Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riesta Gozali
Abstrak :
ABSTRAK
Hipersensitivitas dentin merupakan salah satu masalah yang cukup banyak dijumpai dalam dunia kedokteran gigi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan frekwensi dan lama 'burnishing ' pernis NaF 5% yang paling efektif pada perawatan hipersensitivitas dentin. Penelitian ini dilakukan pada 40 subyek dan melibatkan 60 gigi sampel dengan keluhan hipersensitivitas dentin. Gigi sampel dibagi menjadi 3 kelompok. Tiap kelompok gigi sampel dilakukan burnishing pernis NaF 5% pada daerah hipersensitif selama 30"/60"790". Burnishing pernis NaF 5% dilakukan dengan tusuk gigi penampang bulat. Ambang rangsang sakit diukur dengan penguji vitalitas pulpa elektris merek Dentotest TB-09. Pengukuran ambang rangsang sakit dilakukan sebelum burnishing pernis NaF 5% pada tiap 0 hari, 7 hari, 14 hari . Pengukuran pada hari ke-21 untuk mengevaluasi perawatan pada hari ke-14. Analisis data dengan uji satistik : uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, frekwensi burnishing pernis NaF 5% tergantung pads derajat sensitivitas awal dari gigi. Gigi yang makin sensitif memerlukan frekwensi burnishing yang lebih banyak, sedangkan lama burnishing pernis NaF 5% yang paling efektif terhadap hipersensitivitas dentin adalah 90".
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sungkar, Amru
Abstrak :
Latar belakang :Angka kekerapan rekonstruksi payudara pascamastektomi di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan angka kekerapan mastektomi, banyak faktor yang menyebabkan rendahnya angka kekerapan rekonstruksi antara lain faktor tingkat pengetahuan rekonstruksi payudara dan sikap terhadap rekonstruksi yang dimiliki oleh penderita kanker payudara. Tujuan : Untuk mendapatkan hubungan antara faktor demografik dan jenis spesialis bedah dengan tingkat pengetahuan dan sikap subyek terhadap rekonstruksi payudara. Metodologi : suatu studi potong lintang (cross sectional) yang melibatkan 96 subyek pasien kanker payudara yang sudah menjalani mastektomi (71 subyek) dan yang belum menjalani mastektomi (25 subyek) di divisi bedah onkologi RSCM,RS Dharma Nugraha dan RS Kanker Dharmais dalam kurun waktu Agustus sampai Desember 2005. Instrumen yang digunakan didalam penelitian adalah kuesioner yang dibuat sendiri untuk mengetahui tingkat pengetahuan rekonstruksi dan sikap terhadap rekonstruksi. Data yang terkumpul dilakukan analisa dan uji statistik bivariat dan multivariat dengan komputer menggunakan program SPSS 11,5 Windows. Hasil : Hanya satu subyek yang memiliki tingkat pengetahuan baik, sebagian besar subyek (92%) memberikan sikap positif terhadap rekonstruksi payudaraVariabel yang memiliki hubungan dengan tingkat pengetahuar. adalah jenis spesialis bedah yang melakukan operasi (p = 0,016). Faktor demografik dan jenis spesialis bedah tidak memengaruhi sikap terhadap rekonstruksi. Simpulan : Pasien yang mendapat pelayanan spesialis bedah tumor memiliki pengetahuan lebih baik bila dibandingkan dengan subyek yang mendapat pelayanan dari spesialis bedah atau fellow bedah tumor. Kata kunci : Kanker payudara, rekonstruksi payudara, spesialis bedah tumor, pengetahuan , sikap.
Back ground: The prevalence of breast reconstruction post mastectomy in Indonesia is very rare (underreported) comparing with the prevalence of mastectomy alone, Many factors were reported had responsible for the low incidence breast reconstruction such as breast reconstruction knowledge level or attitude toward breast reconstruction. Purpose: To search for correlation between demographic factors and type of surgeon who did the surgery with the patient's breast reconstruction knowledge level and patient's attitude toward breast reconstruction. Methodology: A cross sectional study was done from October through December 2005, a total of 96 subjects who had breast cancer, 71 subjects underwent mastectomy and 25 subjects who did not. The research was done at RSCM, Dharma Nugraha hospital and Dharmais hospital.Self made questionnaire was used to establish the knowledge level and attitude toward breast reconstruction. Analysis of variables was done by bivariate analysis and multivariate analysis with logistic regression using SPSS 11, 5 Windows program. Result: There was the only one subject had a good knowledge level about breast reconstruction but most of the subjects had positive attitude toward breast reconstruction. The only significant variable for the patient's knowledge level is the type of surgeon who did the surgery (p = 0,016). Conclusion: The subjects whom were taken care by oncology surgeon had breast reconstruction knowledge level better than the subjects whom were taken care by general surgeon or fellow oncology surgeon. Keywords: Breast cancer, breast reconstruction, oncology surgeon, knowledge, attitude.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Poernomo
Abstrak :
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian terhadap BO kasus kekerasan tumpul di kepala dengan hasil - hasil sebagai berikut . 92,5 % kasus merupakan korban kecelakaan lalu lintas dengan benturan paling banyak ditemukan di daerah temporal kanan dan kiri masing - masing frekwensinya 27,5 7. dan 12,5 7.

Daerah basis yang sering mengalami fraktur adalah di daerah fossa media sebanyak 84,50 % dan ditemukan hanya 34 kasus (42,5 %) fraktur basis yang merupakan kelanjutan dari fraktur di daerah atas tengkorak. Pola garis fraktur yang paling sering ditemukan adalah pola garis fraktur sesisi 58,75 % dan melintang 17,5 7. Benturan pada daerah temporal dan parietal relatif banyak menimbul kan pola fraktur melintang khususnya mengenai kedua os petrosus.

Hanya 26 kasus (49,14 %) fraktur basis yang menunjukkan adanya tanda rhinorhea, otorrhea atau hematom kaca mata.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Kusumawardani
Abstrak :
ABSTRAK
Positron Emission Tomography (PET) telah dikenal sebagai modalitas molecular imaging yang sering memberikan informasi yang mendahului hasil pencitraan anatomi dari modalitas lain seperti Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance (MR). Keunggulan PET untuk mendeteksi uptake yang sangat sedikit dari FDG dapat memberikan informasi abnormalitas pada organ, salah satunya pada otak. Pencitraan modalitas PET digunakan untuk mendiagnosis apabila terdapat abnormalitas dalam organ serta untuk memantau keberhasilan perlakuan radioterapi. Pada pencitraan otak menggunakan 2-Deoxy-2-[18F] fluoroglucose (FDG) uptake yang kecil tidak mudah dikenali secara visual, sehingga perlu menggunakan metode yang dapat membantu untuk mendeteksi. Dengan adanya teknik Computer-Aided Diagnosis (CAD) berupa segmentasi dan klasifikasi menggunakan citra PET diharapkan memberikan informasi abnormalitas dengan ukuran kecil yang tidak tampak secara visual. Pada penelitian ini, dikembangkan CAD menggunakan citra otak dengan modalitas PET untuk mendeteksi abnormalitas otak dengan metode klasifikasi menggunakan ekstraksi fitur berupa Gray Level Co-Occurrance Matrix (GLCM), intensity histogram, dan Gray Level Run Length Matrix (GLRLM) sebagai dataset dari klasifikasi teknik Artificial Neural Network (ANN). Hasil klasifikasi yang dievaluasi menggunakan Receiver Operating Characteristic (ROC) dengan hasil error pelatihan terkecil 1.92 ± 0.70 % dan error pengujian terkecil 12.30 ± 3.47%. Hasilnya menunjukkan bahwa sistem CAD yang dikembangkan dapat mengenali citra otak normal dan abnormal.
ABSTRACT
Positron Emission Tomography (PET) is well known as a molecular imaging modality that provides functional organ information. This information supports the results of anatomical imaging from other modalities such as Computed Tomography (CT) and Magnetic Resonance Imaging (MRI). This superiority is due to the ability of PET to detect of small amount uptake from 2-Deoxy-2-[18F] fluoroglucose (FDG) which provide for information about abnormalities of organs, especially in the brain. Therefore, PET imaging is powerful to diagnose the presence of abnormalities, staging cancer, and evaluating radiotherapy treatment results. In brain PET imaging sometimes, small uptake is not easily visual recognized, hence an additional supporting method for its detection is needed. In this study, Computer-Aided Diagnosis (CAD) of brain abnormalities from PET images using classification methods based on a feature in the form of Gray Level Co-Occurrence Matrix (GLCM), intensity histogram, dan Gray Level Run Length Matrix (GLRLM) as a dataset of Artificial Neural Network (ANN). The result based on Receiver Operating Characteristic (ROC) illustrated that the training error was 1.92 ± 0.70 % and the test error was 12.30 ± 3.47%. These results mean that this developed CAD system can recognize normal and abnormal brain images.
2019
T53798
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Dwi Hidayati
Abstrak :
Latar Belakang: USG payudara dan mamografi secara luas digunakan sebagai modalitas diagnostik yang efektif untuk mengevaluasi kelainan payudara. Derajat keganasan histopatologis berperan penting dalam manajemen karsinoma payudara. Ketersediaan pemeriksaan histopatologis yang terbatas dan sebaran pemeriksaan USG dan mamografi yang lebih luas diharapkan dapat membantu klinisi dalam menentukan penatalaksanaan karsinoma payudara lebih dini. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan nilai mamografi serta USG payudara dengan mengetahui keterkaitan temuan morfologis lesi berdasarkan USG payudara dan mamogram yang dapat mengidentifikasi derajat keganasan histopatologis karsinoma payudara. Metode: Studi retrospektif ini melibatkan subyek dengan karsinoma payudara primer yang menjalani USG dan mamografi serta belum menjalani prosedur apapun. Temuan USG dan mamogram dianalisis dan dikorelasikan dengan derajat keganasan histopatologis. Variabel dianalisis menggunakan uji chi-square dan Kolmogorov-Smirnov. Hasil: Diperoleh 174 subyek karsinoma payudara. Usia rerata subyek 52 tahun. Ukuran massa <5 cm paling banyak ditemukan (61,1%) dan memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat keganasan histopatologis (p<.05). Batas lesi, ekhogenisitas lesi dan kalsifikasi lesi pada USG (p <.05) berhubungan dengan derajat keganasan histopatologis. Sedangkan untuk bentuk lesi, bentuk irregular lebih banyak ditemukan dibandingkan lesi lain dengan distribusi yang hampir sama antara derajat 1, 2, dan 3. Proporsi batas lesi paling banyak di derajat 3 yakni batas tidak tegas. Ekhogenisitas heterogen lebih sering ditemukan pada tumor derajat 2 dan lesi hipoekhoik lebih banyak ditemukan pada tumor derajat 3. Saat dilakukan analisis tambahan dengan membagi derajat keganasan menjadi 2 grup (derajat rendah dan derajat tinggi), batas dan orientasi lesi pada USG (p <.05) berhubungan dengan derajat keganasan histopatologis sedangkan kalsifikasi lesi dan ekhogenisitas lesi tidak berhubungan. Tidak ada hubungan antara karakteristik lesi pada mamogram (densitas payudara, bentuk, batas, densitas lesi, dan kalsifikasi) dengan derajat keganasan histopatologis (nilai p > 0,05). Proporsi batas spikulasi lebih banyak ditemukan pada lesi derajat rendah. Simpulan: Orientasi pararel lebih banyak ditemukan pada tumor derajat tinggi. Batas tidak tegas paling banyak ditemui di kedua kelompok derajat keganasan namun proporsi lebih banyak ditemukan pada lesi derajat tinggi. Tidak ditemukan hubungan signifikan antara morfologis lesi pada mamogram dengan derajat keganasan. ......Background: Breast ultrasonography (USG) and mammography are widely used as effective diagnostic modalities to evaluate breast abnormalities. Histological grade plays big role in management of breast carcinoma. The purpose of this study was to increase the value of mammography and ultrasound. Also, knowing which features on ultrasound and mammogram that can predict histological grade. The limited availability of histopathological examinations and better access of ultrasound and mammography can assist clinicians in management of breast carcinoma. Method: A retrospective study was conducted by reviewing imaging of women with breast cancer who had not undergone any procerdure. Mammogram and US findings were analyzed in compliance with operational definition and later compared with histopathological data. All variables were analyzed using chi-square and Kolmogorov-Smirnof. Result: Mean age at diagnosis of breast cancer was 52 years. Tumor size <5 cm was the most common (61.1%) and had significant relation with tumor grade (p<.05). In terms of ultrasound findings, the only differential findings between ultrasound findings and histopathological grade were margin, echogenicity, and calcifications (p < .05). As for the shape of the lesions, an irregular shape was more observed compared to other lesions with almost equal distribution between grade 1, 2, and 3. Heterogene echogenicity was more frequently found on grade 2 and hypoechoic lesions were more common in grade 3 tumor. When additional analysis was carried out by dividing the histological grade into 2 groups (low grade and high grade), margin and orientation on the ultrasound (p <.05) had relation to tumor grade while the calcification of the lesion and the echigenicity were not related. No significant difference between mammogram features (breast density, shape, margin, lesion density, and calcifications) and tumor grade (p>.05). The proportion of spiculated margin in mamogram is more common in low-grade lesions. No significant association between ultrasound features (shape, echogenicity, posterior pattern, and calcifications) with histological grade. Conclusion: Margin and orientation of the lesion on ultrasound have a relationship with histological grade. Parallel orientation is more common seen in high-grade tumors. Indistinct borders were commonly found in both groups; however, a higher proportion was found in high-grade lesions. No significant relation was found between mammogram features and tumor grade
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athira Astari
Abstrak :
Latar Belakang: Celah bibir dan palatum merupakan salah satu kelainan kongenital yang paling sering terjadi. Kelainan ini dapat menyebabkan kendala dalam berbicara, abnormalitas telinga tengah, masalah psikologis, serta kelainan dental seperti anodontia parsial dan supernumerary teeth. Perawatan autologous alveolar bone grafting yang diambil dari tulang ilium pasien merupakan standar perawatan bagi pasien celah bibir dan palatum. Namun, pengambilan tulang tersebut bersifat invasif dan memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Teknik rekayasa jaringan yang terdiri dari scaffold, faktor pertumbuhan, dan sel punca dapat menjadi solusi untuk masalah tersebut. Sumber donor sel punca yang tidak invasif bisa didapatkan dari sel punca pulpa gigi sulung (SHED) dan sel punca pulpa gigi permanen (DPSCs). Salah satu syarat dapat digunakannya suatu sel punca adalah memiliki kapasitas proliferasi yang baik. Perbandingan antara kapasitas proliferasi SHED dan DPSCs pada pasien normal telah diketahui, namun pada pasien celah palatum belum pernah diteliti. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kapasitas proliferasi sel punca pulpa gigi sulung dan sel punca pulpa gigi permanen pasien celah bibir dan palatum. Metode: SHED dan DPSCs pasien celah bibir dan palatum dikultur hinga tingkat confluency 70-80%, setelah itu sel dipanen dan dilakukan Uji PDT pada sel yang telah dikultur selama 7 hari. Hasil: SHED pasien celah bibir dan palatum menunjukkan nilai PDT yang lebih tinggi dibandingkan dengan DPSCs, namun secara statistik perbedaan tersebut tidak berbeda bermakna. Kesimpulan: SHED dan DPSCs penderita celah bibir dan palatum memiliki kapasitas proliferasi yang sama baiknya. ......Background: Cleft lip and palate is one of the most common congenital abnormalities. This disorder can cause speech impediments, middle ear abnormalities, psychological problems, and dental abnormalities such as partial anodontia and supernumerary teeth. Treatment of autologous alveolar bone grafting taken from the patient's ilium bone is the standard of care for cleft lip and palate patients. However, bone removal is invasive and carries a high rate of morbidity and mortality. Tissue engineering techniques consisting of scaffolds, growth factors, and stem cells can be a solution to the problem that. Sources of non-invasive stem cell donors can be obtained from primary dental pulp stem cells (SHED) and permanent dental pulp stem cells (DPSCs). One of the conditions for the use of a stem cell is to have a good proliferative capacity. Comparison between the proliferative capacity of SHED and DPSCs in normal patients known, but in cleft palate patients it has not been studied. Objective: This study was aimed to compare the proliferative capacity of pulp stem cells of primary teeth and pulp stem cells of permanent teeth in cleft lip and palate patients. Methods: SHED and DPSCs of cleft lip and palate patients were cultured to level 70-80% confluency, after that the cells were harvested and PDT test was performed on cells that had been cultured for 7 days. Results: SHED of cleft lip and palate patients showed a higher PDT value than DPSCs, but statistically the difference was not significantly different. Conclusion: SHED and DPSCs patients with cleft lip and palate have the same good proliferative capacity.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Danang Ambar Prabowo
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
D1752
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shanty Olivia Febrianti Jasirwan
Abstrak :
Pengantar: Zigot tiga pronukleus (3PN) merupakan salah satu hasil dari fertilisasi abnormal yang sering yang diamati dalam teknologi fertilisasi in vitro, dan biasanya tidak dikultur dan ditransfer atas pertimbangan risiko kelainan kromosom. Namun, informasi mengenai perkembangan dan komposisi genetik embrio 3PN tersebut bermanfaat untuk mempertimbangkan apakah embrio tersebut dapat ditransfer atau tidak apabila tidak didapatkan embrio 2PN ataupun embrio yang dihasilkan sangat sedikit. Tujuan: Untuk mengetahui status kromosom embrio 3PN dan menganalisis hubungan antara morfologi embrio 3PN dan status kromosomnya. Hasil: Tiga puluh zigot 3PN dari 16 pasangan/siklus intracytoplasmic sperm injection (ICSI) diperoleh selama periode 6 bulan. Biopsi dilakukan pada embrio 3PN hari ke-5/6 dan selanjutnya dilakukan skrining genetik menggunakan metode Next Generation Sequencing (NGS). Dari 30 embrio 3PN tersebut, 66,7% memiliki kromosom yang abnormal. Pada tahap pembelahan, tidak didapatkan hubungan antara semua parameter morfologi embrio 3PN dengan status kromosomnya. Sebaliknya, pada tahap blastokista, derajat ekspansi blastokista <3 memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara bermakna daripada derajat ekspansi lainnya (90%, P = 0,05). Begitu pula dengan derajat intracellular mass (ICM) dan trofektoderm (TE), embrio dengan derajat ICM bukan A dan TE bukan A memiliki kelainan kromosom yang lebih tinggi secara signifikan (masing-masing 100,0%, P = 0,001 dan 93,3%, P = 0,001). Kesimpulan: status kromosom embrio 3PN berhubungan secara bermakna dengan parameter morfologinya pada tahap blastokista, sehingga penilaian morfologi embrio 3PN pada tahap blastokista dapat digunakan bersama-sama dengan preimplantation genetic screening (PGS) dalam menyeleksi embrio yang euploid supaya dapat ditransfer apabila tidak didapatkan embrio 2PN lainnya. ......Introduction: Three pronuclear (3PN) zygote is one of the most frequently abnormal fertilization observed in IVF/ICSI technology, which are usually discarded as there are concerns about their abnormal chromosomal constitution. However, because in certain cases there are no other embryos available, new information would be valuable to consider transferring or discarding them. Aim: To analyze the chromosomal constitution 3PN embryos and to investigate the relationship between its morphology and the chromosomal status. Results: Thirty 3PN zygotes from 18 cycles were reviewed during a 6-month period. Biopsy was performed on day 5/6 which were subsequently screened for chromosomal status by Next Generation Sequencing (NGS) method. Of the 30 3PN embryos, 66.7 % were chromosomally abnormal. At the cleavage stage, there were no association between all morphological features and chromosomal status. In contrast, at blastocyst stage, a grade <3 blastocyst expansion had significantly higher chromosomal abnormality than the other grade of expansions (90%, P=0.05). As regards to intercellular mass (ICM) and trophectoderm (TE), embryos with grade non-A ICM and TE had a significantly higher chromosomal abnormality (100.0%, P=0.001 and 93.3%, P=0.001 respectively). Conclusion: chromosomal status and 3PN embryo morphology are linked at the blastocyst stage, and thus morphology asessment of 3PN blastocysts can be used in conjunction with PGS to select which embryo should be transferred when no other embryos from 2PN ICSI zygotes are available.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kenzaburo Oe
Tokyo : Charles E. Tuttle, 1968
895.63 KEN pt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
A manual that is designed to support the diagnosis and management of oral soft tissue diseases for busy dental practitioners. It depicts lesions with one or more color photographs that illustrate typical clinical features. It includes recommendations for patient management, sample prescriptions, and monographs for drugs commonly used in treatment.
Ohio : Lexicomp, 2013
616.31 ORA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>