Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 754 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alessius Asnanda
Abstrak :
Pemerintahan Desa adalah penyelenggara kegiatan Lembaga Pemerintahan dan Pembangunan di tingkat Desa, terdepan serta paling dekat dengan masyarakat yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing untuk kesuksesan pembangunan dan kemajuan masyarakat. Lebih dari itu, praktek pelaksanaan Pemerintahan Desa sesungguhnya merupakan potret dan cerminan sejauhmana demokrasi diimplementasikan dalam pemerintahan kita. Adapun formulasi pertanyaan penelitian ini adalah : Bagaimanakah penataan Pemerintahan Desa serta Pandangan Masyarakat Ada( mengenai format struktur dan Fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Landak. Sedangkan secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui pandangan masyarakat adat tentang format Pemerintahan Desa yang sesuai dengan Otonomi Daerah, dan untuk mengetahui faktor penghambat, pendukung serta pro dan kontra dalam pelaksanaan penataan kembali ke Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori dan konsep tentang Desa, Pemerintahan Desa, Otonomi Daerah, termasuk didalamnya Pembangunan Sosial, Pemerintahan Adat dan Pelayanan kepada masyarakat (public services) serta Pemberdayaan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi, dengan informan sebanyak 9 orang yang terdiri dari pejabat Pemerintah Daerah, DPRD, Dewan Adat dan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Kabupaten Landak. Penelitian ini merupakan studi penataan Pemerintahan Desa dengan kajian tentang struktur dan fungsi Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah. Sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan penataan terhadap Pemerintahan Desa kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung tersebut maka adanya pembuatan sejurnlah Peraturan Daerah, yang mana memerlukan mekanisme dan tahapan serta melibatkan pihak-pihak yang kompeten atau pihak yang benar-benar memahami materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang sesuai asal usul dan adat istiadat masyarakat Kabupaten Landak. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan apabila dipelajari sungguh-sungguh sesuai dengan kepentingan, terutama bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Landak dalam penataan Pemerintahan Desa. Berdasarkan hasil temuan di lapangan penelitian ini berkesimpulan, bahwa ada sejumlah hat panting dan menarik yang perlu dikaji. Namun dari sejumlah hal panting dan menarik tersebut, maka penelitian ini berkesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah diterima dengan balk dan antusias di Kabupaten Landak. Penataan Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah merupakan suatu pemberdayaan dan untuk menciptakan pelayanan yang baik atau mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, adanya silang pandangan, ide maupun konsep yang berkembang, terutama mengenai penataan format pemerintahan sebagai pengganti Pemerintahan Desa yaitu kembali ke sistem Pemerintahan Binua atau Kampung. Semua pihak mempunyai konsep maupun pandangan yang menarik serta baik sebagai pendorong menuju Pemerintahan yang baik dalam rangka untuk mengembangkan demokratisasi, partisipatif, berkeadilan, kemandirian, akomodatif, transparan, bertanggunJ'awab, yang dekat dengan masyarakat. Meskipun secara teknis mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaan penataan tersebut. Adapun saran-saran dalam penelitian, yaitu : pertama : Nama, struk-tur dan sistem pemerintahan yang appropriate sebagai pengganti sistem Pemerintahan Desa adalah gabungan format Pemerintahan Adat dan sistem Pemerintahan Nasional, maka perlu diberlakukan kembali Pemerintahan Kampung di Kabupaten Landak. Kedua Peraturan Daerah yang dibuat bukan hanya untuk menggali Pendapat Asli Daerah (PAD), tetapi yang lebih panting adalah masyarakat memahami bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah untuk kepentingan pembangunan, kelancaran tugas dan fungsi Pemerintah Daerah. Ketiga : Untuk menghindari lerjadinya konflik akibat adanya pro dan kontra dalam penetaan Pemerintahan Desa sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa dalam rangka Otonomi Daerah maka perlu sharing duduk bersama secara demokratis Pemda, DPRD dan masyarakat dalam membahas sating silang konsep, ide maupun pandangan dimaksud. Selain itu juga perlu mengadakan assessment terhadap potensi dan materi subtansi tentang Pemerintahan Binua atau Kampung yang benar-benar sesuai dengan asal usul dan adat istiadat masyarakat Daerah Kabupaten Landak. Keempat : Pemerintahan Desa yang ditata menjadi Pemerintahan Binua atau Kampung di Kabupaten Landak masih sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas - fungsi pemerintahan dan pembangunan. Karena Pemerintahan Binua atauy Kampung adalah pemerintahan yang dekat dengan warga masyarakt dalam rangka pelayanan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T390
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Harun Alrasyid
Abstrak :
Topik tentang DPRD ini sengaja penulis munculnya untuk menggugah semangat demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sekarang ini menjadi isu penting dalam kehidupan politik lokal. Upaya untuk mewujudkan demokrasi di tataran lokal, dibutuhkan adanya lembaga perwakilan lokal yang berdaya dan memiliki kedudukan yang kuat dalam mewakili kepentingan rakyat. Karena itu, isu pemberdayaan DPRD menjadi salah satu elemen penting terwujudnya sistem pemerintahan daerah yang demokratis. Kedudukan DPRD pada masa reformasi seperti sekarang ini sangat berbeda dengan masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, kedudukan DPRD berada pada posisi yang inferior bila berhadapan dengan Kepala Daerah, namun pada era reformasi, justru DPRD berada pada posisi yang superior. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 di mana secara kelembagaan DPRD bukan lagi sebagai bagian dari Pemerintah Daerah melainkan sebagai mitra sejajar dalam kedudukannya sebagai lembaga yang berwenang meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, membuat kebijakan daerah, mengontrol jalannya pemerintahan dan membuat anggaran daerah. Karena itu, kedudukan DPRD pada era reformasi lebih beruntung karena memiliki bargaining position yang lebih kuat dalam menentukan arah kehidupan politik di daerah. Kedudukan DPRD yang kuat dalam konstelasi pemerintahan daerah seperti saat ini mempunyai dua implikasi terhadap kondisi politik di Daerah. Implikasi pertama adalah munculnya kehidupan politik yang lebih demokratis karena menguatnya posisi rakyat yang direpresentasikan oleh para wakilnya di DPRD dalam proses sistem politik lokal. Asumsi dasar dari implikasi pertama ini, Kepala Daerah (eksekutif) tidak lagi dominan untuk membuat berbagai kebijakan dan tidak bisa lagi mengabaikan kepentingan rakyat, karena segala tindakannya senantiasa dikontrol oleh DPRD. Implikasi kedua adalah munculnya arogansi DPRD karena memillki kekuasaan yang jauh Iebih besar dibandingkan dengan Kepala Daerah. Implikasi ini dapat menimbulkan tindakan atau perilaku anggota DPRD yang tidak sesuai dengan etika politik dan pemerintahan, seperti kasus yang marak di berbagai daerah, yakni praktek money politik. Implikasi yang muncul di daerah setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah tersebut menggugah minat penulis untuk meneliti lebih mendalam sejauhmana kontrol DPRD Kabupaten Bekasi dilaksanakan dan bagaimana dampaknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang balk. Di samping itu, penulis juga mencoba menjawab faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kontrol DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis ditemukan fakta bahwa DPRD Kabupaten Bekasi belum optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Indikasinya terlihat dari kemampuan DPRD dalam mengontrol pemerintah melalui kewenangan membuat anggaran daerah yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan DPRD dan Kepala Daerah ketimbang kepentingan rakyat. Sebagai "wakil rakyat", DPRD juga tidak optimal dalam mewujudkan aspirasi rakyat ke dalam kebijakan daerah yang dibuatnya. Lemahnya kemampuan DPRD mengontrol penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan indikasi bahwa perjuangan untuk terbentuknya suatu pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel dan partisipatif atau dikenal dengan istilah good governance masih membutuhkan waktu. Di samping itu, penulis juga menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi kontrol DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat :dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari pendidikan dan pengalman politik anggota DPRD, kepentingan partai politik, hubungan Kepala Daerah dengan DPRD serta mekanisme atau prosedur penggunaan hak-hak DPRD. Faktor internal yang cukup dominan mempengaruhi efektivitas kontrol DPRD adalah mekanisme/ prosedur penggunaan hak-hak DPRD. Walaupun anggota DPRD memiliki hak-hak yang lebih luas, namun penggunaan hak-hak tersebut seringkali tidak dapat diwujudkan secara optimal, karena terkendala oleh aturan yang sangat birokratis. Mekanisme seperti ini dirasakan menjadi kendala bagi anggota-anggota DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh kelompok kepentingan yang terdiri dari kalangan pengusaha dan kelompok penekan yang terdiri dari berbagai kalangan masyarakat yang tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat. Kedua kelompok ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan daerah walaupun cara yang digunakan berbeda. Kelompok kepentingan lebih persuasif dalam mempengaruhi para aktor pembuat kebijakan, sedangkan kelompok penekan lebih agresif dalam mempengaruhinya, bahkan dalam beberapa kasus cenderung menggunakan cara-cara intimidasi dengan mengerahkan massa dan juga kekerasan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh DPRD dan Kepala Daerah.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Jusnadi
Abstrak :
Paradigma "good governance" atau kepemerintahan yang baik akhir-akhir ini menjadi wacana kuat dalam kebijakan administrasi publik di Indonesia. Untuk mewujudkan praktek kepemerintahan yang baik ada tiga institusi utama yang secara bersama-sama harus diberdayakan yaitu pemerintah, sektor privat dan masyarakat (civil society). Semangat reformasi dan penerapan model pembangunan yang partisipatif dengan orientasi kepada kepentingan rakyat. Mencuatnya isu reformasi selama ini bagi masyarakat sebagai obyek pembangunan, belum memiliki posisi tawar sebagai pengambil keputusan yang terkait dengan kepentingannya. Untuk mengangkat masyarakat sebagai subyek pembangunan utama, sejalan dengan tuntutan otonomi dan desentralisasi, maka disusunlah Tesis ini dengan melakukan penelitian terhadap proses penguatan kelembagaan lokal dalam proyek penanggulangan kemiskinan perkotaan di enam kelurahan di kota Semarang yaitu di Kelurahan Bangunharjo, Gemah, Sumurbroto, Tandang, Kuningan dan Kemijen. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor atau variabel yang berpengaruh dalam pembentukan tampilan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang mandiri yang patut dipertimbangkan dalam kebijakan untuk memperkuat terwujudnya praktek kepemerintahan yang baik dalam kerangka manajemen perkotaan. Dari hasil penelitian berdasarkan pembuktian hipotesis statistik regresi, berganda dinyatakan bahwa, terdapat hubungan keterpengaruhan oleh variabel independen, yaitu faktor pengaruh lingkungan eksternal dan faktor penerimaan internal komunitas terhadap variabel dependen tampilan BKM dimana pengaruh penerimaan internal komunitas memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan tampilan BKM dari pada pengaruh lingkungan eksternal. Dari rincian koefisien korelasi antar variabel, diperoleh urutan (rank) faktorfaktor yang mempengaruhi kemandirian BKM, yaitu sebagai berikut :
1. Kepemimpinan dalam komunitas.
2. Penerimaan masyarakat terhadap misi dan strategi organisasi.
3. Sikap aparat yang membatasi diri untuk tidak mencampuri internal organisasi.
4. Bantuan dana langsung kepada masyarakat melalui BKM.
5. Aturan main yang transparan.
6.Budaya lokal yang peduli kemiskinan. Dalam penguatan praktek kepemerintahan yang baik, agar terjadi proses transformasi kelembagaan lokal yang berkelanjutan, perlu penguatan terhadap visi strategis dan membangun komitmen antar para pelaku, selain penerapan unsur demokrasi, transparansi, akuntabilitas dan partisipatif. Dengan demikian diharapkan BKM yang sudah terbentuk saat ini dapat diberdayakan untuk memberikan kontribusi dalam manajemen pembangunan perkotaan, terutama mewujudkan program pembangunan kota yang terpadu dan tepat sasaran. Untuk mencapai percepatan pencapaian tersebut masih diperlukan peran "mediator" baik dari privat sektor maupun "civil society" yang bisa membangun sinergitas antara pelaku lokal : eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam membangun interaksi, membangun kapasitas dan membangun sumber daya atau modal organisasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Wahyono
Abstrak :
ABSTRAK
Perubahan Struktur Organisasi merupakan hal yang biasa terjadi pada setiap organisasi. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mendukung tercapainya visi organisasi.

Badan Kepegawaian Negara telah mengaiami beberapa kali perubahan; yang terakhir sebagai akibat diundangkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang tersebut mengatur pemberian kewenangan administrasi kepegawaian kepada daerah yang sebelumnya menjadi kewenangan Badan Kepegawaian Negara. Pemberian kewenangan ini membawa konsekwensi berkurangnya kewenangan Badan Kepegawaian Negara.

Sejalan dengan itu Badan Kepegawaian Negara telah merubah fungsinya dari fungsi administratif menjadi fungsi Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (Affandi, 1998). Dengan berubahnya fungsi tersebut mengakibatkan perubahan pada Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Negara. Walaupun perubahan struktur Organisasi disebabkan karena beberapa faktor, dalam penelitian ini faktor-faktor yang diteliti dibatasi pada berbagai variabel yang mempengaruhi Struktur Organisasi, variabel tersebut meneakup; strategi, besaran organisasi (size), wewenang, teknologi dan teknologi informasi.

Dan hasil penelitian diperoleh gambaran, bahwa pada awalnya variabelvariabel tersebut cukup signifikan berpengaruh terhadap struktur organisasi, namun dalam perkembangannya struktur tersebut sudah kurang efektif lagi, karena perubahannya lebih banyak berdasarkan pertimbangan politis dari pada efektifitas organisasi.

Oleh karena itu disarankan untuk mengkaji ulang beberapa kebijakan pembentukan Kantor Wilayah Badan Kepegawaian Negara atau peninjauan kembali struktur Badan Kepegawaian Negara yang lebih menitikberatkan pada jabatan fungsional dari pada jabatan struktural.
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aries Munandar
Abstrak :
Kehadiran Undang-Undang Otonomi Daerah menjadi momentum bagi daerah untuk dapat lebih leluasa mengatur sendiri penyelenggaraan rumah tangganya berdasarkan aspirasi masyarakat lokal di daerah. Sehingga pemerintah daerah dapat menentukan sendiri pekerjaannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. Untuk itu pemerintah daerah perlu segera melengkapi dirinya dengan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Karena kelembagaan perangkat daerah adalah `tools' bagi pemerintahan daerah untuk dapat bergerak dan bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya itu. Dengan penataan kelembagaan perangkat daerah yang disesuaikan dengan yang dibutuhkan di Kota Bengkulu, diharapkan Pemerintah Kota Bengkulu dapat bekerja dengan lebih optimal, efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Kota Bengkulu. Agar dapat melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah maka diperlukan assesmen terhadap kebutuhan daerah itu sendiri. Dalam hal ini kebutuhan daerah ditentukan dari kebutuhan akan penyediaan pelayanan dasar (basic services) dan kebutuhan pengembangan potensi-potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan mengidentifikasi kebutuhan basic services dan core competencies pemerintah daerah dapat diketahui kewenangan rill pemerintah Kota Bengkulu, berupa jenis-jenis pelayanan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu yang selanjutnya akan menjadi rujukan untuk melakukan penataan kelembagaan perangkat daerah. Basic services diidentifikasi dengan 5 indikator, yaitu : protective services, environmental services, personal services, recreation services dan commercial services. Dan core competencies diidentifikasi dengan melihat struktur mata pencaharian penduduk, struktur penggunaan lahan serta kontribusi lapangan usaha terhadap PDRB Kota Bengkulu. Sementara penataan kelembagaan dioperasionalisasikan dengan merujuk kepada 5 komponen dasar organisasi, yaitu : strategic apex, middle line, techno-structure, support staff dan operating core. Permasalahan penelitian dirumuskan dengan 3 pertanyaan penelitian, yaitu: 'Bentuk pelayanan apa saja yang dibutuhkan dan perlu diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bengkulu `Bagaimana format kelembagaan perangkat daerah yang sesuai untuk Kota Bengkulu berdasarkan kebutuhan tersebul T dan ' Apakah kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah sesuai dengan yang dibutuhkan ?' Untuk mencari jawaban atas pertanyaan diatas digunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan dalam dua tahapan, tahap pertama adalah studi dokumen dan kepustakaan sedang untuk tahap kedua dilaksanakan studi lapangan dengan 'observasi non partisipan' dan `interview'. Analisa data menggunakan teknik analisa kualitatif-deskriptif sehingga terhadap data-data statistik yang bersifat kuantitatif dipergunakan sebagai pendulum analisa. Dari proses analisa data diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kebutuhan di Kota Bengkulu terdiri dari 49 jenis urusan. Sementara berdasarkan karakteristik potensi unggulan khas (core competencies) yang dimiliki oleh pemerintah daerahnya, di Kota Bengkulu dibutuhkan pelayanan-pelayanan yang berhubungan dengan bidang usaha jasa, perdagangan dan pertanian. Setelah dikurangi dengan 8 jenis pelayanan yang telah diselenggarakan oleh pihak-pihak lain diluar Pemerintah Kota Bengkulu, diketahui bahwa pelayanan yang perlu diselenggarakan di Kota Bengkulu terdiri dari 41 jenis pelayanan. Dengan menggunakan teori-teori organisasi dan aturan-aturan norrnatif yang ada dirumuskan 3 alternatif bentuk kelembagaan untuk perangkat daerah Kota Bengkulu, Dan dari masing-masing alternatif itu dapat dibagi lagi ke dalam 2 altematif format susunan organisasi. Sehingga secara keseluruhan terdapat 6 alternatif kelembagaan perangkat daerah yang cukup sesuai untuk Kota Bengkulu. Dari keenam alternatif tersebut teridentifikasi bahwa format kelembagaan yang dinilai paling ideal untuk Kota Bengkulu adalah format kelembagaan yang terdiri dari 28 jenis lembaga dengan kedudukan Sekretaris Daerah yang `kuat'. Dan melalui proses komparasi diketahui bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh kelembagaan perangkat daerah yang telah dibentuk di Kota Bengkulu dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup sesuai dengan yang dibutuhkan daerah, Ini terbukti dengan sudah tercakupnya semua unsur kebutuhan pelayanan oleh urusan-urusan yang diselenggarakan Perangkat Daerah Kota Bengkulu. Namun format kelembagaan yang telah dibentuk tersebut dinilai masih terlalu 'gemuk' dan tergolong cukup rawan untuk terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pejabat politis di daerah. Sehingga dalam rangka mendapatkan format kelembagaan yang lebih efisien dan ideal maka masih diperlukan perampingan dan penataan kembali terhadap susunan organisasi yang telah ada itu.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T4417
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Cahyadi
Abstrak :
Penelitian ini difokuskan untuk mengevaluasi potensi kemandirian Daerah Otonom pada pembentukan Kabupaten Way Kanan. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat sejauhmana perkembangan pengelolaan potensi daerah setelah dilakukan pembentukan daerah Kabupaten Way Kanan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung dengan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan evaluatif studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu : pertama, pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan observasi dan menelaah data yang telah tersedia berupa catatancatatan, dokumen-dokumen, peraturan-peraturan dan berkas-berkas yang ada di Kabupaten Way Kanan mulai dari sebelum/awal pembentukan (tahun 1999) sampai dengan penelitian ini dilaksanakan. Kedua, yaitu pengumpulan data secara primer dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa sumber data di Kabupaten Way Kanan atau lazim disebut sebagai informan. Pengolahan data dilakukan dengan cara mengevaluasi potensi daerah Kabupaten Way Kanan yaitu menggunakan indikator/sub indikator yang telah ditetapkan. Data mengenai potensi daerah sebelum/awal pembentukan Kabupaten Way Kanan dibandingkan dengan data potensi daerah setelah pembentukan/pada saat ini, kemudian dianalisis perkembangannya. Dalam melakukan analisis jugs disinkronkan dengan hasil wawancara yang dituangkan dalam uraian-uraian yang bersifat deskripsi. Pengolahan dilakukan secara cermat untuk menemukan derajat pertemuan atau perbedaan dari masing-masing pandangan para informan tentang apa yang menjadi objek penelitian. Analisis data merupakan interpretasi yang dilakukan dengan membuat uraian yang bersifat deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif menjadi dasar penilaian ditambah dengan data sekunder untuk menjawab pertanyaan penelitian. Angka-angka atau data kuantitatif yang muncul baik dalam bentuk ukuran maupun tabel dimaksudkan untuk mendukung analisis yang eksplanatif. Potensi kemandirian daerah yang dievaluasi adalah Potensi ekonomi/keuangan daerah, potensi fisik/sarana dan prasarana, dan potensi sumber daya manusia. Dari ketiga potensi kemandirian daerah tersebut dijabarkan dalam sepuluh indikator dan duapuluh tujuh sub indicator. Hasil penelitian bahwa hasil evaluasi terhadap potensi kemandirian daerah pada pembentukan Kabupaten Way Kanan menunjukkan peningkatan hampir seluruh sub indikatomya. Meskipun tidak seluruhnya sub indikator meningkat, akan tetapi peningkatan terjadi pada sebagian besar, dan penurunan rasio yang terjadi lebih diakibatkan oleh pertambahan penyebut (seperti jumlah penduduk) yang lebih besar. Dengan demikian keadaan ini dapat dikatakan sesuai dengan salah satu tujuan pembentukan kabupaten yaitu meningkatkan pengelolaan potensi daerah, sehingga bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Selanjutnya, sebagai saran, diperlukan perbaikan-perbaikan atau peningkatan terhadap sub indakator yang masih rendah.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Pahlavi
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang perdebatan proses pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI Dalam Sidang Tahunan MPR 2001. Sebagai lembaga baru, DPD merupakan penjelelmaan dari adanya wakil daerah di tingkat pusat guna menampung aspirasi rakyat sekaligus pluralitas daerah yang ada di Indonesia. Keberadaan DPD dituangkan dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945 hasil perubahan. Dalam Ketentuan UUD 1945 tersebut, terlihat bahwa fungsi DPD sangat terbatas baik dalam hal legislasi maupun pengawasan. DPD hanya terlibat secara khusus dalam permasalahan tentang daerah, tetapi keterlibatannya sangat tergantung kepada DPR sebagai lembaga perwakilan yang mempunyai kekuasaan membentuk UU. Akibat ketentuan seperti itu, maka terlihat DPD memiliki fungsi yang tanggung apalagi jika dikaitkan dengan sistem dua kamar atau bikameral dalam sistem keparlemenan di Indonesia. Sebab, jika melihat konstruksi MPR pasca perubahan UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka sistem keparlemenan di Indonesia mengindikasikan penggunaan sistem dua kamar. Namun akibat keterbatasan fungsi yang dimiliki DPD, maka DPD tidak dapat berfungsi sebagai kamar kedua secara optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka muncul permasalahan yaitu bagaimana perdebatan proses pembentukan DPD dalam rapat Panitia Ad Hoc I Dalam Sidang Tahunan MPR 2001 sehingga menghasilkan DPD yang Iemah? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara/perbincangan dengan beberapa anggota PAH I BP MPR serta dengan melakukan penelusuran dokumen terutama risalah rapat dan dokumen yang berkaitan. Selanjutnya melalui tahapan penelitian mulai dan pengumpulan dan penyusunan data, penafsiran data dan terakhir penarikan kesimpulan, maka dihasilkan sebuah hasil penelitian tentang DPD. Sebagai landasan teoritis, digunakan teori bikameralisme serta contoh praktek bikameralisme di berbagai negara guna memberikan landasan dan gambaran dalam melihat bentuk DPI). Secara mendasar, Patterson dan Mughan menyatakan bahwa fungsi utama dari 'Senat atau nama lainnya adalah untuk menjalankan fungsi representasi (perwakilan) serta fungsi redundancy atau pemberian pendapat dalam proses pembentukan UU atau kebijakan. Sementara Lijphart menyatakan bahwa kehadiran kamar kedua diarahkan untuk meredam agresifitas kamar pertama. Berdasar teori tersebut, maka dapat kita lihat bagaimana latar belakang terbentuknya DPI) dalam UUD 1945 apakah sudah menggambarkan sebuah upper chamber atau belum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perdebatan yang terjadi relatif kondusif, meskipun terdapat beberapa perbedaan yang tajam antar fraksi. Fraksi PDIP menyatakan bahwa konstruksi yang tepat bagi DPD adalah hanya sebagai penampung pluralitas daerah-daerah, sehingga tidak perlu diberikan fungsi yang kuat apalagi ikut membahas dalam proses pembentukan UU. Begitu juga dalam hal pengawasan, DPD tidak perlu memiliki fungsi yang kuat, karena nantinya akan menjadi bias. Sementara Fraksi Partai Golkar memberikan pandangan bahwa sebaiknya DPD diberikan fungsi yang kuat sebagaimana Senat di Amerika Serikat. Sehingga DPD dapat melakukan fungsi sebagai kamar kedua dengan maksimal. Perbedaan lain adalah dalam hal pengg'.inaan sistem bikameral. Fraksi PDIP menyatakan bahwa dengan hadirnya DPD bukan berarti berlaku sistem bikameral atau dua kamar dalam sistem keparlemenan di Indonesia, sebaliknya Fraksi Partai Golkar menyatakan bahwa dengan hadirnya DPD berarti sistem yang berlaku adalah sistem bikameral (dua kamar). Fraksi-fraksi Iain seperti Fraksi PPP, Fraksi Reformasi, Fraksi TNI/POLRI dan Fraksi Utusan Golongan cenderung berpikir moderat. Artinya sangat dimaklumi bahwa DPD hadir untuk menampung pluralitas sekaligus meningkatkan derajat keterwakilan daerah di tingkat nasional, namun tetap diperlukan fungsi yang relatif memadai bagi DPD baik dalam hal legislasi maupun pengawasan. Pendapat fraksi-fraksi .tersebut bermuara bahwa perlu bagi DPI) untuk terlibat atau "ikut membahas" dalam proses pembahasan UU di DPR. Selanjutnya, dengan hadirnya DPD berarti secara tidak langsung berlaku sistem bikameral atau dua kamar. Tetapi diakui bahwa sistem bikameral yang ada bukanlah sistem bikameral yang kuat (strong bicameral), tetapi cenderung soft bicameral atau bikameral lunak. Jika dikomparasikan dengan negara lain, maka memang tidak semua kamar kedua atau senat atau nama lainnya memiliki posisi yang sangat kuat. Namun alangkah baiknya jika kita melihat praktek di Filipina yang memiliki kemiripan dengan Indonesia mulai dari bentuk negara yang kesatuan, sistem pemerintahan yang presidensiil serta bentuk republik. Meskipun demikian, untuk menerapkannya memerlukan waktu dan penyesuaian. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa sistem keparlemenan yang berlaku di Indonesia setelah hatiimya DPD adalah sistem bikameral atau dua kamar, tetapi soft atau lunak. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945. Selanjutnya perdebatan yang muncul dalam rapat Panitia Ad Hoc I Dalam Sidang Tahunan MPR 2001 berakhir kompromi tanpa voting. Namun demikian capaian maksimal ketentuan tentang DPD dalam UUD 1945 terlihat serba tanggung, meskipun diakui sudah merupakan kemajuan yang cukup berarti dalam rangka penataan mekanisme checks and balances.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arief
Abstrak :
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Kegiatan pembangunan nasional tidak lepas dari peran seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) yang memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing. Dalam upaya memperbesar peran dan kcmampuan daerah dalam pembangunan, Pemda dituntut untuk lebih mandiri di bidang keuangan untuk membiayai operasional rumah tangganya sendiri dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. PAD (Pendapatan Asli Daerah) hanya merupakan sebagian dari sumber keuangan daerah untuk membiayai kegiatan rulin dan pembangunan di samping sumber-sumber lainnya. Selengkapnya sumber keuangan daerah terdiri dari : a. PADS (Pendapatan Asli Daerah Sendiri), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD, penerimaan dari dinas daerah, dan penerimaan lain-lain;? b. Bagi hasil pajak dan bukan pajak, seperti PBB dan iuran hasil hutan; c. Subsidi dan bantuan Pusat, seperti SDO (Subsidi Daerah Otonom)1 dan Bantuan Inpres; d. Penerimaan lain yang sail. 1 Sebagian besar SDO dialokasikan untuk belanja pegawai daerah. Berdasarkan UU No.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, Pajak ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak serta penerimaan dinas dan penerimaan lainnya merupakan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Subsidi dan bantuan Pusat merupakan transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan rutin dan pembangunan daerah dimana kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi melelui pendapalan asli daerah (terutama rendahnya pendapatan dari pajak daerah dan retribusi daerah). Dalam kerangka pembiayaan daerah otonom, pada prinsipnya kedudukan bantuan Pusat bersifat pelengkap, sementara PAD diharapkan lebih berperan. Namun dalam kenyataannya subsidi dan bantuan (SDO dan Inpres) merupakan bagian terbesar dari penerimaan Pemda dalam rangka menjamin terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan daerah, dan PAD sebaliknya kecil. (Tabel 1). Tabel 1 Posisi PAD dalam Penerimaan Total Daerah Tk.l No Uraian 1979/80 1983/84 1988/89 1989/90 1990/91 1 PAD 30,4 24,3 30,2 31,6 35,5 3 Subsidi & Bantuan Pusat 69.6 75.7 69.8 68.4 64.5 Total Penerimaan 100 100 100 100 100 Sumber: Shah dkk. (1994 p.85) Hasil penelitian Anwar Shah dkk.2, membuktikan bahwa subsidi dan bantuan Pusat itu berperan dua pertiga dari pengeluaran APBD. Seperti tertera pada label 1 bahwa subsidi dan bantuan Pusat dalam penerimaan APBD I sejak 1979/80 sampai dengan 1990/91 rata-rata lebih dari 65%, sedangkan peranan PAD yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, penerimaan dinas daerah, ditambah shared tax dan nontax seperti PBB, iuran hasil hutan dll, rata-rata 30%. Hal ini menandakan bahwa Dati I masih tergantung dari pembiayaan yang dialokasikan dari Pusat berupa subsidi dan bantuan Pusat. Studi mengenai program transfer ini juga dilakukan Robert S Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld3 dalam buku Econometrics Models and Economic Forcast, Me Graw Hill Internasional edition, Singapore tahun 1991. Yang menyimpulkan bahwa variabel yang berpengaruh pada pengeluaran pemerintah (EXP) terdiri dari: a. Subsidi dan bantuan (AID) b. Penerimaan Asli Daerah (INC), dan c. Jumlah penduduk (POP). Selanjutnya menurut mereka, secara simultan AID dipengaruhi oleh EXP dan jumlah anak pada sekolah dasar dan lanjutan (PS). Formulasi matematis dari model ini dikemukakan dalam persamaan simultan4 sebagai berikut: - Anwar Shah, et al,, Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia, Isitws ami Reform Options. World Bank Discussion Papaers, No.239,1994. 3 Kutipan dari Daryono Soebagyo, Anahxis Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia, Tesis S-2 UI, 1994. (Tidak DiterWlkan). - Persamaan simuttan adalah suatu keadaan dimana di dalam sisiem persamaan suatu variabel sekaligus mempunyai dua peranan yaicu sebagai independent variable (variabel bebas) dan dependent variabel (variabel terikat). Dalam konteks sistem persamaan ini adalah variabel EXP dan AID.
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwansyah
Abstrak :
Perubahan paradigma yang panting dilakukan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah adalah adanya konsistensi pemerintah daerah terhadap pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum good governance. Berbagai karakteristik utama good governance merupakan pilar dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Efektivitas, efisiensi, dan transparansi yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah wujud akuntabilitas kinerja pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dan stakeholders akan meningkat apabila akuntabilitas publik dari pemerintah dapat terlaksana sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Prinsip-prinsip hukum good governance merupakan definisi yang berkaitan dengan aturan-aturan, segala proses dan tingkah laku yang mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahannya melalui berbagai aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara. Dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahannya, pemerintah bertanggung jawab terhadap program perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya, sesuai peraturan perundang-undang yang berlaku. Satu bagian program pembangunan adalah bidang pendidikan (dasar) yang telah menjadi kebijakan nasional, serta diimplementasikan pada tingkat daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Pembahasan mengenai kebijakan anggaran (APBN dan APBD) terkait dengan alokasi anggaran belanja publik dalam pembiayaan perencanaan pembangunan khususnya bidang pendidikan dasar merupakan suatu kenyataan hukum yang parlu dilakukan kajian secara sistematik dan menyeluruh dalam perspektif good governance. Berdasarkan data yang diperoleh, kebijakan anggaran Pemerintah Kota Medan khususnya dalam bidang pendidikan maaih terdapat berbagai hambatan. Dengan pemberdayaan dan pendayagunaan kepemerintahan yang balk, Pemerintah Kota Medan dapat memanfaatan segala potensi untuk keberlangsungan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Wirdayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang ?implementasi Kebijakan Konversi Desa Menjadi Kelurahan di Kota Depok Tahun 2001-2006?. Penelitian ini penting dilakukan karena dengan berkernbangnya wilayah Depok secara sosio-administratif mengakibatkan Depok berubah status bukan lagi tergabung dalam 'wilayah Dati II Kabupaten Bogor melainkan sudah menjadi Kota. Dengan adanya peningkatan status dari kota administratif menjadi kota, maka Depok mengalami banyak perubahan yang meliputi tata kota dan tata wilayahnya. Hal ini dipertegas dengan diimplementasikannya Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 09 Tahun 2001 Tentang Konversi Desa Menjadi Kelurahan di Kota Depok, sehingga sebanyak 38 desa yang berada di 4 wilayah kecamatan di Kota Depok dikonversi menjadi kelurahan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan mempergunakan jenis penelitian deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan irnplementasi kebijakan konversi desa menjadi kelurahan di Kota Depok dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan konversi desa menjadi kelurahan di Kota Depok. Sumber datanya adalah informan yang didukung oleh dokumen dan studi kepustakaan serta observasi langsung ke lapangan. lnstrumen penelitian meliputi peneliti sendiri dengan pedoman wawancara, dengan prosedur penelitian rnelalui wawancara dan diskusi secara mendalam. Data yang diperoleh dari lapangan akan di olah sesuai dengan kebutuhan penelitian dan akan dianalisis dengan teori yang terkait dengan penelitian.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah rnencakup konsep desentralisasi dan konsep mengenai otonomi daerah dan darah otonom, konsep mengenai desa dan kelurahan serta berbagai model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn, George C Edwards III dan Merille S. Grindle.

Hasil penelitian menunjukkan faktor komuuikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan konversi desa menjadi kelurahan di Kota Depok.

Berdasarkan temuan lapangan bahwa implementasi kebijakan konversi desa menjadi kelurahan sudah berjalan dengan baik karena tidak terdapat resistensi/ perlawanan dari pihak masyarakat, aparat perangkat desa dan aparat kelurahan. Aparatur kelurahan merupakan ujung tombak terdepan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, dari segi kuantitas jumlah pegawai kelurahan sudah cukup banyak, namun dari segi kualitas dirasakan masih kurang dan hal ini menjadi permasalahan bagi pemerintah daerah Kota Depok. Oleh sebab itu perlu ada kebijakan dan strategi yang diambil untuk meningkatkan kualitas aparaturya, sehingga dapat melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
2007
T22427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>