi negatif terhadap orangtua akibat perasaan negatif yang tersimpan dan aspek interpersonal berupa, terganggunya hubungan individu dengan orangtuanya yang menumbuhkan kesulitan-kesulitan personal individu. Di masa dewasa gangguan-gangguan pads did individu dan hubungan dengan orangtua dirasakan sebagai kepedihan (pain) serta memberikan penderitaan pads individu. Ada satu jalan untuk mengatasinya yaitu melalui proses pemaafan. Akan tetapi dalam penderitaan diperlukan satu dorongan kuat untuk memaafkan pelaku kesalahan. Suatu kenyataan terungkap bahwa dalam penderitaan itu dapat ditemukan suatu makna berharga bagi individu. Makna yang ditemukan itu dapat membawa individu kepada proses pemaafan. Penemuan makna dalam penderitaan didahului oleh timbulnya pemahaman diri akan kondisi did dan menemukan makna dalam penderitaan akan membawa kepada pengubahan sikap atas keadaan itu. Hal-hal itu terdapat dalam komponen-komponen perubahan kepada kehidupan bermakna pengajuan Bastaman (1996). Model proses pemaafan yang digunakan adalah pengembangan Enright (2002) dan kelompoknya. Model ini meliputi beberapa tahapan-tahapan dalam fase pengungkapan, fase keputusan, fase kerja dan fae pendalaman. Berlangsungnya proses pemaafan ini pada akhirnya membawa individu pada kehidupan bermakna dalam komponen-komponen antara lain; keikatan diri pada makna penderitaannya, kegiatan yang terarah dalam kehidupan kesehariannya dan terdapatnya dukungan sosial bagi individu (B astaman,1996). Penelitian ini menggunakan tiga orang subjek penelitian dalam variatif usia dan jenis kelamin yang memiliki pengalaman negatif perlakuan orangtua. Pendekatan kualitatif yang digunakan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap akan keadaan nyata individu dalam penderitaannya, penemuan makna dan proses pemaafan serta kehidupan bermakna individu. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa suatu proses pemaafan dapat berlangsung karena adanya suatu makna yang ditemukan dalam penderitaan akibat kesalahan yang dilakukan pelaku dan berlangsungnya suatu proses pemaafan akan membawa individu kepada kehidupan bermakna.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadan Erwandi
Abstrak :
Sebagai salah satu komponen masyarakat yang memiliki status intelektual, mahasiswa dituntut untuk memiliki kepekaan terhadap kondisi yang ada di masyarakat. Mahasiswa memiliki daya kritis terhadap kebijakan maupun dampak dari kebijakan pemerintah tersebut terhadap rakyat. Untuk mewujudkan sikap idealismenya, pada umumnya mahasiswa menggunakan sarana kelompok/organisasi kemahasiswaan baik yang bersifat formal dan informal yang ada di dalam lingkungan kampus maupun luar kampus. Dalam konteks ini, kelompok/organisasi memberikan pengaruh bagi diri mahasiswa baik secara internal dan eksternal. Seorang individu merasa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok (in-group) maka secara otomatis ia akan menganggap individu di luar kelompoknya sebagai out-group. Untuk memahami setiap perbedaan yang terjadi sikap toleransi merupakan salah satu elemen kunci untuk menghindari konflik berkembang menjadi besar. Sikap toleransi yang dimaksud adalah sikap toleransi politik. Di dalam kelompok yang kohesif, setiap anggota kelompok berusaha untuk menjaga norma kelompok dengan cara mempengaruhi anggota yang lain atau mengucilkan anggota yang melanggar norma tersebut Tindakan, anggapan, keyakinan atau penilaian yang menganggap bahwa kelompok tertentu memiliki sifat yang sama disebut stereotipi. Di dalam kehidupan berbangsa yang multi etnik dan golongan, sikap toleran untuk membiarkan kelompok lain yang berbeda dengan kelompoknya untuk melakukan aktivitasnya adalah suatu keharusan. Kesiapan masing-masing kelompok untuk dapat saling menghargai satu dengan yang lainnya bahkan dapat saling bekerja sama dalam memperjuangkan prinsip-prinsip idealismenya yang dalam bidang politik sangat terkait dengan sikap toleran dalam politik (toleransi politik) yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok. Penelitian ini bersifat deskriptif karena peneliti memiliki dugaan-dugaan tertentu terhadap permasalahan ini. Dugaan peneliti adalah ada hubungan yang signifikan antara tingkat kohesi kelompok dan stereotipi kelompok terhadap terhadap tingkat toleransi politik mahasiswa. Ini berarti semakin tinggi kohesi kelompok dan stereotipi kelompok yang positif terhadap kelompok lain akan diikuti oleh toleransi politik mahasiswa yang positif/tinggi. Variabel yang terdapat pada penelititan ini adalah variabel kohesi kelompok, stereotipi kelompok dan toleransi politik mahasiswa. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil konstruksi dan adaptasi dari alat ukur yang telah ada namun telah disesuaikan dengan teori kohesi kelompok, stereotipi kelompok dan toleransi politik mahasiswa serta hasil elisitasi terhadap sejumlah subyek. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, di mana subyek adalah mahasiswa aktif dari perguruan tinggi dan terlibat atau tergabung dalam organisasi kemahasiswaan di FORKOT atau KAMMI. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 181 responden. Untuk menguji validitas dan reliabilitas item-item dalam kuesioner digunakan perhitungan internal consistency dan alpha cronbach. Untuk menguji hubungan antara kohesi kelompok dan stereotipi kelompok terhadap toleransi politik mahasiswa digunakan analisis regresi. Sedangkan untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok menggunakan uji t. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa stereotipi kelompok memberikan pengaruh terhadap toleransi politik sedangkan kohesi kelompok tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Nilai kohesi kelompok dan toleransi politik mahasiswa yang berasal dari FORKOT lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari KAMMI. Sedangkan stereotipi mahasiswa yang berasal dari FORKOT lebih rendah dibandingkan dengan yang berasal dari KAMMI. Disarankan untuk penelitian lebih lanjut melakukan perbaikan pada alat ukur dan teori lebih diperluas agar faktor-faktor yang lain dan bersifat laten dapat diketahui.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T17982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Iva Murty
Abstrak :
Studi-studi dalam psikologi sosial yang membahas mengenai self dan berbagai konsep-konsep turunannya, termasuk konsep self construal, selalu berhadapan dengan pilihan-pilihan problematis, dalam perspektif dan metodologi. Studi-studi self construal umumnya mengacu kepada pemikiran Markus dan Kitayama (1991) mengenai tipologi self construal dan implikasi kritisnya terhadap kognisi, emosi dan motivasi. Pemikiran Markus dan Kitayama (1991) ini memperlakukan hubungan diantara self dan budaya sebagai sesuatu yang bersifat linear dan mekanistik. Budaya memberi pengaruh terhadap self sehingga terdapat aspek-aspek self yang bervariasi menurut masyarakat dan budaya di mana seorang individu berada. Studi ini menolak pemikiran Markus dan Kitayama (1991) tersebut dan memilih membedah self construal melalui pendekatan dialogical self. Pendekatan dialogical self memaklumkan self sebagai sesuatu yang bersifat majemuk, kompleks namun fleksibel. Self merupakan repertoar posisi-posisi yang membentuk konstruksi dialogis berisi kontra, saling setuju maupun konflik. Dalam konteks hubungan self dan budaya, pendekatan yang dibangun oleh Hermans et al. (1992) ini, melihatnya sebagai hubungan mutual inclusion (saling tercakup) di mana konteks sosial dan budaya terwujud dalam posisi-posisi budaya dalam self. Terdapat dua tesis utama yang ingin dibuktikan dalam studi ini. Pertama, bahwa dalam menghadapi masa-masa kritis kehidupan, terdapat kecenderungan munculnya kondisi multivoicedness dalam self construal atau makna diri individu. Kedua, dalam keadaan terjadinya kondisi multivoicedness tersebut, posisi internal merupakan posisi yang paling menentukan bagi self construal atau makna diri untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18606
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Damai Hati
Abstrak :
Tesis ini memuat penelitian tentang proses representasi sosial dalam mengkonstruksi identitas tempat tinggal, Identitas tempat tinggal selama ini dikenal sebagai hasil dari kognisi manusia terhadap tempat tinggal yang dilihatnya (Prohansky, 1983). Hal ini bisa dilihat dari aktivitas, fasilitas, status sosial penghuni, dan suasana tempat tinggal. Dalam psikologi sosial, identitas tempat tinggal sebenarnya bukan merupakan bentuk yang sudah jadi dan dicerminkan dalam tempat tinggal, melainkan identitas tempat tinggal dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tempat tinggal tersebut mampunyai identitas yang dapat diterima oleh masyarakat. Dalam mengkonstruksi identitas tempat tinggal ini terdapat proses representasi sosial sehingga terlihat bahwa identitas tempat tinggal merupakan hasil dari proses sosial yang direpresentasikan oleh agen sosial, yaitu kelompok produsen. Dalam tesis ini, representasi sosial yang digunakan adalah tipe hegemonic, di mana kelompok produsen (pengembang, arsitek, media, dan marketer) aktif mengkonstruksi identitas tempat tinggal sedangkan kelompok konsumen (calon penghuni) hanya penerima representasi dari kelompok produsen. Penelitian menunjukkan bahwa identitas tempat tinggal memang dikonstruksi dan awal pembangunan tempat tinggal. Konstruksi identitas tempat tinggal merupakan bagian dari tahap perencanaan dari kelompok produsen. Di dalam prosesnya, terdapat penambahan unsur-unsur bernilai guna menarik kelompok konsumen. Penerimaan identitas tempat tinggal disesuaikan kelompok konsumen sehingga identitas tempat tinggal mampu memberikan identitas kelompok konsumen.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Martini Puteri
Abstrak :
Studi tetang pengambilan keputusan hakim memperlihatkan bahwa keputusan hakim dipengaruhi oleh faktor legal, ekstra legal, dan kontekstual.Teori integrated complexity yang dicetuskan oleh Suedfeld dan Tetlock (1992) menjelaskan pentingnya kemampuan kognisi, konseptual atau integrated complexity pada pengambilan keputusan yang panting , yang bersifat segera atau siaga. Integrated Complexity diukur dari dua variabel kognisi yakni variabel d fferensiation dan integration. Tingginya angka pemidanaan pada anak yang melanggar hukum pidana membuat peneliti berketetapan untuk menjadikan hakim anak sebagai subyek penelitian.Tesis ini berupaya menjelaskan bagaimana integrated complexity dan nilai yang dianut seorang hakim berperan dalam keputusan hakim pada perkara anak yang melanggar hukum pidana. Penelitian dilakukan terhadap delapan (8) hakim anak pada dua Pengadilan Negri (PN) di wilayah Jabotabek .HasiI wawancara kualitatif terhadap hakim diberikan skor dengan integrated complexity scoring system yang disusun oleh Brawn dan Ballard,dkk(1992) . Metode ini disebut sebagai mixed methode oleh Tashakori dan Ted ll ie (1989) atau tepatnya metode kualitatif yang dikuantifikasi. Kemudian, dilakukan perbandingan profit hakim antara kelompok hakim yang sangat direkomendasikan (SDR) dengan hakim yang direkomendasikan (DR). Penelitian ini membuktikan tesis bahwa hakim dengan integrated complexity yang tinggi mempertimbangkan nilai-nilai universalism khususnya keadilan sosial, sehingga menghasilkan keputusan berupa tindakan mengembalikan anak ke orang tua (AKOT), atau lembaga sosial, Sedangkan tesis kedua bahwa hakim dengan tingkat integrated complexity rendah mengacu pada nilai-nilai security, khususnya aturan hukum yang menciptakan stabilitas di dalam masyarakat atau orderliness, akan menghasilkan keputusan pemidanaan (berupa penempatan Anak di Lembaga Pemasyarakatan atau Hukuman Percobaan) juga dapat dibuktikan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meithya Rose Prasetya Puteri
Abstrak :
Teori justifikasi sistem mengklaim bahwa anggota kelompok tak beruntung cenderung lebih menjustifikasi status quo dibandingkan kelompok beruntung terutama pada situasi yang kesenjangannya sosial ekonominya sangat ekstrem. Ini terjadi karena anggota kelompok tak beruntung mengalami disonansi ideologis. Melalui metode eksperimen, penelitian ini melihat apakah klaim tersebut berlaku di Indonesia. Berefleksi terhadap situasi yang terjadi di Indonesia, peneliti menempatkan perempuan sebagai kelompok tak beruntung dalam domain agama dan mereka yang memiliki tingkat ekonomi rendah sebagai kelompok takberuntung dalam domain ekonomi. Hipotesis yang diajukan adalah pada domain agama, perempuan cenderung lebih menjustifikasi aturan berpoligami dibandingkan laki-laki sebagai upaya untuk mereduksi disonansi ideologis mereka. Sementara hipotesis kedua, dalam domain ekonomi, kelompok dengan tingkat ekonomi rendah cenderung lebih tidak menjustifikasi kebanyakan pemerintah dibandingkan kelompok dengan tingkat ekonomi tinggi sebagai upaya mereduksi disonansi ideologis mereka. Hasilnya, hipotesa pertama dan hipotesa kedua terbukti. Khusus domain agama, penelitian ini menemukan hubungan negatif yang cukup kuat antara disonansi ideologis dengan justifikasi terhadap status quo. Saran untuk penelitian selanjutnya, manipulasi disonansi pada kelompok eksperimen harus lebih diperkuat agar mendapatkan hasil yang lebih signifikan.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggoro
Abstrak :
Penggunaan teori Barat dalam penelitian indigenous tetap dipergunakan mengingat masih sedikitnya literatur berdasarkan teori lokal. Padahal penelitian budaya dengan menggunakan teori Barat secara bulat dapat menghasilkan temuan yang bias. Karena itulah peneliti lokal perlu kehati-hatian dalam mengaplikasikan teori Barat. Paham indigenizing merupakan salah satu terobosan dalam penelitian dengan penggunaan teori Barat, tetapi menggunakan aroma lokal (Berry, 1997a). Dalam penelitian ini dilihat apakah generalisasi teoritis Barat dapat diterapkan dalam kultur Timur. Untuk itu dalam melihat nilai Jawa perlu suatu populasi yang koheren. Populasi tersebut terdapat dalam abdi dalem keraton. Dalam tradisi keraton, pelembagaan produksi dan distribusi nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronese raja (Kuntowijoyo, 1999). Nilai-nilai Jawa sangat melekat pada tradisi keraton, sehingga nilai-nilai tersebut dapat dilihat di "masyarakat" keraton yakni abdi dalem. Dalam penelitian ini, dipergunakan enam orientasi nilai milik Spranger. Spranger (1922) menyatakan dalam diri individu ada, salah satu orientasi nilai secara eksklusif. Keenam nilai tersebut adalah teoritis, ekonomi, sosial, estetika, politik, dan religius (Allport, 1960). Penelitian ini untuk melihat: Apakah nilai Spranger kompatibel dalam nilai Jawa? Pembagian nilai Spranger dalam enam dimensi memudahkan dalam penyepadanan. Penyepadanan nilai Spranger dalam nilai Jawa secara literatur untuk memberi gambaran awal kompatibilitas nilai Spranger dalam nilai Jawa. Penyepadanan juga untuk memudahkan saat melakukan wawancara pakar sebagai salah satu metode pengarnbilan data. Kompatibilitas dalam penelitian ini didefinisikan: 1. Nilai Spranger tersebut ada dalam nilai Jawa. 2. Kedua nilai tersebut mempunyai perspektif/pandangan yang sama (antara nilai-nilai Jawa dan nilai Spranger). Untuk melihat kompatibilitas maka dibutuhkan perbandingan, sehingga digunakan comparative research. Fokus Comparative Research pada persamaan dan perbedaan dalam obyek yang diteliti. Membandingkan adalah hal yang paling sentral untuk mendapatkan hal-hal yang patut untuk diketahui (Neuman, 1997). Para pakar diambil dengan menggunakan metode snowball sampling (Neuman, 1997) atau kerap disebut sampel berantai (Poerwanti, 2001). Pakar yang diwawancarai memberikan nama narasumber lainnya. Ada dua lingkaran dalam penelitian ini. Pertama, dari kalangan keraton, sedang yang kedua dari kalangan akademisi. Tetapi tidak seluruh nama yang diajukan petunjuk langsung diterima, karena harus tetap berpedoman dengan karakteristik subyek penelitian. Hasil analisa dan penelitian sebagai berikut: 1. Nilai Teoritis Spranger: proses pengendapan secara kognitif, rasional, kebenaran itu mutlak. Nilai Teoritis Jawa: proses pengendapan mengolah ruse, tidak rasional, kebenaran itu tidak mutlak. 2. Nilai Ekonomi Spranger: berupaya seoptimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan, nilai sifatnya sangat pribadi, keuntungan pribadi. Nilai Ekonomi Jawa: ada nilai ekonomi, namun tidak eksplisit dan tidak tegas menyatakan keberadaannya, nilai ekonomi lebih pada tataran nilai kolektif, tidak mencari keuntungan seoptimal mungkin. 3.Nilai Politik Spranger: nilai politik bisa ada pada pribadi mana saja, tidak membahas tentang kerelaan orang yang terdominasi, lebih pada karakteristik pendominasi. Nilai Politik Jawa: kekuasaan itu wahyu, hanya orang tertentu yang mendapatkan, dominasi Jawa atas dasar kerelaan. 4. Nilai Sosial Spranger: dalam bersikap tanpa menakar orang lain, lebih menghargai orang lain yang berorienlasi nilai sama. Nilai Sosial Jawa: dalam bersikap menempatkan pada diri sendiri dengan berkaca pada orang lain, orang yang dianggap tidak benilai sama dianggap durung Jawa. 5.Nilai Estetika Spranger: keselarasan lebih bersifat fisik, estetika lebih diterjemahkan sebagai enjoy with her/his life. Nilai Estetika Jawa: keselarasan selain fisik juga non fisik, estetika lebih mengarah mengolah wilayah batin roso hingga tercapai religiusitas. 6. Nilai Religius Spranger: Spranger tidak dengan tegas menyatakan penyatuan diri dengan Tuhan, namun segala proses pencariannya menuju ke arah itu. Nilai Religius Jawa: dengan sangat tegas menyatakan puncak religius adalah penyatuan diri pribadi dengan Tuhan. Kesimpulan penelitian ini, hanya nilai religiuslah yang kompatibel karena memenuhi konstruk kompabilitas yakni ada dan memiliki perspektif dan pandangan yang sama. Walau dalam penjelasan di atas ada perbedaan antara nilai religius Spranger dan nilai religius Jawa, namun bukan perbedaan perspektif. Hanya saja dalam nilai religius Spranger kurang penegasan. Diskusi dan Saran, dalam hasil analisa terlihat adanya parakdosial nilai politik tentang ada dan tidaknya sikap mendominasi. Nampaknya perlu pengkategorian baru, nilai politik yang tidak dikategorikan mendominasi dapat dimasukkan dalam orientasi nilai baru yakni loyalitas. Untuk penelitian sejenis nampaknya memerlukan penelitian awal sebagai pra kondisi, karena perlu pengenalan kultural sebelumnya. Penggunaan Focus Group Discussions perlu diwaspadai faktor kesensitifan subyek penelitian. Metode Delphi nampaknya dapat dipergunakan dengan menggunakan pendapat pakar secara panel.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Okto Danamasi
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kesediaan berkorban bagi negara. Identity fusion merupakan prediktor dari kesediaan berkorban bagi negara (Swann, Gomez, Seyle, Morales, & Huici, 2009). Identity fusion adalah suatu kondisi menyatunya identitas personal dan identitas sosial sehingga keduanya aktif dan berfungsi secara bersamaan dan setara. Sementara itu, kesediaan berkorban bagi negara juga dipengaruhi oleh Patriotisme. Patriotisme adalah sikap individu pada negara yang muncul dari evaluasi positif atas negaranya (Bar-Tal & Staub, 1997). Ada dua tipe patriotisme yaitu patriotisme konstruktif dan patriotisme buta. Patriotisme konstruktif adalah sikap individu pada negara dengan sikap kritis dan menuju perubahan yang positif, sebaliknya patriotisme buta adalah sikap individu pada negara dengan loyalitas yang utuh. Peneliti menduga bahwa patriotisme akan memoderatori hubungan identity fusion dengan kesediaan berkorban bagi negara. Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu non experiment dengan responden mahasiswa sebanyak 248 orang. Peneliti mengukur kesediaan berkorban menggunakan skala kesediaan berperilaku ekstrim bagi kelompok, identity fusion dengan skala identity fusion yang terdiri dari pictorial dan verbal, serta mengukur patriotisme buta dan patriotisme konstruktif dengan skala patriotisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identity fusion merupakan prediktor dari kesediaan berkorban bagi negara, dan tidak ditemukan adanya efek moderasi patriotisme pada hubungan tersebut. ......The aim of the study is to examine the willingness to sacrifice for the country. Identity fusion is a predictor of willingness to sacrifice for the country (Swann, Gomez, Seyle, Morales, & Huici, 2009). Identity fusion is a condition when the personal identity and social identity is merging so those both are active and function simultaneously and equally. Meanwhile, the willingness to sacrifice for the country was also influenced by patriotism. Patriotism is the individuals attitude to the state that arises from a positive evaluation of the country (Bar-Tal & Staub, 1997). There are two types of patriotism: constructive patriotism and blind patriotism. Constructive patriotism is the individual's attitude to the country with a critical attitude towards positive change, otherwise blind patriotism is the individual's attitude to the country with whole loyalty. Researchers suspect that patriotism will moderate the relationship between identity fusion and willingness to sacrifice for the country. This study used a quantitative approach, involving 248 student respondents. Measurement used in this research are willingness to do extreme behavior for the group scale, identity fusion scale consisting of a pictorial and verbal, and patriotism scale. This study showed that identity fusion is predictor of willingness to sacrifice for the country and patriotism doesn?t have moderating effect on the relationship between them.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T34684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>