Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Nizar
"Baku mutu (BM) SO2 ambien Indonesia untuk rata-rata waktu 24-jam sebesar 365 μg/m3 yang diatur di dalam PP No 41 Tahun 1999 paling longgar dibandingkan dengan BM SO2 ambien negara-negara lain di dunia termasuk BM panduan WHO. BM ini diperkirakan belum menjamin perlindungan kesehatan masyarakat dan lingkungan di Indonesia. Oleh karenanya diperlukan BM alternatif untuk SO2 ambien yang lebih ketat. Penelitian ini mengkaji nilai manfaat dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan jika Indonesia melakukan pengetatan BM SO2 ambien. Dua alternatif BM untuk SO2 yang digunakan adalah 78 μg/m3 mengacu pada U.S. EPA dan 300 μg/m3 mengacu pada PUSARPEDAL. Langkah pertama adalah memetakan persebaran konsentrasi SO2 ambien di Indonesia. Hasilnya mengindikasikan bahwa Provinsi DKI Jakarta dan Banten telah melebihi kedua BM alternatif sedangkan Provinsi DIY, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara hanya melebihi BM alternatif 78 μg/m3.
Dari aspek sosial, jika DKI Jakarta dan Banten memenuhi BM alternatif 300 μg/m3 akan menurunkan kejadian ISPA 98% dan 95%. Untuk Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara, jika memenuhi BM alternatif 78 μg/m3 akan menurunkan kejadian ISPA masing-masing 59%, 51% dan 5%. Dari aspek ekonomi, pemenuhan BM alternatif 300 μg/m3 memberikan manfaat penurunan kejadian ISPA di Indonesia antara Rp 171.400.000-Rp 4.030.000.000, sedangkan pemenuhan BM alternatif 78 μg/m3 memberikan manfaat ekonomi lebih besar: antara Rp 233.900.000-Rp 5.499.000.000. Dari aspek lingkungan, disimpulkan bahwa pemenuhan BM alternatif 300 dan 78 μg/m3 memberikan nilai pH (keasaman) air hujan masingmasing 5,05 dan 5,31.

Indonesia quality standard (QS) for ambient SO2 for 24-hour time average i.e. 365 μg/m3 regulated in the Government Regulation No. 41 of 1999 is the most loose compared to the ambient SO2 standards of other countries in the world including WHO QS guideline. This QS is not expected to guarantee the protection of public health and environment in Indonesia. Therefore more stringent QS alternative for ambient SO2 is required. This research examines benefit values in social, economic and environmental aspects if Indonesia tightens its ambient SO2 QS. Two alternative QS for SO2 are used i.e 78 referring to U.S. EPA and 300 μg/m3 referring to PUSARPEDAL. First step is to map distribution of SO2 ambient concentrations in Indonesia. The result indicates that Provinces of Jakarta and Banten have exceeded both alternative QS while Provinces of Yogyakarta, West Java, Central Java, East Java, Bali and North Sumatra only exceed the alternative QS of 78 μg/m3.
From the social aspect, by attaining to the alternative QS of 300 μg/m3, Jakarta and Banten will reduce incidence of ARI by 95% and 98%. By attaining to the alternative QS of 78 μg/m3, East Java, Bali and North Sumatra will reduce the incidence of ARI by 59%, 51% and 5%. From the economic aspect, the attainment to the alternative standard of 300 μg/m3 gives economic value of the decrease of ARI incidence ranging from Rp 171.4 millions to Rp 4.03 billions in Indonesia. The attainment to the alternative QS of 78 μg/m3 gives economic value ranging from Rp 233.9 millions to Rp 5.499 billions. From the environmental aspect, it is concluded that the attainment to the alternative standards of 300 and 78 μg/m3 provide rainwater pH value of 5.05 and 5.31 respectively.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Wardani
"Studi ini bertujuan memprediksi dampak kebijakan penurunan emisi di Indonesia yang berdasarkan pada kebijakan pada Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK) Indonesia. Studi ini menggunakan metode analisis Input-Output untuk mengestimasi dampak kebijakan terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan kesempatan kerja, dengan menggunakan data Tabel Input-Output Indonesia tahun 2016 dan data emisi Indonesia dari tahun 2010 hingga 2020. Hasil studi ini menunjukkan bahwa sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan merupakan sektor yang paling terpengaruh akibat kebijakan penurunan emisi, dan kebijakan penurunan emisi ini secara umum memberi dampak cukup besar terhadap perekonomian Indonesia.

This study aim to predict the impact of implementing emission reduction policies to Indonesian economy based on National Action Plan on Green House Gas Emission Reduction or RAN GRK Indonesia. This study used Input-Output analysis method to estimate the policy impact on domestic output, gross added value, income, and employment opportunities based on Indonesia’s Input-Output table 2016 and Indonesia’s emissions data from 2010-2019. The result of this study shows that Agriculture, Livestock, Forestry and Fisheries is the sector that mostly affected by the emission reduction policies, and the policies that is implemented to reduce emissions have quite an impact on Indonesian economy."
2022: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Tri Wulandari
"ABSTRAK
Pajanan PM2.5 berhubungan dengan kematian akibat penyakit kardiovaskular dan
pernafasan. Konsentrasi PM2.5 meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah
kendaraan bermotor. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi besarnya risiko
yang muncul pada pekerja sebagai populasi berisiko di Terminal Terpadu Kota
Depok akibat pajanan PM2.5 di udara ambien. Besar risiko dianalisis
menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan. Untuk menghitung
besarnya risiko dilakukan sampling konsentrasi PM2.5 pada 3 titik yang diukur
pada pagi, siang, dan sore, serta survei antropometri dan pola aktivitas pada 63
pekerja di terminal. Konsentrasi rata-rata PM2.5 adalah 61,67 μg/m3. Hasil
perhitungan risiko realtime maupun lifetime menunjukkan bahwa seluruh
kelompok pekerja memiliki risiko non karsinogenik (RQ>1) dengan asupan
sebesar 0,005 mg/kg/hari dan 0,0106 mg/kg/hari. Berdasarkan jenis pekerjaan,
perhitungan secara realtime maupun lifetime, semua jenis pekerjaan memiliki
risiko non karsinogenik. Manajemen risiko yang dapat dilakukan adalah
menurunkan konsentrasi PM2.5 hingga pada batas aman yaitu 23 μg/m3 atau
membatasi waktu pajanan menjadi 5 jam sehari atau 123 hari setahun atau 11,3
tahun.

ABSTRACT
Exposure to fine particulate matter (PM2.5) is associated with mortality for
cardiovascular and pulmonary disease. PM2.5 concentration increased in
accordance with motor-vehicle quantity. This study aims to estimate the risk of
PM2.5 exposure among workers as population at risk in Depok Integrated
Terminal. The risk quotient is estimated using EHRA methodology. In order to
estimate the risk, outdoor ambient air PM2.5 was observed at 3 points area
(observed in the morning, afternoon, and evening at each point), and also
individual anthropometry and activity pattern had been surveyed among 63
respondents. Average PM2.5 ambient concentration is 61,67 μg/m3. The result of
realtime and lifetime assessment showed that workers in general had non
carcinogen risk (RQ>1) with general potential average dose of 0,005 mg/kg.day
and 0,0106 mg/kg.day. Based on occupation type, both realtime and lifetime
assessment showed that all occupation type had high risk quotient. The risk
management that can be done is by decreasing the concentration to the safest, 23
μg/m3 or by limiting the time of exposure.;;"
2016
S65210
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Azka Nabila
"Salah satu dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi adalah total suspended particulate (TSP), yang merupakan keseluruhan partikulat tersuspensi di udara dengan ukuran 100l¼m. TSP pada konstruksi ini diketahui dapat mengakibatkan berbagai efek kesehatan pada pekerja, termasuk efek karsinogenik, terutama yaitu pada pernapasan dan kardiovaskular. Oleh karena itu, dilakukan analisis risiko kesehatan pajanan TSP pada pekerja konstruksi jalan, dengan studi kasus Pembangunan Jalan Tol Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran. Analisis risiko ini dibagi ke dalam risiko non- karsinogenik (realtime dan lifetime) serta risiko karsinogenik, dengan menggunakan metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Nilai risiko non-karsinogenik (RQ) dianalisis dari perbandingan antara asupan dengan nilai referensi batas aman pajanan. Didapatkan secara kelompok (populasi) nilai RQ T1, baik pada pajanan realtime dan lifetime, dimana artinya tidak berisiko. Namun saat dianalisis secara individu, didapatkan 2 (2%) pekerja yang berisiko non-karsinogenik pada pajanan realtime dan 23 (27%) pekerja pada pajanan lifetime. Sedangkan, nilai risiko karsinogenik (ECR) dianalisis dengan mengalikan asupan dengan slope factor agen risiko. Secara kelompok (populasi) ataupun individu, didapatkan ECR > E yang artinya pekerja memiliki risiko kesehatan karsinogenik. Dengan adanya risiko tersebut, maka manajemen risiko perlu untuk dilaksanakan untuk meminimalisir dampak kesehatan pada pekerja di proyek. Beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu dengan komunikasi risiko dengan edukasi/sosialisasi, pengurangan debu dengan penggunaan water suppression/on tool extraction, serta pemberian APD pada seluruh pekerja.

One of the environmental impacts resulting from construction activities is total suspended particulate (TSP), which is a whole particle suspended in air with a size of 100l¼m. TSP in construction is known to cause various health effects on workers, including carcinogenic effect, especially in respiratory and cardiovascular diseases. Therefore, a TSP exposure health risk analysis is carried out on road construction workers, with a case study of the Cengkareng-Batu Ceper-Kunciran Toll Road Construction. This risk analysis is divided into non-carcinogenic risks (realtime and lifetime exposure) and carcinogenic risk, using the Environmental Health Risk Analysis (EHRA) method. The value of non-carcinogenic risk (RQ) was analyzed from the comparison between intake and reference value of safe exposure limit. It is found that in group (population) the value of RQ < 1 in both in realtime and lifetime exposure, which means the risk is still acceptable. However, when analyzed individually, 2 (2%) of workers were at risk of non-carcinogenic to realtime exposure and 23 (27%) workers on lifetime exposure. Meanwhile, carcinogenic risk (ECR) values were analyzed by multiplying intake with slope factor of the risk agent. In group (population) or individuals, ECR > E-4 is obtained, which means workers have carcinogenic health risks. With this, risk management is needed to be implemented to minimize the health impact on workers on the construction project. Some ways that can be done is by communicating the risk with education/socialization, reducing the dust by using a water suppression/on tool extraction, and also providing PPE to all workers. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library