Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aritonang, Sovian
"Kasus batu ginjal di Indonesia sangat tinggi menginduksi kerusakan jaringan sehat sekitarnya atau komplikasi penyakit lain. Batu ginjal di Indonesia sebagian besar merupakan campuran kristal Ca oksalat dan Ca fosfat. Berbagai ion Ca+2, P-3, Mg+2, Na+ dan senyawa makromolekul dalam urine berpengaruh pada proses pertumbuhan dan epitaksi.
Telah dilakukan penelitian : analisis senyawa oksalat dan fosfat dalam batu staghorn dari pusat sampai permukaan. Presipitasi Ca oksalat dan Ca fosfat pada nidus senar dalam berbagai medium. Penumbuhan senyawa oksalat dan fosfat pada batu staghorn tanpa material organik dalam medium urine penderita batu. Sifat kelarutan Ca batu staghorn dalam berbagai medium, bubuk batu staghorn, Ca oksalat dan Ca fosfat sintetik didalam medium urine. Karakterisasi sampel menggunakan X-Ray Difraktometer, Scanning Electron Microscope, X-ray Fluorescence Spectrometry, dan Atomic Absorption Spectrometry. Penelitian in vitro ini menggunakan metode perendaman dan gravimetri.
Hasil karakterisasi batu staghorn dari pusat ke permukaan ditemukan lapisan radial. Setiap lapisan umumnya COM (calcium oxalate monohydrate), dan Struvite. Presipitan dalam nidus senar umumnya COM dan Struvite. Batu staghorn tanpa material organik terjadi penumbuhan Struvite lebih tinggi dibanding COM. Batu staghorn larut dalam medium air melalui proses difusi pada Ca grain boundary, dan dalam medium urine terjadi epitaksi. Sedangkan bubuk batu staghorn, Ca oksalat sintetik, dan Ca fosfat sintetik terjadi penurunan konsentrasi Ca dalam medium urine.
Kesimpulan. Komposisi batu staghorn yang diteliti, serta presipitan pada nidus senar umumnya senyawa oksalat dalam bentuk COM dan fosfat dalam bentuk Struvite. Kalsifikasi pada permukaan batu tanpa material organik dalam urine penderita batu fraksi fosfat naik dan fraksi COM turun. Dalam medium urine normal dengan konsentrasi Ca(1,10%-25,65%) bubuk batu staghorn, bubuk Ca oksalat sintetik dan bubuk Ca fosfat sintetik konsentrasi Ca (4,70%-35,25%) menginduksi terjadinya presipitasi. Sifat kelarutan batu ginjal dipengaruhi oleh konsentrasi Ca, P, dan Mg dalam medium."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
D1546
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ragil Aprilia Astuti
"Batu ginjal merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di daerah perkotaan. Pasien yang sudah pernah mengalami batu ginjal memiliki risiko kekambuhan batu ginjal sekitar lima puluh persen pada lima tahun pertama dan tujuh puluh persen pada sepuluh tahun berikutnya. Tingginya angka kekambuhan tersebut dapat dicegah sejak dini yakni melalui discharge planning. Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis evidence based mengenai discharge planning terutama mengenai terapi diet dalam upaya pencegahan batu ginjal berulang. Hasilnyanya pasien memiliki peningkatan kognitif dan juga psikomotor yang baik dalam upaya pencegahan batu ginjal berulang. Rekomendasi kepada pasien dengan batu ginjal untuk memberikan discharge planning sejak pasien dirawat.

Nephrolithiasis is one of the problems in urban health nursing. Patient with nephrolithiasis have a risk recurrent nephrolithiasis about fifty percent in five year and seventy percent in ten year. It can be prevent early by using discharge planning. This article has purpose to analysis evidence based about discharge planning to prevent recurrent nephrolithiasis. The result of discharge planning showed that this can increase patient’s cognitive and good pshycomotor for preventing recurrent nephrolithiasis. Recommendation for next writer is using discharge planning take care patient since first day they are in hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Octoveryal Aslim
"ABSTRAK
Tujuan utama dari tatalaksana bedah batu ginjal adalah mencapai angka bebas batu maksimal dengan morbiditas yang minimal dan tetap mempertahankan fungsi ginjal. Prosedur atau pilihan tindakan untuk batu ginjal antara lain Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL), Ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) dan tindakan operasi terbuka. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan lama operasi, lama perawatan pasca operasi, jumlah perdarahan, komplikasi dan angka bebas batu pada pasien yang menjalani PCNL dan operasi terbuka pada batu ginjal yang memiliki stone burden lebih dari 2 cm. Data diambil dari rekam medik Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Dari 116 pasien dengan usia antara 22-73 tahun, mayoritas laki-laki, didapatkan hasil perbedaan yang bermakna secara statistik pada lama operasi (p=0,001), lama rawat pasca operasi (p=0,011) dan komplikasi demam pasca operasi (p=0.048), antara PCNL dan operasi terbuka. Sedangkan untuk angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak didapatkan perbedaan (p=0,245 dan p=0,154). Terdapat hubungan yang bermakna pada lama operasi dengan stone burden (p=0.004; p=0.02) maupun letak batu (p<0.001; p=0.011). PCNL memerlukan lama operasi dan lama rawat pasca operasi yang lebih singkat, serta komplikasi demam pasca operasi yang lebih sedikit, dibandingkan operasi terbuka. Namun demikian, untuk angka bebas batu dan jumlah perdarahan, tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.

ABSTRACT
The objective of surgical management of kidney stone is to reach maximum stone free rate with minimum morbidity while maintaining renal function. Several procedures for kidney stones are Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL), Ureterorenoscopy (URS) flexible, Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL), and open surgery. We collected data from medical record of patients with stone burden > 2cm who underwent PCNL or open surgery in Gatot Soebroto Indonesia Army Central Hospital from 2011 until 2014. 116 patients were included in this study with the range of age was 22-73 years old and the majority of patients were man. Our study found statistically significant association between length of operation (p=0.001), postoperative length of stay (0=0.011), and postoperative complication (p=0.048) between PCNL and open surgery. No statistically significant association on stone free rate (p=0.245), amount of bleeding (p=0.154) between the two groups. There was a statistically significant association between lengths of operation with stone burden (p=0.004; p=0.02) and stone location (p<0.001; p=0.011). PCNL had shorter length of operation and postoperative length of stay, fewer postoperative complication compared with open surgery. No difference found in stone free rate and amount of bleeding outcome. There was statistically significant association between length of operation and stone burden.;"
2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiyana Dwi Rahmawati
"Latar Belakang: Distribusi penderita urolitiasis di Jakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya dari 2016-2019, namun distribusi komposisi batu pada penderita urolithiasis tersebut belum diketahui. Selain itu, belum diketahui hubungan distribusi komposisi batu ginjal tersebut dengan jenis kelamin dan usia.
Tujuan: Untuk mengetahui distribusi karakteristik komposisi  batu ginjal yang ada di wilayah Jakarta dan mengetahui hubungan batu ginjal dengan jenis kelamin dan usia.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross-secsional yang menggunakan 160 sampel dari data hasil analisis komposisi batu ginjal di Laboratorium Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI. Data dianalisis dengan sistem SPPS tipe 20, setelah itu dilakukan uji chi square untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dan usia terhadap komposisi batu ginjal. Kemudian dilakukan uji Mann Whitney pada data yang tidak memenuhi syarat untuk uji chisquare.
Hasil: Batu ginjal terbanyak ditemukan pada laki – laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan (3:1) dan batu ginjal paling banyak terjadi pada kelompok usia 45-64 tahun (49,4%). Komposisi unsur batu ginjal terbanyak adalah oksalat (89,4%) dan komposisi jenis batu ginjal terbanyak adalah jenis campuran kalsium, oksalat, karbonat, amonia (25%). Terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap komposisi batu ginjal yang menunjukan hasil signifikan (p<0,05) untuk komposisi kalsium, amonia dan magnesium. Tidak terdapat hubungan antara usia terhadap komposisi batu ginjal 
Kesimpulan: Komposisi batu ginjal terbanyak adalah oksalat. Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin terhadap komposisi batu ginjal. Tidak terdapat hubungan antara usia terhadap komposisi batu ginjal. 

Background: There is no research on distribution of kidney Stones in Jakarta since 2016-2019, while the incidence has increased. No research has been conducted on relation between the compositions with gender and age.
Objective: This research was done to distribute the kidney stones in Jakarta and relation of the compositions with gender and age.
Methods: This research is a cross-sectional, which used stored 160 samples from results of data analysis in Departemen of medical biochemistry and molecular biology of Universitas Indonesia. The analysis by SPSS type 20. Its using chi square test to know about relation of the compositions with gender and age. The end of data which not qualify were using mann whitney test.
Results: Kidney stone mostly do form in men than women, the disease are three more likely to form stones in men than women. Which at the most in the age group between 45-64 years (49,4%). The most composition has found is oksalat (89,4%) and types of stones have found are kalsium, oksalat, karbonat and amonia (25%). The relation of the compositions with gender has indicate significant results (p<0,05) which are calcium, amonia and magnesium. The relation of the compositions with age has indicate not significant results (p>0,05).
Conclusion: the most composition of kidney stones is oksalat. that has significant results about relation of compositions with gender and has not significant results about relation of compositions whit age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanny Adhitya
"LATAR BELAKANG : Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) adalah salah satu terapi batu ginjal dan batu ureter yang minimal-invasif. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo anestesia spinal merupakan pilihan anestesia utama untuk PCNL, namun regimen anestesia spinal yang digunakan masih bervariasi, dan kejadian hipotensi masih cukup besar. Penelitian ini membandingkan angka kejadian hipotensi pada PCNL dengan anestesia spinal antara dua regimen, yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg.
METODOLOGI: Dua puluh dua pasien PCNL dewasa, ASA I-III, tanpa kelainan kardiovaskuler, dirandomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan kelompok II yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg. Anestesia spinal dilakukan dalam posisi duduk, pungsi di L3-4/L4-5, kemudian pasien telentang lalu derajat blok sensorik dan motorik dinilai. Sebelum pasien pasien diposisikan prone, derajat blok sensorik dan motorik dinilai lagi. Tekanan darah diperiksa pada menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, dan 60 setelah injeksi obat spinal.
HASIL: Angka kejadian hipotensi pada kelompok I adalah 33% sedangkan pada kelompok II 60% (p=0,391). Tidak terdapat perbedaan profil blok sensorik dan motorik pada kedua kelompok. Satu pasien di kelompok II memerlukan tambahan fentanil intravena 100 mcg pada menit ke-70.
SIMPULAN : Angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian tidak berbeda bermakna.

BACKGROUND: Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) is a minimally-invasive therapy for treatment of upper ureteral and renal stones. In Cipto Mangunkusumo Hospital, spinal anesthesia is the major option of anesthesia for PCNL, but spinal anesthesia regimens used are still varied, and the incidence of hypotension is still quite large. This study compared the incidence of hypotension in the PCNL with spinal anesthesia between the two regimens, 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg versus 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg.
METHODOLOGY: Twenty-two adult PCNL patients, ASA I-III, without cardiovascular abnormalities, were randomized into group I, which received 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II received 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg. Spinal anesthesia performed in sitting position, puncture in L3-4/L4-5, then the patient were positioned supine and the degree of sensory and motor block were assessed. Before the patient were positioned prone, the degree of sensory and motor block were assessed again. Blood pressure checked at minute 3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, and 60 after injection of spinal regiments.
RESULTS: The incidence of hypotension in group I was 33% and in group II was 60% (p = 0.391). There were no differences in sensory and motor block profiles in both groups. One patient in group II requires additional intravenous fentanyl 100 mcg in the 70th minute.
CONCLUSION: The incidence of hypotension in both groups of study subjects did not differ significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Thamrin Pahar
"Di Indonesia yang termasuk kelompok negara-negara "Stone-belt", urolitiasis merupakan suatu masalah yang besar karena kebanyakan mengenai golongan umur produktif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data prevalensi, profit radiologik, pengaruh suku dan tingkat sosial ekonomi terhadap urolitiasis.
Materi penelitian ini adalah penderita urolitiasis rawat inap di salah satu rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Didapatkan 155 penderita batu saluran kemih selama jangka waktu 4 tahun dari bulan Juli 1986-Juni 1990 yang terdiri dari 115 laki-laki dan 40 wanita dengan umur antara 1-75 tahun. Frekunsi kejadian tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun yaitu 40 dari 155 kasus {25,81%) dan paling rendah pada kelompok umur 10-19 tahun yaitu 6 dari 155 kasus (3,87%).
Lokalisasi Batu Saluran Kemih (BSK) yang terbanyak adalah pada ureter yaitu 82 kasus (45,05%) dan paling sedikit adalah uretra yaitu 1 kasus (0,54%). Pada penelitian ini ditemukan semua BSS{ dari kelompok umur 0-9 tahun adalah vesikolitiasis yang jumlahnya adalah 10 kasus. Dan ini adalah 30,30% dari semuua kasus vesikolitiasis yang berjumlah 33 kasus. Jeis batu radiopak lebih banyak dari batu radiolusen dengan perbandingan 2,2, : 1.
Baik pada nefrolitiasis maupun pada ureterolitiasis tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik antara penderita yang termasuk tingkat sosial ekonomi yang rendah, sedang dan tinggi. Namun pada vesikolitiasis ditemukan perbedaan yang bermakna antara setiap tingkat sosial ekonomi. Penyulitan yang didapatkan secara radilogik berupa hidronefrosis 48 (35,40%) dan gangguan fungsi ginjal 32 (25,60%).
Kekerapan BSK paling tinggi pada suku Toraja yaitu 41 kasus dari 4210 penderita suku Toraja yang dirawat inap (9,73% per mil) dibanding dengan suku Bugis Makassar (6,32 per mil), Jawa (4,13 per mil) dan Cina (2,04 per mil). Melihat tingginya angka penyulitan BSK dan banyaknya batu radiolusen, maka perlu dilakukan pemeriksaan Pielografi Intravena (PIV) pada setiap BSK."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T5334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Partini Pudjiastuti
"Latar Belakang
Sarnpai saat ini batu saluran kemih (BSK) pada anak masih merupakan masalah kesehatan anak di negara yang sedang berkembang ( Aurora dkk.,1970; Remzi dkk.,1984 ). Urolitiasis atau batu saluran kemih telah dikenal sejak beberapa abad yang lampau. Ruffer (dikutip oleh Aurora dkk.,1970) melaporkan penemuan batu buli-buli di sela kerangka Predinasti Mesir; namun hingga saat kini BSK masih merupakan hal yang menarik dalam ilmu kedokteran untuk dibicarakan. Beberapa laporan dari Eropa dan Amerika yang dikutip oleh Walther dkk.(1980) menunjukkan adanya penurunan frekuensi kejadian BSK pada anak. Namun di beberapa negara Asia, penyakit ini masih bersifat endemis ( Malek, 1976; Tellaloglu dan Ander, 1984). Indonesia terletak pada kelompok negara dunia yang termasuk dalam daerah 'sabuk batu' ('stone belt').
Batu saluran kemih pada anak mempunyai frekuensi kejadian, komposisi batu dan keadaan Minis yang berbeda-beda, dari satu negara ke negara lain, dan dari masa ke masa. Bahkan di negara-negara yang penyakit ini bersifat endemis, terdapat perbedaan lokasi batu dan hubungannya dengan infeksi saluran kemih (Tellaloglu dan Ander, 1984). Penyakit ini berhubungan erat dengan faktor sosioekonomi. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dengan perbaikan status sosio-ekonomi, frekuensi kejadian BSK bagian bawah akan menurun, namun frekuensi kejadian BSK bagian atas akan meningkat (Sinno dkk., 1979). Penyakit ini juga menunjukkan adanya predisposisi dalam keluarga ( Aurora dkk.,1970; Malek,1976; Smith,1981; Noe dkk.,1983 ).
Baru saluran kemih merupakan bagian yang besar dari penyebab kunjungan ke unit gawat darurat maupun perawatan bedah di rumah sakit. Bahkan bagian terbesar dari operasi urologi adalah pengangkatan batu dari saluran kemih (Remzi,1980; Asworth dan Hill, 1988). Di Jakarta, dalam kurun waktu 1979 - 1980, Rahardjo dan Firdaoessaleh (1982), menemukan 319 kasus (20,49 %) batu saluran kemih dari 1557 kasus urologi yang dirawat.
Akibat yang ditimbulkan oleh batu saluran kemih ialah obstruksi, infeksi, rasa nyeri dan metaplasia, yang sangat merugikan penderita. Obstruksi dan infeksi yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal, bahkan dapat sampai ke taraf gagal ginjal. Sedang rasa nyeri yang hebat, dapat menyebabkan seorang penderita Herman dari Binjai (Sumatera Utara) pada tahun 1988, nekat mengoperasi dirinya sendiri untuk mengeluarkan batu dari dalam buli-bulinya (Tempo, 1988).
Meskipun penelitian yang ekstensif telah banyak dilakukan, namun sampai sekarang etiologi dan patogenesis pembentukan BSK masih belum jelas (Aurora dkk.,1970; Remzi, 1980 ). Penyakit batu saluran kemih sebenarnya merupakan penyakit kronik. Penyelidikan faktor penyebab terjadinya BSK pada setiap kasus perlu dilakukan untuk dapat mengatur cara pencegahan kekambuhan. Oleh karena belum semua faktor pembentukan batu dapat diterangkan dengan jelas, maka pemantauan untuk mengawasi hasil operasi dan kemungkinan kekambuhan sangat penting. Namun sangat disayangkan, pada kasus-kasus BSK , usaha yang dilakukan sering kali masih dititikberatkan pada pengangkatan batu itu sendiri, sehingga meskipun pengobatan BSK mengalami kemajuan yang pesat akhir-akhir ini, tetapi usaha pencegahan kekambuhan masih merupakan tantangan bagi para peneliti (Ohkawa dan Morimoto, 1987)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T5398
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Suryo Wijaya
"Latar belakang: Tubuh kita hanya dapat mengekskresi zat besi secara terbatas sehingga apabila seseorang mengalami peningkatan zat besi, zat besi bebas akan menumpuk di jaringan dan menyebabkan kondisi iron overload dan memicu produksi ROS, yang dapat memicu disfungsi organ, salah satunya ginjal. Saat ini telah terdapat tiga macam agen kelasi besi untuk mengatasi iron overload. Namun, ketiga agen kelasi tersebut mahal dan memiliki berbagai efek samping. Berdasarkan penelitian yang sudah ada, mangiferin merupakan senyawa yang dapat mengkelasi besi, mengikat radikal superoksida (yang didismutasi oleh enzim superoxide dismutase), dan memiliki efek samping yang sedikit. Namun, mangiferin memiliki bioavailabilitas yang rendah. Saat ini dikembangkan beberapa teknologi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat, salah satunya adalah dengan menggunakan nanopartikel kitosan-alginat sebagai nanocarrier.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian mangiferin dalam nanopartikel kitosanalginat terhadap aktivitas SOD pada ginjal tikus yang diberi besi berlebih.
Metode: Penelitian menggunakan organ ginjal tikus Sprague-Dawley dari penelitian sebelumnya yang terbagi menjadi lima kelompok uji: Kelompok N, IO, IO+M50, IO+MN50, dan IO+MN25. Homogenat sampel direaksikan dengan menggunakan InvitrogenTM SOD Colorimetric Activity Kit. Data diperoleh dengan membaca absorbansi dari hasil reaksi melalui metode spektrofotometri yang hasilnya kemudian dibagi dengan protein jaringan.
Hasil: Kadar SOD ginjal tikus pada kelompok IO+MN25 memiliki kecenderungan lebih tinggi dibandingkan kelompok IO dan serupa dengan kelompok IO+M50 (p>0,05)
Simpulan: Pemberian mangiferin dalam nanopartikel kitosan-alginat tidak berpengaruh terhadap aktivitas SOD pada ginjal tikus yang diberi besi berlebih.

Background: Our body can only excrete a limited amount of iron. Therefore, if iron amount in-body exceeds the excretion limit, non-transferrin-bound iron will increase and piles up in body tissues causing iron overload which triggers ROS production, which later induce organ dysfunctions, e.g. kidney dysfunction. Currently, there are three types of iron chelators to treat iron overload. But, those iron chelators are expensive and cause many adverse effects. Researchers find out that mangiferin is able to chelate iron, scavenge radical superoxides (which is dismutated by superoxide dismutase), and has less adverse effects. However, mangiferin has a low oral bioavailability. Many technologies are being developed to increase oral bioavailability of a medicine, one of them is by using chitosanalginate nanoparticles as nanocarriers.
Objective: The aim of this research is to analyze the effect of mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles treatment towards kidney superoxide dismutase (SOD) activity of iron-induced rats.
Methods: This research uses kidneys of iron-induced Sprague-Dawley rats from the last experiment which were grouped into five groups: N, IO, IO+M50, IO+MN50, IO+MN25. Sample homogenates are reacted with InvitrogenTM Superoxide Dismutase (SOD) Colorimetric Activity Kit. The data is collected by reading the absorbance of reaction results with spectrophotometry and dividing the spectrophotometry data by total tissue protein.
Results: Kidney SOD activity level in IO+MN25 group tends to be higher than IO group and similar to IO+M50 group (p>0,05).
Conclusion: The treatment of mangiferin in chitosan-alginate nanoparticles does not affect kidney superoxide dismutase (SOD) activity of ironinduced rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Omar Rusydi
"ABSTRAK
Penanganan batu saluran kemih khususnya batu ureter mempunyai modalitas yang bervariasi. RS Pusat Pertamina mempunyai ESWL EDAP Sonolith Technomed dan URS dengan litotripsi laser holmium:YAG. Sampai saat ini belum pernah dilakukan evaluasi perbandingan dengan kedua modalitas tindakan ini di RS Pusat Pertamina Jakarta. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta secara analitik komparatif.
Data diperoleh dari pasien yang dirawat dengan batu ureter dari bulan Januari sampai Desember 2009. Kami menemukan 81 batu ureter yang diterapi (15 dengan ESWL dan 66 dengan URS) dalam kurun waktu Januari – Desember 2009. Modalitas terapi pada batu ureter tersebut terbanyak dengan URS diikuti ESWL. Pemakaian DJ stent pada 19,8% tindakan dengan pemakaian terbanyak bersamaan dengan URS dibandingkan dengan ESWL. Angka bebas batu pada batu ureter tidak bermakna antara pemakaian URS dibandingkan ESWL, walaupun angka bebas batu pada URS lebih tinggi daripada ESWL. Pemakaian DJ stent juga tidak mempengaruhi perbedaan angka bebas batu ureter pada kedua modalitas tindakan ini. Angka bebas batu pada kedua modalitas terapi ini masih di bawah nilai dari literatur yang ada karena penilaian angka bebas batu diambil saat sesudah tindakan atau 1-2 hari sesudah tindakan dengan imaging foto polos abdomen dan USG.

ABSTRACT
Management of urinary lithiasis, especially ureteric stone has various modality. Central Hospital Pertamina has ESWL EDAP Sonolith Technomed and URS with lithotripsy laser holmium: YAG. Until now, it has never been evaluated comparatively between two those modalities at Central Hospital Pertamina Jakarta. Study was conducted at Central Hospital Pertamina Jakarta by comparing those two modalities using analytic comparative.
The data was taken from patients’ medical record diagnosed as ureteric stone who had been treated from January to Desember 2009. We found 81 ureteric stone treated (15 with ESWL and 66 with URS) from January to Desember 2009. Using of DJ stent were 19,8% of the treatment, together with URS is more common than ESWL. Stone free rate in ureteric stone was not significantly between treatment with URS and ESWL, although stone free rate of URS was higher than ESWL. Using of DJ stent didn’t influence of stone free rate of ureteric stone from two of those modalities. Stone free rate of these modalities was below of stone free rate at literatures published, because evaluation from stone free rate of this study was taken after the treatment or 1-2 days after the treatment with imaging of KUB and USG"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Utami Putri
"Urolitiasis merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna di dunia ataupun di indonesia. Penyakit ini terjadi pada 5-10% populasi di seluruh dunia dengan angka kejadian dan prevalency terkecil terjadi di wilayah Asia khususnya jepang. Di indonesia, batu saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang memiliki jumlah pasien terbesar di klinik urologi dan besarnya angka kejadian ini terjadi karena 50% dari penderita batu saluran kemih mengalami kekambuhan dalam 5 tahun dan 70% dalam 10 tahun. Karya ilmiah ini dibuat untuk mengetahui asuhan keperawatan serta discharge planning pada klien dengan urolitiasis. Karya ilmiah ini menggunakan metode studi literatur yang kemudian membandingkannya dengan hasil praktik di lapangan.
Hasil dari penelitian ini adalah Ny T mengalami 3 dari 6 tanda dan gejala klien dengan urolitiasis, memiliki 6 dari 10 faktor resiko penyebab urolitiasis, mengalami nyeri pada pre operatif, resiko jatuh pada intra operatif dan mengalami nyeri, hipertermi dan resiko kekurangan cairan pada saat post operasi. Klien menjalani 4 pemeriksaan penunjang, menjalani tidakan medis URS dan pemasangan DJ Stent serta telah diberikan discharge planning. Hasil ini diperoleh karena Ny T telah menjalani proses pengkajian serta intervensi medis dan keperawatan. Akan tetapi, agar asuhan keperawatan dan discharge palnning pada klien dengan urolitiasis dapat dilakukan dengan baik, disarankan agar pihak RS memberikan pelatihan kepada perawat mengenai asuhan keperawatan dan discharge planning, melakukan supervisi dan pengawasan dalam proses pemberian asuhan keperawatan dan discharge planning serta diharapkan adanya kesadaran dari tenaga kesehatan khususnya perawat untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai asuhan keperawatan dan discharge planning klien dengan urolitiasis.

Urolithiasis is a considerable health problem in the world as well as in Indonesia. This disease occurs in 5-10% of the population around the world with incidence and smallest prevalency occurred in areas of Asia, especially Japan. In Indonesia, a urinary stone is one of the disease which has the largest number of patients at the urology clinic and this is occurred because 50% of patients experience a recurrence of urinary tract stones in 5 years and 70% within 10 years. This paper was made to determine nursing care and discharge planning on the client with urolithiasis. This paper used a literature study methods and comparetion with the results of field practice.
Results of this study was Mrs T had 3 over 6 signs and symptoms of urolithiasis, has 6 over 10 of risk factors cause urolithiasis, experiencing pain in pre-operative, had risk of fall and experienced pain in intraoperative, hyperthermia and risk for defecient fluid volume in post operative. The client also endured 4 examination, URS procedure and DJ Stents treatement, and has been given the discharge planning. However, in order to give nursing care and discharge planning on the client with urolithiasis well, training for nurses regarding nursing care and discharge planning and supervision in the process of providing nursing care and discharge planning on the client with urolithiasis should be addressed by hospitals. Besides, awareness of health practitioners especially nurses to improve their knowledge about nursing care and discharge planning on clients with urolithiasis need to be enhanced.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>