Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Ginanda Putra
"Pendahuluan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan profil pasien adenokarsinoma buli secara komprehensif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari tahun 1995-2012.
Metode: Studi ini menggunakan rancangan deskriptif potong lintang. Data sekunder dikumpulkan secara retrospektif dari rekam medis Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari tanggal 1 Januari 1995 - 31 Desember 2012. Pasien dengan adenokarsinoma buli dikategorikan menggunakan stadium berdasarkan sistem TNM/AJCC 2010. CT scan dilakukan untuk penentuan stadium adenokarsinoma buli.
Hasil: Terdapat 45 pasien, yang terdiri dari 12 (26,7%) wanita dan 33 (73,3%) laki-laki. Umur rerata pasien adalah 46.04±13,50 (18-72) tahun. Riwayat batu buli ditemukan pada 11 (24,4%) dari total 45 pasien. Pada umumnya pasien didiagnosis pada stadium IV dan hanya sebagian kecil yang didiagnosis pada stadium I. Terdapat 16 (35,5%) pasien dengan metastase pada awal didiagnosis. Pada umumnya, (64,4%) pasien hanya dilakukan TUR-BT. Sebelas (24%) pasien dilakukan tindakan sistektomi. Pasien lainnya juga diberikan radioterapi (6,7%) dan kemoterapi (4,4%).
Kesimpulan: Insiden adenokarsinoma buli pada penelitian ini ditemukan lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya di negara-negara berkembang lainnya. Beberapa karakteristik pasien dengan adenokarsinoma buli di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo memiliki kesamaan dengan negara lain dalam hal jenis kelamin yang dominan, penentuan stadium pada saat ditegakkan diagnosis, dan jenis operasi yang dilakukan. Usia pasien saat pertama kali didiagnosis adenokarsinoma buli di Indonesia pada umumnya lebih muda dan seperempat dari total pasien memiliki riwayat batu buli.

Introduction: The aim of this study was to get a comprehensive profile of bladder adenocarcinoma patient at "CiptoMangunkusumo" Hospital from 1995 to 2012.
Method: This was a descriptive cross-sectional study. Secondary data were obtained retrospectively from Departement of Urology,"CiptoMangunkusumo" Hospital medical record from 1st January 1995 to 31st December 2012. Staging of bladder adenocarcinoma patients were based on TNM/AJCC 2010. CT scan was performed as staging procedure of bladder adenocarcinoma.
Results: There were 45 patients which were 12 female (26,7%) and 33 male (73.3%). Mean of subjects?s age (n=45) was 46.04±13,50 (18-72) years old. History of bladder stone was found in 11 of 45 patients (24,4%). Most patients were diagnosed at stage IV and only small percentage were diagnosed at stage I. There were 16 patients (35,5%) with metastases at time of first diagnosis. Most of our patients (64.4%) were treated with TUR-BT only. Eleven (24%) patients were treated with cystectomy. The rest of the patient was performed radiotherapy (6,7%) and chemotherapy(4,4%).
Conclusion: Several characteristics of bladder adenocarcinoma patients in "Cipto Mangunkusumo" Hospital are similar with studies in other countries in parts of gender predominant, staging at first diagnosed, and type of surgery performed. Age at first diagnosed with bladder adenocarcinoma tend to be younger in Indonesia, and one fourth of our patients presented with history of bladder stone.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Husein
"Pendahuluan dan tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengusulkan istilah baru terkait batu kandung kemih berukuran besar pada populasi pasien anak berdasarkan stone burden, kapasitas kandung kemih, dan gangguan ginjal yang berhubungan dengan batu kandung kemih.
Metode: Tiga puluh empat anak dengan batu kandung kemih di Rumah Sakit kami antara Januari 2014 hingga Agustus 2019 dimasukkan ke dalam penelitian. Data mengenai usia pasien, gejala klinis, riwayat diet, status sosial ekonomi, pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan darah lengkap, urinalisis dan kultur urin, adanya hidronefrosis, ukuran batu, status gizi, dan jenis operasi dikumpulkan. Estimasi Volume Batu (EVB) diukur dengan menggunakan rumus Ackermann, sedangkan Estimasi Kapasitas Kandung Kemih (EKKK) dihitung dengan menggunakan rumus Koff. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) digunakan untuk menentukan nilai cut-off terbaik untuk menentukan nilai rasio EVB terhadap EKKK di mana batu kandung kemih menyebabkan hidronefrosis.
Hasil: Hidronefrosis tercatat pada 12 pasien. Terdapat perbedaan hasil yang signifikan pada rerata EVB dan rasio EVB terhadap EKKK ditemukan pada kedua kelompok (masing-masing p <0,001 dan 0,006). Kurva ROC digunakan untuk menilai akurasi rasio EVB terhadap EKKK sebagai prediktor kejadian hidronefrosis dengan luas area di bawah kurva 0,768 (95% CI 0,624 hingga 0,949). Nilai cut-off rasio EVB terhadap EKKK adalah 0,0286 dengan sensitivitas 94,40%, spesifisitas 62,50%, nilai prediksi positif 73,91%, dan nilai prediksi negatif 90,90%.
Kesimpulan: Kami mengusulkan untuk menggunakan istilah giant pada kasus batu buli pasien anak dengan menggunakan rasio EVB terhadap EKKK di atas 0,028. Kami berharap penelitian kami akan mendorong peneliti lain untuk secara prospektif mengevaluasi implikasi terapeutik dari terminologi baru.

Introduction: This current study aims to propose a new term related to giant bladder stones in pediatric patient populations concerning the stone burden, bladder capacity, and renal impairment related to the bladder stone.
Methods: Thirty-four children with bladder stones in our center between January 2014 to August 2019 were admitted to the study. Data regarding patient's age, clinical symptoms, dietary history, socioeconomic status, laboratory investigations include complete blood examination, urinalysis and urine culture, presence of hydronephrosis, stone size, nutritional status, and type of procedure were collected. Estimated stone volume (ESV) was measured using Ackermann's formula, while estimated bladder capacity (EBC) was calculated using Koff formulas. Receiver operating characteristic (ROC) curve was constructed to determine the best cut-off value for determining what ESV to EBC ratio value at which a bladder stone cause hydronephrosis.
Results: Hydronephrosis was noted in 12 patients. A significant difference in the mean ESV and ESV to EBC ratio was found between those two groups (p < 0.001 and 0.006 respectively). ROC curve was used to assess the accuracy of the ESV to EBC ratio as a predictor of hydronephrosis incidence with the area under the curve 0.768 (95% CI 0.624 to 0.949). Cut-off value of this ESV to EBC ratio is 0.0286 with a sensitivity 94.40%, specificity 62.50%, positive predictive value 73.91%, and negative predictive value 90.90%.
Conclusion: We propose to use the term giant in pediatric cases using the EBV to EBC ratio above 0.028. We hope that our work will stimulate other researchers to prospectively evaluate the therapeutic implications of the new terminology.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy
"Latar Belakang Radikal sistektomi (radical cystectomy / RC) merupakan standar pengobatan untuk muscle-invasive bladder carcinoma. Diperlukan faktor prediksi untuk pendekatan agresif karena dapat menyebabkan pengobatan berlebihan. Hitung darah tepi (BCC) dilaporkan memiliki hubungan yang signifikan dengan beberapa jenis keganasan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan BCC sebagai faktor prediktor terhadap tingkat keselamatan umum (OS) pada pasien karsinoma kandung kemih (BC) setelah menjalani RC.
Metode Studi kohort retrospektif dibuat terhadap 26 pasien yang menjalani RC. Karakteristik demografis dan BCC seperti hemoglobin (Hb), NLR, PLR, dan rasio limfosit/monosit (LMR). Analisis kesintasan Kaplan-Meier dilakukan untuk menentukan overall survival (OS) pada penanda pemeriksaan hitung darah. Hubungan antara karakteristik pasien dengan kesintasan satu tahun juga dilakukan dengan menggunakan metode Mantel-Cox (Log-rank).
Hasil Dari 26 pasien, usia rata-rata adalah 55,6 ± 12,9 tahun. Pada analisis univariat, tidak ada karakteristik demografis yang ditemukan sebagai prediktor signifikan dari kelangsungan hidup satu tahun dan keseluruhan (p>0,05). Hb, NLR, PLR, dan LMR tidak menjadi prediktor signifikan dari kelangsungan hidup satu tahun dan OS (p>0,05).
Kesimpulan BCC bukan merupakan faktor prediktor yang signifikan terhadap kelangsungan hidup pada pasien dengan kanker kandung kemih setelah menjalani radikal sistektomi.

Background
Radical cystectomy (RC) is the gold standard treatment for muscle-invasive bladder carcinoma. A predictive factor is needed for the aggressive approach as it could lead to overtreatment. Elevated blood cell count (BCC) markers are reported to have a significant association with poor outcomes in several types of malignancy. Neutrophil-to-lymphocyte-ratio (NLR) and platelet-to-lymphocyte ratio (PLR) are a well-known inexpensive and effective representative marker of inflammatory condition. This study aims to determine the BCC as a predictor factor of overall survival (OS) in bladder carcinoma (BC) after RC patients
Methods
A retrospective cohort study was designed to investigate 26 patients undergone RC. The demographic characteristics and BCC such as hemoglobin (Hb). NLR, PLR and lymphocyte/monocyte ratio (LMR) were collected. The patients were categorized based on the CBC markers value (≥Median and
Results
Among the 26 patients, the mean age was 55.6 ± 12.9 years. On univariate analysis, none of the demographic characteristics were found as a significant predictor of one year and overall survival (p>0.05). Hb, NLR, PLR and LMR were not a significant predictor of one year survival and OS (p>0.05).
Conclusions
The BCC was not a significant predictor factor survival in patients with bladder cancer after radical cystectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Saputra Wijaya
"Uropati obstruksi dapat memiliki banyak penyebab dan dapat muncul sebagai tingkat obstruksi di atas kandung kemih, kandung kemih, atau di bawah kandung kemih. Pengobatan uropati obstruksi, baik yang bersifat definitif maupun sementara, memiliki risiko komplikasi atau dapat memperburuk kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, pengetahuan tentang parameter-parameter yang dapat memprediksi pemulihan fungsi ginjal setelah pengobatan uropati obstruksi sangat penting bagi pasien dan keluarga mereka. Beberapa studi telah mengevaluasi banyak faktor yang mungkin dapat memprediksi pemulihan fungsi ginjal setelah pelepasan obstruksi, dan ini pada dasarnya dibagi menjadi faktor-faktor yang memprediksi obstruksi unilateral atau bilateral. Hampir semua studi obstruksi unilateral menggunakan kasus obstruksi area ureteropelvik sebagai subjek mereka dan menggunakan renografi pemindaian nuklir untuk mengevaluasi pemulihan ginjal. Faktor-faktor yang dikonfirmasi sebagai faktor-faktor yang memprediksi pemulihan fungsi ginjal adalah usia, kadar hemoglobin, rasio BUN terhadap kreatinin, volume urine pascaoperasi dan ekskresi natrium, ketebalan kortikal, jenis pelvis ginjal, tingkat hidronefrosis, diferensiasi kortikomedular, ekogenitas parenkim, indeks resistensi ginjal, dan fungsi ginjal awal. Oleh karena itu, semua studi ini memiliki kriteria yang berbeda untuk mendefinisikan pemulihan fungsi ginjal, dan hal ini mungkin dapat menjelaskan perbedaan yang teramati dari studi ke studi.

Obstructive uropathy can have many causes and can manifest as supravesical, vesical, or infravesical levels of obstruction. Treatment of obstructive uropathy, whether definitive or temporary, has a risk of complications or could worsen the patient’s quality of life. Thus, knowledge of the parameters that predict recoverability of renal function after obstructive uropathy treatment is essential for patients and their families. Several studies have evaluated many factors that might potentially predict recoverability of renal function after obstruction release and these essentially are divided into factors predicting unilateral or bilateral obstruction. Almost all unilateral obstruction studies used ureteropelvic junction obstruction cases as their subjects and utilized nuclear scan renography to evaluate kidney recoverability. Factors confirmed as predicting factors for recoverability of renal function were age, hemoglobin level, BUN-to-creatinine ratio, postoperative urine volume and sodium excretion, cortical thickness, type of renal pelvis, hydronephrosis grade, corticomedullary differentiation, parenchymal echogenicity, renal resistive index, and initial kidney function. Thus, these studies all had different criteria for defining the recovery of renal function, and this might explain the differences observed from study to study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firman
"Latar Belakang: Pemeriksaan dan diagnosis kanker prostat (PCa) diperlukan untuk memberikan manajemen optimal pada tahap awal. Meskipun telah dibahas dalam banyak pedoman, implementasi pemeriksaan dan diagnosis PCa di Indonesia masih belum diketahui. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi pola pemeriksaan dan diagnosis PCa di antara urolog Indonesia serta kepatuhan mereka terhadap pedoman.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan antara Februari dan Juli 2019. Responden adalah urolog Indonesia yang terdaftar sebagai anggota Perhimpunan Urologi Indonesia (IUA) dan telah berpraktik selama setidaknya enam bulan. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang dibagikan dalam simposium urologi nasional dan secara elektronik melalui Google Form. Data disajikan secara deskriptif, dan semua data diproses menggunakan SPSS versi 23.
Hasil: Dari 458 urolog, 195 (42,6%) memberikan respons lengkap. Sebagian besar responden, 181 (92,8%) urolog, menggunakan pedoman IUA. Di antara 103 (52,8%) responden yang melakukan pemeriksaan, hampir separuh (42,7%) setuju untuk memeriksa pasien yang berusia ≥ 50 tahun atau ≥ 45 tahun dengan riwayat keluarga PCa. Selain itu, 76,8% akan mengulang pemeriksaan setiap tahun, dan 35,6% akan menghentikannya ketika pasien berusia 70 tahun. Pemeriksaan rektal digital (DRE) sering dilakukan untuk pemeriksaan (74,5%), sementara tes antigen spesifik prostat (PSA) hanya dilakukan dalam 52,3% kasus. Tes PSA tersedia di 74,8% rumah sakit. Reseksi transuretral prostat (TURP) masih digunakan oleh 67,2% responden untuk diagnosis. Hanya 52,3% peserta yang menggunakan biopsi prostat transrektal untuk diagnosis, menggunakan anestesi (78,1%) selama prosedur, dan peningkatan kadar PSA (98%) sebagai indikasi. Namun, USG Transrektal (TRUS) hanya tersedia di 49% rumah sakit. Studi ini menemukan bahwa tingkat kepatuhan urolog Indonesia terhadap pedoman adalah 63,3% (9-100%).
Kesimpulan: Pemeriksaan dan diagnosis PCa masih bervariasi di antara urolog Indonesia, yang mungkin disebabkan oleh ketersediaan modalitas diagnostik yang berbeda.

Background: Prostate cancer (PCa) screening and diagnosis are mandatory to deliver optimal management in the early phase. Even though it has been discussed in many guidelines, the implementation of PCa screening and diagnosis in Indonesia remains unknown. This study aims to evaluate the pattern of PCa screening and diagnosis among Indonesian urologists and their adherence to guidelines.
Methods: This cross-sectional study was conducted between February and July 2019. Respondents were Indonesian urologists registered as members of the Indonesian Urological Association (IUA) and had already practiced for at least six months. Data were collected using questionnaires, which were distributed at a national urology symposium and electronically via Google Form. Data were presented descriptively, and all data were processed using SPSS version 23.
Result: Of 458 urologists, 195 (42.6%) gave full responses. Most of the respondents, 181 (92.8%) urologists, used the IUA guidelines. Among the 103 (52.8%) respondents who performed screening, nearly half (42.7%) agreed to screen patients aged ≥ 50 years or ≥ 45 years with a family history of PCa. Moreover, 76.8% would repeat screening annually, and 35.6% would stop when the patient's age reached 70 years old. Digital rectal examination (DRE) was frequently performed for screening (74.5%), while prostate-specific antigen (PSA) tests were only performed in 52.3% of cases. The PSA test was available in 74.8% of hospitals. Transurethral resection of the prostate (TURP) was still used by 67.2% of respondents for diagnosis. Only 52.3 % of participants used transrectal prostate biopsy for diagnosis, using anesthesia (78.1%) during the procedure, and increased PSA level (98%) as its indication. However, Transrectal Ultrasound (TRUS) was only available in 49% of hospitals. This study found that Indonesian urologist adherence level toward guidelines was 63.3% (9-100%).
Conclusion: PCa screening and diagnosis are still varied among Indonesian urologists, which might arise due to the different availability of diagnostic modalities.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diki Arma Duha
"Pendahuluan: Dalam memberikan panduan pencitraan pada nefrolitotomi perkutan (PCNL), ultrasonografi telah menjadi alternatif panduan dalam PCNL bebas sinar-x yang akan mengurangi radiasi baik pada pasien maupun operator. Meta-analisis ini menilai literatur secara kritis dengan membandingkan keamanan dan kemanjuran PCNL bebas sinar-x dan PCNL yang dipandu fluoroskopi dengan sub-analisis dalam posisi terlentang dan tengkurap.
Metode: Pencarian literatur secara sistematis dilakukan menggunakan Wiley Library, Clinicalkey, dan Pubmed. Studi yang membandingkan fluoroskopi dan PCNL bebas sinar-x hingga Agustus 2020 disertakan. Hasil yang diukur termasuk tingkat bebas batu, waktu operasi, perdarahan, komplikasi, dan lama rawat rumah sakit. Meta-analisis dilakukan pada setiap hasil.
Hasil: Dari 283 artikel yang teridentifikasi dari skrining, tujuh artikel dimasukkan ke dalam analisis kuantitatif dan kualitatif. Tingkat bebas batu (p=0,50), waktu operasi (p=0,83), perdarahan (p=0,41), komplikasi (p=0,20), dan lama rawat inap (p=0,27) pada kedua kelompok secara statistik tidak berbeda. Dalam sub-analisis, ditemukan bahwa komplikasi dan perdarahan signifikan secara statistik pada kelompok rawan, p=0,05 dengan OR 0,17 (95%CI 0,03-1,00) dan p=0,02 dengan OR 0,52 (95%CI 0,30-0,92) masing-masing.
Kesimpulan: Bukti yang mendukung pendekatan pencitraan yang lebih baik masih terbatas saat ini. Namun, sebagai pendekatan alternatif untuk PCNL dengan ultrasonografi bebas x-ray, hal ini menawarkan keamanan yang lebih baik pada posisi tengkurap dan keamanan yang sebanding pada kelompok terlentang. Efikasi antara kedua kelompok ditemukan sebanding baik dalam sub-analisis terlentang dan tengkurap.

Introduction: There are imaging guidances used for percutaneous nephrolithotomy (PCNL), Ultrasonography has been an alternative for guidance in x-ray free PCNL that would reduce radiation both in patients and operators. This meta-analysis critically appraises the literature comparing the safety and efficacy of x-ray free and fluoroscopy-guided PCNL with sub-analysis in supine and prone position.
Method: A systematic literature search using Wiley Library, Clinicalkey, and Pubmed. Studies comparing fluoroscopy and x-ray free PCNL up to August, 2020 were included. The outcome measured included the stone-free rate, operative time, bleeding, complication, and hospital length. Meta-analysis was conducted for each of the outcomes.
Result: Of 283 articles identified from screening, seven were included in quantitative and qualitative analysis. The stone-free rate (p=0.50), operative time (p=0.83), bleeding (p=0.41), complication (p=0.20), and hospital length of stay (p=0.27) in both groups statistically indifferent. In sub-analysis, we found that complication and bleeding statistically significant in prone group, p=0.05 with OR 0.17 (95%CI 0.03-1.00) and p=0.02 with OR 0.52 (95%CI 0.30-0.92) respectively.
Conclusion: Evidence supporting a better imaging approach remains limited at present. However, as an alternative approach for x-ray free ultrasound-guided PCNL, it offers better safety in prone positio and comparable safety in supine group. The efficacy between both groups found comparable both in supine and prone sub-analysis.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fahri
"Background: Radical cystectomy (RC) is the gold standard for managing muscle-invasive high-grade bladder cancer. Post-RC urinary diversion (UD) remains controversial, with orthotopic neobladder and ileal conduit (IC) being the two primary options. Both techniques have distinct impacts on postoperative complications, quality of life, and patient outcomes.
Method: A systematic review and meta-analysis were conducted using PRISMA guidelines, focusing on studies comparing orthotopic neobladder and IC in terms of postoperative complications such as urinary leakage, ileus, sepsis, anastomosis site stenosis, and urinary infections. A bibliographic search was performed on databases including PubMed and Cochrane Library. Data were analyzed using Review Manager 5.4 with random- and fixed-effect models based on heterogeneity levels.
Results: Six studies were included. orthotopic neobladder was associated with a significantly higher risk of urinary leakage (P = 0.0004), while other complications (ileus, sepsis, anastomosis site stenosis, and urinary infections) showed no significant differences between ONB and IC groups. The heterogeneity varied across outcomes.
Conclusion: This meta-analysis highlights a higher incidence of urinary leakage with orthotopic neobladder compared to IC, while other complications showed comparable outcomes. Further large-scale randomized trials are necessary to confirm these findings and establish the preferred urinary diversion method post-RC.

Latar Belakang: Radikal sistektomi (RC) merupakan baku emas dalam penanganan kanker kandung kemih invasif otot dengan derajat tinggi. Pilihan diversi urin pasca-RC masih menjadi perdebatan, dengan neobladder ortotopik dan ileal conduit (IC) sebagai dua opsi utama. Kedua teknik ini memiliki dampak yang berbeda dalam hal komplikasi pascaoperasi, kualitas hidup, dan luaran pasien.
Metode: Tinjauan sistematis dan meta-analisis dilakukan berdasarkan pedoman PRISMA, dengan tujuan untuk membandingkan neobladder ortotopik dan IC terkait komplikasi pascaoperasi seperti kebocoran urin, ileus, sepsis, stenosis pada situs anastomosis, dan infeksi saluran kemih. Penelusuran literatur dilakukan pada basis data seperti PubMed dan Cochrane. Data dianalisis menggunakan Review Manager 5.4 dengan random atau fixed effect model berdasarkan tingkat heterogenitas.
Hasil: Enam studi dimasukkan dalam penelitian ini. Neobladder ortotopik dikaitkan dengan risiko kebocoran urin yang lebih tinggi secara signifikan (P = 0.0004), sementara komplikasi lainnya (ileus, sepsis, stenosis pada situs anastomosis, dan infeksi saluran kemih) tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara neobladder ortotopik dan IC. Tingkat heterogenitas bervariasi di antara hasil.
Kesimpulan: Meta-analisis ini menunjukkan kejadian kebocoran urin yang lebih tinggi pada neobladder ortotopik dibandingkan IC, sementara komplikasi lainnya memiliki hasil yang sebanding. Penelitian acak berskala besar diperlukan untuk mengonfirmasi temuan ini dan menentukan metode diversi urin yang lebih disarankan pasca-RC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Baskoro
"Objective : To describe the pattern of enuresis diagnosis and management at primary level by General Practitioners (GPs) In Indonesia.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted using an online survey distributed from March 2021 until September 2021. The inclusion criteria in this study are general practitioners registered in the Indonesian Doctor Association. The survey contains several questions describing the general practitioners' general experience in treating pediatric patients and treating enuresis. The data was then compiled and presented as descriptive data.
Results: Out of 584 GPs contacted, 183 responses were analyzed. The majority (70.49%) had less than five years of experience. Most GPs (95.08%) treated pediatric patients, with 44.26% having experience treating enuresis. Diagnosis primarily involved history taking and physical examination (70.37%). Only a minority used special questionnaires or bladder diaries. Treatment often involved lifestyle changes (42.05%), alarm therapy (23.86%), or referrals to specialists (50.82%).
Conclusion: There are gaps in the diagnosis and management of enuresis among Indonesian GPs. Enhanced training and adherence to standardized guidelines could improve care for children with enuresis in Indonesia.
Keywords: Nocturnal enu

Objektif: Mendeskripsikan pola diagnosis dan penatalaksanaan enuresis pada tingkat pelayanan primer oleh dokter umum di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan menggunakan survei daring yang didistribusikan dari Maret 2021 hingga September 2021. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah dokter umum yang terdaftar di Ikatan Dokter Indonesia. Survei tersebut mencakup beberapa pertanyaan yang menggambarkan pengalaman umum dokter umum dalam menangani pasien anak serta menangani enuresis. Data yang diperoleh kemudian dikompilasi dan disajikan dalam bentuk data deskriptif.
Hasil: Dari 584 dokter umum yang dihubungi, 183 respons dianalisis. Mayoritas responden (70,49%) memiliki pengalaman kerja kurang dari lima tahun. Sebagian besar dokter umum (95,08%) menangani pasien anak, dengan 44,26% memiliki pengalaman menangani enuresis. Diagnosis terutama dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik (70,37%). Hanya sebagian kecil yang menggunakan kuesioner khusus atau buku harian kandung kemih. Penanganan sering kali melibatkan perubahan gaya hidup (42,05%), terapi alarm (23,86%), atau rujukan ke spesialis (50,82%).
Kesimpulan: Terdapat kesenjangan dalam diagnosis dan penatalaksanaan enuresis di kalangan dokter umum di Indonesia. Pelatihan yang lebih baik dan kepatuhan terhadap pedoman standar dapat meningkatkan kualitas perawatan bagi anak-anak dengan enuresis di Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Soefiannagoya Soedarman
"Objective : To identify potential predictors of DU for limited clinical settings
Methods: This retrospective study was retrieved from the medical records of patients who underwent urodynamics in the Department of Urology, Cipto Mangunkusumo Hospital from 2015 to 2020. Age, sex, bladder capacity, bladder compliance, bladder outlet obstruction, history of stroke, diabetes mellitus (DM) status, and neurological abnormalities were analyzed using chi-square and Mann–Whitney to examine the potential predictors of DU. The odds ratio (OR) of each factor was also calculated. Logistic regression was furtherly used for the analysis.
Results: A total of 649 patients were included in this study. Male (OR = 1.74, 95% CI = 1.28–2.38) and DM patients (OR = 2.06, 95% CI = 1.36–3.11) had a higher risk of DU, while bladder outlet obstruction (OR = 0.54, 95% CI = 0.39–0.76) was the protective factor of DU. Furthermore, multivariate analysis showed that the potential predictors of DU were male (OR = 1.903, 95% CI = 1.37–2.64), DM (OR= 1.899, 95% CI = 1.22–2.95), and bladder outlet obstruction (OR = 0.32, 95% CI = 0.32–0.65).
Conclusion: Age, sex, bladder outlet obstruction, and history of DM could become the predictors of DU.

Objektif: Untuk mengidentifikasi prediktor potensial dari detrusor underactivity (DU) untuk kepentingan klinik di lokasi terpenciil.
Metode: Studi retrospektif ini menggunakan data yang diambil dari rekam medis pasien yang menjalani pemeriksaan urodinamik di Departemen Urologi, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dari tahun 2015 hingga 2020. Usia, jenis kelamin, kapasitas kandung kemih, bladder compliance, obstruksi outlet kandung kemih, riwayat stroke, status diabetes mellitus (DM), dan kelainan neurologis dianalisis menggunakan uji chi-square dan Mann–Whitney untuk memeriksa prediktor potensial dari DU. Rasio odds (OR) untuk setiap faktor juga dihitung. Analisis regresi logistik kemudian digunakan untuk analisis lebih lanjut.
Hasil: Sebanyak 649 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Pasien laki-laki (OR = 1,74, 95% CI = 1,28–2,38) dan pasien dengan diabetes mellitus (DM) (OR = 2,06, 95% CI = 1,36–3,11) memiliki risiko lebih tinggi mengalami DU, sedangkan obstruksi outlet kandung kemih (OR = 0,54, 95% CI = 0,39–0,76) merupakan faktor protektif terhadap DU. Selain itu, analisis multivariat menunjukkan bahwa prediktor potensial DU adalah jenis kelamin laki-laki (OR = 1,903, 95% CI = 1,37–2,64), DM (OR = 1,899, 95% CI = 1,22–2,95), dan obstruksi outlet kandung kemih (OR = 0,32, 95% CI = 0,32–0,65).
Kesimpulan: Usia, jenis kelamin, obstruksi outlet kandung kemih, dan riwayat Diabetes Melitus dapat menjadi prediktor untuk DU
"
2025: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
William Tendi
"Background: Undescended testes (UDT) is a condition where one or both testes is absent in the scrotum. The general age recommendation in which the treatment should be performed is before 18 months old due to the infertility risk and malignancy in later life. In post-pubertal UDT, the current guideline recommends orchiectomy; however, the strength rating of this recommendation is weak. Therefore, this study aimed to provide a systematic review of post-pubertal UDT treatment, focusing on the malignancy risk point of view.
Methods: A systematic search was performed using PubMed, Wiley Online Library and the Cochrane Library up to 5 March 2023. Any study with either post-pubertal orchiectomy or orchidopexy in patients with UDT and reporting the testicular malignancy was included. The exclusion criteria were studies with lack of information of UDT correction time, no history of correction and the full text wasn’t available. The data collected were the occurrence of testicular malignancy in post-pubertal UDT patients corrected with any method. Quality and bias assessment was assessed with Newcastle-Ottawa scale and Joanna Briggs Institute tools.
Results: Seven articles (three case reports and four observational studies) were reviewed with a total of 42 patients who underwent post-pubertal correction of either unilateral or bilateral UDT. The correction age ranged from 13 to 34 years old, with follow-up of 48.7–252 months. Among those who developed malignancies, the most common were seminoma, teratoma and carcinoma in situ of the testes. In addition, this study was able to propose an algorithm for post-pubertal UDT treatment strategy.
Conclusion: The scarce resource was the main limitation of this study. Nevertheless, this review showed that post-pubertal UDT management should be tailored individually. Several factors that should be considered include the condition of the contralateral descended testis, UDT location, serum testosterone level, patient’s age, comorbidities, and interest in fertility.

Latar Belakang: Testis tidak turun adalah kondisi dimana salah satu atau kedua testis tidak ditemukan di skrotum. Secara umum, rekomendasi waktu untuk dilakukan terapi adalah sebelum usia 18 bulan karena adanya risiko infertilitas dan keganasan di masa depan. Pada kondisi pasca pubertas, terapi yang disarankan adalah orkidektomi. Akan tetapi, rekomendasi ini termasuk tingkat rekomendasi lemah. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk memberikan tinjauan sistematis untuk tatalaksana testis tidak turun, ditinjau dari sisi risiko keganasan.
Metode: Pencarian sistematis dilakukan pada tanggal 5 Maret 2023 di PubMed, Wiley Online Library, dan Cochrane Library. Semua studi mengenai orkidektomi atau orkidopeksi yang dilakukan pasca pubertas pada pasien dengan testis tidak turun dan memberikan data terkait keganasan testis dimasukkan dalam analisis. Kriteria eksklusi termasuk studi yang tidak memiliki data terkait waktu penanganan testis tidak turun, tidak ada riwayat tatalaksana dan tidak adanya manuskrip lengkap. Data yang diambil meliputi terjadinya keganasan testis pada pasien dengan testis tidak turun yang menjalani tatalaksana surgikal apapun pasca pubertas. Tinjauan kualitas dan bias artikel dilakukan dengan skala Newcastle-Ottawa dan Joanna Briggs Institute.
Hasil: Terdapat tujuh artikel (tiga laporan kasus dan empat studi observasional) yang dimasukkan ke dalam tinjauan ini dengan total pasien sebanyak 42 pasien yang mengalami testis tidak turun baik unilateral atau bilateral dan menjalani terapi surgikal pasca pubertas. Rentang usia dilakukannya tatalaksana adalah 13 hingga 34 tahun, dengan rentang waktu follow-up yaitu 48,7 hingga 252 bulan. Diantara semua pasien yang mengalami keganasan testis, jenis yang tersering adalah seminoma, teratoma dan karsinoma in situ. Selain itu, studi ini juga memberikan rekomendasi algoritma tatalaksana testis tidak turun pada pasien pasca pubertas.
Kesimpulan: Sumber pustaka yang terbatas merupakan kekurangan dari studi ini. Akan tetapi, studi ini menunjukkan bahwa pilihan tatalaksana testis tidak turun pada pasien pasca pubertas harus dibuat berdasarkan penilaian terhadap pasien secara individual. Beberapa faktor yang dapat menjadi bahan pertimbangan termasuk kondisi testis kontralateral yang telah turun, lokasi testis yang tidak turun, kadar testosteron serum, usia pasien, komorbiditas, dan keinginan untuk memiliki keturunan.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>