Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maryunani
"ABSTRAK
Dalam dunia penerbangan getaran merupakan suatu hal yang tidak dapat dihilangkan, tapi mengganggu tugas penerbangan. Mata merupakan salah satu indera yang paling terganggu fungsinya karena getaran, yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan saat membaca obyek dan ini sangat berbahaya dalam tugas mendaratkan pesawat udara, yang memerlukan pembacaan papan instrumen yang tepat dan cepat.
Penelitian terhadap 120 subyek calon penerbang di Lakespra Saryanta ini bertujuan untuk mengetahui akibat getaran terhadap ketajaman penglihatan serta manfaat lensa kolimasi terhadap tajam penglihatan yang dipengaruhi oleh getaran. Penelitian dilakukan dengan memberi simulasi getaran terhadap subyek menggunakan kursi getar pada frekuensi 15 Hz dan 25 Hz dengan jarak obyek 75 cm dan 6 m dan dibandingkan efisiensi ketajaman penglihatan sebelum dan sesudah menggunakan lensa kolimasi saat mendapat getaran.
Hasil penelitian :
Pada penelitian ini ditemukan bahwa penurunan ketajaman penglihatan akibat getaran tergantung kepada frekuensi getaran dan jarak obyek, dari analisis statistik didapatkan bahwa frekuensi 15 Hz menurunkan ketajaman penglihatan lebih besar dibanding 25 Hz, pada jarak 75 cm maupun 6 m (P< 0.05). Sedangkan pada frekuensi 15 Hz, penurunan' ketajaman penglihatan pada jarak obyek 75 cm lebih besar dari pada 6 m (P < 0.05). Faktor umur, tinggi badan, dan berat badan pada penelitian ini secara statistik tidak mempengaruhi penurunan ketajaman penglihatan (CI melalui 1 dan uji P > 0.05) dengan analisa multivariat pengaruh umur, tinggi badan dan berat badan tersebut juga tidak bermakna ( P < 0.05 ). Sedang penggunaan lensa kolimasi dapat menghilangkan akibat getaran terhadap ketajaman penglihatan ( P < 0.05 ).
Kesimpulan :
Terbukti bahwa getaran menurunkan ketajaman penglihatan dan penggunaan lensa kolimasi dapat menurunkan akibat tersebut.

The Effect of Whole Body Sinusoidal Vertical and Horizontal Vibration Upon Visual Acuity and Its Correction by the Use of Collimation Lens on Pilot Candidates in Lakespra In aviation vibration is one of the obligatory effect in the air craft , and it can altere visual acuity for pilots in flight. Visual acuity may diminish due to vibration particularly in the approach and landing phases of flight. A 120 pilot candidates were subjects of this research as an effort to study the effect of vibration on visual acuity and the prospect of collimation lens as a correction device to improve the visual acuity under flight) vibration environment.
Subjects were sitting on a vibratory chair to simulate whole body vibration at 15 Hz and 25 Hz with 75 cm and 6 m object distances to the eyes. The above values were then compared to the efficiency of visual acuity before and after using collimation lens during vibration.
Results:
The degree reduced of visual acuity depended on the frequency of vibration and the visual distance. Statistical analysis indicated that 15 Hz frequency reduced visual acuity more than 25 Hz at 75 cm or 6 m distance ( P < 0.005 ). At 15 Hz and 75 cm distance visual acquity reduced more than 6 m distance ( P < 0.05 ).
Age, height, and body weight statistically did not give influence on visual acuity in this research and using multivariate analysis the above variables also gave insignificant relation ships ( P?0.05 ). The use of collimation lens was able to reduce the effect of vibration on visual acuity ( P < 0.05 ).
Summary:
It is concluded that vibration reduced visual acuity and the use of collimation lens can reduce the effect of vibration.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Fathul Hasanah
"Latar belakang: Peningkatan alanine aminotransferase (ALT) dapat terjadi secara asimtomatis. Tes fungsi hati sering ditemukan abnormal pada dikalangan penerbang, dengan sedikit peningkatan kecil dalam satu atau dua parameter enzim hati, penyebab yang paling sering adalah perlemakan hati non alkoholik dan efek minor dari alkohol. Walaupun tidak mempengaruhi sertifikasi kesehatan pada penerbang sipil tetapi peningkatan ALT dapat mempengaruhi kesehatan dari penerbang itu sendiri dan akan mempengaruhi keselamatan penerbangan. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menghubungkan dengan kadar ALT pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Metode potong lintang yang dilakukan 5-26 Mei 2014 pada penerbang sipil yang melakukan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan sampling purposif dan analisis regresi Cox. Pengumpulan data dengan mengisi kuesioner dan data ALT diambil dari laboratorium. Pemeriksaan tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang dilakukan oleh peneliti. Kadar ALT meningkat jika ≥41 U/l.
Hasil: Diantara 785 subjek yang mengikuti pemeriksaan kesehatan berkala terdapat 314 yang menjadi subjek penelitian. Persentase peningkatan ALT pada penelitian ini sebesar 31,8%. Faktor risiko dominan terhadap peningkatan ALT pada penerbang sipil di Indonesia adalah lingkar pinggang ≥90 cm [risiko relatif (RRa) = 2,00; p = 0,001] yang mempunyai peningkatan 2 kali jika dibandingkan dengan lingkar pinggang yg <90 cm, selanjutnya obesitas meningkatkan risiko peningkatan kadar ALT, meskipun secara statistik tidak signifikan (RRa = 1,75; 95% CI = 0,97-3,17; p = 0.062).
Simpulan: Penerbang sipil dengan lingkar pinggang ≥90 cm atau dengan obesitas mempunyai risiko lebih besar mengalami peningkatan ALT.

Background: Elevated serum alanine aminotransferase (ALT) may occur in asymptomatic. Liver function tests are frequently found to be abnormal in among aviators, with small elevations in one or two liver enzyme parameters. The most common cause is non-alcoholic fatty liver and minor effects of alcohol. This will affect the health of aviators which affect flight safety. The purpose of this study was to determine the factors that connect with ALT levels in commercial pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study on May 5-26Th 2014 in commercial pilots who doing medical check up at Civil Aviation Medical Center, with purposive sampling and cox regression analysis. The collection of data by filling in a questionnaire and ALT data taken from the laboratory. The examination height, weight and waist circumference was conducted by researchers. Elevated serum ALT ≥ 41 U/l.
Results: Among 785 commercial pilots only 314 were willing to participate it in study and 31,8 % had eleveted serum ALT in this study. The dominant risk factor to the elevated of ALT in commercial pilots in Indonesia is waist circumference ≥90 cm [Relative risk (RRa=2.00; p=0,001)]#who have an increased 2 fold when compared with that waist circumference <90 cm, furthermore obesity increases the risk of elevated levels of ALT, although it was not statistically significant (RRa=1.75; 95% CI=0.97-3.17; p=0.062).
Conclusion: Commercial pilot who had waist circumference ≥90 cm or who obese had elevated serum ALT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Galih Gunarsih
"Latar belakang : Hipoksia merupakan bahaya potensial dalam penerbangan. Waktu sadar efektif (WSE) merupakan waktu ketika seorang penerbang atau awak pesawat mulai terpajan hipoksia sampai sebelum mengalami inkapasitansi. Selama rentang waktu tersebut seorang penerbang dapat membuat keputusan atau tindakan yang tepat. Hemoglobin sangat berpengaruh terhadap saturasi O2 yang menentukan oksigenasi jaringan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WSE yaitu pada calon dan awak pesawat militer di Indonesia.
Metode: Desain penelitian dengan potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Data diambil dari hasil pelaksanaan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto selama Januari-Mei 2014. Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. Lama WSE diperoleh dengan demonstrasi hipoksia dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian 25000 kaki. Nilai kesamaptaan jasmani ditentukan dengan VO2maks. Analisis regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko WSE.
Hasil: Calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan ILA sebanyak 183 orang. Duapuluh lima subyek dikeluarkan karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung, 158 subyek memenuhi kriteria inklusi. Faktor dominan yang memperpanjang WSE adalah Hb, sedangkan yang mempersingkat adalah IMT dan umur. Setiap 1 g/dL Hb menambah WSE 14,7 detik [koefisien regresi (β) = 14,677 ; p = 0,010].
Simpulan: Kenaikan IMT 1 kg/m2 mengurangi WSE 3,3 detik [β = -3,274; 95% interval kepercayaan (CI) = -8,287;1,738 ; p = 0,199]. Penambahan umur 1 tahun mengurangi WSE 3,9 detik (β = -3,917; p = 0,000).

Background: Hypoxia is potential hazard in aviation. Time of useful consciousness (TUC) is time during when a pilot or aircrew exposed hypoxia before experiencing incapacitation. During the span of time, a pilot can make the right decision or action. Haemoglobin (Hb) influences the oxygen saturation that determines oxygenation of the body tissue. This study aims to identify the factors affect WSE on candidates and military aircrew in Indonesia.
Methods: Study designed was cross sectional with purposive sampling. Data taken from the result of Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) in Lakespra Saryanto Jakarta during January to May 2014. Research subjects were candidates and military aircrews. Time of useful consciousness was obtained from hypoxia demonstration in hypobaric Chambers at 25000 feet altitude simulation. The value of physical fitness was determined by VO2max. Linear regression analysis was used to identify risk factors of TUC.
Results: Candidates and military aircrew carried out the ILA were 183 persons. Twenty-five subjects were excluded because of not carried out hypoxia demonstration in hypobaric chamber or treadmill test. The dominant factors that extend TUC were Hb. while shortening were BMI and age. Each 1 g/dL Hb extend TUC 14.7 seconds [regression coefficient (β) = 14.677 ; p = 0.010]. Increasing BMI of 1 kg/m2 shorten TUC 3.3 seconds [(β) = -3.274; 95% confidence interval (CI) = -8.287;1.738 ; p = 0.199]. Addition of age 1 year shorten TUC 3.3 seconds (β= -3.917 ; p = 0.000).
Conclusion: Increasing Hb extends TUC, while gain BMI and addition age shorten TUC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Migunani Utami
"Latar belakang: Abnormalitas pemulihan laju jantung (PLJ) setelah uji treadmill yang dapat terjadi di antara penerbang merupakan prediktor penyakit jantung koroner. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi beberapa faktor risiko terhadap PLJ setelah uji treadmill pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang dengan purposive sampling di antara penerbang sipil berusia 35-65 tahun yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta tanggal 5-21 Mei 2014. Data demografi dan pekerjaan diperoleh dari kuesioner yang diisi langsung oleh subyek. Hasil pemeriksaan fisik, uji treadmill dan laboratorium diambil dari rekam medik. Definisi PLJ adalah perbedaan denyut per menit (dpm) antara laju jantung maksimal selama uji treadmill dengan laju jantung pada menit ke-2 periode pemulihan. Analisis dilakukan dengan regresi linier.
Hasil: Selama periode penelitian terdapat 207 penerbang yang menjalani uji treadmill, 180 orang di antaranya bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, sedangkan yang memenuhi kriteria 158 orang. Faktor-faktor dominan yang memperlambat PLJ adalah indeks massa tubuh (IMT), usia, jam terbang dalam 24 jam terakhir, dan tekanan darah diastolik sebelum treadmill. Peningkatan 1 kg/m2 IMT, 1 tahun usia, 1 jam terbang dalam 24 jam terakhir dan 1 mmHg tekanan darah diastolik sebelum treadmill masing-masing memperlambat PLJ sebesar 1,07 dpm (β = -1,068; p = 0,000), 0,46 dpm (β = -0,464; p = 0,000), 0,44 dpm (β = -0,436; p = 0,019), dan 0,30 dpm (β = -0,296; p = 0,000).
Simpulan: Peningkatan IMT, usia, jam terbang dalam 24 jam terakhir, dan tekanan darah diastolik sebelum treadmill akan memperlambat PLJ.

Background: Abnormalities of heart rate recovery (HRR) after exercise treadmill test (ETT) that can occur among pilots is a predictor of coronary artery disease. This study aims to identify some risk factors to HRR after ETT on commercial pilots in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study with purposive sampling among 35-65 years old commercial pilot who perform periodic medical check-up at Civil Aviation Medical Center, Jakarta on May 5th-21th 2014. Demographic and job data obtained from questionnaires completed by the subjects directly. Results of physical examination, laboratory and ETT taken from medical records. Heart rate recovery was defined as difference of beat per minute (bpm) between peak exercise heart rate and 2 minute post exercise. Data were analyzed with linear regression.
Results: During the study period there were 207 pilots underwent ETT, 180 of them were willing to participate in this study, and 158 participants met the criteria. Dominant factors that delayed HRR is body mass index (BMI), age, flight time in the last 24 hours and resting diastolic blood pressure. Increasing of 1 kg/m2 BMI, 1 year age, 1 hour flight time and 1 mmHg resting diastolic blood pressure will delayed HRR 1,07 bpm (β = -1,068; p = 0,000), 0,46 bpm (β = -0,464; p = 0,000), 0,44 bpm (β = -0,436; p = 0,019) and 0,30 bpm (β = -0,296; p = 0,000) respectively.
Conclusion: Increasing of BMI, age, flight time in the last 24 hours before ETT, and resting diastolic blood pressure will delayed HRR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Khrisnapandit
"Latar belakang: Nyeri pinggang bawah (NPB) sering dialami oleh pramugari yang dapat membatasi tugas dan tanggung jawab pramugari. Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan NPB pada pramugari sipil penerbangan jarak dekat dan menengah di Indonesia.
Metode: Studi potong lintang dengan sampling purposif dilakukan di antara pramugari sipil penerbangan jarak dekat dan menengah yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan tanggal 5-26 Mei 2014. Data demografi, pekerjaan dan NPB dikumpulkan menggunakan kuesioner. Definisi NPB ialah nyeri anamnesis yang pernah atau masih dirasakan pada pinggang bawah 1 bulan terakhir, non-neural, tidak terkait cedera akut yang tidak berhubungan pekerjaan. Analisis regresi Cox digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan NPB.
Hasil: Di antara 333 pramugari yang melaksanakan pengujian kesehatan, 292 orang bersedia berpartisipasi, dan 292 orang yang bersedia mengikuti penelitian, dan 245 di antaranya memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 37,6% pramugari menderita NPB. Faktor dominan yang mempertinggi risiko NPB ialah jam terbang dan jumlah sektor 24 jam terakhir. Pramugari dengan jam terbang 9 jam atau lebih dibandingkan dengan yang kurang dari 9 jam berisiko 84% lebih tinggi mengalami NPB [risiko relatif suaian (RRa = 1,84; p = 0,000]. Ditinjau dari jumlah sektor dalam 24 jam terakhir, pramugari dengan 4 sektor atau lebih dibandingkan yang kurang dari 4 sektor berisiko 49% lebih tinggi mengalami NPB (RRa = 1,49; p = 0,047).
Simpulan: Jam terbang 24 jam terakhir selama 9 jam atau lebih dan jumlah sektor 24 jam terakhir sebanyak 4 sektor atau lebih meningkatkan risiko nyeri pinggang bawah.

Background: Low back pain (LBP) often experienced by flight attendants could limit their duties and responsibilities. Aim of this study was to determine the correlation between flight time and other factors with LBP among short and medium haul commercial female flight attendants in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study with purposive sampling among short and medium haul commercial female flight attendants who conducting medical examination on May 5-26th 2014 at Civil Aviation Medical Center. Demographic, job and LBP data collected using questionnaire and physical examination. Definition of LBP was historically pain that ever or still felt in lower back in the last month, non-neural, and no non-working related acute injury. Cox regression analysis used to identify risk factor associated LBP.
Results: Among 333 female flight attendants who were conducting medical examination, 292 attendants willing to participate, and 245 meet inclusion criteria. There were 37.6% flight attendants experienced LBP. The dominant factors increasing LBP risk were flight time and number of sectors in the last 24 consecutive hours. Female flight attendant with 9 hours or more flight time compared with less have 84% higher LBP risk [adjusted relative risk (RRa) = 1.84; p = 0.000]. Review from number of sectors in the last 24 consecutive hours, female flight attendant with 4 sectors or more compared with less have 49% higher LBP risk (RRa = 1.49; p = 0.047).
Conclusion: Nine hours or more flight time and 4 sectors or more in the last 24 consecutive hours have higher risk of LBP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Inne Yuliawati
"Latar belakang: Kelelahan penerbang sipil termasuk pada penerbangan jarak dekat dapat mempengaruhi fungsi kognisi penerbang sehingga membahayakan keselamatan penerbangan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi kelelahan penerbang sipil pada penerbangan jarak dekat di Indonesia.
Metode: Desain penelitian potong lintang dengan purposive sampling dilakukan di antara penerbang jarak dekat dengan rating Boeing 737 series yang melaksanakan pengujian kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan selama periode 5-26 Mei 2014. Kelelahan diukur dengan Self-Reporting Questionnaire, Fatigue Severity Scale (FSS). Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner oleh subyek, meliputi demografi, pekerjaan, kehilangan waktu tidur (Epworth Sleepiness Scale - ESS), faktor personal, dukungan manajemen, dan FSS. Analisis regresi linear dipakai untuk menganalisis faktor-faktor berkaitan kelelahan.
Hasil: Di antara 785 penerbang yang melaksanakan pengujian kesehatan, 382 bersedia berpartisipasi, dan 239 subyek memiliki rating Boeing 737 series. Ratarata skala kelelahan adalah 4,66 (standar deviasi 1,202). Faktor-faktor dominan yang mempertinggi skala kelelahan adalah jumlah sektor 24 jam terakhir, jam terbang penugasan di luar jadwal, dan kehilangan waku tidur. Setiap penambahan 1 sektor dalam 24 jam terakhir meningkatkan 0,371 skala kelelahan [koefisien regresi (β) = 0,371; P = 0,000]. Selanjutnya setiap penambahan 1 jam terbang penugasan di luar jadwal memepertinggi 0,033 skala kelelahan (β = 0,033; P = 0,000). Sedangkan setiap penambahan 1 nilai ESS mempertinggi 0,043 skala kelelahan (β = 0,043; P = 0,008).
Simpulan: Jumlah sektor 24 jam terakhir, kehilangan waktu tidur, dan jam terbang penugasan di luar jadwal mempertinggi risiko kelelahan di antara penerbang sipil pada penerbangan jarak dekat di Indonesia.

Background: Fatigue could impair pilots’ cognitive function which may lead to accidents in short-haul flight. The aims of this study were to investigate the risk factors of short-haul commercial pilots fatigue in Indonesia.
Methods: Cross-sectional study with purposive sampling was directed to Boeing 737 series typed-rating pilots who were taking medical examination at the Civil Aviation Medical Center, Jakarta from May 5-26th 2014. Fatigue was measured with Self-Reporting Questionnaire, Fatigue Severity Scale (FSS). Data were collected by completing an anonymous questionnaire on demographics, workload, sleep restriction (Epworth Sleepiness Scale-ESS), personal factors, and managerial support. Risk factors and fatigue were analyzed using linear regression.
Results: During data collection, 785 pilots were taking medical examination, 382 pilots were willing to participate and 239 Boeing 737 series typed-rating pilots were chosen as subjects. Mean of FSS was 4.66 ± 1.202. Dominant factors of fatigue were number of sectors in 24 consecutive hours, flight times of unplanned flights in 30 consecutive days, and sleep restriction. Each additional sector correlated significantly to a 0.371 increase on the FSS [regression coefficient (β) = 0,371; p=0,000] and each additional value of ESS correlated significantly to a 0,043 on the FSS (β = 0,043; p = 0,008), while each additional flight times of unplanned flights correlated significantly to a 0,033 on the FSS (β = 0,033; p = 0,000).
Conclusions: Number of sectors in 24 consecutive hours, flight times of unplanned flights in 30 consecutive days, and sleep restriction correlated significantly to higher FSS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Audry Rampen
"[Latar belakang: Stres kerja pada pramugari dapat menyebabkan gangguan durasi
haid yang menimbulkan dampak psikologis sehingga performa kerja terganggu.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan
terhadap gangguan durasi haid pada pramugari.
Metode: Penelitian potong lintang dengan metode convenient sampling dilakukan
pada pramugari yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai
Kesehatan Penerbangan dan Garuda Sentra Medika tanggal 18?29 Mei 2015. Data
gangguan durasi haid dikumpulkan melalui kuesioner. Stres diidentifikasi dengan
National Institute for Occupational Safety and Health Generic Job Stress
Questionnaire Mental Demands Form Number 11. Analisis dilakukan dengan
regresi Cox.
Hasil: Sebanyak 393 dari 521 pramugari berusia 19?50 tahun setuju berpartisipasi,
19 dieksklusi karena menderita gangguan durasi haid sebelum bekerja sehingga
jumlah total 374 subyek dan 35,8% di antaranya menderita gangguan durasi haid.
Stres kerja, jenis penerbangan dan usia merupakan faktor risiko yang
berhubungan dengan gangguan durasi haid. Pramugari dengan stres kerja
memiliki risiko menderita gangguan durasi haid 58% lebih tinggi [risiko relatif
suaian (RRa)=1,58; confidence interval (CI)= 0.96-2.62; p=0,071]. Pramugari
dengan jenis penerbangan jarak jauh dalam tiga bulan terakhir memiliki risiko
gangguan durasi haid 69% lebih tinggi (RRa=1,69; CI=1.17-2.43; p=0,004).
Pramugari berumur 30?39 tahun memiliki risiko gangguan durasi haid 50% lebih
rendah (RRa=0,50; CI=0.22-1.02; p=0,057).
Kesimpulan: Pramugari dengan stres kerja, jenis penerbangan jarak jauh dalam tiga bulan terakhir dan berusia 19?24 tahun dibandingkan dengan usia 30?39 tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan durasi haid.;Background: Job stress on female flight attendants can lead to menstrual
duration disorder and cause psychological effects that impaired work
performance. The research objective was to identify risk factors related to
menstrual duration disorder in female flight attendants.
Methods: A cross-sectional study with convenient sampling was conducted on
female flight attendants age 19?50 years who underwent routine medical
examination at Civil Aviation Medical Center and Garuda Sentra Medika,
Jakarta on May 18-29 2015. Menstrual duration disorder data collected with
questionnaire. Stress was identified by using National Institute for Occupational
Safety and Health Generic Job Stress Questionnaire Mental Demands Form
Number 11. Relative risk was analyzed by Cox regression.
Results: Among 521 female flight attendants age of 19-50 years old, 393 were
willing to participate in this study with 19 subjects were excluded and 35.8% from
total of 374 subjects had menstrual duration disorder. Job stress, flight type and
age were the risk factors related to menstrual duration disorder. Subjects with job
stress and long haul flight within three months had higher risk for having
menstrual duration disorder by 58% [adjusted relative risk (RRa)=1.58;
confidence interval (CI)= 0.96-2.62; p=0.071] and 69% (RRa=1.69; CI=1.172.43;
p=0.004) respectively. Those between age 30-39 years old had 50% less
risk of having menstrual duration disorder (RRa=0.50; CI=0.22-1.02; p=0.057).
Conclusion: Female flight attendants with job stress, long haul flight within three months and younger age had higher risk to be menstrual duration disorder. , Background: Job stress on female flight attendants can lead to menstrual
duration disorder and cause psychological effects that impaired work
performance. The research objective was to identify risk factors related to
menstrual duration disorder in female flight attendants.
Methods: A cross-sectional study with convenient sampling was conducted on
female flight attendants age 19–50 years who underwent routine medical
examination at Civil Aviation Medical Center and Garuda Sentra Medika,
Jakarta on May 18-29 2015. Menstrual duration disorder data collected with
questionnaire. Stress was identified by using National Institute for Occupational
Safety and Health Generic Job Stress Questionnaire Mental Demands Form
Number 11. Relative risk was analyzed by Cox regression.
Results: Among 521 female flight attendants age of 19-50 years old, 393 were
willing to participate in this study with 19 subjects were excluded and 35.8% from
total of 374 subjects had menstrual duration disorder. Job stress, flight type and
age were the risk factors related to menstrual duration disorder. Subjects with job
stress and long haul flight within three months had higher risk for having
menstrual duration disorder by 58% [adjusted relative risk (RRa)=1.58;
confidence interval (CI)= 0.96-2.62; p=0.071] and 69% (RRa=1.69; CI=1.172.43;
p=0.004) respectively. Those between age 30-39 years old had 50% less
risk of having menstrual duration disorder (RRa=0.50; CI=0.22-1.02; p=0.057).
Conclusion: Female flight attendants with job stress, long haul flight within three months and younger age had higher risk to be menstrual duration disorder. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Pratama
"Latar belakang: Kelebihan berat badan pada penerbang dapat berkaitan dengan jam terbang total dan faktor risiko lainnya. Oleh karena itu perlu diidentifikasi kaitan jam terbang total dan faktor lainnya terhadap risiko tersebut.
Metode: Studi potong lintang dengan sampel purposif diantara penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Jakarta dari 27 April-13 Mei 2015. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan pemeriksaan antropometri. Data terdiri dari karakteristik demografi, pekerjaan, kebiasaan makan dan olahraga. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT) berdasarkan standar WHO Asia Pasifik. Analisis dengan regresi Cox dengan waktu yang konstan.
Hasil: Diantara 690 penerbang yang berusia 19-65 tahun, diperoleh 428 penerbang yang beresdia mengikuti penelitian ini. Penerbang yang sesuai dengan kriteria berjumlah 220 orang (145 kelebihan berat badan dan 75 normal). Faktor dominan berkaitan dengan kelebihan berat badan adalah jam terbang total dan kebiasaan makan makanan berlemak. Dibandingkan penerbang dengan jam terbang total 40-2000, subjek dengan jam terbang total 2001-15000 dan 15001-30000 masing-masing mempunyai 58% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan.[masing-masing risiko relatif suaian (RRa)=1,58 ; p=0,000] Dibandingkan subjek yang hampir tidak pernah makan makanan berlemak, subjek dengan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempunyai 48% risiko lebih besar untuk mempunyai kelebihan berat badan (RRa=1,48; 95% CI=1,24-1,76; p=0,000).
Kesimpulan: Jam terbang total lebih dari 2000 jam dan kebiasaan makan makanan berlemak 3-4x/minggu mempertinggi risiko kelebihan berat badan di antara penerbang sipil Indonesia.

Background: Overweight at risk on pilots can be related to the total flying hours and other risk factors. This study aimed to identify the relationship between total flight hours and other factors related to overweight at risk in Indonesian civil pilot.
Methods: A cross-sectional study with a purposive sampling was conducted among pilots undergoing periodic medical check up on April 27th-May 13th 2015 at Aviation Medical Centre (Balai Kesehatan Penerbangan) The collected data were demographic and characteristics, eating and exercise habits. Data were collected through interviews and anthropometric measurements. Subjects were classified normal and overweight at risk according to WHO Asia Pacific. Analysis was using Cox regression with constant time.
Results: A number of 690 pilots who conducted medical examinations, 428 subjects agreed to join the study. A number of 220 subjects were available for this study, which consisted of 145 overweight at risk pilots and 75 normal. Pilots who had 2001-15000 and 15001-30000 total flight hours, compared to pilots who had 40?2000 total flight hours had 58% increased risk to be overweight [adjusted relative risk (RRa)= 1.58; p = 0.000]. Pilots who had eating fatty food habit 3-4 times a week had 48% increased risk to be overweight at risk (RRa = 1.48; 95% CI= 1.24 to 1.76; p = 0.000).
Conclusion: Flying hours total 2000 or more and eating fatty foods habit increase the risk of overweight at risk civilian pilot in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Nurul Hadi
"ABSTRAK
Latar belakang: Beberapa faktor kebiasaan pilot dapat mempengaruhi status kesehatannya.
Minum kopi merupakan salah satu faktor terjadinya prehipertensi pada pilot. Tujuan penelitian
ini ialah untuk mengetahui hubungan minum kopi dan faktor - faktor lainnya terhadap pre
hipertensi pada pilot sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data skunder Survei kebiasaan makan, minum
dan latihan fisik pada pilot sipil di Indonesia 2016. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik
demografi, kebiasaan minum kopi, latihan fisik, indeks massa tubuh dan karakteristik
penerbangan Analisis menggunakan regresi Cox dengan waktu konstan. Pre hipertensi dikatakan
jika tekanan darah sistolik 120-139 mmhg dan tekanan darah diastolik 80-89 mmhg.
Hasil: Dari 644 data yang pilot sipil yang dikumpulkan, sebanyak 570 Subyek yang memenuhi
kriteria, 427 orang (74,91%) dengan risiko hipertensi dan 143 orang (25,09%) dengan tekanan
darah normal. Subyek dengan kebiasaan minum kopi lebih dari 1 kali setiap hari dibanding
subyek dengan kebiasaan minum kopi kurang dari 1 kali setiap hari memiliki risiko sebesar 20%
untuk mengalami pre hipertensi. [rasio relatif suaian (RRa = 1,20; 95% CI = 1,06-1,37; p = 0,004
]. Subyek dengan usia 40-74 tahun dibanding subyek berusia 17-39 tahun memiliki risiko sebesar
19% untuk mengalami pre hipertensi (RRa = 1,19; 95% CI = 1,07-1,31; p = 0,001).
Simpulan. Kebiasaan minum kopi lebih dari 1 kali setiap hari (kandungan kafein 80-125 mg
satu kali minum) berisiko untuk mengalami pre hipertensi. Hal ini penting diketahui bagi pilot
agar bisa melaksanakan pola hidup yang sehat.

ABSTRACT
Background: Several factors can affect the pilot habit health status.Drinking coffee is one of the
risk factors of prehypertension in pilots.The purpose of this study was to determine the
relationship of coffee and a couple of other factors on prehypertension in civil pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study using secondary data Survey eating habits, drinking and
physical exercise on a civilian pilot in Indonesia in 2016.
Data were collected on demographic characteristics, coffee drinking habits, physical exercise,
body mass index and flight characteristics analysis using Cox regression with constant time.
Prehypertension if the systolic blood pressure is said to be 120-139 mmHg and diastolic blood
pressure of 80-89 mmHg.
Results: Of the 644 civilian pilot data collected, a total of 570 subjects who met the criteria, 427
(74.91%) with the risk of hypertension and 143 (25.09%) with normal blood pressure. Subjects
with coffee drinking habits of more than 1 time per day than subjects with habitual coffee
consumption is less than 1 time per day had an increased risk of pre hypertension by 20%.
[Adjusted relative ratio (RRA = 1.20; 95% CI = 1.06 to 1.37; p = 0.004]. Subjects with age 40-74
years compared to subjects aged 17-39 years have an increased risk of pre hypertension by 19%
(RRA = 1.19; 95% CI = 1.07 to 1.31; p = 0.001).
Conclusions. Coffee drinking habits of more than 1 time per day(contains 80-125 mg caffein per
drink) are at risk for pre hypertension. It is important to know for pilots in order to carry out a
healthy lifestyle."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Faridasari Kusumawaty
"Latar Belakang: Hiperlipidemia memiliki angka prevalensi yang tinggi pada penerbang di Indonesia. Penanganan hiperlipidemia tersebut salah satunya diterapi oleh statin dengan salah satu efek samping gangguan musculoskeletal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan terapi statin dengan gangguan muskuloskeletal pada penerbang dengan hiperlipidemia di Indonesia.
Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah metode potong lintang. Pengambilan data di Balai Kesehatan Penerbangan Indonesia pada bulan Mei-Juni 2018 dengan cara pengisian kuesioner terstruktur dan data rekam medis. Kuesioner diberikan kepada penerbang yang melakukan pemeriksaan kesehatan per enam bulan sebanyak 203 penerbang. Penerbang yang masuk kriteria mengalami hiperlipidemia dan menggunakan statin sebanyak 57 orang. Data kemudian diolah dengan program SPSS versi 22 dan dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square, Fisher, dan Kolmogorov-Smirnov.
Hasil : Dari 203 responden, 85 41,87 penerbang mengalami hiperlipidemia dengan 57 penerbang pengguna statin. Sebanyak 5 orang 8,77 penerbang pengguna statin dengan hiperlipidemia mengalami gangguan musculoskeletal. Faktor ndash; faktor risiko yang berperan seperti jenis kelamin, umur, jam terbang total, indeks massa tubuh, jenis pesawat dan jabatan tidak memiliki perbedaan yang bermakna terhadap gangguan muskuloskeletal. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara gangguan otot yang dialami penerbang pengguna statin dengan hiperlipidemia p > 0,05.
Kesimpulan: Dapat disimpulkan penggunaan statin pada penerbang yang mengalami hiperlipidemia tidak berhubungan dengan gangguan musculoskeletal. Dengan demikian penggunaan statin bisa disarankan pada penerbang.

Background : Hyperlipidemia has a high prevalence rate among pilots in Indonesia. One of Treatment of hyperlipidemia treated by statins with one of the side effects of musculoskeletal disorders. The purpose of this study to examine the relationship between statin therapy with musculoskeletal disorder among pilots with hyperlipidemia in Indonesia.
Methods : This study using cross-sectional design. Data retrieve in Indonesian Aviation Medical Centre in May-June 2018 by structured questionaires and medical records. questionnaires is given to pilots who do general check up in six months periodically N=203 . Pilots who met with criteria statin user and hyperlipidemia 57 participants. Data processed by SPSS version 22 and analyzed using Chi-Square, Fisher and Kolmogorov-smirnov test.
Result: From 203 respondents, 85 41,87 pilot have hyperlipidemia with 57 pilots use statin. The result shows 5 participant experience muscoskeletal disorder 8,77 . The risk factors such as gender, age, total flight hour, body mass index, type of aircraft and position have no significant meaning with musculoskeletal disorders. There is no association between statin therapy among hyperlipidemia pilots with musculoskeletal disorder p>0,05.
Conclusions : There is no association between statin therapy among hiperlipidemia pilots with musculoskeletal disorder. Therefore statin therapy can be suggested to pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library